Ads

Rabu, 03 Oktober 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 105

Pada saat yang amat gawat bagi keselamatan Kui Hong dan Hay Hay, tiba-tiba terdengar bentakan suara wanita yang nyaring,

"Adik Kui Hong, jangan khawatir, kami datang membantu!"

"Enci Bi Lian!"

Kui Hong girang bukan main melihat munculnya Bi Lian, apalagi gadis itu datang bersama Pek Han Siong! Suami isteri yang terpaksa saling berpisah selagi merayakan hari pernikahan itu kini menerjang dua orang tosu Pek-lian-kauw yang mengeroyok Kui Hong sehingga Kui Hong berhadapan sendiri satu lawan satu dengan Su Bi Hwa.

Wanita Pek-lian-kauw ini terbelalak ketakutan ketika muncul dua orang tangguh yang begitu menerjang membuat dua orang tosu Pek-lian-kauw terdorong, kebelakang. Ia sendiri harus menghadapi Cia Kui Hong yang amat marah dan benci kepadanya karena ia pernah mengacaukan Cin-ling-pai!

Ia tahu bahwa ketua Cin-ling-pai itu tidak akan mau mengampuninya, dan untuk melarikan diripun agaknya sia-sia saja. Ia tahu benar betapa ketua Cin-ling-pai ini memiliki ilmu meringankan tubuh yang hebat dan kemanapun ia lari, tentu akan dapat dikejar dan disusulnya dengan mudah. Oleh karena itu, iapun menggigit bibirnya dan dengan nekat ia lalu memutar pedangnya menyerang mati-matian mengeluarkan seruruh kepandaiannya. Jarum-jarum beracunnya sudah sejak tadi habis karena ketika ia mengeroyok tadi, ia masih melepaskan jarumnya terus-menerus sampai habis, namun gerakan Kui Hong memang luar biasa cepatnya sehingga semua serangan jarumnya tidak berhasil mengenai tubuh gadis itu.

"Su Bi Hwa, dosamu sudah bertumpuk! Bersiaplah untuk menghadap Malaikat Maut dan mempertanggung jawabkan semua dosamu!" seru Kui Hong dan iapun memainkan sepasang pedangnya dengan cepat, mendesak Su Bi Hwa yang memang sudah jerih sekali itu.

Karena maklum bahwa kalau sampai iblis betina itu mampu lolos lagi tentu hanya akan mendatangkan malapetaka bagi orang lain, maka Kui Hong tidak memberi kesempatan lagi dan dengan ilmu Pedang Penakluk Iblis, sepasang pedangnya berubah menjadi gulungan sinar bagaikan dua ekor naga sedang memperebutkan mustika. Dan mustika itu adalah tubuh Su Bi Hwa!

Wanita yang sudah ketakutan ini berusaha sedapat mungkin untuk melindungi tubuhnya dengan putaran pedangnya, namun terdengar Kui Hong membentak nyaring, sinar kedua pedangnya berkelebat dan Su Bi Hwa yang terdesak hebat itu meloncat tinggi ke'atas untuk menghindar. Namun, tubuh Kui Hong juga melompat tinggi dan ia menggerakkan sepasang pedangnya menyerang di udara. Su Bi Hwa berusaha menangkis, namun hanya sebatang pedang yang dapat ditangkisnya, sedangkan pedang di tangan kiri Kui Hong sudah membabat ke arah lehernya.

Tanpa dapat menjerit lagi Su Bi Hwa terbanting roboh ke atas tanah dengan mandi darah yang bercucuran keluar dari lehernya yang hampir putus. Ia tewas seketika. Kini Kui Hong melihat ke arah Hay Hay, Han Siong dan Bi Lian. Baik Han Siong maupun Bi Lian mampu mendesak dua orang tosu Pek-lian-kauw akan tetapi Hay Hay masih nampak terdesak oleh pengeroyokan Sim Ki Liong dan Hek Tok Siansu.

"Sim Ki Liong, bersiaplah untuk mampus!"

Kui Hong membentak dan dengan sepasang pedangnya iapun menerjang bekas murid pulau Teratai Merah itu. Ki Liong menyambut dengan nekat walaupun dia maklum bahwa kini keadaannya sudah berbalik sama sekali. Ketika tadi dia melihat munculnya Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian, wajahnya berubah pucat dan dia merasa jerih sekali.

Akan tetapi karena kedua orang itu bertanding melawan dua orang tosu Pek-lian-kauw, dan Su Bi Hwa mati-matian melawan Kui Hong, diapun berusaha untuk lebih dulu merobohkan Hay Hay bersama Hek Tok Siansu. Kalau Hay Hay sudah roboh, dengan bantuan Hek Tok Siansu, kiranya dia dan kawan-kawannya tidak perlu takut lagi. Akan tetapi, teryata amat sukar untuk merobohkan Hay Hay dan sebaliknya Su Bi Hwa malah roboh lebih dahulu. Dan kini Kui Hong menyerangnya, maka tidak ada jalan lain baginya keculi melawan mati-matian dengan nekat.

Kini terjadilah perkelahian satu lawan satu yang amat hebat. Sungguh merupakan pertandinga tingkat tinggi yang pasti akan ditonton oleh semua tokoh kangouw sekiranya mereka mengetahuinya. Sayang pertandingan yang demikian hebatnya tidak ada yang menyaksikan, terjadi di tempat yang sunyi, hanya disaksikan pohon-pohon dan batu-batu, dan sinar matahari.

Pertandingan antara Siangkoan Bi Lian dan Lian Hwa Cu terjadi amat serunya karena tingkat kepandaian mereka seimbang. Biarpun Bi Lian sudah mengeluarkan ilmunya yang paling. hebat, yaitu Kim-ke-kiamsut (Ilmu Pedang Ayam Emas) yang indah dan cepat, namun lawannya adalah seorang tokoh Pek-lian-kauw yang banyak pengalamannya.






Sebagai saudara seperguruan Pek-lian Sam-kwi (Tiga Setan Pek-lian) Lian Hwa Cu memiliki kepandaian tinggi dan dia memiliki ilmu pedang yang berbahaya karena dia memiliki ilmu andalan seperti halnya mendiang Kim Hwa Cu, suhengnya yang merupakan seorang diantara Pek-lian Sam-kwi.

Ilmu itu adalah penggunaan tenaga sakti yang membuat lengannya dapat mulur sampai hampir dua kali lengan biasa! Inilah yang sangat berbahaya dan ketika dia menggunakan ilmu itu, untuk pertama kali, Bi Lian terkejut dan hampir saja pundaknya terkena bacokan pedang lawan. Tentu saja ia tidak mengira sama sekali bahwa pedang yang tadinya menyerangnya dan sudah dapat ia elakkan itu, tiba-tiba meluncur terus membacok lehernya! Ia tidak pernah menduga bahwa tangan yang memegang pedang itu dapat menjadi panjang seperti itu.

Akan tetapi setelah ia mengetahui, kemudian dia dapat mengatasi keanehan ilmu itu dengan kecepatan gerakannya, bahkan beberapa kali, ketika lengan itu mulur, Bi Lian menyerang ke arah lengan untuk membuntunginya! Dengan demikian, dari keadaan menguntungkan bagi Lian Hwa Cu, lengan panjangnya itu sebaliknya malah merugikan.

Setelah ilmu yang diandalkan itu kini bahkan membahayakan dirinya sehingga dia tidak berani lagi mempergunakannya, mulailah Lian Hwa Cu terdesak oleh permainan pedang Siangkoan Bi Lian yang amat dahsyat. Beberapa kali Lian Hwa Cu yang pandai menggunakan sihir seperti para tosu Pek-lian-kauw pada umumnya, mencoba untuk menggunakan kekuatan sihirnya mempengaruhi Bi Lian. Namun setiap kali dia mengerahkan sihir untuk merobohkan lawan, sihirnya itu tidak hanya gagal tidak mampu menguasai Bi Lian, bahkan kekuatan sihirnya membalik dan menyerang dirinya sendiri. Setelah mencoba empat lima kali yang akibatnya bahkan hampir mencelakai dirinya, akhirnya dia tidak berani lagi mencobanya, mengira bahwa lawannya itu seorang yang kebal terhadap serangan sihir.

Tentu saja tidak demikian halnya. Biarpun ia lihai sekali, namun Bi Lian tidak kebal terhadap sihir, juga tidak pandai menggunakan ilmu sihir. Akan tetapi, semua serangan sihir Lian Hwa Cu ditolak oleh Pek Han Siong yang sengaja melawan Gin Hwa Cu, tosu Pek-lian-kauw yang matanya juling namun lihai bukan main, selalu mengawasi dan mendekati isterinya untuk melindunginya dari penyerangan sihir lawan.

Han Siong maklum bahwa orang-orang Pek-lian-kauw pandai sihir, maka biarpun dia tidak mengkhawatirkan isterinya kalau bertanding silat, namun dia tahu bahwa kalau lawan isterinya menggunakan sihir, isterinya akan terancam bahaya.

Gin Hwa Cu sendiri begitu tadi diserang Han Siong, dia mencoba kekuatan sihirnya kepada pendatang baru yang masih muda itu. Dan mengira bahwa dengan kekuatan sihirnya, dia akan dapat membuat pemuda itu tidak berdaya tanpa susah payah.

"Orang muda, pandang mataku!" bentaknya dan dengan pedang di tangan kanan, dia mengangkat kedua tangannya menatap sepasang mata Han Siong.

Pemuda ini mengangkat muka memandang dan dia melihat betapa sepasang mata lawannya itu memang tajam berpengaruh, akan tetapi juling sehingga nampak lucu. Biarpun Han Siong seorang pemuda pendiam, tenang dan halus, jarang berkelakar, namun melihat sepasang mata itu, diapun merasa geli juga. Sambil mengerahkan tenaga batinnya untuk menolak pengaruh sihir Gin Hwa Cu, diapun berkata, bukan main-main, melainkan sejujurnya.

"Sudah kupandang, matamu juling!"

Gin Hwa Cu terkejut, terheran dan marah bukan main. Pemuda itu tidak terpengaruh oleh perintahnya, tidak menjatuhkan diri berlutut, sebaliknya malah mengatakan matanya juling. Tidak mungkin ini, pikirnya. Dia mengerahkan seluruh kekuatan sihirnya, menggerakkan kedua tangan ke atas dan ke bawah, kemudian seperti ditimpakan ke arah Han Siong dan suaranya terdengar semakin galak.

"Kukatakan berlututlah! Haiiiittttt……phuahhh!"

Air ludah muncrat dari mulutnya yang dimoncongkan. Akan tetapi Han Siong tetap berdiri tegak, sama sekali tidak berlutut, hanya senyum-senyum dan bersikap tenang.

"Sudah selesaikah engkau bermain sulap, dukun lepus?" dia bertanya.

Wajah Gin Hwa Cu berubah pucat, lalu merah karena malu. Tahulah dia sekarang bahwa dengan sihirnya, dia tidak mampu mempengaruhi lawan muda itu. Maka diapun memutar pedangnya dan sambil mengeluarkan bentakan nyaring, diapun menerjang maju.

Han Siong mempergunakan Kwan-im-kiam dan setelah menyerang dengan pedangnya, tosu Pek-lian-kauw itu dengan kaget mendapat kenyataan bahwa dalam hal ilmu pedang, ternyata pemuda itu lebih lihai lagi! Dia telah menyerang bertubi-tubi, dengan marah dan setiap serangannya merupakan serangan maut, namun tak sebuahpun diantara hujan serangannya mengenai sasaran, bahkan beberapa kali pedangnya yang ditangkis lawan membalik dan hampir menyembelih lehernya sendiri!

Namun karena dia tidak melihat jalan keluar, dan kawan-kawannya juga masih sibuk bertanding sehingga dia tidak dapat mengharapkan bantuan, Gin Hwa Cu tidak mempunyai pilihan lain kecuali melawan mati-matian. Masih untung baginya bahwa perhatian lawannya agaknya terpecah untuk melindungi gadis cantik yang bertanding melawari sutenya, yaitu Lian Hwa Cu, maka sampai sekian lamanya dia masih dapat bertahan.

Pertandingan yang paling sengit dan mati-matian adalah antara Cia Kui Hong dan Sim Ki Liong. Akan tetapi yang paling dahsyat adalah pertandingan antara Hay Hay melawan Hek Tok Siansu. Sebetulnya, kakek ini meninggalkan barat dan kembali ke timur bersama Ban Tok Siansu untuk mencari ketenangan dan menghabiskan sisa hidup mereka di kampung halaman. Akan tetapi ternyata bukan ketenangan yang mereka peroleh. Begitu berkunjung ke kuil Siauw-lim-si untuk menemui penolong dan guru mereka, yaitu Ceng Hok Hwesio di pegunungan Heng-tuan-san, mereka sudah dibuat marah karena penderitaan penolong mereka itu, bahkan Ceng Hok Hwesio meninggal dunia dalam penderitaan, di rangkulannya .

Karena menganggap bahwa yang menjadi biang keladi penderitaan Ceng Hok Hwesio adalah Siongkoan Ci Kang dan isterinya, maka mereka berdua berusaha untuk membalaskan kematian Ceng Hok Hwesio. Akan tetapi, bukan suami isteri itu yang dapat mereka bunuh, sebaliknya Ban Tok Siansu tewas di tangan Siangkoan Ci Kang, pendekar yang tangan kirinya buntung itu!

Hek Tok Siansu tinggal seorang diri dengan hati penuh dendam, kepada keluarga Siangkoan Ci Kang, juga kepada Tang Hay karena pemuda itu dianggap sebagai pembunuh tiga orang pendeta Lama dari Tibet yang menjadi saudara seperguruannya.

Kini, Hek Tok Siansu sudah berhadapan dengan Tang Hay, satu lawan satu, maka kakek ini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya untuk membunuh pemuda yang dia tahu amat lihai itu.

Begitu pemuda itu harus ia hadapi sendiri karena Sim Ki Liong terpaksa meninggalkannya karena pemuda itu diserang oleh gadis yang amat lihai pula, dia segera berkemak-kemik membaca mantram, mengerahkan ilmu sihir yang dipelajarinya dari para pendeta Lama di Tibet. Kemudian, dia menyambar segenggam tanah, dikepalnya genggaman, ditiupnya tiga kali kemudian sambil memandang kepada Hay Hay dia berseru dengan suara yang menggetar penuh wibawa.

“Orang muda, lihat naga hitamku akan menelanmu!"

Dia melontarkan segenggam tanah ke atas dan………nampaklah seekor naga hitam yang mengerikan melayang di udara dengan moncong terbuka lebar seolah hendak menggigit dan menelan Hay Hay.

Kui Hong yang sedang bertanding melawan Ki Liong dan sudah mendesak pemuda itu, sempat terkejut bukan main melihat seekor naga hitam menyambar dan hendak menerkam ke arah Hay Hay.

"Hay-ko, awas………!” teriaknya dan karena perhatiannya terpecah, hampir saja pedang di tangan Ki Liong menusuk dadanya.

Gadis ini terpaksa melempar tubuhnya ke belakang untuk menghindarkan tusukan pedang lawan dan ketika Ki Liong mengejar dengan serangan bertubi-tubi, iapun bergulingan sambil menangkis.

Ki Liong melihat kesempatan baik untuk membunuh gadis yang penah membuatnya tergila-gila akan tetapi yang juga merupakan penyebab utama penyelewengannya kedalam kesesatan. Melihat gadis itu bergulingan, dia menyerang terus, tidak memberi kesempatan kepada Kui Hong untuk bangkit. Biarpun dia tahu bahwa tingkat kepandaian gadis itu lebih tinggi darinya, akan tetapi kini Kui Hong telah rebah di tanah dan tidak sempat bangkit, maka dia terus mendesaknya dengan bacokan bertubi-tubi, membuat Kui Hong bergulingan ke sana-sini sambil menangkis untuk menghindarkan diri dari maut.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar