Ads

Sabtu, 03 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 50

Hui Lan lalu menambatkan kendali kudanya pada sebatang pohon yang tumbuh disitu, lalu melangkah lebar hendak memasuki pintu gerbang itu. Akan tetapi lima orang penjaga itu menghadang di pintu gerbang bahkan seorang diantara mereka melintangkan tombaknya.

“Minggir, atau terpaksa aku akan menghajar kalian!” bentak Hui Lan.

Ketika penjaga yang memegang tomabak itu menghalanginya dengan tombak, Hui Lan dengan gerakan yang cepat merampas tombak itu dan sekali menggerakkan tangan, tombak itu meluncur dan menancap dibatang pohon, diatas kudanya. Tombak itu menancap sampai hampir tembus!

Lima orang itu terbelalak, akan tetapi mereka tidak menjadi gentar karena mereka mengira bahwa gadis ini sengaja datang untuk membikin kacau. Mereka menyambar golok dan pedang lalu mengepung Hui Lan.

“Nona tidak boleh melakukan kekerasan disini!” bentak pemimpin mereka.

“Begitukah? Kalau kalian ingin kuhajar, majulah!” tantang Hui Lan.

Lima orang itu lalu maju menyerang, akan tetapi tiba-tiba gadis itu hilang dari kepungan mereka dan tahu-tahu ada dua orang diantara mereka yang roboh tertotok dan tidak mampu bergerak kembali.

Tiga orang lainnya menjadi terkejut dan cepat menyerang, akan tetapi kembali mereka kehilangan gadis yang tadi berada di depan mereka, dan tahu-tahu mereka bertiga juga terpelanting roboh dan tidak mampu bergerak kembali!

“Hemm, hendak kulihat apa yang akan di lakukan paman Cia Kui Bu kepada kalian yang berani main kasar terhadap diriku!” setelah berkata demikian, Hui Lan meloncat memasuki rumah gedung itu sambil berteriak, “Paman Kui Bu, ini aku Hui Lan yang datang!”

Seorang pelayan wanita menyambutnya dan mata pelayan itu terbelalak heran.
“Bibi, aku adalah keponakan paman Cia Ku Bu. Cepat bawa aku kepadanya!”

“Tapi……tapi……kongcu sedang sakit, nona.’

“Sakit….? Sakit apa? Cepat antarkan aku kepadanya, bibi!”

Pelayan itu tidak berani membantah dan ia mendahului masuk ke dalam, diikuti oleh Hui Lan. Pelayan itu membuka pintu sebuah kamar yang luas dan ditengah kamar itu Hui Lan melihat Cia Kui Bu sedang rebah telentang dengan muka pucat.

“Paman Kui Bu…..! Aku Hui Lan’” berteriak dan ia lari menghampiri, dan duduk di tepi pembaringan itu.

Cia Kui Bu menggerakkan kepalanya menoleh dan begitu melihat Hui Lan dia menghela napas panjang.

“Hui Lan, aku….. aku sedang menderita luka berat……”

“Kenapa, paman? Coba kuperiksa!”

Kui Bu membuka kancing bajunya dan nampaklah oleh Hui Lan betapa didada pamannya itu ada tapak lima buah jari yang agak menghitam. Pukulan beracun! Untung bahwa pamannya sudah memiliki sinkang yang cukup kuat sehingga pukulan itu tidak menewaskannya, hanya melukainya saja. Akan tetapi kalau dibiarkan, luka itu dapat merenggut nyawanya.

“Engkau terkena pukulan beracun, paman, harus cepat di obati! Tenanglah, paman aku akan mengobati paman!” setelah berkata demikian, ia menoleh kepada pelayan wanita tadi. “Bibi, cepat ambilkan semangkok air yang telah masak, akan tetapi yang telah panas dan mendidih!” Pelayan itu segera pergi untuk memenuhi perintah gadis itu.

“Mulanya begini, Hui Lan…”

“Nanti saja, paman. Sekarang sebaiknya paman yang santai saja, mengatur pernapasan untuk memasukkan hawa murni, jangan keluarkan tenaga. Batu giok mustika obat ini dapat menghisap semua hawa beracun.”

“Hemm, milik ayahmu?”






“Benar, untung bahwa ayah memberikan ini kepadaku ketika aku hendak berangkat.”

Hui Lan mengeluarkan batu giok mestika itu dan menggosok-gosokannya keatas dada yang kehitaman sambil mengerahkan tenaga sinkangnya untuk menyedot. Tak lama kemudian pelayan datang membawa sepanci air mendidih dan sebuah mangkok. Hui Lan minta pelayan itu menuangkan air mendidih semangkok. Kemudian, setelah menggosok-gosok beberapa lamanya, warna kehitaman di dada makin menipis dan ia mencelupkan batu giok mestika ke dalam sisa air di panci.

Air itu seketika berubah warna menjadi kehitaman dan batu giok mestika itu menjadi bersih kembali. Ternyata hawa beracun yang di hisap batu mestika itu larut ke dalam air panas. Hui Lan mengulangi kembali usapan batu mestika itu sampai warna hitam menjadi bersih kembali.

Setelah membersihkan batu kemala mestika, Hui Lan lalu memasukkan batu itu kedalam air semangkok dan membiarkan air itu menjadi dingin. Setelah airnya dingin, ia membantu pamannya untuk minum air rendaman batu kemala mestika itu. Begitu habis diminum Kui Bu menjadi sehat kembali. Dia mencoba mengerahkan sinkangnya dan dia tidak merasakan sakit lagi!

“Ah, terima kasih, Hui Lan. Engkau telah menyelamatkan aku!”

“Kita harus bersyukur bahwa kita tidak terlambat, paman. Sekarang ceritakan apa yang telah terjadi.”

Sebelum Kui Bu bercerita, dari luar berlari lima orang anak buahnya yang tadi roboh tertotok oleh Hui Lan. Agaknya totokan mereka telah pudar kembali dan mereka kini memburu kedalam karena mengkhawatirkan majikan mereka kalau-kalau diganggu gadis yang lihai itu.

“Kalian mau apa?” Bentak Kui Bu.

Lima orang itu terheran dan juga terkejut bukan main melihat gadis itu duduk dekat majikan mereka yang kini telah sehat kembali. Mereka lalu menjatuhkan diri mereka berlutut.

“Maafkan kami, kongcu….. kami…… kami kira nona itu…. akan mengganggu kongcu…”

“Hemm, keponakanku ini mengganggu? Malah ia yang menyembuhkan aku”

Bukan main kagetnya lima orang penjaga itu. Mereka berlutut sambil berulang-ulang memberi hormat kepada Hui Lan dan pemimpin mereka berkata,

“Mohon pengampunan dari lihiap, karena kami tidak mengenal maka kami bersikap kurang hormat…”

“Apa? Kalian berani kurang ajar kepada keponakanku?”

“Ampun, kongcu. Sungguh mati karena tidak tahu, tadi kami hendak melarang lihiap ini masuk, akan tetapi kami semua ia robohkan….”

Kui Bu tertawa.
“Ha-ha-ha, biar kalian di tambah puluhan orang lagi, jangan harap dapat mencegah Hui lan masuk untuk menemuiku!” Setelah tertawa lagi Kui Bu lalu mengusir anak buahnya keluar dari situ.

“Maafkan mereka, Hui Lan. Mereka tidak pernah mengenalmu, maka berani melarangmu.”

“Tidak mengapa, paman. Mereka tidak kurang ajar, hanya hendak melarang aku masuk karena mereka curiga dan khawatir kalau-kalau aku ini datang sebagai musuhmu. Sekarang ceritakanlah, apa yang telah terjadi, paman?”

Cia Kui Bu lalu menceritakan pengalamannya. Seminggu lalu seorang wanita cantik datang berkunjung. Wanita itu mengatakan bahwa ia memiliki sepeti emas yang amat berharga dan hendak dikirimnya ke kota raja. Ia menghargai isi peti itu seribu tail emas!

Tentu saja Kui Bu terkejut sekali. Belum pernah ia menerima kiriman barang sebesar itu harganya. Akan tetapi wanita itu mendesaknya dan sangup membayar biaya pengiriman berapa saja yang diminta. Karena wanita itu berani membayar biaya pengiriman yang besar jumlahnya, yang besarnya belum tentu bisa di peroleh Ceng-liong piauw-kiok selama sebulan, Kui Bu menerima tugas itu dan dia sendiri yang mengawal peti berisi emas itu.

Dia dibantu oleh lima orang piauw su (pengawal) yang tangguh dan cukup lumayan ilmu silatnya. Peti itu dimuat dalam sebuah kereta yang di tarik dua ekor kuda. Kusir yang mengendalikan dua ekor kuda itupun seorang piauwsu yang sudah berpengalaman. Diatas kereta itu berkibar bendera tanda Ceng-liong piauw kiok, yaitu gambar seekor naga hijau. Cia Kui Bu juga mengenakan pakaian piauwsu yang serba hijau dan nampak gagah sekali.

Perjalanan dari Pao-ting ke kota raja merupakan jarak yang biarpun agak jauh, akan tetapi termasuk dekat bagi para piauwsu yang biasa mengawal barang kiriman sampai lebih jauh lagi. Dan selama ini perjalanan dari Pao-ting ke kota raja aman saja, belum pernah ada yang berani mengganggu.

Setelah melakukan perjalanan sehari lamanya tanpa ada gangguan mereka melewatkan malam di dekat bangunan terusan (kanal) yang terkenal itu, di sebuah kuil tua yang sudah tidak di pergunakan lagi. Memang biasanya rombongan Ceng-liong piauwkiok mempergunakan tempat ini untuk bermalam dalam perjalanan mereka dari Pao-ting ke kota raja. Kuil itu berada di dalam sebuah hutan yang tidak terlalu luas, namun menyimpang dari jalan besar.

“Malam itu terjadinya,” kata Kui Bu melanjutkan ceritanya yang di dengarkan dengan penuh perhatian oleh keponakannya. “seperti biasa kami membuat api unggun dan tidur secara bergiliran. Kami membuat api ungun dekat kereta dan aku lebih dulu tidur melepaskan lelah. Menjelang tengah malam, ketika udara amat dinginnya dan suasana amat sepinya, tiba-tiba terdengar teriakan kusir yang tidur di dalam kereta yang memuat peti emas itu. Kami semua terkejut, akupun bangun dan meloncat untuk melihat apa yang terjadi. Kusir kami telah terlempar keluar kereta dan kereta itu sendiri diseret beberapa orang pergi dari tempat itu!”

“Hemm, mereka tentu perampok!” kata Hui Lan.

“Memang benar, akan tetapi sudah bertahun-tahun kami sering lewat disitu, bahkan tanpa aku, tidak pernah ada yang berani mengganggu. Aku lalu melompat dan menghalangi mereka yang menarik kereta, akan tetapi tiba-tiba di depanku berdiri seorang kakek berusia enampuluhan lebih, memegang sebatang tongkat berujung kepala naga dan dia menyerangku dengan ganas. Kakek itu lihai sekali dan terpaksa aku memainkan Siang-bhok-kiamsut (Ilmu pedang kayu harum). Kami berkelahi sampai puluhan jurus dengan keadaan seimbang. Lima orang pembantuku sudah roboh oleh anak buah kakek itu. Akhirnya kakek itu mengeluarkan ilmu pukulan dengan tangan kirinya, cepat tidak terduga-duga datangnya dan mengenai dadaku. Aku roboh dan terluka dalam. Para pembantuku tidak ada yang tewas, hanya luka-luka ringan dan mereka menggotong aku pulang kesini.”

“Apakah kakek itu tidak meninggalkkan nama, paman?”

“Tidak, setelah aku dan para pembantuku roboh, dia segera melarikan diri. kereta dan peti emas itu telah lenyap dibawa mereka.”

Hui Lan mengerutka alisnya. Ia melihat betapa pamannya kelihatan berduka sekali.
“Apakah paman tidak dapat menduga siapa adanya kakek bertongkat kepala naga itu, paman?”

“Aku pernah mendengar bahwa dipantai timur terdapat seorang datuk yang lihai, bersenjata tongkat kepala naga dan juga memiliki Tok-ciang ( tangan beracun). Entah dia atau bukan orang itu. Akan tetapi yang menggelisahkan hatiku adalah wanita cantik itu. Tiga hari yang lalu ia datang dan setelah mendengar bahwa emasnya dirampok penjahat, lalu menuntut agar aku membayar kerugiannya sebanyak seribu tail emas! Dari mana aku dapat memperoleh uang sebanyak itu? Biar kujual habis semua perusahaanku berikut rumah-rumahnya, masih juga belum cukup untuk membayar emas sebanyak itu. Dan besok pagi adalah hari terakhir penentuan pembayaran. Aku khawatir sekali, Hui Lan.”

Hui Lan mengerutkan alisnya, berpikir. Gadis ini selain keras hati dan lincah, juga amat cerdik.

“Paman Kui Bu, ketika wanita itu mengirim peti berisi emas, apakah paman membuka peti itu dan melihat isinya?”

“Hemm, tidak. Untuk apa? Wanita itu juga melarang merusak peti itu. Ia sanggup membayar biaya pengiriman yang banyak sekali dan kami percaya kepadanya. Andaikata peti itu bukan berisi emas, lalu untuk apa ia mengirimnya dengan biaya semahal itu?”

“Memang nampaknya tidak mungkin akan tetapi ada suatu kemungkinan besar sekali, paman. Ia mengirim peti berisi barang tidak berharga, lalu terjadi perampokan dan ia minta ganti seribu tail emas! Hemm, aku terus terang saja menjadi curiga kepada pengirim barang itu, paman. Mungkin saja ia bersekutu dengan perampok dan mereka mengharapkan hasilnya, yaitu penggantian seribu tail emas itu!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar