Ads

Kamis, 01 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 43

Tongkat Liong-ong menyambar ganas dan Mo-li menyambut dengan kebutan tangan kirinya. Bulu-bulu kebutan itu membelit tongkat dan pedang tangan kanannya menusuk dada. Akan tetapi biarpun tongkatnya sudah terbelit kebutan, Liong-ong masih dapat menggerakkannya dengan tenaga besar sehingga tangan Mo-li terbetot dan kalau dia tidak melepaskan kebutan tentu ia akan tertarik. Ia melepaskan kebutannya dan pedangnya meluncur terus menusuk dada. Liong-ong menggerakkan tongkatnya.

“Tranggg….!”

Bunga api berpercikan dan tubuh Mo-li terhuyung ke belakang, pedangnya sudah lepas dari pegangan tangannya dan melayang jauh. Ujung tongkat itu secepat kilat sudah menempel di dadanya.

Tung-hai Liong-ong tersenyum menyeringai.
“Bagaimana, Mo-li. Akan kau teruskan penyeranganmu?”

Wajah yang cantik itu sebentar pucat sebentar merah. Dikalahkan seorang datuk besar seperti Tung-hai Liong-ong memang wajar, akan tetapi dia dikalahkan di depan orang banyak, ini merupakan penghinaan baginya.

“Sekali ini aku kalah, akan tetapi akan datang saatnya aku menebus kekalahan ini!” setelah berkata demikian, ia mengambil kebutan dan pedangnya, lalu lari dengan cepat meninggalkan puncak itu.

Melihat wanita itu kalah, Siangkoan Ji lupa bahwa dia sedang mengintai dan bersembunyi. Dia bersorak dan berkata dengan bangga kepada Si Kong.

“Nah, benar tidak kataku? Perempuan Iblis itu pasti kalah!”

Setelah ucapannya keluar barulah Siangkoan Ji teringat dan dia terkejut sendiri lalu berjongkok kembali, akan tetapi sudah terlambat. Ang I Sianjin tadi sudah mendengar dan melihatnya. Dia memberi aba-aba kepada anak buahnya.

“Tangkap pengintai itu!”

Empatbelas orang anak buahnya sudah lari ke arah semak belukar itu. Melihat ini, Si Kong lalu melompat keluar dan berkata,

“Kami hanya menonton, tidak ada maksud apa-apa.”

Akan tetapi Tung-hai Liong-ong mengenal Si Kong. Lima tahun yang lalu ketika dia bertempur dengan Yok-sian Lo-kai, pemuda itu menjadi murid Yok-sian Lo-kai dan sudah mengalahkan muridnya yang bernama Ouwyang Kwi. Kemudian ketika Ouwyang Kwi menangkap seorang puteri Gu Kauwsu di Sin-keng, muncul lagi pemuda itu dan dia malah telah membunuh Ouwyang Kwi. Dan dia sendiri yang menandingi pemuda itu, akan tetapi dia kalah! Maka dengan marah dia lalu berseru,

“Bunuh pemuda itu! Dia pasti datang untuk merampas Pek-lui-kiam!”

Mendengar ini, Ang I Sianjin membentak para muridnya untuk cepat menerjang Si Kong, sedangkan Tung-hai Liong-ong sendiri sudah melintangkan tongkatnya di depan dada, siap untuk menyerang.

“Srigala-srigala biadab!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dibarengi munculnya tiga batang anak panah tangan dan tiga orang anak buah Ang I Sianjin roboh dan berkelojotan lalu tewas!

Siangkoan Ji kini meloncat keluar dan berjaga di depan Si Kong. Kembali Siangkoan Ji menggerakkan kedua tangannya dan ada dua batang anak panah meluncur ke arah Ang I Sianjin dan Tung-hai Liong-ong. Akan tetapi dua orang datuk ini menyambar panah tangan itu dengan cengkeraman tangannya. Melihat panah tangan yang ujungnya kehijauan menghitam itu dan pada gagangnya tertulis dua huruf Lam-tok (Racun Selatan), dua orang datuk itu terkejut sekali.

“Apa hubunganmu dengan Lam-tok?” Ang I Sianjin bertanya setengah membentak.

“Mau tahu apa siapa aku dan apa hubunganku dengan Lam-tok? Ketahuilah bahwa aku adalah anaknya!”

“Anak Lam-tok? Apa hubunganmu dengan pemuda itu?” Tung-hai Liong-ong menuding ke arah Si Kong.






“Ha-ha, dia adalah sahabatku, sahabat yang baik. Karena itu siapa yang hendak mengganggunya akan berhadapan dengan aku! Kalian boleh maju satu-satu melawan aku. Awas, kalau main keroyokan aku akan memberitahu ayahku. Hendak kulihat kalian dapat bersembunyi dimana!”

Mendengar omongan besar ini, Ang I Sianjin dan Tung-hai Liong-ong saling pandang. Bagaimanapun juga, mereka berdua sudah lama mendengar nama Lam-tok dan betapa lihai dan kejamnya datuk selatan ini. Bocah itu boleh jadi membual, akan tetapi bagaimana kalau dia benar-benar putera Lam-tok, dan anak panahnya itupun jelas senjata rahasia dari Lam-tok yang mengandung racun ampuh sekali. Tiga orang anak buah Kwi-jiauw-pang langsung tewas begitu terkena panah itu!

“Aku harus membunuh bocah itu untuk membalas kematian muridku, engkau putera Lam-tok harap minggir dan jangan mencampuri urusan kami!” Tung-hai Liong-ong berkata, nada suaranya seperti memohon.

“Enak saja! Dia adalah sahabat baikku, kalau engkau menyerang dia, sama dengan menyerang aku.”

“Ji-te, biarlah aku menghadapi dia, jangan engkau ikut campur.”

Siangkoan Ji membelalakkan mata memandang kepada Si Kong.
“Kong-ko, jangan main-main. Tung-hai Liong-ong ini kejam dan lihai sekali. Bukan hanya tongkat berkepala naga itu yang hebat, akan tetapi ilmunya Tok-ciang lebih berbahaya lagi. Biarkan aku menandinginya, Kong-ko!”

“Aku tahu, Ji-te. Dan aku tahu pula bahwa aku dapat menandinginya. Yang ditantang adalah aku, tidak baik kalau engkau melawannya.” Si Kong lalu meloncat ke depan kakek itu dan berkata, “Hayo, Tung-hai Liong-ong, kita selesaikan perhitungan lama ini.”

Tung-hai Liong-ong marah sekali. Sejak dikalahkan oleh Si Kong dahulu, dia memperdalam ilmunya sehingga kini tongkat dan Tok-ciang (Tangan Beracun) yang dikuasainya menjadi semakin lihai saja. Dia merasa yakin bahwa sekali ini dia tentu akan dapat mengalahkan dan membunuh pemuda yang dibencinya itu. Akan tetapi sebelum dia bergerak, Siangkoan Ji sudah membentak dan memperingatkan.

“Awas, kalau main keroyokan, terpaksa aku akan menggunakan panah beracun!”

Biarpun sudah berkata demikian, tetap saja Siangkoan Ji merasa khawatir sekali kalau-kalau sahabatnya ini tidak mampu menandingi kehebatan Tung-hai Liong-ong dan akan roboh di tangan kakek itu. Maka diam-diam diapun sudah menyiapkan panah beracunnya untuk sewaktu-waktu kalau kawannya terdesak.

Sementara itu, Ang I Sianjin juga diam-diam memberi isyarat kepada anak buahnya untuk bersiap siaga. Dia khawatir juga, karena mungkin saja pemuda dan anak Lam-tok itu akan merampas Pek-lui-kiam yang dimilikinya. Dia hampir yakin bahwa Tung-hai Liong-ong akan mampu mengalahkan pemuda itu. Bagaimanapun juga, Si Kong hanya seorang pemuda yang usianya kurang lebih duapuluh tahun, sedangkan Tung-hai Liong-ong adalah seorang datuk yang kepandaiannya sudah terkenal di seluruh dunia persilatan.

Akan tetapi tidak demikianlah dengan pemikiran Tung-hai Liong-ong. Dia sama sekali tidak berani memandang ringan pemuda yang berdiri di depannya itu. Si Kong sudah melepaskan pakaiannya dari ujung tongkat bambunya dan sekarang memegang tongkat bambunya itu dengan tangan kanan sedangkan tangan kirinya bertolak pinggang. Sikapnya ini menanti serangan lawan dan nampaknya dia tenang dan santai saja. Dia tidak memandang rendah kepandaian lawannya, akan tetapi merasa yakin bahwa dia akan dapat mengalahkannya.

“Mari, Tung-hai Liong-ong, aku sudah siap menghadapi tongkat nagamu dan pukulan Tok-ciangmu yang selalu kau pergunakan untuk perbuatan jahat.”

“Bocah lancang dan sombong. Bersiaplah untuk mati di tanganku!” kata Tung-hai Liong-ong dan diapun sudah memutar tongkat naganya dan menyerang dengan dahsyat.

Begitu menyerang, Tung-hai Liong-ong sudah menggunakan jurus maut dan mengisi serangan itu dengan seluruh tenaganya. Si Kong melihat ini dan diapun tahu bahwa lawannya amat bernafsu untuk membunuhnya, maka diapun tidak memandang ringan. Ketika tongkat menyambar menusuk dadanya, dia menggeser kaki ke kanan sehingga tusukkan tongkat itu tidak mengenai sasaran. Akan tetapi begitu luput menusuk, tongkat itu dengan gerakan memutar membalik dan kini menghantam ke arah kepala Si Kong.

“Tunggg…..!”

Ujung tongkat yang terbuat dari baja dan runcing itu mengeluarkan suara berdengung ketika di tangkis tongkat bambu yang di pegang Si Kong. walaupun hanya tongkat bambu, akan tetapi ternyata tongkat kepala naga itu terpental ketika bertemu. Tung-hai Liong-ong terkejut. Pertemuan pertama tongkatnya dengan tongkat bambu itu sudah membuktikan betapa kuatnya pemuda yang menjadi musuh besarnya karena telah membunuh muridnya itu.

“Heiiiiittt!”

Dia mengeluarkan suara nyaring dan kini tongkatnya menyambar-nyambar, diselingi pukulan tangan kirinya yang mengandung hawa beracun. Tamparan tangan kiri itu kalau mengenai tubuh lawan seketika membunuhnya dengan tubuh hangus, demikian hebatnya ilmu Tok-ciang yang sudah dikuasai sepenuhnya oleh Tung-hai Liong-ong.

Akan tetapi Si Kong sudah tahu benar akan hal ini, maka dengan kelincahan seekor burung walet, dia dapat menghindarkan diri dengan loncatan ke samping dari situ dia menotok tubuh lawan bagian lambung.

“Tunggg…..!” kembali tongkat naga bertemu tongkat bambu ketika Tung-hai Liong-ong menangkis totokan itu.

Dan sekali lagi datuk itu merasa betapa tangannya yang memegang tongkat tergetar hebat. Dia terkejut sekali melihat kenyataan bahwa dalam hal tenaga sakti, dia masih kalah oleh pemuda itu.

Pertempuran dilanjutkan dengan lebih seru lagi. Tung-hai Liong-ong mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan seluruh ilmunya. Bagi dia, sekali ini merupakan pertandingan mempertahankan nama dan kehormatan, juga pembalasan dendam kematian muridnya. Namun, kemanapun dia menyerang, selalu dapat dielakkan atau ditangkis tongkat bambu.

Dengan tenang namun waspada dan cepat sekali, Si Kong menghindarkan semua serangan bahkan dia membalas serangan lawan setiap kali terbuka kesempatan. Beberapa kali dia membuat Tung-hai Liong-ong terhuyung bingung karena serangan tongkatnya dengan ilmu Ta-kaw Sin-tung yang merupakan sumber semua ilmu tongkat.

Siangkaon Ji memandang dengan mata terbelalak dan mulut ternganga. Dia menjadi bengong. Seujung rambutpun dia tidak pernah menduga bahwa kawannya itu memiliki kepandaian demikian tingginya sehingga mampu menandingi bahkan mendesak seorang datuk besar seperti Tung-hai Liong-ong. Dan dia melihat betapa ilmu tongkat yang dimainkan Si Kong lucu dan hebat. Penampilan tongkat itu kadang lambat dan kadang cepat sekali, seolah-olah pemuda itu bermain dengan sebuah kitiran angin! Hampir dia berjingkrak dan bersorak saking kagumnya. Akan tetapi dia tetap waspada kalau-kalau kawannya itu terancam bahaya.

Ang I Sianjin memandang dengan hati cemas. Diapun dapat melihat betapa Tung-hai Liong-ong terdesak hebat oleh tongkat bambu pemuda lawannya itu. Dia berpikir. Kalau Tung-hai Liong-ong kalah, berarti dia harus menghadapi pemuda lihai itu dan pemuda putera Lam-tok. Berbahaya sekali baginya kalau harus menghadapi kedua orang pemuda itu.

Sebaliknya kalau pemuda itu kalah dan dapat dibinasakan, dia dan Tung-hai Liong-ong akan dapat menghadapi putera Lam-tok. Tentu saja berpihak kepada Tung-hai Liong-ong lebih menguntungkan. Diam-diam dia lalu memberi isyarat kepada anak buahnya. Melihat isarat ini, lima orang anak buahnya lalu mengepung Si Kong dan mereka berlima kini sudah menyambung tangan mereka dengan senjata cakar setan. Senjata ini tidak boleh dipandang ringan karena sekali lawan terkena guratan tentu nyawanya akan melayang karena keracunan!

Sejak tadi kelima Bu-tek Ngo-sian menonton dengan alis berkerut. Mereka juga terkejut mendapat kenyataan bahwa pengemis muda itu adalah putera Lam-tok. Mereka menjadi jerih. Kalau sampai terdengar Lam-tok bahwa mereka bermusuhan dengan puteranya, tentu Lam-tok menjadi marah dan tidak akan dapat mengampuni mereka. Pula, lima orang datuk ini mempunyai harga diri. Tidak mau mereka melakukan pengeroyokan kepada dua orang muda itu. Maka Ciok Khi yang paling tua memberi isarat kepada empat orang rekannya untuk pergi saja dari situ. Merekapun melompat jauh dan berlari meninggalkan tempat itu.

Melihat lima orang hendak mengeroyok Si Kong, kembali kedua tangan Siangkoan Ji bergerak dan empat batang anak panah meluncur secepat kilat ke arah lima orang itu. Dua orang dari mereka dapat mengelak, akan tetapi dua yang lain roboh sambil menjerit lalu berkelojotan tewas!

Bukan main marahnya Ang I Sianjin. Lima orang anak buahnya telah tewas terkena anak panah itu. Dia memberi isyarat kepada anak buahnya yang tinggal sembilan orang itu. Anak buah Kwi-jiauw-pang mengerti akan arti isarat itu dan mereka semua terpecah menjadi dua rombongan. Empat orang mengeroyok Si Kong dan lima orang sudah siap membantunya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar