Ads

Kamis, 13 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 75

Kemanakah perginya Hay Hay dan Sarah? Ketika Hay Hay berhasil menarik tangan Sarah menyelinap dalam kegelapan, diapun bingung ke mana harus melarikan diri. Malam itu gelap sekali dan tidak mungkin mempergunakan ilmu berlari cepat di tempat penuh batu dan gelap itu, apalagi dia tidak mengenal daerah itu, ditambah dia harus melindungi wanita kulit putih.

"Sobat, kemana kita dapat pergi....!??"

Sarah juga merasa khawatir karena ia melihat guha banyak orang berlarian ke arah guha tadi dan terdengar mereka itu ribut-ribut. Kepergiannya telah diketahui orang dan tentu banyak orang akan mencarinya. Bagaimana penolongnya ini akan mampu menghadapi puluhan orang seperti itu?

"Sttt, mari nona!" kata Hay hay dan diapun sudah tahu kemana dia harus membawa wanita itu bersembunyi. Guha tempat berkabung, dimana tiga buah peti itu berjajar!

Para penjaga di guha itupun sudah meninggalkan tempat penjagaan mereka karena merekapun mendengar ribut-ribut itu dan mereka berlarian menuju ke guha tempat tawanan.
Yang tinggal di guha tempat berkabung tinggal keluarga tiga orang anggauta perampok yang tewas oleh peluru pestol Kapten Gansalo, terdiri dari isteri-isteri mereka dan anak-anak mereka. Tempat itu diterangi tiga buah lampu gantung dan lilin-lilin bernyala di atas meja sembahyang.

Tiba-tiba tiga buah lentera gantung itu padam! Dan berturut-turut, semua lilin di atas meja sembayang juga padam! Suasana menjadi gelap gulita dan sibuklah mereka yang berkabung. Ada yang cepat mencoba untuk menyalakan lilin dan lampu, ada pula yang menangis dan mereka semua merasa ketakutan karena padamnya semua lampu dan lilin merupakan hal yang aneh dan juga menakutkan, apalagi disitu terdapat tiga buah peti mati berisi mayat.

Sebagian besar orang menghubungkan kematian dengan iblis dan setan, menimbulkan perasaan ngeri, seram dan takut! Rasa takut seialu timbul karena tidak mengerti, tidak mengenal apa dan bagaimana kematian itu, juga kita tidak mengenal dan tidak tahu apa yang disebut setan dan iblis itu. Oleh karena keduanya merupakan hal yang asing dan tidak kita kenal, maka muncullah dugaan yang macam-macam, khayalan yang aneh-aneh dan timbullah rasa takut.

Membayangkan orang mati hidup kembaIi, kita merasa takut dan menghubungkannya dengan setan dan iblis, coba kita membayangkan seekor semut yang sudah mati hidup kembali, tidak ada diantara kita yang akan merasa takut, karena semut tidak merupakan ancaman bagi keselamatan kita. Berbeda dengan manusia mati yang hidup kembali, kita membayangkan betapa mayat hidup itu menjadi setan dan akan mencekik kita!

Tak seorangpun diantara para keluarga si mati yang berkabung disitu tahu betapa dalam kegelapan tadi ada dua sosok bayangan menyelinap masuk ke dalam guha, terus ke dalam dan lenyap dalam kegelapan guha sebelah dalam dimana terdapat empat buah ruangan kamar yang dipergunakan untuk menyimpan senjata alat berlatih silat di ruangan besar guha itu. Juga tidak ada yang tahu bahwa yang memadamkan lentera dan lilin tadi adalah Hay Hay.

Setelah lentera gantung dan semua lilin sudah dinyalakan kembali, para anggauta keluarga itu sibuk menyembahyangi tiga peti mati karena mereka takut kalau-kalau arwah tiga orang itu yang tadi penasaran dan "mengamuk", memadamkan semua penerangan.

Asap hio yang mereka pergunakan untuk sembahyang memenuhi tempat itu, membentuk tirai asap putih yang hanya perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit keluar dari guha.

Tiba-tiba semua orang, ada belasan orang keluarga tiga orang yang mati, terkejut dan cepat mereka menjatuhkan diri berlutut ketika terdengar suara di belakang tiga buah peti mati itu. Suara itu besar dan dalam, bergema dan terdengar oleh mereka seperti bukan suara manusia!

"Kalian semua keluarlah..... , keluarlah.... kami ingin tenang.... keluarlah atau kami akan mengajak kalian mati....!!"

Dapat dibayangkan betapa kaget dan takutnya semua orang yang berada disitu. Biarpun tiga buah peti mati itu berisi jenazah kepala keluarga mereka, suami dan ayah mereka yang kematiannya mereka tangisi dan mereka kabungi, akan tetapi begitu ada suara dari si mati, merekapun menjadi ketakutan!

Memang aneh. Keluarga yang ditinggal akan menangisi kematian seseorang yang dicinta, berduka dan kecewa karena orang yang dikasihi meninggalkan mereka, akan tetapi begitu yang ditangisi itu, yang dianggap sudah mati, dapat bersuara atau hidup kembali, mereka yang berkabung itu akan lari cerai-berai ketakutan! Sambil menjerit-jerit, mereka yang berkabung itu berhamburan keluar dari dalam ruangan guha yang besar itu.






Sarah yang menyaksikan itu semua, tidak menahan suara tawanya. Baru setelah Hay Hay memberi isyarat, ia membungkam mulut sendiri dengan tangan, agar suara tidak keluar dari mulutnya. Gadis ini merasa geli bukan main melihat betapa Hay Hay mempermainkan mereka yang berada disitu sehingga mereka itu lari tunggang langgang, jatuh bangun dan mungkin juga ada yang sampai terkencing-kencing.

Setelah suara tawanya mereda, Sarah menjatuhkan diri duduk di dalam sebuah di antara kamar-kamar itu, bersandar kepada dinding batu. Lantai kamar itu kering dan bersih, dan di sudut terdapat rak senjata. Hay Hay juga duduk bersandar dinding, berhadapan dengan gadis itu, dalam jarak tiga meter.

Mereka saling pandang dan diam-diam keduanya saling mengagumi. Kini Hay Hay menanggalkan capingnya yang tergantung di punggung. Baru sekarang Sarah dapat melihat wajah penolongnya dengan jelas. Wajah yang cerah, tampan dan terhias senyum nakal. Hay Hay juga memandang kagum. Kiranya gadis ini nampak masih muda sekali, bahkan wajahnya masih kekanak-kanakan. Akan tetapi kalau dia teringat betapa tadi di dalam guha, gadis bule ini berani menentang seorang pemimpin perampok ganas, melawan mati-matian, bahkan ketika sudah bebas dari totokan, mampu menendang remuk hidung kepala perampok jangkung, sungguh dia merasa kagum sekali. Gadis ini benar-benar mempunyai watak seorang pendekar wanita!

"Kenapa engkau tertawa, Nona? Jangan keras-keras kalau tertawa, nanti terdengar mereka, kita bisa celaka," kata Hay Hay memancing bicara.

Dara itu tersenyum nakal dan jantung Hay Hay berdebar. Biarpun penerangan yang memasuki kamar itu tidak terlalu kuat, namun dia dapat melihat wajah itu dengan jelas. Ketika gadis itu tersenyum, nampak deretan gigi putih yang rapi dan amat kuat, dan senyum itu mengandung madu, begitu manisnya. Ada lesung pipi yang amat jelas dan lekuk dagu yang mempesonakan.

"Aku tidak takut karena disini ada engkau." kata Sarah. "Aku tahu siapa engkau."

Hay Hay terbelalak, memandang wajah cantik itu penuh selidik. Benarkah dara asing ini mengetahui siapa dia?

"Ehh? Engkau tahu siapa aku? Nah, katakan siapa aku."

"Engkau tentu seorang pendekar, ahli silat dan juga engkau seorang tukang sulap."

"Tukang sulap? Apa maksudmu?"

"Engkau tadi membuat si jahanam jangkung itu menari-nari dengan kedua pedangnya seperti orang gila, kemudian engkau dapat membawa aku keluar dari guha itu tanpa ada yang menghalangi, dan disini, engkau membuat semua orang tunggang langgang setelah dengan aneh engkau memadamkan semua penerangan dan lilin. Sobat, engkau telah menolongku, sungguh aku berhutang budi besar kepadamu. Siapakah namamu?"

"Sebut aku Hay Hay, dan engkau siapa, Nona? Bagaimana pula engkau sampai tertawan oleh para perampok itu?"

"Panjang ceritanya, akan tetapi apakah kita hanya akan membuang waktu dengan bercakap-cakap di tempat ini? Bukankah kita harus cepat-cepat meloloskan diri dari sini, Hay Hay?"

Hay Hay tersenyum. Dia semakin kagum dan suka kepada dara kulit putih ini. Demikian bebas terbuka dan ramah sehingga dengan akrabnya menyebut namanya begitu saja tanpa canggung-canggung, seolah-olah mereka telah lama sekali menjadi sahabat karib.

"Kita tidak mungkin pergi sekarang. Di luar gelap dan aku tidak mengenal jalan. Juga mereka akan menghadang. Jumlah mereka banyak. Besok aku akan mencari akal dan jangan khawatir, aku akan menyelamatkanmu bebas dari tempat ini."

Sarah menarik napas lega.
"Aku percaya pdamu, Hay Hay. Nah, namaku Sarah lengkapnya Sarah Armando. Ayahku adalah Kapten Armando, komandan benteng Portugis di Cang-cow."

“Ahh…….!”

"Engkau mengenal ayahku?"

"Tidak, aku bukan orang Cang-cow, aku hanya terkejut dan heran mendengar engkau puteri seorang komandan. Lalu bagaimana engkau dapat tertawan oleh para penjahat itu?"

"Aku marah kepada ayah……" kata Sarah dengan mulut cemberut.

Bibirnya yang merah segar itu meruncing dan nampak lucu bagi Hay Hay sehingga dia tertawa. Dara ini seperti seorag anak kecil yang merajuk saja.

"Hemm, Sarah, engkau marah kepada ayahmu kenapa lalu tertawan penjahat?"

"Ayah sudah berjanji untuk mengajak aku berkuda pagi tadi, akan tetapi dia berhalangan karena harus menghadiri pelaksanaan hukuman mati terhadap pemberontak. Ayah lalu menyuruh Kapten Gonsalo mewakilinya untuk mengantar aku berkuda di perbukitan. Kapten Gonsalo adalah wakil atau pembantu utama ayah. Hatiku jengkel sekali."

"Aih, kenapa begitu? Bukankah engkau sudah dapat pergi berkuda diantar oleh Kapten Gonsalo itu?"

"Ya, akan tetapi aku tidak suka kepada Kapten Gonsalo."

"Hemm, lalu apa yang terjadi?"

"Kami berkuda di perbukitan dan karena masih marah aku lalu membalapkan kuda ke perbukitan yang penuh hutan. Kapten Gonsalo hendak melarang, akan tetapi aku nekat dan diapun mengejarku. Setiba kami di tengah hutan, tiba-tiba muncul banyak perampok. Kapten Gonsalo menyerang mereka dengan pistolnya dan dia merobohkan tujuh orang perampok. Peluru pistolnya habis dan dia lalu mengamuk dengan pedangnya, dikeroyok banyak perampok."

Hay Hay mengangguk-angguk.
"Hebat juga Kapten Gonsalo itu, Sarah."

"Dia memang seorang jagoan. Jago tembak, jago bermain pedang dan jago tinju. Kapten muda berusia tiga puluhan tahun itu di benteng kami tidak ada yang berani melawannya."

"Hemm, dia gagah. Sungguh aneh engkau tidak menyukainya. Apakah dia kasar dan kurang ajar?"

"Dia tampan dan gagah, keras akan tetapi terhadap aku dia amat sopan. Adalah pandang matanya yang membuat aku tidak suka padanya."

"Pandang matanya?"

"Matanya itu kalau memandang kepadaku mengingatkan aku akan mata seekor srigala atau harimau kelaparan!"

Mendengar ini Hay Hay tertawa akan tetapi menahan suara tawanya agar jangan bergelak. Dia mengerti sekarang. Kiranya seorang kapten muda yang tampan dan gagah perkasa jatuh cinta kepada dara jelita ini, akan tetapi agaknya sang dara ini tidak membalas cintanya itu. Payah kalau cinta bertepuk tangan sebelah!

"Lalu bagaimana, Sarah? Teruskan ceritamu."

"Kapten Gonsalo mengarnuk, akan tetapi aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya dengan dia. Ketika aku bersiap-siap untuk membantunya dan mencabut pistolku, tiba-tiba saja ada orang menyerangku dari belakang dan tahu-tahu aku sudah tidak mampu menggerakkan kaki tanganku yang menjadi lemas dan lumpuh. Aku ditawan seorang laki-laki tinggi kurus dan aku dilarikan olehnya di atas kuda, dibawa ke sini dan dihadapkan pimpinan penjahat. Lalu aku ditawan di dalam guha itu sampai muncul si jahanam busuk jangkung itu. Oohh, betapa inginku menembakkan pistolku sampai habis peluruku ke dalam kepalanya!"

"Jadi, mayat-mayat dalam peti mati ini adalah korban peluru senjata api Kapten Gonsalo? Dan bagaimana dengan dia?"

"Benar, tujuh orang roboh oleh. tembakannya dan dia memang kuat, mungkin masih ada beberapa orang lagi roboh oleh pedang dan tinjunya. Mungkin tiga orang di antara mereka tewas. Aku sendiri tidak tahu bagaimana dengan nasib Kapten Gonsalo. Akan tetapi dia seorang yang kuat dan cerdik, kurasa tidak mudah bagi penjahat-penjahat itu untuk menangkapnya."






Tidak ada komentar:

Posting Komentar