Ads

Minggu, 28 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 38

Kini Si Kong melakukan perjalanan tanpa tujuan tertentu. Dia sudah kembali kedusunnya, bahkan kehilangan keluarga satu-satunya, yaitu encinya. Setelah mengubur jenazah encinya, habislah kaitannya dengan dusun Ki-ceng.

Kemudian, ketika pada suatu siang yang panas dia mengaso di bawah sebatang pohon rindang dan membuka buntalannya, dia melihat kantung kain kecil yang berisi perhiasan wanita, yaitu sepasang gelang emas bertabur permata yang indah sekali. Dia teringat akan pemberi sepasang gelang itu, seorang gadis yang cantik jelita dan memiliki ilmu pedang yang lihai. Namanya Tan Kiok Nio. Membayangkan wajah gadis itu, jantungnya berdebar. Gadis yang hebat, pikirnya.

Dia lalu mengenang kembali semua pengalamannya dan dia mendapat kenyataan bahwa diapun teringat akan Tong Kim Lan, puteri si Huncwe Maut Tong Li Koan. Gadis itupun seringkali muncul dalam ingatannya. Kemudian dia teringat pula akan Tang Hui Lan, puteri suami isteri pendekar besar, cucu gurunya Ceng Lojin. Dibandingkan dua orang gadis itu, Hui Lan menang segala-galanya. Kecantikannya, kepandaiannya. Ia merasa yakin bahwa Hui Lan tentu memiliki ilmu kepandaian yang hebat sekali.

Kemudian dia teringat kepada Gu Mei Cin, yang ditolongnya dari tangan si jahat Ouwyang Kwi. Kemudian diapun teringat dan membayangkan wajah gadis lain yang tak kalah cantiknya dari lain-lain. Bahkan ia memiliki ilmu kepandaian yang paling hebat. Entah siapa yang lebih unggul ilmunya antara gadis itu yang bernama Pek Bwe Hwa dengan Tang Hui Lan.

Satu demi satu wajah kelima orang gadis itu bermunculan dan hatinya merasa gelisah sendiri.

“Ihh! Tak tahu malu. Kenapa mengenang gadis-gadis itu?” celanya kepada diri sendiri.

Cepat dia menyimpan kembali sepasang gelang emas berhias permata itu kedalam kantung kain dan mengambil roti kering yang tadi dibelinya di dusun terakhir yang dilewatinya. Makan sepotong roti kering dan ikan kering membuat leher terasa haus bukan main. Akan tetapi tempat airnya telah penuh, diisi air teh di warung dusun tadi, dan dia dapat makan dan minum sambil melepaskan lelah.

Selagi dia makan minum, nampak seorang laki-laki setengah tua datang sambil memikul ubi. Agaknya dia seorang petani yang baru saja panen ubi dan kini membawa ubi dalam pikulannya. Melihat ada seorang pemuda beristirahat di bawah pohon besar yang lebat daunnya, memberi keteduhan di bawahnya, laki-laki berusia hampir lima puluh tahun itupun meninggalkan jalan dan menuju ke pohon itu. Dia menurunkan pikulannya dan menyeka keringat dengan bajunya. Bahkan dia lalu menanggalkan baju atasnya karena merasa gerah bukan main.

“Selamat siang, paman.” kata Si Kong ramah. “Kalau paman mau, silakan makan minum bersamaku. Akan tetapi aku hanya mempunyai roti kering dan teh dingin!”

“Roti kering dan teh dingin sudah merupakan hidangan lezat di siang hari panas seperti ini.” kata orang itu. Lalu dia duduk dekat Si Kong, diatas hamparan rumput hijau.

Sambil tersenyum Si Kong mengulurkan tangan memberi roti dan ikan kering kepada orang itu yang menerimanya dengan pandang mata berterima kasih. Mereka lalu makan minum bersama sambil bercakap-cakap santai.

“Paman hendak menjual ubi ke kota?”

“Benar, kongcu.”

“Aih, jangan sebut aku kongcu, paman. Aku hanya seorang perantau miskin, bukan pemuda bangsawan bukan pula pemuda hartawan. Namaku Si Kong dan paman boleh menyebutku dengan nama itu saja.”

Petani itu tersenyum dan memandang kepada Si Kong dengan matanya yang ramah. Kulit muka petani itu sudah penuh keriput walaupun usianya baru limapuluh tahun, namun wajah keriput itu masih nampak segar dan tubuhnya masih nampak kuat.

“Baiklah, Akong dan terima kasih atas keramahanmu mengundang aku makan. Roti kering dan ikan kering itu lezat sekali!”

“Setiap makanan akan lezat kalau dimakan selagi perut merasa lapar, bukankah begitu, paman?”

“Kau benar dan perutku memang sedang lapar.”






“Apakah paman mempunyai anak isteri.”

“Aku mempunyai isteri dan dua orang anak.”

“Apakah hidup paman kekurangan?”

“Ah, tidak. Kedua anakku membantu diladang. Kami setiap hari dapat makan dan ubi sisa makanan kami ini dapat kujual kekota dan uangnya dapat kupakai membeli pakaian atau keperluan lain. Tidak, aku tidak kekurangan dan keluargaku tidak pernah kelaparan. Kami memiliki sebidang sawah dan juga memiliki sebuah rumah yang biarpun tidak bagus namun cukup menyenangkan bagi kami.”

Si Kong memandang kagum. Didepannya duduk seorang setengah tua yang sederhana dan miskin, memikul ubi yang berat untuk dijual dengan harga yang murah, namun kakek ini tidak merasa kekurangan. Agaknya orang seperti kakek inilah yang dapat disebut orang yang berbahagia hidupnya.
Mereka telah selesai makan dan kakek itu yang telah melakukan perjalanan cukup jauh agaknya hendak mengaso sejenak di tempat yang teduh itu.

“Paman, engkau tentu seorang yang berbahagia hidupnya?”

“Bahagia? Apakah itu? Aku tidak merasa berbahagia, akan tetapi juga tidak merasa sengsara. Aku sekeluargaku cukup makan, dapat bertukar pakaian, dan memiliki rumah sebagai tempat tinggal kami, dapat bekerja diladang setiap hari.”

“Kalau begitu engkau pasti berbahagia?” kata Si Kong sambil mengangguk-angguk.

“Aku tidak tahu, Akong. Apa sih bahagia itu? Yang jelas, aku tidak membutuhkan bahagia, asalkan keluargaku semua sehat dan tidak ada halangan sesuatu.”

“Paman tentu tidak mengenal kesusahan dan kekecewaan.”

“Ah, siapa bilang? Kalau ubi yang kupikul ini tidak laku, atau hanya laku sedikit saja, aku tentu kecewa dan susah. Kalau anak-anakku tidak menaati kata-kataku, akupun marah dan kesal. Aku masih bisa susah dan kecewa, Akong.”

Si Kong tertegun dan memandang wajah penuh keriput itu. Benar, orang ini masih mengenal susah dan kecewa. Kalau begitu, dia bukan orang yang berbahagia.

“Kalau begitu engkau juga tidak berbahagia seperti halnya diriku, paman.”

“Aku tidak tahu. Yang jelas, aku kadang-kadang merasa senang dan kadang-kadang juga merasa susah, kadang merasa puas dan sering merasa kecewa juga. Bukankah kehidupan ini terisi kesenangan dan kesusahan, Akong? Wah, matahari telah naik tinggi, aku tidak boleh kesiangan sampai dikota, karena ubiku tentu tidak akan laku lagi. Para tengkulak sudah pulang dan terpaksa ubi kujual murah, membuat aku merasa kecewa dan susah.” Kakek itu lalu memikul lagi ubinya dan pergi meninggalkan Si Kong.

Setelah kakek itu pergi, Si Kong termenung. Kakek itu bukan orang yang berbahagia, pikirnya. Lalu, apakah kebahagiaan itu. Baru sekarang timbul pertanyaan ini. Sayang dia dahulu tidak pernah membicarakan perihal bahagia ini dengan guru-gurunya. Sekarang dia menghadapi pertanyaan itu seperti menghadapi teka-teki. Dia sama sekali tidak tahu apa yang dimaksudkan bahagia itu dan kemana harus mencari bahagia.

Seperti juga Si Kong, semua orang di dunia ini mendambakan kebahagiaan, akan tetapi agaknya jarang ada orang yang menemukan kebahagiaan. Yang dirasakan orang hanyalah kesenangan, tidak dapat tidak kita pasti akan berhadapan dengan kesusahan pula. Senang dan susah, puas dan kecewa, gembira dan sedih, berhutang budi dan dendam, semua itu menjadi isi kehidupan, yang satu tidak terpisah jauh dari yang lain sehingga manusia dipermainkan oleh perasaannya sendiri. Kesenangan memang mudah dicari dan ditemukan, dan walaupun tidak dikehendaki, kesusahan menyusul kesenangan itu, silih berganti.

Apakah kebahagaiaan itu? Kemana mencarinya? Orang mencari kebahagiaan dengan berbagai cara. Melalui agama, melalui pertapaan dan penyiksaan diri, melalui pengetahuan, namun amatlah sukar menemukan orang yang sudah mendapatkan kebahagiaan yang dicari-cari itu. Tetap saja mereka menjadi permainan susah dan senang.

Kalau kita renungkan secara mendalam, kita dapat bersama-sama menyelidiki tentang kebahagiaan itu. Kebahagiaan berada di atas susah dan senang. Bahkan diwaktu mendapatkan kesusahan, kita masih berbahagia. Bahagia tidak disentuh dan tidak diubah oleh susah senang yang hanya lewat seperti lewatnya segumpal awan diangkasa yang cepat lewat dan lenyap. Kebahagiaan tidak mungkin dapat ditemukan dengan jalan mencarinya. Kebahagiaan tidak dapat dicari. Makin didambakan dan dicari, makin menjauhlah dia.

Daripada bersusah payah mencari kebahagiaan, lebih baik orang meneliti ketidak-bahagiaan. Ketidak-bahagiaan ini dapat terasa oleh setiap orang. Merasa tidak berbahagia. Kita lalu meneliti dan mengamati diri sendiri, apa yang menyebabkan kita tidak bahagia? Kalau sebab adanya ketidak-bahagiaan ini sudah tidak ada lagi, kita tidak membutuhkan bahagia. Kenapa? Karena kita sudah berbahagia! Berarti bahwa kebahagiaan itu sudah ada dan selalu ada dalam diri kita. Seperti halnya kesehatan.

Kesehatan itu sudah ada pada kita. Akan tetapi biasanya kita tidak merasakan adanya kesehatan ini, tidak dapat menikmati. Baru kalau kita jatuh sakit, kita mendambakan kesehatan. Demikian pula kebahagiaan. Selalu terutup oleh ulahnya nafsu, senang susah, sedih gembira, dan segala macam perasaan yang didorong oleh nafsu.

Karena kita menjadi budak nafsu kita sendiri, maka kebahagiaan itu tertutup dan tidak pernah dapat dirasakan. Yang dapat dirasakan hanya kesenangan dan kesenangan inipun ulah nafsu. Nafsu mendorong kita agar selalu mengejar kesenangan. Orang yang tidak lagi menjadi budak nafsu, melainkan menjadi majikan nafsu, mungkin sekali akan dapat merasakan kebahagiaan itu. Nafsu tidak lagi menyeret kita ke dalam perbuatan yang hanya mengejar kesenangan sehingga untuk mencapai kesenangan, kita halalkan segala macam cara.

Nafsu merupakan peserta hidup yang amat penting dan berguna, kalau saja kita yang mengendalikannya. Akan tetapi kalau nafsu menguasai kita, maka malapetakalah yang akan menimpa diri kita. Tanpa nafsu kita tidak akan dapat hidup di dunia ini. Nafsu yang mendorong kita untuk hidup layak sebagai manusia. Akan tetapi dengan nafsu menjadi majikan, kita akan hidup sesat. Nafsu bagaikan api. Kalau kita dapat menguasainya, maka api itu amat berguna bagi kehidupan kita. Akan tetapi kalau terjadi sebaliknya, api yang mengamuk menguasai kita, api itu akan membakar segala yang ada!

Lalu bagaimana caranya untuk menguasai dan mengendalikan nafsu yang demikian kuatnya? Diri kita sudah menjadi gudang nafsu, maka akan sia-sialah kalau kita berusaha untuk menundukkannya. Pikiran itu sendiri yang ingin menguasai nafsu, sudah bergelimang dengan nafsu. Juga ilmu pengetahuan tidak dapat dipergunakan untuk menguasai nafsu. Lalu bagaimana? Satu-satunya jalan untuk menguasai nafsu hanya MENYERAH kepada KEKUASAAN TUHAN! Hanya Tuhanlah yang dapat menundukkan nafsu. Siapa lagi yang dapat menundukkan nafsu selain YANG MAHA PENCIPTA? Kalau kita menyerahkan diri dengan penuh keimanan, tawakal dan kepasrahan yang ikhlas, maka kekuasaan Tuhan akan bekerja dalam diri kita!

Si Kong bangkit berdiri dan membawa buntalan pakaiannya dengan memanggul tongkat bambu. Dia melakukan perjalanan ke barat dengan melangkahkan kaki seenaknya karena dia tidak tergesa-gesa, bahkan tidak mempunyai tujuan.

Kembali dia teringat kepada Tan Kiok Nio, gadis jelita yang minta tolong kepadanya untuk mencari tahu dimana adanya seorang kakek berusia enampuluh tahun yang bermuka pucat dan berpakaian serba merah. Kakek itu telah membunuh orang tua Kiok Nio. Biarpun amat sukar mencari orang yang tidak diketahui dimana tempat tinggalnya, akan tetapi kalau kebetulan dia bertemu dengan kakek itu, tentu dia akan mengenalnya. Sukar dicari orang tua yang memakai pakaian serba merah!

**** 38 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar