Ads

Kamis, 01 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 41

“Tentu ada orangnya di dalam. Api unggun itu tentu ada yang membuatnya,” terdengar suara yg parau.

“Siapapun dia, kita harus memeriksanya dan kalau dia musuh, kita bereskan sekarang juga.” Jawab suara yang tinggi.

“Akan tetapi, apakah tidak lebih baik kita memberitahu teman-teman, siapa tahu di dalam ada orang lihai?”

“Ahh, selihai-lihainya mana mampu menandingin kita berdua. Kalau diberitahukan teman-teman, kita yang rugi. Siapa tahu orang itu membawa barang berharga!”

“Dan mungkin saja ada wanitanya yang cantik!” si suara parau tertawa perlahan.

“Ssst, jangan keras-keras, nanti mengejutkan orang dan kalau orang itu lari melalui pintu belakang, akan sulitlah menemukan dia dalam gelap begini.”

Si kong sudah hendak keluar menjumpai dua orang itu, akan tetapi tiba-tiba dua orang itu menjerit.

“Aduhhh…..!”

“Ahhh…..! Lari, hayo kita lari!”

Lalu terdengar suara dua orang itu melarikan diri. Tentu saja Si Kong menjadi heran sekali dan cepat menengok ke belakang. Ternyata Siangkoan Ji tidak berada di tempat dia tertidur tadi. Dan tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan pemuda pengemis itu telah duduk ditempatnya.

“Ji-te, kenapa kau lakukan itu?”

Si Kong menegur karena dia sudah dapat menduga tentu Siangkoan Ji yang menyebabkan dua orang tadi mengaduh dan melarikan diri.

“Kulakukan apa?” Pemuda remaja itu berbalik bertanya.

“Engkau yang menyebabkan kedua orang itu mengaduh dan melarikan diri, bukan?”

“Apakah engkau lebih senang melihat mereka masuk dan menyerang kita dengan golok mereka?”

“Hemm, tadi engkau tidur pulas, bagaimana dapat mengetahui kedatangan mereka?”

“Telingaku peka sekali, Kong-ko. Sedikit suara saja sudah cukup membangunkan aku.”

“Apa yang kau lakukan tadi sehingga mereka mengaduh?”

“Ha-ha, apakah engkau tidak dapat menduganya? Aku menimpuk mereka dengan batu-batu. Ah, mereka lari ketakutan, tentu mengira ada setan mengganggu mereka!” pemuda itu tertawa senang.

Akan tetapi diam-diam Si Kong merasa kagum dan kecewa. Kagum karena pemuda pengemis itu dapat menyerang dengan tepat sekali mengenai dua orang yang hanya nampak bayangan mereka dengan samar-samar saja, akan tetapi kecewa karena menganggap Siangkoan Ji terburu nafsu. Sebetulnya dia ingin membekuk dua orang itu yang dari percakapan mereka jelas bukan merupakan orang baik-baik.

“Sudahlah, mereka sudah pergi. Tidurlah lagi, Siangkoan Ji, malam sudah larut dan hawanya dingin sekali. Biar kubesarkan api unggun ini.”

“Aku tadi sudah tidur, sekarang tidak mengantuk lagi. Kau saja yang tidur, Kong-ko, biar aku yang menjaga api unggun.”

“Baiklah, aku hendak tidur sebentar, Ji-te.”

Setelah berkata demikian Si Kong lalu merebahkan diri di sudut dimana tadi Siangkoan Ji tidur. Aneh sekali begitu dia merebahkan diri, hidungnya mencium bau yang harum. Dia tidak tahu mengapa tempat itu berbau harum dan diapun tidak ingin menyelidiki karena matanya sudah mengantuk. Sebentar saja Si Kong sudah tidur pulas.

Ketika dia membuka matanya, Si Kong menjadi silau. Langit yang nampak dari bawah, melalui atap yang berlubang, nampak sudah terang. Kiranya matahari telah sejak tadi menampakkan diri di langit timur. Dia memandang ke kanan kiri, lalu dia bangkit duduk ketika melihat Siangkoan Ji sedang membakar sesuatu di atas api unggun. Dia mencium bau sedap daging ayam dibakar.






“Ji-te, engkau memanggang apakah itu?” tanyanya kepada pemuda pengemis yang berjongkok membelakanginya.

Siangkoan Ji menoleh dan berkata dengan senyum cerah.
“Bangunlah dan mandilah dulu, Kong-ko. Tuh disana terdapat sumber air yang jernih. Aku sedang memanggang daging ayam untuk sarapan kita nanti.”

“Ayam? Dari mana engkau memperoleh ayam?” tanyanya heran.

“Aih, sudahlah. Ditanggung halal, bukan mencuri. Nah, mandilah dulu, baru nanti kuceritakan sambil sarapan.”

Si Kong tersenyum. Temannya ini memang cerdik sekali, sepagi itu sudah mendapatkan seekor ayam untuk dipanggang dagingnya. Dia lalu bangkit berdiri dan menuju ke sumber air yang ditunjukkan Siangkoang Ji tadi. Benar saja, di balik batu-batu padas terdapat air yang mengucur dari batu, dan air itu jernih sekali.

Si Kong membersihkan dirinya lalu kembali ke kuil tua. Daging ayam itu sudah matang dan kini Siangkoan Ji sedang memasak air, lalu dibuatlah air teh yang di tuangkan ke dalam dua buah mangkuk. Si Kong terheran-heran. Pengemis muda itu ternyata mempunyai banyak macam barang yang berguna dalam buntalan pakaiannya. Ada teh, dan adapula mangkuk-mangkuk.

Setelah teh itu mendidih dan menuangkan dalam mangkuk, Siangkoan Ji berkata,
“Nah, sekarang kita dapat sarapan pagi. Hayo silakan, Kong-ko. Kita makan selagi panggang ayam ini masih panas.”

Si Kong juga duduk di dekat api unggun. Pagi itu amat dingin hawanya. Dia menerima paha ayam yang diserahkan Siangkoan Ji kepadanya. Ketika dia menggigit paha ayam itu, kembali dia tertegun dan kagum. Dia sendiri pernah memanggang daging ayam, akan tetapi rasanya hambar karena tidak di bumbui, akan tetapi panggang daging ayam yang dibuat Siangkoan Ji ini, lezat bukan main. Sedap dan gurih. Tentu pemuda itu membawa-bawa bumbu pula dalam buntalan pakaiannya!

“Nah, sekarang ceritakan padaku darimana engkau memperoleh ayam ini. Aku tahu bahwa ayam itu bukan ayam hutan. Pernah aku memanggang ayam hutan akan tetapi dagingnya liat, tidak lunak seperti ini. Ini tentu ayam peliharaan orang.”

Siangkoan Ji tersenyum.
“Jangan khawatir, ayam ini seratus prosen halal. Pagi-pagi sekali tadi aku pergi ke perkampungan di bawah sana dan dapat membeli seekor ayam dari orang kampung.”

“Tidak mencuri?” Si Kong memandang penuh selidik dan keraguan.

Siangkoan Ji tertawa.
“Hemm, engkau tidak percaya ya? Kau kira aku ini maling kecil yang suka mencuri milik orang dusun yang miskin? Aku hanya mencuri harta milik orang kayak yang kikir, bahkan membagi-bagikannya kepada orang-orang dusun yang miskin. Bagaimana aku tega mencuri dari mereka?”

Si Kong menggigit daging ayam panggang itu, kini terasa lebih lezat dan dia mengangguk-angguk.

“Aku percaya padamu, dan keteranganmu itu sungguh menyenangkan hatiku.”

Siangkoan Ji mengambil sebuah kantung kecil dari buntalan pakaiannya, membuka kantung itu dan memperlihatkan kepada Si Kong.

“Nah, kau lihatlah. Aku dapat membeli seratus ekor ayam kalau kau mau, mengapa mesti mencuri?”

Si Kong mengangguk dan tersenyum.
“Maafkanlah aku, Ji-te. Wah, bukan saja panggang ayam ini yang lezat, bahkan air teh ini sedap dan harum sekali.”

“Kong-ko,” kata Siangkoan Ji sambil menyimpan kembali kantung kecil berisi uang dan emas itu, “kalau aku mengetahui malam tadi, tentu aku sudah membunuh dua orang itu.”

“Eh, kenapa?”

“Ketika aku turun dari bukit ini untuk pergi ke dusun terdekat, ditengah jalan aku melihat banyak orang membuat perkemahan di lereng bukit. Setelah aku melihat bendera mereka, aku terkejut dan tahu bahwa mereka adalah orang-orang Kwi-jiauw-pang yang terkenal jahat.”

“Kwi-jiauw-pang (Perkumpulan Cakar Setan)? Perkumpulan macam apa itu?”

“Aku sendiripun hanya mendengar cerita orang saja. Kwi-jiauw-pang berpusat di Kwi-liong-san (Gunung Naga Siluman) dan kabarnya orang-orang perkumpulan sesat itu merajalela di daerah mereka. Semua pencuri dan perampok harus membagi hasil mereka kepada Kwi-jiauw-pang. Kalau ada yang melanggar tentu akan dibunuh secara mengerikan. Tubuh mereka akan dicabik-cabik cakar setan, senjata mereka yang ampuh, yang dipasang pada kedua tangan mereka.”

“Ihh, kejamnya!” seru Si Kong.

“Ha-ha, engkau tidak tahu bahwa didunia ini banyak orang yang bahkan lebih kejam dari mereka. Mudah-mudahan nanti kita akan dapat melihat orang-orang yang kau sebut kejam itu.”

“Akan tetapi apa maksud Kwi-jiauw-pang berada di bukit ini?”

“Aku sendiri juga tidak tahu, Kong-ko. Yang ku ketahui dari kabar yang kuperoleh hanya mengatakan bahwa hari ini akan ada pertemuan dari tokoh-tokoh sesat untuk memperebutkan Pek-lui-kiam, pedang pusaka yang menghebohkan dunia kang-ouw itu?”

Si Kong sudah tahu dari Tan Kiok Nio bahwa pedang yang disebut-sebut itu tadinya menjadi milik ayah gadis itu yang telah dibunuh oleh seorang kakek berpakaian merah. Bahkan dia sudah berjanji kepada gadis itu untuk mencari tahu tentang kakek berpakaian merah. Akan tetapi untuk mengetahui lebih jelas tentang Pek-lui-kiam yang menurut Kiok Nio telah dirampas pembunuh ayahnya itu, dia berpura-pura tidak tahu dan bertanya.

“Apa sih pedang Pek-lui-kiam itu dan mengapa pula diperebutkan orang?”

Pengemis muda itu membelalakkan matanya yang bersinar tajam.
“Engkau tidak pernah mendengar tentang Pek-lui-kiam yang menghebohkan dunia persilatan itu, Kong-ko? Aih, sungguh pengalamanmu tentang dunia kang-ouw masih dangkal sekali."

“Memang aku seorang bodoh yang kurang pengalaman, Ji-te,” kata Si Kong sederhana.

“Nah, engkau begitu rendah hati. Baiklah kuberitahu. Pedang Pek-lui-kiam itu dikabarkan orang adalah milik seorang manusia dewa yang bertapa di pegunungan Himalaya. Kemudian tersiar berita bahwa pedang pusaka itu dicuri orang. Ada yang mengatakan bahwa pedang pusaka itu terjatuh ke tangan Tan Tiong Bu, pendekar besar yang amat terkenal dengan ilmu pedangnya itu. Akan tetapi, baru-baru ini tersiar berita bahwa Tan-taihiap itu telah tewas terbunuh orang. Karena tidak ada yang tahu kemana pedang pusaka itu dibawa orang dan siapa yang kini menjadi pemiliknya, dunia kang-ouw menjadi geger dan semua orang seperti berlomba mencarinya.”

“Heran sekali. Apakah orang-orang itu tidak mempunyai pekerjaan lain yang lebih penting? Apa sih artinya pedang Pek-lui-kiam maka dijadikan rebutan orang-orang kang-ouw?”

“Wah-wah-wah! Kalau pedang Pek-lui-kiam saja tidak kau kenal, sungguh keterlaluan engkau, Kong-ko. Pedang itu merupakan pedang pusaka yang hebat, ampuh bukan main sehingga siapa yang memilikinya tentu akan menjadi semakin lihai dan ditakuti orang!”

Si Kong mengangguk-angguk, lalu tersenyum memandang wajah Siangkoan Ji dan berkata,

“Sekarang aku mengerti apa sebabnya engkau berada di tempat ini, Siangkoan Ji. Engkau merupakan seorang diantara mereka yang ingin memiliki pedang itu!”

“Hemm, siapa orangnya yang tidak ingin memiliki pedang Pek-lui-kiam? Dengan pedang itu ditanganku, aku tidak takut menghadapi lawan yang bagaimana tangguhpun! Semua orang akan tunduk kepadaku dan menaati semua perintahku!”

“Wah, agaknya engkau ini seorang yang gila kekuasaan, Ji-te!”

“Mengapa tidak? Siapakah orangnya yang tidak gila kekuasaan? Dalam kerajaan, dalam masyarakat, bahkan dalam keluarga semua orang memperebutkan kekuasaan. Apakah engkau juga tidak ingin memiliki pek-lui-kiam kalau kesempatan untuk itu ada?”

“Setelah mendengarkan keteranganmu, akupun ingin sekali melihat seperti apa pedang pusaka itu.”

“Akan tetapi sayang sekali, Kong-ko. Orang yang memiliki pedang itu haruslah seorang yang tinggi ilmu silatnya, karena kalau tidak, tentu pedang itu tidak ada gunanya baginya dan mudah dirampas orang lain yang lebih tinggi kepandaiannya.”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar