Ads

Minggu, 28 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 39

Pada suatu hari tibalah dia di tempat yang sunyi sepi dan di depannya menjulang tinggi sebuah bukit yang penuh dengan pohon-pohon besar. Matahari telah naik tinggi dan Si Kong merasa betapa perutnya lapar sekali. Semenjak kemarin sore dia belum makan apapun kecuali minum air jernih yang menjadi bekalnya. Melihat hutan dibukit itu, timbul niatnya untuk berburu binatang yang dagingnya dapat dimakan. Tidak nampak dusun disekitar tempat itu dimana dia dapat membeli makanan.

Dengan membawa beberapa potong batu yang runcing dia memasuki hutan itu. Setelah berkeliaran di dalam hutan mencari-cari, akhirnya dia meloncat naik ke atas pohon besar untuk melihat kalau-kalau di dekat situ terdapat binatang buruan. Usahanya berhasil. Dari atas pohon itu dia melihat anak sungai yang berliku-liku dan tak jauh dari situ terdapat beberapa ekor kijang sedang minum air.

Dengan hati-hati Si Kong turun dari atas pohon dan berindap-indap mendekati sekawanan kijang itu, menyusup-nyusup diantara semak belukar dan batang-batang pohon.

Setelah jarak antara dia dan kijang-kijang itu tidak begitu jauh lagi, Si Kong lalu menggenggam sepotong batu, matanya dengan tajam mengambil jarak dan membidik, kemudian tangannya bergerak dan batu itu meluncur ke arah seekor kijang muda yang gemuk.

“Wuuutt…. tarr!”

Batu itu bertumbuk dengan batu lain yang meluncur dari samping sehingga dua batu runtuh. Kijang-kijang itu terkejut oleh bunyi kedua batu yang bertumbukan itu dan mereka segera berloncatan cepat sekali menghilang di balik semak-semak belukar.

Si Kong mengerutkan alisnya dan dia menjadi marah. Jelas ada orang yang telah menimpuk batunya sehingga niatnya merobohkan seekor kijang menjadi gagal. Dia meloncat keluar dari balik semak-semak dan pada saat yang sama dari balik sebatang pohon besar meloncat keluar pula seorang pemuda remaja yang dari pakaiannya yang kusut penuh tambalan itu dapat diduga bahwa dia seorang pengemis. Di punggungnya tergendong sebuah buntalan kain kuning. Bajunya yang penuh tambalan itu terlampau besar sehingga kedodoran dan kepanjangan sampai lutut. Namun wajah yang kotor terkena tanah dan debu itu nampak tampan juga.

Sebelum Si Kong menegurnya, pengemis muda itu lebih dulu menudingkan telunjuknya ke arah hidung Si Kong dan membentak nyaring.

“Engkau manusia kejam yang tak mengenal prikebinatangan! Kijang-kijang itu sedang santai melepas dahaga, kenapa engkau hendak membunuhnya? Engkau lebih kejam daripada binatang buas!”

Si Kong tidak jadi marah. Melihat seorang pengemis muda yang hidupnya tentu serba kekurangan dan sengsara, dia sudah merasa iba dan dia sudah memaafkan perbuatan pengemis muda remaja itu. Akan tetapi dia penasaran juga ketika dikatakan lebih kejam dari binatang buas.

“Adik kecil…”

“Aku bukan anak kecil!” pengemis itu membantah.

Si Kong tersenyum. Seorang pemuda remaja yang nakal, pikirnya dan diapun berkata,
“Adik yang baik, bagaimana engkau mengatakan bahwa aku lebih kejam dari binatang buas? Kalau aku menjadi harimau, sudah kuterkam kijang tadi!”

“Harimau lain! Memang makanannya daging binatang dan dia hanya membunuh korbannya kalau perutnya lapar dan dia ingin makan.”

Si Kong mengelus perutnya.
“Aku juga lapar.”

“Tapi engkau tentu suka makan makanan lain. Sebaliknya harimau tidak suka makan roti, tidak suka minum arak, tidak suka makan nasi. Sebaliknya engkau, aku yakin engkau suka makan roti dan minum arak!”

“Akan tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain. Disini yang ada hanya kijang itu, tidak ada roti dan arak!”

Pengemis muda itu menurunkan buntalannya dari punggung, membuka buntalan dan diantara pakaian yang tambal-tambalan terdapat pula sebungkus roti bakpau yang isinya cukup banyak untuk dimakan dua orang! Dan juga seguci arak.

“Aku tidak tega melihat kijang dibunuh. Binatang itu demikian indah, kalau engkau tadi membunuhnya, tentu ada orang tua dan sanak saudaranya yang kehilangan, terutama pacarnya. Maka aku menghalangimu dan kalau engkau memang lapar, sama dengan aku. Maka mari kita makan bakpau ini.” Dia lalu duduk bersila diatas rumput.






Si Kong memandang dengan bengong. Bocah ini memang nakal, akan tetapi kata-katanya demikian tepat sehingga sukar untuk dibantah, seperti kata-kata seorang pendeta yang pantang makan daging saja. Diapun mengangguk dan duduk di depannya, mengambil sepotong bakpau dan menggigitnya. Lezat sekali bakpau itu, tentu bukan bakpau yang murahan. Akan tetapi ketika lidahnya merasakan daging di dalam bakpau, dia mengerutkan alisnya.

“Adik, engkau tadi mencela aku yang hendak makan daging kijang! Akan tetapi engkau sendiri sekarang makan daging yang berada di dalam bakpau. Kalau begitu, engkau seorang yang munafik!”

“Apa kau bilang? Aku munafik? Siapa yang mengatakan kepadamu bahwa aku tidak suka daging?”

”Kau tadi melarangku…..”

“Tentu saja karena aku membawa bekal cukup bakpau yang cukup banyak. Kalau ada bakpau, mengapa membunuh kijang? Yang kumakan ini daging ayam, itupun bukan aku yang menyembelih, melainkan orang yang memeliharanya.”

Si Kong tersenyum. Percuma saja berdebat dengan anak kecil yang mau menang sendiri saja. Dia lalu makan lagi dan tidak sampai makan waktu lama, bungkusan bakpau itu telah habis mereka makan!

“Nih, minumnya! Bukan arak keras, melainkan anggur yang sedap dan tidak memabokkan. Aku paling muak melihat orang mabok!”

Bocah ini nakal, pandai bicara dan mau menang sendiri, akan tetapi hatinya polos dan baik.

“Engkau minumlah dulu, baru aku. Engkau pemiliknya berhak minum lebih dulu karena disini tidak ada cawan.”

Kembali bocah itu mengerutkan alisnya,
“Kau tidak percaya padaku dan kau kira arak ini mengandung racun? Hemm, kalau aku ingin meracunimu, sekarang juga engkau sudah menggeletak tanpa nyawa. Aku dapat menaruh racun itu dalam bakpau tadi!”

“Wah, jangan salah sangka, sobat. Aku sama sekali tidak takut kalau dalam arak ada racunnya. Akan tetapi karena kita harus minum begitu saja dari mulut guci, maka sebaiknya engkau dulu yang minum, baru aku.”

“Aturan mana itu? Aku tuan rumah dan engkau tamuku. Tentu saja engkau yang harus minum lebih dulu. Kalau engkau menolak, itu berarti engkau tidak percaya dan tidak menghargai suguhanku.”

Kembali Si Kong merasa kalah kalau harus berdebat dengan pengemis muda yang bicaranya seperti seorang pengacara ini. Terpaksa dia menerima guci itu dan minum dari mulut guci, menjaga agar bibirnya tidak menyentuh mulut guci. Anggur itu memang enak sekali, manis dan sedap. Karena isinya masih penuh, diapun minum sepuasnya. Lalu dia mengembalikan guci itu kepada pemiliknya. Pengemis muda itupun menuangkan anggur dari guci kemulutnya dan menempelkan bibirnya pada mulut guci.

Si Kong memandang wajah pengemis itu. Wajah itu masih kekanak-kanakan, akan tetapi setelah dipandang dengan waspada, dia harus mengakui bahwa wajah pengemis itu tampan sekali. Giginya berderet putih bagaikan mutiara. Akan tetapi wajah berlepotan lumpur dan debu. Teringatlah dia akan peristiwa tadi. Sambitan batu yang dilontarkan pada kijang tadi mengandung tenaga yang kuat, yang diaturnya agar dapat membunuh kijang itu sekali sambit. Akan tetapi pemuda remaja ini mampu meruntuhkannya dengan sambitan batu lain. Ini membuktikan bahwa pemuda jembel ini memiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah.

“Adik yang baik, siapakah namamu dan dimana tempat tinggalmu?”

Pengemis muda itu menatap tajam wajah Si Kong, agaknya dia sedang mempertimbangkan pertanyaan itu. Kemudian dia berkata,

“Katakan dulu siapa engkau dan ada urusan apa engkau datang ke tempat ini?”

Si Kong tersenyum.
“Ditanya belum menjawab bahkan berbalik mengajukan pertanyaan.”

“Tentu saja sebagai tamu engkau harus memperkenalkan diri lebih dulu. Kalau engkau tidak bertanya siapa namaku akupun tidak akan menanyakan namamu.”

Dasar pokrol, pikir Si Kong. Akan tetapi pengemis muda ini sudah menjamunya dengan bakpau dan anggur, maka diapun mengalah.

“Namaku Si Kong, tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Aku seorang yatim piatu yang hidup sebatang kara dan aku mengembara kemana saja hati dan kakiku membawaku. Kebetulan aku lewat disini dan perutku keroncongan. Karena melihat di sekitar tempat ini tidak ada dusun, maka terpaksa aku harus berburu binatang untuk memberi makan perutku yang lapar. Nah sudah jelas, bukan? Sekarang giliranmu bercerita tentang dirimu.”

“Aku….. eh, namaku Siangkoan Ji. Aku juga berkelana seorang diri saja. Kalau tidak ada yang menaruh iba, tentu kudatangi rumah hartawan yang kikir dan kuambil emasnya barang sekantung. Lihat, inilah sisa emas sekantung. Telah kubagi-bagikan kepada para petani miskin dan sisanya tidak berapa lagi, akan tetapi cukup untuk kubelikan makanan kalau lapar. Tidak akan habis sebulan.”

Si Kong mengerutkan alisnya.
“Ji-te, mengemis itu pekerjaan yang memalukan, dan mencuri adalah perbuatan yang jahat. Mengapa engkau mengemis dan mencuri?”

“Aku mengemis untuk makan. Aku mencuri untuk menolong para petani miskin di dusun-dusun. Kenapa di bilang jahat? Habis, kalau aku tidak boleh mengemis atau mencuri, aku harus makan apa? Aku tidak suka makan batu dan minum air comberan!” Pemuda itu membantah dan bersungut-sungut.

“Engkau bisa bekerja, Ji-te (adik Ji), seperti aku. Akupun suka bekerja kalau kehabisan bekal. Gajinya kutabung, kalau sudah cukup aku melanjutkan pengembaraanku. Engkaupun dapat bekerja Ji-te.”

Pengemis muda itu nampaknya senang di sebut Ji-te, sebutan yang akrab sekali. Pemuda tegap di depannya itu tidak keberatan untuk bersahabat dengan pengemis, tidak seperti pemuda-pemuda lain yang jijik melihatnya dan mengusirnya kalau dia mendekati mereka.

“Aku tidak biasa bekerja, Kong-ko. Aku tidak bisa bekerja apa-apa. Mana aku kuat kalau diharuskan bekerja kasar seperti mengangkuti barang sekarung atau balok yang besar?”

“Ji-te, tidak perlu bersembunyi didepanku. Aku tahu benar bahwa engkau memiliki tenaga yang besar dan engkau tentu seorang ahli silat yang lihai.”

Pengemis itu membelalakkan matanya.
“Eh, bagaimana engkau bisa mengetahuinya?”

“Mudah saja. Ketika aku menyambitkan batu ke arah kijang itu ada batu lain yang menghancurkan batuku. Tentu engkau yang menyambitkan batu itu, bukan? Nah, untuk menyambit batuku begitu tepat sampai dapat menghancurkan, engkau pasti memiliki kepandaian tinggi dan tenaga yang kuat.”

“Wah, ternyata engkau cerdik juga, Kong-ko. Akan tetapi tenagaku itu hanya untuk membela diri, bukan untuk mengangkut barang berat dan mencari uang. Dan engkau sendiri, bukankah selain bekerja berat engkau juga suka mencuri barang para hartawan kikir?”

“Tidak, aku tidak pernah mencuri!”

“Hemm, kalau begitu dari mana engkau memperoleh sepasang gelang permata itu?”

Si Kong terkejut dan heran. Bagaimana bocah ini bisa tahu bahwa dia menyimpan sepasang gelang emas dalam buntalannya? Dia segera meraih buntalan itu yang tadi diletakkan diatas tanah, dekat pengemis muda itu duduk. Ketika memeriksanya, ternyata buntalan gelang itu telah lenyap! Si Kong menjadi semakin bingung.

Pengemis muda itu tertawa.
“Ha-ha, apakah ini yang kau cari, Kong-ko?”

Dia mengangkat kantung kain terisi sepasang gelang itu ke atas sambil meloncat berdiri.

“Jadi engkau yang telah mencopetnya! Kembalikan.”

Tangan Si Kong meraih, akan tetapi Siangkoan Ji menarik tangannya sehingga sambaran tangan Si Kong itu luput.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar