Ads

Selasa, 18 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 84

Kini kedua orang itu, Liong Ki alias Sim Ki Liong, dan Liong Bi alias Cu Bi Hwa, bersikap hati-hati sekali. Mereka maklum bahwa mereka telah mendapatkan kedudukan yang baik sekali, dipercaya oleh Menteri Cang, seorang diantara semua menteri yang paling besar pengaruh dan kekuasaannya. Mereka berdua memang ingin sekali meningkatkan kedudukan mereka sampai yang paling tinggi, namun mereka berdua adalah orang-orang cerdik yang maklum bahwa sekali mereka salah langkah, bukan tingkat tertinggi yang mereka peroleh, melainkan kejatuhan yang akan amat menyakitkan.

Biarpun mereka telah bertekad untuk menjadi mantu Menteri Cang dengan merayu putera dan puteri pembesar itu, namun mereka berdua tidak terlalu mendesak. Mereka ingin agar Cang Sun dan adiknya, Cang Hui, dengan wajar jatuh cinta kepada mereka, walaupun tentu saja dibantu oleh kekuatan sihir mereka. Hal itu harus terjadi secara wajar dan perlahan-lahan agar tidak menimbulkan kecurigaan. Apalagi disitu terdapat Mayang.

Gadis ini agaknya memperlihatkan sikap curiga kepada mereka, dan nampak tidak senang kalau Liong Ki mendekati Cang Hui dan Liong Bi mendekati Cang Sun. Mereka harus berhati-hati, karena Mayang dapat saja menjadi penghalang terbesar bagi tercapainya cita-cita mereka. Karena mereka mengaku sebagai kakak-beradik, tentu saja persekutuan antara mereka itu menjadi lancar dan mudah. Tidak ada orang menaruh kecurigaan kalau mereka berada berduaan saja sehingga mudah bagi mereka untuk mengatur siasat dan merundingkan segala langkah mereka.

Biarpun bukan merupakan tokoh resmi, namun Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa yang kini dikenal sebagai Liong Bi adalah murid Pek-lian-kauw dan sudah banyak jasanya untuk perkumpulan pemberontakan itu. Oleh karena itu, di kotarajapun ia kadang mengadakan hubungan dengan mata-mata Pek-lian-kauw dan ia mendengar akan semua pergerakan Pek-lian-kauw, mendengar pula akan keadaan di Cang-cow dimana para pembesarnya bersekongkol dengan orang-orang Portugis, dengan para bajak laut Jepang dan tentu saja dengan Pek-lian-kauw.

Ia bahkan sudah mendengar pula bahwa seorang siucai tua bernama Yu Siucai, telah menulis pelaporan tentang persekutuan itu dan bermaksud menyerahkan pelaporan itu kepada kaisar di kotaraja. Menurut mata-mata Pek-lian-kauw itu, kini surat laporan Yu Siucai berada di tangan seorang pemuda dan mereka sedang membantu persekutuan Cang-cow untuk mencari pemuda itu dan sedapat mungkin merampas surat laporan itu sebelum terjatuh ke tangan kaisar.

Mendengar ini, Liong Bi segera berunding dengan Liong Ki. Mereka mengambil keputusan untuk bersikap waspada karena menurut keterangan mata-mata Pek-lian-kauw itu, orang yang merampas surat laporan mungkin sekali akan menyerahkan surat yang membuka rahasia persekutuan itu kepada Menteri Cang Ku Ceng atau Menteri Yang Ting Hoo.

Pada suatu hari, masih pagi sekali, Liong Ki dan Liong Bi sudah keluar dari istana Menteri Yang dan mereka pergi ke taman bunga yang luas di sebelah barat kotaraja. Taman bunga ini memang terbuka untuk umum. Mereka mencari tempat disini agar leluasa bicara dan mengatur siasat selanjutnya. Menteri Cang pagi sekali tadi sudah berangkat ke istana kaisar untuk menghadiri pertemuan antara para menteri yang menghadap kaisar untuk membicarakan segala permasalahan negara.

Mereka berdua duduk di bangku panjang di tepi kolam ikan. Tempat ini terbuka sehingga mereka akan melihat kalau ada orang lain mendekat dan percakapan mereka tidak akan dapat didengar orang lain. Juga disekitar situ ada tempat persembunyian yang rnemungkinkan orang lain mengintai dan mendengarkan secara sembunyi-sembunyi.

Liong Bi nampak murung dan begitu mereka duduk di atas bangku itu, ia segera berkata dengan wajah bersungut-sungut,

"Sialan! Ciang Sun agaknya malah makin tertarik kepada Mayang. Gadis itu sungguh merupakan penghalang besar bagi kita."

"Bersabarlah, Bi-moi. Kelak kalau ia sudah menjadi milikku, tentu ia akan mentaati semua perintahku."

"Hemmm, sampai kapan? Kita tidak berdaya. Ia kebal terhadap sihir, tidak terbujuk rayuanmu, lalu bagaimana? Ia malah menjadi berbahaya sekali. Menggunakan kekerasanpun tidak mudah karena ia cukup lihai. Ia menjadi ancaman bagi kita, sekarang sudah kelihatan curiga kepada kita, membuat kita tidak leluasa bergerak. Lihat, untuk berundingpun kita terpaksa menggunakan tempat ini, tidak berani di istana menteri. Tidak, Ki-ko, kita harus bertindak, kita harus menyingkirkannya." kata , Liong Bi.

Ia dan Liong Ki membiasakan diri untuk saling menyebut Bi-moi dan Ki-koko agar tidak kesalahan sebut kalau berada di depan orang lain. Sebutan itu kini telah akrab dan biarpun Su Bi Hwa lebih tua satu dua tahun, namun ia tidak merasa canggung disebut adik.

Sim Ki Liong atau Liong Ki mengerutkan alisnya mendengar ucapan itu,
"Singkirkan Mayang? Apa maksudmu?"

"Bunuh ia dan lenyapkan. Apa lagi?" jawab Liong Bi singkat.






Liong Ki terkejut dan mengerutkan alisnya. Dia bukanlah orang yang tidak biasa membunuh. Entah sudah berapa banyaknya nyawa orang tidak berdosa tewas di tangannya. Akan tetapi sekali ini, yang akan dibunuh adalah Mayang, dan dia harus mengakui bahwa dia telah jatuh cinta kepada gadis itu! Dia merasa tidak tega kalau sampai Mayang dibunuh.

"Gila kau!" desisnya. "Aku mencintanya!"

Liong Bi menggerakkan cuping hidungnya dan mencibirkan bibirnya.
"Cinta ? Huh, lelucon yang konyol! Kalau ia kehilangan kecantikanya, kemana larinya cintamu itu? Kalau ia menjadi penghalang kesenangan kita, bahkan mengancam kedudukan kita dan mungkin akan menghancurkan cita-cita kita, apakah engkau tetap akan mencintanya? Apa kau ingin mampus demi cintamu kepadanya ? Konyol dan tolol!"

Bagi seorang wanita seperti Liong Bi atau Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa, didalam kehidupan ini tidak ada cinta.Yang dikenalnya hanyalah cinta nafsu, kesenangan yang ditimbulkan karena hubungan antara manusia. Kalau nafsu berahinya terpuaskan, ia mengaku cinta. Kalau kebutuhan hidupnya dicukupi bahkan sampai berlebihan, ia mengaku cinta. Kalau hatinya disenangkan, ia mengaku cinta. Cintanya kepada seseorang tidak ada bedanya dengan sayangnya kepada sebuah benda mainan yang mengasyikkan dan menyenangkan hatinya.

"Jangan berkata demikian, Bi-moi. Engkau tahu, sudah banyak kualami bersama Mayang. Aku sudah terlanjur amat suka kepadanya. Sebelum aku berhasil memilikinya, bagaimana engkau dapat bicara tentang membunuhnya ?”

Sebetulnya, tidak banyak bedanya antara Ki Liong dan Bi Hwa ini. Sim Ki Liong atau Liong Ki juga mengukur cinta dari kesenangan dan kepentingan dirinya pribadi saja. Memang ada sesuatu pada diri Mayang, sesuatu yang amat menarik hatinya, yang membuat dia ingin berdekatan selalu dengan gadis itu, membuat dia ingin memiliki Mayang selama hidupnya. Bahkan untuk dapat memilikinya, dia tadinya rela untuk mengubah jalan hidupnya.

Akan tetapi semua itupun tidak terlepas dari pengaruh nafsu. Dia tergila-gila kepada Mayang karena ada sesuatu yang amat menarik hatinya dan yang dianggapnya amat indan. Untuk mendapatkan diri Mayang dia akan rela melakukan apapun. Akan tetapi itu bukanlah cinta. Itu hanya nafsu walau mencoba untuk mengenakan pakaian atau bentuk lain. Cinta semacam ini, kalau sampai berhasil memiliki orang yang dicintanya, maka cinta itu akan menipis seperti berkobarnya api yang menjadi padam dan hanya tinggal asapnya saja.

Nafsu dalam bentuk apapun juga memiliki sifat yang sama. Menggelora kalau sedang mengejar dan belum memiliki, belum terpuaskan. Akan tetapi sekali yang dikejar itu telah terdapat, maka akan timbul kebosanan kepada nafsu mendorong kita untuk mencari yang lain lagi, yang dianggapnya lebih menarik dan lebih baik. Dan demikian seterusnya, sekali kita menjadi hamba nafsu, maka kita akan selalu dicengkeram dan tidak berdaya. Kita dipermainkan nafsu sejak kanak-kanak yang asyik dengan mainan baru, namun begitu datang yang baru, maka yang lama menjadi tidak menarik lagi dan membosankan.

Nafsu menjadi pendorong bagi kita untuk mencari kepuasan dalam segala hal sehingga terjadilah kemajuan-kemajuan lahiriah, bertambahnya sarana kesejahteraan dan kesenangan lahiriah, namun nafsu pula yang menyeret kita untuk mundur dalam hal rohaniah.

Ketika Liong Bi hendak membantah lagi, tiba-tiba mereka mendengar suara ribut-ribut, tak jauh dari tempat mereka duduk, dan ketika mereka menengok, mereka melihat lima orang laki-laki yang melihat pakaiannya tentulah orang-orang muda yang kaya-raya, sedang ribut mengeluarkan kata-kata teguran yang nadanya keras dan marah kepada seorang hwesio berjubah kuning. Mereka berdua tertarik sekali dan mendekat.

Hwesio itu berusia sekitar enam puluh tahun, kepalanya gundul dan perutnya gendut sekali. Karena gemuknya maka dia kelihatan pendek. Yang aneh adalah warna kulit di bagian yang tidak tertutup jubah kuning, yaitu di bagian leher dari kedua tangan sampai di atas pergelangan. Kulit leher dan lengan itu nampak hitam kehijauan seperti baja! Mukanya yang bulat itu nampak lucu karena berseri dan mulutnya senyum-senyum sinis, akan tetapi matanya mencorong!

Hwesio itu tidak memperdulikan lima orang muda yang marah-marah, dan dia melanjutkan makan dengan lahapnya beberapa sayuran dari mangkok-mangkok besar yang berada di atas tanah, di depan dia bersila. Liong Ki dan Liong Bi melihat bahwa mangkok-mangkok itu berisi masakan dari daging, bahkan terdapat pula seguci besar arak disitu.

"Hwesio tua yang jahat, berani engkau mencuri hidangan kami?" teriak seorang diantara lima pemuda berpakaian mewah itu.

"Engkau ini seorang hwesio, akan tetapi makan daging dan minum arak yang kau rampas dari kami!" teriak orang ke dua.

"Orang tua tak tahu malu. Engkau ini pendeta atau perampok?"

"Hayo pergi dari sini dan tinggalkan makanan kami!"

Menghadapi kemarahan lima orang pemuda hartawan itu, hwesio tua itu senyum-senyum saja. Sambil mengunyah makanan dia menoleh dan memandang kepada mereka, sebelum menjawab, dia menuangkan arah dari guci ke mulutnya. Setelah tidak ada lagi makanan di mulutnya, barulah dia mejawab.

"Omitohud, kalian ini hartawan-hartawan muda macam apa? Sepantasnya kalian bersyukur bahwa makanan kalian dipilih oleh pinceng. Memberi makanan kepada seorang hwesio akan mendatangkan barkah yang berlipat ganda, kenapa kalian banyak rewel?"

Lima orang pemuda itu menjadi semakin marah. Mereka memberi isyarat kepada tiga orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun yang melihat pakaian dan sikap mereka, jelas bahwa mereka adalah jagoan-jagoan yang mengawal lima orang pemuda itu.

"Seret dia pergi dari sini!" perintah seorang diantara lima orang pemuda itu. "Pendeta tua itu perlu dihajar!"

Tiga orang jagoan itu bertubuh tinggi besar dan nampak kokoh kuat. Agaknya mereka merasa sungkan juga harus menangani seorang pendeta tua gendut. Bagaimanapun juga, biasanya para hwesio dihormati dan dimintai berkah, sekarang mereka harus menghajar seorang pendeta, tentu saja mereka merasa sungkan. Kalau mereka disuruh menghajar orang biasa, mereka tidak akan merasa sungkan. Maka, seorang diantara mereka yang mukanya kuning pucat menghampiri hwesio itu dengan sikap hormat dia berkata.

"Losuhu, harap Losuhu tidak menyusahkan kami dan suka pergi saja dari sini, jangan mengganggu para kongcu yang sedang bersenang-senang di taman ini.”

"Omitohud, kalian ini tiga orang anjing penjilat, kalianlah yang cepat pergi dari sini, jangan mengurangi selera makan pinceng." kata hwesio itu dengan senyum lebar dan suaranya mengandung ejekan.

"Losuhu, kami bersikap hormat akan tetapi engkau malah memaki kami. Jangan mengira kami takut menyeretmu keluar dari taman ini!" bentak jagoan kedua.

"Heh-heh-heh, kalau pinceng tidak mau pergi, kalian mau apa ?"

"Kami akan terpaksa menyeretmu pergi!" bentak si muka kuning yang sudah kehilangan kesabarannya.

"Ha-ha-ha, anjing-anjing yang gonggongnya nyaring tidak dapat menggigit!" hwesio itu tertawa dan melanjutkan makan minum dengan lahapnya.

Mendengar ini, tiga orang tukang pukul itu tentu saja menjadi semakin marah dan serentak mereka menerjang ke depan untuk menangkap dan menyeret hwesio yang sedang makan itu.

"Pergilah kalian anjing-anjing penjilat!" hwesio itu berkata dan dia membuat gerakan seperti menepiskan tangan kirinya ke arah tiga orang jagoan itu dan akibatnya membuat Liong Ki dan Liong Bi yang menonton dari jarak agak jauh terbelalak.

Tiga orang jagoan itu tiba-tiba saja terjengkang seperti dipukul atau didorong tangan yang tidak nampak. Mereka terbanting keras dah mengaduh-aduh karena tubuh mereka terus terguling-guling seperti diseret angin yang amat kuat.

Liong Ki dan Liong Bi, dua orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu melihat betapa debu dan daun kering berhamburan dan beterbangan seperti ditiup angin dan beberapa helai daun melayang ke arah mereka. Mereka mengebutkan tangan ke arah daun-daun itu dan alangkah kaget hati mereka ketika merasa betapa daun kering itu terasa berat dan keras seperti batu saja ketika mereka tangkis. Tiga orang jagoan itu babak belur dan mereka tidak bergulingan lagi, bangkit duduk dan dengan muka pucat dan mata terbelalak mereka memandang ke arah hwesio itu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar