Ads

Senin, 05 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 51

“Ahhh…!” Cia Kui Bu menepuk dahinya dan memandang kepada keponakannya penuh rasa kagum. “Tentu saja ada kemungkinan itu! Kenapa aku tidak pernah memikirkan sampai kesana? Akan tetapi karena aku tidak memeriksa isinya, tidak ada bukti bahwa peti itu bukan berisi emas.”

“Inilah kelicikan mereka. Kalau mereka merampas emas, tentu akan terus dicari sebagai penjahat perampok. Akan tetapi kalau menerima uang pengganti kerugian, pendapatan mereka itu sah dan tidak melanggar hukum.”

“Hemm, aku akan mencari kakek itu kepulau tembaga di lautan timur. Kalau memang benar kakek itu datuk di timur yang berjuluk Tung-hai Liong-ong, aku akan merampasnya kembali!” kata Cia Kui Bu sambil mengepal tinju.

“Nanti dulu, paman. Kita harus menghadapi mereka satu demi satu. Kita hadapi wanita itu dulu, yang besok pagi akan datang menuntut kerugian. Seperti apakah wanita itu? Apa ciri-cirinya?”

“Ia seorang wanita cantik yang kelihatan masih muda, akan tetapi kurasa ia sudah berusia hampir empat puluh tahun. Ia pesolek, berpakaian mewah dan memegang sebuah kebutan. Dipunggungnya tergantung sebuah pedang.”

“Pakaiannya?”

“Pakaiannya mewah dan serba merah.”

“Hemm, lupakah paman akan seorang tokoh sesat yang berjuluk Ang-bi Mo-li (Iblis Betina Merah Cantik )? Agaknya tokoh itulah pengirim peti emas itu.”

Cia Kui Bu mengerutkan alisnya dan mengangguk-angguk.
“Akupun pernah mendengar tentang betina itu, akan tetapi ketika ia datang mengirim barang, sikapnya demikian halus dan sopan sehingga aku tidak menyangka buruk kepadanya.”

“Aku sendiripun belum pernah bertemu dengan Ang-bi Mo-li, maka kita tunggu saja kedatangannya besok. Biar aku yang berhadapan dengan dia, paman harap diam saja dan melihat gerak-geriknya. Aku akan memancing agar ia mengakui siapa dirinya.”

Setelah di obati Hui Lan dan mendengar pendapat gadis itu, kesehatan Cia Kui Bu pulih kembali. Dia menjadi bersemangat karena mendapat bantuan Hui Lan yang dia tahu memiliki ilmu kepandaian amat hebat. Dia pernah mendengar dari encinya, Cia Kui Hong, bahwa Hui Lan memiliki bakat yang baik sekali sehingga ia dapat mewarisi ilmu-ilmu andalan dari ayah ibunya. Bahkan menurut keterangan encinya, gadis ini telah mempelajari ilmu sihir pula dari ayahnya!

Malam itu Cia Kui Bu sudah sembuh betul dan diapun dapat makan minum dengan lahapnya. Dia makan sambil bercakap-cakap dengan Hui Lan, menanyakan kabar keselamatan enci dan ci-hunya ( kakak iparnya). Setelah selesai makan dia mengajak Hui Lan duduk di serambi depan sambil mengobrol.

“Aku merasa heran sekali melihat paman masih juga hidup menyendiri. Kenapa paman tidak menikah dan membentuk sebuah keluarga? Dengan demikian kehidupan paman akan menjadi tenang.”

Cia Kui Bu tersenyum.
“Banyak orang mengatakan demikian, Hui Lan. Akan tetapi kalau aku belum bertemu dengan calon jodohku yang cocok, bagaimana? Pula, seandainya saat ini aku sudah mempunyai isteri, bukankah aku akan menjadi lebih gelisah lagi memikirkan keselamatan mereka?”

“Setidaknya ada orang-orang yang membantu paman memecahkan setiap persoalan yang paman hadapi.“ kata gadis itu.

“Engkau benar juga, Hui Lan. Akan kupikirkan hal itu dan akan kucari jodohku yang cocok denganku.”

Setelah malam makin larut, Hui Lan berpamit kepada pamannya untuk mengaso dalam kamarnya. Ia tidur malam itu, akan tetapi setiap saat ia siap dan waspada, kalau-kalau malam itu ada orang yang akan mengganggu pamannya. Ia tahu bahwa pamannya cukup lihai, akan tetapi orang yang mengganggunya lebih lihai lagi.

Pagi itu suasana di Ceng-liong piauw-kiok terasa sunyi penuh ketegangan. Semua piauwsu berkumpul di serambi depan rumah besar itu. Jumlah mereka ada enambelas orang. Mereka semua memakai pakaian seragam piauwsu yang ringkas membawa senjata tajam golok atau pedang yang tergantung di pinggang, dan nampaknya seperti pasukan yang siap untuk berperang!

Ada yang berdiri dan termenung memandang keluar halaman, ada yang duduk bergerombol sambil bicara berbisik-bisik. Cia Kui Bu sendiri pagi-pagi telah mandi dan mengenakan pakaiannya yang serba hijau sehingga nampak gagah sekali. Tubuhnya telah sehat kembali dan dia merasa tubuhnya segar dan kuat. Hanya Hui Lan seorang yang tenang-tenang saja. Pagi-pagi gadis ini mandi, bertukar pakaian, lalu sarapan pagi bersama pamannya dan ia duduk di ruangan dalam, tidak senang berada diluar karena tentu ia akan menjadi sasaran pandang mata para piauwsu.






Pukul delapan pagi. Para piauwsu yang berkumpul di serambi depan tiba-tiba terbelalak dan mereka semua berdiri memandang wanita yang tahu-tahu muncul di halaman rumah itu.

Seperti hantu saja datangnya wanita itu karena tidak ketahuan. Akan tetapi kalaupun ia hantu, maka hantu yang cantik sekali. Wajahnya dibedaki tipis dan terhias gincu pada bibir dan pipinya. Rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas dan dihias dengan burung emas permata indah. Pakaiannya dari sutera beraneka warna, mewah akan tetapi ringkas dan warna merah yang paling menyolok diantara banyak warna itu. Di punggungnya nampak gagang pedang dan tangan kirinya memegang sebatang kebutan.

“Cia-piauwsu, keluarlah! Keluarlah untuk mempertanggung-jawabkan tanggunganmu!” terdengar wanita berseru dengan suaranya yang lantang.

Para piauwsu yang berada di serambi depan rumah sudah siap untuk berkelahi kalau disuruh majikan mereka. Akan tetapi, Cia Kui Bu tidak keluar dan yang keluar bahkan gadis cantik yang kemarin datang menjadi tamu majikan mereka, yaitu keponakan Cia Piauwsu. Hui Lan melangkah keluar dengan sikap tenang akan tetapi waspada dan sepasang mata yang tajam itu mencorong memandang kearah wanita cantik itu.

Melihat munculnya gadis yang jelita itu, wanita itu mengerutkan alisnya
“Siapa engkau? Suruh Cia Piauwsu keluar. Kalau ia tidak membayar ganti rugi barangku yang dibikin hilang, akan kuhancurkan semua yang berada disini, dan akan kulaporka kepada yang berwajib!”

“Apakah engkau yang berjuluk Ang-bi Mo-li?” Hui Lan bertanya dengan suaranya yang halus, namun mengandung wibawa besar.

Wanita itu nampak kaget.
“Tidak perlu namaku disebut dalam urusan ini. Cia Piauwsu telah sanggup mengantar emasku ke kota raja, akan tetapi dia mengatakan bahwa barang itu hilang dibawa perampok! Dia harus mengganti seharga seribu tail emas!”

“Barang itu memang dirampok, dan sedang diusahakan agar didapatkan kembali.”

“Omong kosong! Sampai kapan didapatkan? Aku sudah memberi waktu sampai hari ini dan tidak mau waktunya diulur lagi.”

“Hemm, benarkah engkau ini Ang-bi Mo-li?”

“Kalau benar mengapa, kalau tidak kenapa?” tantang wanita itu yang mulai menjadi marah kepada Hui Lan yang tetap bersikap tenang itu.

“Kalau engkau benar Ang-bi Mo-li, maka aku tidak merasa heran kalau barang itu dibawa lari perampok!” kata pula Hui Lan dan sinar matanya dengan tajam mengamati wanita itu.

“Apa maksudmu?”

“Barang itu sama sekali tidak berisi emas, mungkin hanya berisi batu-batu saja.”

“Gila kau!”

“Tidak, aku hanya berkata sebenarnya. Engkau mengirim barang yang kau katakan emas, kemudian sekutumu mengadakan perampasan dijalan, lalu engkau datang minta uang pengganti. Begitu bukan?”

“Apa buktinya? Barang itu memang emas seribu tail!”

“Hemm, siapakah yang melihat bahwa barang itu emas? Engkau hanya membawa sebuah peti yang kau larang untuk diperiksa isinya. Hanya engkau yang mengatakan isinya emas, akan tetapi semua piauwsu disini tidak ada yang melihatnya! Dan siapakah sekutumu itu? Bukankah dia Tung-hai Liong-ong?” kata pula Hui Lan dengan nada suara mengejek.

Wajah wanita itu menjadi merah sekali karena marah.
“Omongan apa yang kau keluarkan ini? Aku pengirim barang yang dibikin hilang oleh Cia-piauwsu dan aku datang minta ganti. Bukankah itu sewajarnya?”

“Tentu sewajarnya kalau engkau bukan Ang-bi Mo-li yang sudah terkenal kelicikan dan kejahatannya.”

“Keparat! Bicaramu makin kurang ajar saja! Siapakah engkau?”

“Namaku Tang Hui Lan, keponakan dari Cia-piauwsu.”

Para piauwsu yang sudah mendengarkan semua itu, menjadi marah kepada Ang-bi Mo-li.

“Siocia, biarka kami yang menghajar penjahat dan penipu ini!”

Hui Lan tidak keburu mencegah karena belasan orang piauwsu itu telah menyerang dengan senjata mereka. Akan tetapi, nampak wanita itu menggerakkan kebutannya dan tubuhnya berloncatan dengan gesit sekali dan para piauwsu itupun roboh berpelantingan, golok dan pedang terlempar lepas dari tangan mereka. Dalam beberapa menit saja, belasan orang piauwsu itu telah roboh semua dengan tubuh terluka seperti diiris senjata tajam!

“Kalian mundur semua!” bentak Hui Lan dan iapun melompat kedepan wanita cantik itu sambil mencabut sepasang pedangnya. Itulah Hok-mo Siang-kiam (Sepasang pedang penakluk iblis), pemberian ibunya.

Melihat ini, Ang-bi Mo-li memandang tajam.
“Apakah engkau ini puteri Tang Hay dan Cia Kui Hong? Dan kakek nenekmu bernama Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin?”

Diam-diam Hui Lan terkejut. Wanita ini telah mengenal semua keluarganya. Sebuah pikiran menyelinap di hatinya. Kalau begitu, wanita ini membikin susah pamannya memang disengaja karena pamannya adalah adik dari ibunya!

“Kalau benar mengapa? Kalau tidak kenapa?” Hui Lan membalas seperti jawaban Ang-bi Mo-li ketika ditanya tadi.

Sepasang mata wanita itu seperti menyinarkan api.
“Bagus! Jadi engkau ini anak ketua Cin-ling-pai? Kalau begitu, hari ini engkau akan mampus di tanganku!” mendadak Ang-bi Mo-li mencabut pedang dari punggungnya dengan tangan kanan sehingga kini dia memegang dua senjata, pedang dan kebutan.

“Aku atau engkau yang akan mampus?” Hui Lan membalas menggertak.

Ang-bi Mo-li sudah demikian marahnya sehingga ia tidak mengeluarkan suara lagi, langsung menyerang dengan pedang dan kebutannya. Akan tetapi Hui Lan sama sekali tidak menjadi gentar dan iapun menggerakkan sepasang pedangnya untuk menangkis.

“Trang…..Cringg….!”

Keduanya melompat ke belakang untuk memeriksa pedang masing-masing karena pertemuan empat buah senjata itu membuat tangan mereka tergetar. Ang-bi Mo-li terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa gadis muda itu demikian lihainya, maka iapun menyerang lagi dengan pengerahan tenaga sepenuhnya dan mengeluarkan jurus-jurus terampuh dari ilmu silatnya.

Namun, sepasang pedang di tangan HuiLan telah berubah menjadi dua gulungan sinar yang menyilaukan mata dan sama sekali tidak dapat ditembus oleh pedang dan kebutan Ang-bi Mo-li. Sebaliknya, setiap kali gadis itu menyerang, sinar kilat mencuat dari gulungan sinar pedang, Ang-bi Mo-li menjadi terkejut dan nyaris terkena tusukan pedang. Mulailah ia terdesak ke belakang.

Cia Kui Bu yang sudah keluar sejak tadi, menonton pertandingan itu dengan hati kagum bukan main. Ang-bi Mo-li mungkin tidak selihai kakek bertongkat kepala naga, akan tetapi harus diakui bahwa gerakan wanita baju merah itu amat gesit. Akan tetapi, segera dia melihat betapa keponakannya mendesak terus.

Tiba-tiba Hui Lan mengeluarkan bentakan nyaring sekali dan dua sinar pedang mencuat dari dua gulungan sinar itu, dua batang pedangnya menyerang lawan dari dua jurusan.

“Heiiittt….kena….!”

Ang-bi Mo-li mencoba untuk memutar dua senjatanya dan mengelak, namun tetap saja ada sinar pedang menyambar pundak kirinya sehingga bajunya robek dan kulitnya terluka berdarah. Tiba-tiba wanita itu menggerakkan tangan membanting sesuatu.

“Darrr…..!” nampak asap hitam mengepul tebal.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar