Ads

Selasa, 18 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 85

"Hemm, kalian orang-orang muda kaya-raya sungguh tak tahu malu. Kalian bergelimang kemewahan, berpesta-pora di taman, di depan orang-orang yang kelaparan, sungguh bermuka tebal. Kalian perlu dicuci sampai bersih!" kata pula hwesio itu sambil tetap menyeringai dan kembali tangannya membuat gerakan seperti mendorong ke arah lima orang pemuda hartawan yang juga kelihatan kaget bukan main melihat tiga orang jagoan mereka roboh secara aneh.

Dan tiba-tiba mereka berlima mengeluarkan teriakan kaget karena tubuh mereka seperti disambar angin keras yang tidak dapat mereka lawan. Mereka terhuyung dan tanpa dapat dicegah lagi mereka berlima terlempar ke dalam kolam ikan. Terdengar suara berjebur lima kali dan air muncrat tinggi, ikan-ikan dalam kolam berenang ketakutan.

Liong Ki dan Liong Bi saling pandang. Wajah mereka berubah dan hati mereka tegang. Mereka berdua maklum bahwa mereka bertemu dengan seorang hwesio yang memiliki tingkat kepandaian amat tinggi. Hwesio itu tadi telah mendemonstrasikan tenaga sakti jarak jauh yang luar biasa sekali. Dalam hal itu, mereka berdua jelas tidak mampu menandinginya.

"Dia lawan yang amat berbahaya akan tetapi dapat menjadi kawan yang amat berguna." bisik Liong Ki dan wanita cantik itu mengangguk, mengerti apa yang dimaksudkan sekutu dan kekasihnya.

Mereka berdua lalu meghampiri hwesio yang kini sedang makan lagi seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu. Tiga orang jagoan itu kini sibuk menolong lima orang pemuda hartawan keluar dari dalam kolam dan mereka segera pergi bergegas meninggalkan taman itu. Juga mereka yang kebetulan berada di taman itu kini mulai bubaran setelah tadi ikut menjadi penonton.

Kini Liong Ki dan Liong Bi sudah tiba di depan hwesio itu dan mereka berdua segera memberi hormat.

Liong Ki berkata dengan sikap menghormat,
"Locianpwe, lima orang hartawan muda dan tiga orang jagoan mereka itu memang patut dihajar karena tidak menghormati seorang hwesio suci. Biarpun kami berdua bukan hartawan, namun kami dapat menghargai seorang pendeta dan kalau Locianpwe sudi menerimanya, kami mengundang Locianpwe untuk menikmati hidangan lezat di rumah makan Lok-an yang terkenal di kota raja ini."

Hwesio itu bukan lain adalah Hek Tok Siansu. Seperti telah kita ketahui, bersama mendiang Bak Tok Siansu, hwesio ini baru saja pulang dari See-thian (dunia barat atau India) setelah puluhan tahun mereka menimba ilmu dari sana. Ketika mereka melihat Ceng Hok Hwesio, ketua kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu pegunungan Heng-toan-san dalam keadaan sakit dan meninggal dunia dalam keadaan menderita, dan mereka mendengar cerita tentang Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu yang mereka anggap sebagai penyebab kesengsaraan Ceng Hok Hwesio, mereka marah sekali.

Ketua kuil Siauw-lim-si itu mereka anggap sebagai penyelamat mereka, yang menyadarkan mereka dari jalan sesat, bahkan yang kemudian mengirim mereka ke barat untuk memperdalam ilmu. Mereka segera mencari Siangkoan Ci Kang dan isterinya, Toan Hui Cu untuk menuntut pertanggungan jawab mereka. Namun, dalam pertandingan melawan Siangkoan Ci Kang, Ban Tok Siancu tewas walaupun dia mampu melukai Siangkoan Ci Kang.

Dapat dibayangkan kesedihan hati Hek Tok Siansu ketika rekan, sahabat dan saudara seperguruan yang selama puluhan tahun merantau ke barat bersamanya itu tewas. Dia membawa jenazah suhengnya itu ke kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu, memperabukan jenazah itu. Dia meninggalkan obat penawar racun kepada hwesio di kuil itu untuk diberikan kepada Siangkoan Ci Kang.

Tepat seperti dugaan keluarga Siangkoan Ci Kag, Hek Tok Siansu tidak rela membiarkan Siangkoan Ci Kang tewas begitu saja oleh pukulan beracun suhengnya. Dia ingin Siangkoan Ci Kang dan isterinya menebus dosa dan bertapa di kuil Siauw-lim-si sampai mati agar menenangkan roh penasaran dari mendiang Ceng Hok Hwesio! Dia sendiri segera pergi ke kotaraja setelah mendengar berita bahwa Tang Hay berada di kotaraja! Inilah yang menjadi tujuan utama ketika dia dan suhengnya kembali dari barat. Yaitu, mencari pemuda bernama Tang Hay!

Ketika Hek Tok Siansu dan suhengnya, mendiang Ban Tok Siansu, mengembara ke Tibet dan memperdalam ilmu mereka, kedua orang hwesio bekas penjahat besar ini mendapatkan saudara-saudara seperguruan yang kemudian menjadi pendeta-pendeta Lama.

Tiga orang pendeta Lama yag mengadakan pemberontakan terhadap Dalai Lama adalah saudara-saudara seperguruan mereka. Tiga orang Lama itu adalah Gunga Lama, Janghau Lama, dan Pat Hoa Lama. Hek Tok Siansu dan Ban Tok Siansu sendiri tidak ingin terlibat dalam pemberontakan itu. Namun ketika mereka mendengar betapa tiga orang saudara mereka ini tewas terbunuh, mereka menjadi marah dan mendendam.

Mereka sudah menyelidiki siapa pembunuh tiga orang pendeta Lama itu. Gunga Lama tewas di tangan Kim Mo Siankouw pertapa di Puncak Awan Kelabu pegunungan Ning-jing-san, sedangkan yang dua orang lagi, Jang-hau Lama dan Pat Hoa Lama, tewas di tangan seorang pemuda bernama Tang Hay!






Mereka segera mencari Kim Mo Siankouw. Pertapa wanita yang rambutnya keemasan ini tidak menyangkal ketika ditanya dan iapun melakukan perlawanan dengan gigih ketika dua orang pendeta beracun itu menyerangnya. Terjadi perkelahian mati-matian yang seru di puncak itu. Namun, karena dikeroyok dua, padahal masing-masing hwesio merupakan tandingan yang setingkat dengannya, akhirnya Kim Mo Siankouw roboh dan tewas!

Dua orang hwesio itu lalu melakukan perjalanan pulang ke timur untuk mencari musuh mereka yang kedua, yaitu pemuda bernama Tang Hay. Akan tetapi ketika mereka singgah di kuil Siauw-lim-si, mereka melihat keadaan dan kematian Ceng Hok Hwesio sehingga untuk sementara mereka menangguhkan usaha mereka mencari Tang Hay karena harus membalas kematian Ceng Hok Hwesio kepada Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu. Usaha balas dendam itu bahkan mengakibatkan tewasnya Ban Tok Siansu.

Kini Hek Tok Siansu berangkat sendiri ke kotaraja untuk mencari Tang Hay. Ketika tiba di kotaraja, hari itu dia pergi ke taman dan melihat lima orang pemuda hartawan hendak berpesta-pora di taman tanpa menghiraukan orang lain, bahkan tidak menawarkan kepadanya, diapun lalu mengambil makanan dan minuman yang sedianya akan dipakai pesta lima orang pemuda hartawan itu, tidak menghiraukan teriakan mereka, bahkan lalu makan minum dengan santai tanpa memperdulikan lagi kepada mereka sampai lima orang pemuda itu memanggil tukang pukul mereka.

Ketika Liong Ki dan Liong Bi muncul di depannya dan menawarkan makanan dan minuman di rumah makan, Hek Tok Siansu mengamati mereka berdua. Dia adalah seorang yang sudah kenyang makan garam dunia kangouw, pandang matanya tajam dan dia segera dapat mengenal orang pandai, walaupun pemuda dan wanita itu masih tergolong muda. Dia tersenyum karena sikap sopan dari Liong Ki menyenangkan hatinya.

"Ha-ha-ha, orang-orang muda yang baik. Untuk makanan lezat dan mahal, arak yang tua, perut pinceng tak pernah merasa kenyang dan mulut pinceng tak pernah merasa puas, ha-ha! Kalian adalah dua orang muda yang baik sekali, suka menghargai pendeta seperti pinceng, omitohud…..!”

Hek Tok Siansu bangkit berdiri dan meninggalkan sisa makanan dan araknya, mengikuti Liong Ki dan Liong Bi keluar dari taman itu tanpa menoleh lagi. Ketika lewat dekat lima orang pemuda hartawan yag sudah keluar dari dalam kolam dalam pakaian basah kuyup seperti lima ekor tikus baru saja dikeluarkan dari air, Liong Ki berkata kepada mereka.

"Jadikan pengalaman ini sebagai pelajaran agar kalian tidak bersikap sombong. Aku adalah perwira pasukan pengawal Cang Taijin, dan aku tidak akan tuntut kalian kalau kalian menghabiskan urusan itu sampai disini saja."

Mendengar bahwa pemuda itu perwira pasukan pengawal Menteri Cang, lima orang pemuda hartawan itu terkejut dan cepat mereka menjura dengan sikap hormat, bahkan mereka lalu menghormat ke arah Hek Tok Siansu sambil berkata,

"Mohon Thai-suhu mengampuni kami yang bersikap tidak sepantasnya."

"Omitohud, kalian memang sudah diampuni Sang Buddha. Kalau tidak, apa kalian kira kalian dapat keluar dari empang dengan masih bernyawa?"

Dia tertawa dan mengikuti Liong Ki dan Liong Bi keluar dari taman. Lima orang hartawan muda dan tiga orang jagoannya tertegun, tidak mengerti apa yang dimaksudkan pendeta gendut itu. Akan tetapi Liong Ki dan Liong Bi mengerti. Tentu hwesio yang amat lihai ini hendak mengatakan bahwa kalau dia menghendaki, tentu lima orang pemuda hartawan itu tadi terlempar ke kolam ikan dalam keadaan tidak bernyawa lagi!

Hek Tok Siansu memang seorang yang aneh sekali wataknya. Dahulu, puluhan tahun yang lalu, bersama mendian Ban Tok Siansu, dia hanya seorang tokoh sesat yang biasa saja. Seorang yang sepenuhnya diperhamba nafsu, mengejar kesenangan dengan cara apa saja. Tidak ada pantangan baginya dan dia dapat membunuh orang sambil tertawa.

Kemudian dia dan Ban Tok Siansu bertemu Ceng Hok Hwesio ketua kuil Siauw-lim-si dan bukan hanya kalah dalam ilmu silat menghadapi hwesio itu, akan tetapi mereka bahkan ditundukkan dengan budi pekerti dan disadarkan. Mereka bertaubat dan bahkan merelakan diri menjadi hwe-sio, kemudian dipimpin dalam hal keagamaan oleh Ceng Hok Hwesio.

Ketua Siauw-lim-si ini melihat ketekunan dua orang bekas penjahat itu setelah nienjadi hwesio dan dengan bekal pengetahuan agama yang mereka telah kuasai, mereka lalu dianjurkan pergi ke See-thian untuk mempelajari dan memperdalam ilmu keagamaan Budha.

Demikianlah, dua orang itu pergi ke Tibet dan India, berkelana di negara asing itu dan memperdalam pengetahuan agama mereka, juga dalam kesempatan itu mereka bertemu dengan banyak pendeta dan pertapa lihai, maka mereka lalu memperdalam ilmu silat mereka pula. Bukan hanya ilmu silat, juga ilmu sihir dan ilmu-ilmu tentang racun!

Dan dalam hal keagamaan pula mereka bergaul dengan golongan yang menyimpang daripada agama yang asli. Karena mempelajari bermacam ilmu inilah, maka Hek Tok Siansu menjadi seorang manusia yang aneh dan tidak wajar. Kadang dia bersikap seperti seorang pendeta yang saleh dan budiman, akan tetapi terkadang dia dapat bersikap ganas dan kejam seperti iblis. Kebaikan yang dikejar-kejar dapat menimbulkan kejahatan dalam pengejaran itu.

Hek Tok Siansu yang menganggap dirinya sudah berada di puncak, tidak perduli lagi akan baik buruk perbuatannya. Dia menganggap bahwa semua berbuatnya benar. Dia selalu menuruti dorongan batinnya yang berada dalam gelombang pertentangan yang tak kunjung henti antara keinginan mengejar kesenangan dan keinginan menjauhi kesenangan.

Kedua keinginan itu nampaknya berlawanan namun sesungguhnya masih merupakan nafsu yang sama. Nafsu selalu menghendaki agar keinginannya tercapai, dan betapa terselubungpun keadaan nafsu, diberi pakaian dan sebutan yang indah dan bersih, tetap saja tujuannya hanya demi kepentingan diri sendiri. Aku tidak perduli melakukan kejahatan karena aku ingin mendapatkan kesenangan dari hasil kejahatan itu. Aku harus melakukan kebaikan karena aku ingin mendapatkan kesenangan dari hasil kebaikan itu. Berlawanan namun tujuannya sama, yaitu ingin mendapatkan kesenangan dari perbuatan itu. Perbuatan itu tidak utuh, melainkan dijadikan alat atau cara untuk mencapai titik tujuan, yaitu kesenangan yang dikejar-kejar.

Nafsu selalu menyelinap ke dalam pamrih dan pamrih yang saling berlawanan antara manusia menimbulkan bentrokan. Pengejar hasil kebaikan yang satu bertabrakan dengan pengejar hasil kebaikan yang lain karena terjadi bentrokan pamrih. Agama yang satu bentrok dengan agama yang lain karena masing-masing pemeluknya, yaitu manusia, saling mempertahankan “kebaikan” berpamrih tadi.

Orang menyalahkan keadaan di luar diri, menyalahkan lingkungan, masyarakat yang dianggap sebagai penyebab penyelewengan dan kesesatan dirinya. Kita lupa bahwa lingkungan atau masyarakat dibentuk oleh keadaan pribadi-pribadi. Kalau hendak menyehatkan lingkungan, seharusnya menyehatkan pribadi. Kalau pribadi-pribadi sehat, lingkunganpun otomatis menjadi sehat.

Orang boleh bertapa mengasingkan diri ke tempat-tempat sunyi, menjauhkan diri dari keramaian, menyiksa diri dengan segala macam cara berusaha untuk mengendalikan dan meyalahkan nafsunya senndiri. Namun orang lupa bahwa perbuatan inipun merupakan suatu usaha yang mengandung pamrih, jadi masih dalam lingkaran setan, masih terdorong nafsu.

Selama ada dasar "aku ingin" tentu ada nafsu tersembunyi dalam bentuk "agar berhasil". Dan apapun hasil yang dikejar-kejar itu, dengan pakaian bersih, dengan istilah mulia seperti sorga, kedamaian, keheningan, keabadian, kesempurnaan dan lain-lain, tetap saja di dalamnya bersembunyi “kesenangan”. Karena sorga, kedamaian, keheningan, keabadian dan sebagainya itu dianggap enak dan menyenangkan maka, kita kejar-kejar dengan cara memaksa diri berbuat apa yang kita anggap sebagai kebaikan. Tidak pernah kita bertanya kepada diri sendiri : Andaikata sorga itu tidak menyenangkan, kedamaian dan sebagainya itu tidak enak, apakah kita masih melakukan kebaikan yang kita paksakan itu? Lalu untuk apa?

Kebaikan adalah suatu sifat, suatu keadaan yang wajar, bukan suatu perbuatan yang disengaja. Kalau kita sadar bahwa kita berbuat baik, maka disitu pasti terkandung suatu harap akan pahalanya, walau tersembunyi sekalipun.

Matahari merupakan kebutuhan mutlak semua mahluk, memberi kehidupan ketika melimpahkan cahayanya, namun dia tidak tahu apakah itu suatu perbuatan baik. Pohon-pohon memberikan bunga-bunga harum, buah-buahan segar, kayu dan kulitnya pun bermanfaat bagi serangga dan manusia, hewan-hewan seperti sapi, kuda, anjing dan sebagainya, semua melakukan "kebaikan" tanpa sengaja dan tidak mengharapkan imbalan.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar