Ads

Minggu, 28 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 40

“Ha, engkau memiliki sepasang gelang yang berharga mahal, akan tetapi engkau bekerja sebagai kuli kasar, bukankah itu pelit namanya? Ataukah, sepasang gelang ini pemberian pacarmu sebagai tanda mata?” Siangkoan Ji menggoda.

Si Kong melompat berdiri.
“Ji-te, harap jangan main-main. Sepasang gelang itu milik seorang gadis yang dititipkan kepadaku, bukan dari pacarku karena aku tidak mempunyai pacar. Kembalikan padaku!”

“Kalau bukan dari pacarmu, lebih gawat lagi. Kalau pacarmu mengetahui engkau membawa gelang milik gadis lain ia tentu akan cemburu sekali. Sebaiknya aku yang membawa agar engkau tidak dimarahi pacarmu.”

“Ji-te, jangan main-main! Kembalikan gelang itu kepadaku, cepat!”

“Ha, bukan kebiasaanku untuk memberikan barang yang sudah kuambil. Kalau engkau mampu, ambillah sendiri dari tanganku!” Pengemis muda itu tertawa-tawa mengejek.

Si Kong menjadi marah. Dia melompat ke depan dan menjulurkan tangannya untuk merampas sepasang gelang yang berada di tangan kanan Siangkoan Ji. Akan tetapi, ternyata pengemis muda itu memiliki gerakan yang cepat sekali. Dia sudah melompat ke samping sehingga sambaran Si Kong luput.

“Ji-te, kembalikan atau terpaksa aku menggunakan kekerasan!”

“Ha, memang itulah yang kukehendaki. Aku ingin tahu apakan dengan menggunakan kekerasan engkau akan mampu merampas gelang ini.”

Si kong kembali meloncat dan menyergap, namun pengemis muda itu dengan amat lincahnya mengelak kesana-sini sambil berloncatan. Si Kong menjadi semakin penasaran dan kini dia menjulurkan tangan untuk menangkap pergelangan tangan kanan Siangkoan Ji.

Dia sudah menyentuh pergelangan tangan itu akan tetapi tiba-tiba pengemis muda itu menendang ke arah dadanya. Karena tendangan itu cepat dan mengandung tenaga sinkang yang kuat, terpaksa Si Kong melepaskan pegangannya pada pergelangan tangan dan mengelak ke belakang. Kini Si Kong maju sambil menyerang dengan menggunakan ilmu Yan-cu Hui-kun (Silat Burung Walet Terbang). Gerakannya cepat bukan main seperti seekor burung walet di udara.

Pengemis muda itu mengeluarkan seruan kaget dan diapun menggunakan ginkang yang hebat untuk dapat mempertahankan sepasang gelang di tangan kanannya, dan kini diapun balas menyerang sehingga kedua orang muda itu kini saling serang dengan serunya.

Si Kong mendapat kenyataan bahwa pemuda pengemis ini tidak saja dapat bergerak cepat, akan tetapi juga ilmu silatnya cukup tangguh! Pantas dia berani mengembara dalam usia yang demikian muda. Kiranya dia memang dapat membela diri dengan kuatnya dan kiranya para penjahat akan sukar mengalahkan pemuda pengemis ini. Biarpun dia telah mengerahkan ilmu silat Yan-cu Hui-kun, ternyata pemuda itu mampu menandinginya dan sampai tigapuluh jurus dia belum mampu merampas gelang atau merobohkannya!

Tidak ada jalan lain bagi Si Kong kecuali menggunakan Thi-Khi-I-beng. Ceng-lojin berpesan supaya tidak sembarangan saja menggunakan Thi-khi-I-beng. Akan tetapi pemuda pengemis itu terlalu cepat gerakannya dan kalau dia menggunakan Hok-liong Sin-ciang dia khawatir akan melukainya. Hal ini tidak ingin dia lakukan. Dia harus merampas kembali gelang emas permata itu, akan tetapi tidak mau membuat pemuda pengemis itu cedera atau terluka dalam tubuhnya. Satu-satunya jalan untuk merampas sepasang gelang tanpa melukainya hanyalah penggunaan Thi-khi-I-beng

Ketika tangan kiri pemuda pengemis itu menyambar dan menghantam ke arah dadanya, Si Kong menerimanya dengan dada tanpa mengelak sedikitpun.

“Plak!” tangan pemuda remaja itu mengenai dadanya dan melekat, menyedot tenaga sinkang pemuda itu.

Pemuda itu terkejut setengah mati dan berusaha melepaskan tangannya yang tersedot dan melekat di dada itu. Dengan mudah Si Kong lalu merampas sepasang gelang di tangan kanan pemuda itu, lalu melepaskan tenaga thi-khi-I-beng dan melompat mundur.

Pengemis muda itu memandang kepadanya dengan mata terbelalak.
“Kong-ko, engkau menggunakan ilmu setan apakah?” tegurnya setengah bertanya.

Si Kong tersenyum.
“Ilmu itu namanya ilmu merampas gelang.”






Dengan tenang Si Kong lalu menyimpan kembali sepasang gelang itu ke dalam buntalan pakaian, lalu memanggul tongkat bambunya di ujung mana buntalan pakaian itu tergantung.

“Kong-ko, ternyata engkau seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dalam perkelahian tangan kosong aku mengaku kalah, akan tetapi kalau saja aku mempunyai sebatang pedang, aku yakin dapat mengalahkanmu.”

“Syukurlah bahwa engkau tidak mempunyai sebatang pedang, Ji-te. Karena aku tidak suka berkelahi denganmu. Engkaupun lihai sekali. Gurumu tentu seorang tokoh besar dalam perkumpulan pengemis. Akan tetapi seorang pemuda yang begini lihai seperti engkau, kenapa berkeliaran disini dan berpakaian pengemis?”

“Aku hendak menonton keramaian di bukit depan itu,” dia menuding ke arah bukit yang tampak menjulang di depan mereka, lalu tiba-tiba pengemis itu berseru, “Heiii, jangan-jangan engkau salah seorang diantara mereka!”

“Mereka siapa?”

“Mereka yang hendak bertanding disini untuk meperebutkan Pek-lui-kiam.”

Diam-diam Si Kong terkejut.
“Aku bukan anggota dari partai manapun dan aku tidak hendak bertanding di bukit itu. Apakah seorang diantara mereka yang menguasai pedang Pek-lui-kiam yang kabarnya diperebutkan orang-orang persilatan itu?”

“Aku sendiri tidak tahu. Mungkin juga begitu. Aku hanya mendengar bahwa datuk-datuk besar besok pagi-pagi akan mengadakan pertemuan disana untuk memperebutkan Pek-lui-kiam. Kalau engkau bukan seorang diantara mereka, marilah kita nonton, Kong-ko! Tentu akan ada pertunjukan menarik disana!”

Si Kong mengangguk. Tanpa dimintapun dia tentu akan pergi kesana kalau pedang Pek-lui-kiam yang diperebutkan. Dia sendiri telah menyanggupi Tan Kiok Nio untuk mencari kakek berjubah merah yang membunuh orang tua gadis itu dan merampas Pek Lui-kiam.

“Baik, aku ikut denganmu,” jawabnya.

“Akan tetapi engkau harus bersembunyi, Kong-ko dan tidak boleh sembarangan keluar dari tempat persembunyianmu. Mereka itu adalah para datuk yang tidak segan membunuhmu!”

“Jangan khawatir, Ji-te, aku akan menuruti nasihatmu.” Jawab Si Kong sambil tersenyum.

“Kita lewatkan malam dalam hutan di kaki bukit itu, dan besok pagi-pagi barulah kita mendaki bukit.”

Si Kong hanya menurut saja dan pemuda jembel itu menjadi penunjuk jalan. Agaknya dia sudah hafal benar akan keadaan disitu dan setelah tiba di kaki bukit, dia mengajak Si Kong memasuki sebuah hutan.

“Disana terdapat bekas kuil kecil yang sudah tidak dipergunakan lagi. Kita melewatkan malam disana.” Kata Siangkoan Ji.

Benar saja, setelah tiba di tengah hutan itu, Si Kong melihat sebuah bangunan yang sudah bobrok saking tuanya dan tidak terawat. Dindingnya sudah menjadi hijau oleh lumut dan atapnya juga banyak yang pecah. Di waktu hujan tentu kuil ini kebocoran dimana-mana.

Mereka memasuki kuil kecil itu dan di ruangan tengah terdapat sebuah arca batu yang juga sudah penuh lumut sehingga sukar dikenal lagi arca siapakah itu. Akan tetapi Siangkoan Ji memberi hormat kepada arca itu dan perbuatannya ini diikuti oleh Si Kong. Yang dibuatkan arca tentu sebangsa dewa atau orang suci budiman yang patut dihormati.

Di sudut ruangan belakang terdapat lantai yang bersih. Agaknya sudut itu sering dipakai mengaso para pemburu binatang sehingga lantainya bersih.

“Nah, kita lewatkan malam disini, Kong-ko.”

“Baiklah, aku mau pergi keluar sebentar.”

“Mau kemana, Kong-ko?”

“Untuk mencari kayu bakar.”

“Untuk apa?”

“Ji-te, malam nanti hawanya tentu dingin dan nyamuknya banyak sekali. Membuat api unggun dapat mengusir nyamuk dan melawan hawa dingin. “ Si Kong menunjuk ke arah kanan dimana terdapat abu dan arang. “Mereka yang pernah bermalam disini juga membuat api unggun.”

“Untuk mengusir nyamuk aku tidak membutuhkan api unggun, dan untuk menahan udara dingin akupun kuat. Akan tetapi kalau engkau membutuhkannya, silahkan saja mencari kayu bakar.”

Si Kong tersenyum.
“Aku ingin sekali melihat bagaimana engkau akan mengatasi kegelapan yang pekat malam ini tanpa api unggun.”

“Malam nanti aku tidur, terang atau gelap sama saja,” jawab Siangkoan Ji sambil tersenyum pula.

Si Kong lalu keluar dari situ dan mengumpulkan kayu-kayu kering yang kiranya cukup untuk membuat api unggun semalam suntuk.

Ketika Si Kong memasuki kuil itu sambil memanggul sebongkok kayu kering, dia melihat Siangkoan Ji sedang menggosok-gosok tubuhnya yang tidak tertutup pakaian dengan semacam minyak dari botol kecil. Kedua tangan sampai ke siku lalu kaki bagian atas yang tidak tertutup sepatu, dan terutama muka dan lehernya.

“Apa itu, Ji-te?”

“Inilah obat istimewa penolak serangga macam serangga dan nyamuk. Kalau ada nyamuk berani hinggap di kulitku, binatang itu akan tewas seketika!”

Si Kong menurunkan kayu bakar dan memeriksa botol minyak itu, dibukanya lalu diciuminya.

“Ah, ini racun hebat dan berbahaya!” katanya sambil mengembalikan botol itu kepada pemiliknya.

Siangkoan Ji tertawa.
“Tidak berbahaya bagi manusia, asalkan jangan diminum. Akan tetapi bagi nyamuk merupakan cairan maut, baru menciumnya saja sudah dapat membunuh binatang itu.”

“Dari mana engkau memperoleh racun itu, Ji-te?”

“Aku membuatnya sendiri.” Kata Siangkoan Ji bangga.

Si Kong mengerutkan alisnya. Pemuda remaja ini penuh rahasia. Selain ilmu silatnya tinggi, juga agaknya dia ahli racun. Akan tetapi dia diam saja.

Setelah hari mulai gelap, benar saja seperti dikhawatirkan Si Kong tadi, datang nyamuk banyak sekali. Akan tetapi Siangkoan Ji enak-enak saja dan Si Kong melihat sendiri pemuda itu menjulurkan tangan agar digigit nyamuk. Beberapa ekor nyamuk menyerang tangan itu dan nyamuk-nyamuk itu berjatuhan, mati! Dia sendiri menjadi korban gigitan nyamuk, maka cepat-cepat dia membuat api unggun. Barulah nyamuk-nyamuk itu terbang pergi. Dan bersama gelapnya malam, datang hawa dingin. Akan tetapi api unggun itu mendatangkan kehangatan.

Siangkoan Ji menggunakan daun-daun pohon untuk menyapu lantai, kemudian dia merebahkan diri.

“Aku mau tidur disini, Kong-ko. Kalau engkau mau tidur, carilah tempat sendiri.”

“Kau tidurlah, Ji-te. Aku akan menjaga api unggun agar tidak sampai padam,” dia lalu duduk bersila dekat api unggun.

Tak lama kemudian siankoan Ji sudah tidur pulas. Si Kong mengetahui hal ini dari pernapasannya yang lembut dan panjang. Dia sendiri memejamkan mata, akan tetapi tidak tidur, hanya mengendurkan seluruh urat syarafnya untuk beristirahat.

Lewat tengah malam, tiba-tiba Si Kong mendengar suara orang berbicara di luar kuil. Dia menjadi waspada dan bangkit berdiri, kemudian berindap-indap keluar dari kuil untuk melihat siapa yang bicara itu. Karena diluar gelap, dia hanya melihat dua bayangan orang sedang bicara. Mereka memegang sebatang golok dan menghampiri kuil dengan langkah perlahan.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar