Ads

Kamis, 01 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 42

“Ya, sayang sekali aku tidak memiliki kepandaian seperti engkau, Ji-te.”

“Sudahlah, engkau ingin melihat keramaian atau tidak? Kalau engkau takut, tinggallah saja disini. Disini engkau aman, akan tetapi kalau engkau ikut aku, mungkin saja engkau akan terancam bahaya karena yang akan mengadakan pertandingan adalah orang-orang yang berilmu tinggi.”

“Ada engkau di dekatku, takut apa?” Si Kong tertawa. “Engkau tentu tidak akan tinggal diam saja kalau ada orang jahat mengancam aku, bukan?”

“Tentu saja! Ah, sudahlah, mari kita berangkat,”

Siangkoan Ji menggendong buntalan pakaiannya dan Si Kong juga mengikatkan buntalan pakaiannya di ujung tongkat bambunya dan memikul tongkat bambu itu. Diam-diam dia merasa kagum kepada sahabat barunya itu. Masih begitu muda akan tetapi memiliki ilmu kepandaian tinggi dan memiliki keberanian yang luar biasa pula. Setelah memadamkan api unggun, merekapun berangkat, keluar dari kuil itu dan mendaki ke arah puncak bukit.

Ketika mereka tiba di lereng dimana Siangkoan Ji pagi tadi dia melihat serombongan orang Kwi-jiauw-pang, ternyata tempat itu telah kosong dan orang-orang yang berada disitu pagi-pagi sekali sudah meninggalkan tempat itu. Mereka hanya melihat bekas api-api unggun yang besar, banyak tulang binatang berserakan dan bau arak masih dapat tercium ketika Si Kong dan Siangkoan Ji tiba disitu.

Siangkoan Ji mencari jejak mereka dan berkata
“Mereka telah mendaki bukit. Itu jejak mreka. Sebaiknya kita mengambil jalan lain agar tidak bertemu dengan mereka, mencari tempat yang enak untuk bersembunyi dan mengintai apa yang terjadi di puncak.”

Si Kong menurut saja karena pemuda remaja itu agaknya sudah mengenal betul daerah ini. Mereka masuk keluar hutan, menyusup diantara semak belukar dan ilalang yang tinggi sampai ke pundak mereka dan akhirnya mereka tiba di puncak.

Siangkoan Ji mengajak Si Kong bersembunyi di balik semak belukar dan mengintai ke arah puncak yang merupakan padang rumput yang luas. Mereka sudah melihat belasan orang berkumpul di tengah lapangan itu, ada yang berdiri dan ada yang duduk. Sebuah tiang bendera berdiri disitu dengan benderanya yang berkibar ditiup angin pagi.

Dari tempat mereka berdua mengintai, nampak bahwa bendera itu bergambar sebuah tangan yang merupakan cakar yang kukunya tajam melengkung dan mengerikan. Tanpa penjelasan lagi, Si Kong mengerti bahwa orang-orang yang jumlahnya lima belas itu tentu orang-orang Kwi-jiauw-pang seperti yang diberitakan Siangkoan Ji tadi.

Akan tetapi yang membuat jantung dalam dada Si Kong berdebar adalah ketika dia melihat seorang diantara mereka yang pakaiannya berbeda dengan yang lain. Kalau orang-orang lain berpakaian serba hitam dengan sabuk merah, maka yang seorang ini berpakaian serba merah! Teringat akan pesan Kiok Nio, Si Kong memandang dengan penuh perhatian.

Orang berjubah merah itu berusia kurang lebih enampuluh tahun bermuka kepucatan seperti orang sakit, tubuhnya tinggi kurus namun kelihatan kokoh. Dia memegang sebuah kipas dengan tangan kirinya dan sedang menggerak-gerakkan kipas seperti orang kepanasan. Padahal pagi itu hawanya cukup dingin. Si Kong berpikir bahwa agaknya tidak salah lagi. Kakek inilah yang dicari oleh Tan Kiok Nio. Kakek inilah yang telah membunuh orang tua Kiok Nio dan merampas pedang dari tangan ayahnya. Dan orang itu agaknya menjadi pemimpin orang-orang Kwi-jiauw-pang!

“Ji-te, apakah kakek berjubah merah itu ketua Kwi-jiauw-pang?” bisiknya lirih dekat telinga Siangkoan Ji.

Siangkoan Ji mengangguk.
“Mungkin sekali, aku sendiri belum pernah melihatnya.”

“Tahukah engkau siapa namanya?”

“Kalau tidak salah, nama julukannya adalah Ang I Sianjin, karena pakaiannya selalu merah. Kabarnya ilmu kepandaiannnya lihai sekali dan senjatanya adalah kipas dan pedang. Dia sudah lihai masih membawa anak buahnya, empat belas orang banyaknya. Tentu akan ramai sekali nanti.” bisik Siangkoan Ji dekat telinga Si Kong.

Mereka berjongkok di balik semak belukar, berdekatan. Tiba-tiba Si Kong mengerutkan alisnya. Berjongkok berdekatan dengan Siangkoan Ji, dia mencium bau harum seperti ketika dia tidur di dalam kuil. Tahulah dia bahwa yang berbau harum adalah Siangkoang Ji! Mengapa seorang laki-laki, pengemis pula, memakai wangi-wangian?






Akan tetapi perhatiannya segera tertarik ketika dia ditepuk pundaknya oleh Siangkoan Ji.

“Lihat itu….!”

Si Kong melihat munculnya lima orang dan kembali jantungnya berdebar penuh ketegangan. Dia mengenal baik lima orang itu. Mereka bukan lain adalah Bu-tek Ngo-sian, lima orang yang dulu datang bersama Toa Ok dan Ji Ok mengeroyok Ceng Lojin. Biarpun mereka semua dikalahkan Ceng Lojin, namun gurunya yang sudah tua renta itupun terluka hebat dalam tubuhnya, mengakibatkan kematiannya. Dan sekarang Bu-tek Ngo-sian berada di tempat itu.

Agaknya kakek berjubah merah itu telah mengenal Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa tanpa Tanding) itu. Dia melangkah maju, menutup kipasnya dan memberi hormat.

“Kiranya Bu-tek Ngo-sian ikut datang! Selamat datang, Ngo-sian. Kuharap saja nanti kalian tidak mengandalkan keroyokan untuk mencari kemenangan!”

Bu-tek Ngo-sian adalah lima orang yang sudah bersumpah sebagai saudara, walaupun mereka itu tidak ada hubungan keluarga satu dengan yang lain. Yang pertama atau tertua bernama Ciok Khi, bertubuh tinggi besar dan bermuka penuh cacat bekas cacar. Orang kedua berusia empatpuluh lima tahun, lima tahun lebih muda dibandingkan Ciok Khi, bernama Sia Leng Tek, bertubuh tinggi kurus dan mukanya agak pucat seperti orang berpenyakitan. Orang ketiga berusia empatpuluh tiga tahun, wajahnya penuh brewok dan tubuhnya sedang tegap, bernama Cong Boan. Orang keempat bertubuh pendek gendut, usianya sekitar empatpuluhan dan biarpun tubuhnya pendek gendut, namun kelihatan gesit, orang ini bernama Bwa Koan Si. Adapun orang kelima bertubuh pendek kecil seperti orang katai, usianya kurang dari empatpuluh tahun. Si katai ini memiliki mata yang tajam bersinar-sinar seperti burung rajawali. Wajahnya juga kecil dan namanya Bhe Song Ci.

Mendengar ejekan Ang I Sianjin itu, Ciok Khi yang mewakili adik-adiknya berkata, suaranya menggelegar parau,

“Ang I Sianjin, engkau membawa empat belas orang anak buah, yang khawatir menghadapi keroyokan bukan engkau, melainkan kami!”

“Ha-ha-ha!” tawa Ang I Sianjin. “Anak buahku ini hanya akan bergerak kalau aku dikeroyok, akan tetapi hanya menjadi saksi kalau aku berhadapan dengan seorang lawan. Kalian tidak perlu khawatir, pedang dan kipasku sudah cukup untuk mengalahkan setiap orang lawan yang berani menantangku!”

“Ha-ha-ha, ucapan yang bagus sekali!”

Tiba-tiba terdengar suara orang lain dan sesosok bayangan berkelebat dan disitu telah berdiri seoranng kakek berusia enampuluh tahunan, memegang sebatang tongkat kepala naga.

“Wah, Majikan Pulau Tembaga juga datang, tentu akan ramai sekali.” bisik Siangkoan Ji.

Si Kong menjawab dengan pertanyaan lirih,
“Apakah engkau mengenal pula lima orang itu?”

“Tentu saja! Mereka adalah Bu-tek Ngo-sian, lima orang yang sombong sekali sehingga mengaku diri sebagai dewa yang tidak terkalahkan.”

Si Kong diam-diam memuji Siangkoan Ji. Pemuda ini benar-benar luas pengetahuannya tentang dunia kangouw sehingga mengenal para tokoh itu. Dia sendiri kalau belum pernah bertemu dengan orang-orang itu, tentu tidak akan mengenal mereka.

“Selamat bertemu, Tung-hai Liong-ong! Agaknya engkaupun tertarik akan berita tentang Pek-lui-kiam itu!”

“Ha, siapa yang tidak akan tertarik? Katakanlah, apakah benar berita yang kudengar bahwa sekarang pedang pusaka itu berada padamu, Ang I Siangjin?”

“Aku tidak menyangkal juga tidak mengaku. Ketika itu, kukatakan bahwa siapapun boleh menyelidiki sendiri.”

“Hi-hi-hik, ucapan yang mengandung kesombongan dan juga kelicikan!”

Suara wanita ini terdengar jelas dan sesosok bayangan berkelebat. Ketika semua mata memandang, ternyata disitu telah berdiri seorang wanita yang berusia empatpuluh tahun lebih, namun masih nampak cantik dan pakaiannya mewah. Dipunggungnya tergantung sebatang pedang dan tangan kirinya memegang sebuah hud tim (kebutan).

“Kau juga mengenal wanita itu, Ji-te?” tanya Si Kong.

“Tentu saja. Ia disebut Ang-bi Mo-li, seorang tokoh yang lihai juga.”

Si Kong makin kagum saja. Dia memang mengenal wanita ini ketika dia bekerja sebagai penggembala kerbau milik Tong Li Koan, majikan Bukit Bangau. Bahkan dia pernah bertanding melawan wanita itu dan dapat mengalahkannya. Ketika itu usianya baru limabelas atau enambelas tahun. Akan tetapi dengan heran Si Kong melihat bahwa wanita itu tidak nampak lebih tua, masih seperti dulu.

“Bagus, kini suasana menjadi meriah!” kata Ang I Sianjin. “Ang-bi Mo-li rupanya juga ingin menguasai pedang Pek-lui-kiam.”

“Aku tidak malu mengaku bahwa memang demikianlah, aku ingin merampas pedang pusaka itu. Akan tetapi ucapanmu itu tadi mengandung kelicikan. Kalau pedang pusaka itu memang ada padamu, katakan saja terus terang dan pertahankanlah dengan kepandaianmu. Sebaliknya kalau tidak ada padamu, siapa ingin bersusah payah berkelahi denganmu?”

Sebelum Ang I Sianjin menjawab, Tung-hai Liong-ong sudah melompat ke depan Ang-bi Mo-li.

“Ang-bi Mo-li, daripada engkau maju sendiri melawan Ang I Sianjin, lebih baik engkau menjadi isteriku dan kita bersama menandinginya. Kau lihat, Ang I Sianjin datang bersama anak buahnya.”

Wajah Ang-bi Mo-li menjadi merah dengan marah ia menghadapi Tung-hai Liong-ong. Dengan kebutannya ia menuding ke arah muka kakek itu dan suaranya melengking tinggi karena ia marah sekali.

“Tung-hai Liong-ong! Sejak dulu engkau membujuk dan merayu aku. Sudah kukatakan bahwa aku tidak sudi menjadi isterimu. Sekarang di depan banyak orang engkau kembali menghinaku. Engkau pantas kuhajar!” Ia menerjang maju dan menggerakkan kebutannya mengarah mata lawan.

Tung-hai Liong-ong cepat mengelak dan menggerakkan tongkat kepala naganya dan menyambar ke arah kaki wanita itu.

“Engkau memang harus di tundukkan dengan kekerasan!” kata Tung-hai Liong-ong.

Ang-bi Mo-li meloncat untuk menghindarkan diri dari serangan ke arah kakinya itu. Sambil meloncat ia sudah mencabut pedangnya dan menyerang dengan pedang dan kebutannya. Namun, Tung-hai Liong-ong adalah seorang datuk yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dia memutar tongkat kepala naga dan kedua senjata wanita itu tidak mampu menembus gulungan sinar tongkat itu.

Si Kong memperhatikan dan melihat betapa ilmu pedang Ang-bi Mo-li sudah jauh lebih maju dari pada dahulu. Akan tetapi diapun tahu betapa lihainya Tung-hai Liong-ong, maka pertandingan itu tentu akan berlangsung seru. Ketika dia melirik ke kiri, dia melihat Siangkoan Ji juga menonton dengan wajah gembira dan jarang berkedip. Dia ingin mencoba pengetahuan pemuda itu dalam ilmu silat.

“Ji-te, kau kira siapakah yang bakal menang atau kalah dalam pertandingan itu?”

“Tung-hai Liong-ong tidak bersungguh-sungguh ketika mengatakan bahwa dia ingin mengambil Ang-bi Mo-li sebagai isterinya. Dia sengaja mengeluarkan kata-kata itu untuk membuat Ang-bi Mo-li marah dan menyerangnya. Inilah yang dikehendaki, yaitu agar dia menyingkirkan dulu seorang saingan dalam memperebutkan pedang pusaka itu.” Kata Siangkoan Ji dengan suara sungguh-sungguh.

“Dan kau pikir siapa yang akan menang?”

“Hemm, mudah diduga. Betapapun lihainya kebutan dan pedang Ang-bi Mo-li, ia kalah tenaga dan tingkat kepandaiannya masih di bawah Tung-hai Liong-ong, Mo-li pasti kalah.”

Diam-diam Si Kong kagum. Ucapannya yang mengatakan bahwa Tung-hai Liong-ong menggunakan siasat untuk memancing kemarahan Ang-bi Mo-li memang masuk akal, kemudian penilaiannya tentang pertandingan itupun tepat sekali. Si Kong sudah dapat melihat sejak tadi bahwa Ang-bi Mo-li pasti akan kalah.

Pertandingan itu masih berlangsung seru. Kedua pihak mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan semua ilmu mereka. Akan tetapi jelas bahwa Mo-li kalah tenaga. Setiap kali pedangnya bertemu dengan tongkat Tung-hai Liong-ong, pedang itu terpental.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar