Ads

Rabu, 28 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 98 ( TAMAT )

Ketika tiba di kota Ci-bun, Si Kong langsung saja menuju ke rumah Hartawan The Kun. Hari masih pagi, akan tetapi didepan rumah keluarga hartawan itu sudah menunggu banyak pengemis besar kecil laki perempuan. Setiap hari rumah itu pasti didatangi para pengemis yang minta sumbangan dan tak pernah mereka pergi dengan tangan kosong.

Melihat ini, Si Kong mengangguk-angguk dan tersenyum senang. Kalau semua hartawan di dunia ini bermurah hati seperti hartawan The Kun, akan berkuranglah kesengsaraan di dunia. Hartawan The Kun bahkan merupakan sumber kehidupan bagi banyak orang di waktu musim panen gagal. Dia membuka tangannya untuk memberi atau menyumbang, bahkan yang memerlukan sesuatu dapat meminjam darinya tanpa bunga.

Ketika Si Kong memasuki pekarangan, seorang tukang kebun yang sedang menyapu di pekarangan itu menyambutnya dan tukang kebun ini bertanya ramah.

“Kongcu mencari siapakah dan ada keperluan apa datang berkunjung?”

Si Kong tersenyum pula. Kalau majikannya murah hati, tak mungkin pembantu-pembantunya galak dan sombong. Tukang kebun inipun ramah dan hormat sekali.

“Maafkan kalau aku mengganggu, paman. Aku ingin bertemu dengan The-wan-gwe. Dapatkah paman melaporkan ke dalam?”

“Kalau kedatangan kongcu mengenai urusan sumbangan, sebaiknya kongcu menanti sebentar,” kata tukang kebun itu dengan sikap ramah dan halus.

“Ah, tidak, paman. Aku mempunyai urusan lain yang amat penting denganThe-wan-gwe.”

“Kalau begitu harap tunggu sebentar, biar kulaporkan ke dalam.” Tukang kebun itu melepaskan sapunya lalu melangkah memasuki rumah besar itu.

Tak lama kemudian tukang kebun itu sudah keluar bersama seorang kakek yang dikenal Si Kong sebagai The-wan-gwe. Si Kong segera memberi hormat kepada hartawan itu.

“Engkau siapakah orang muda dan ada keperluan apakah ingin bertemu dengan aku?” kakek itu memandang wajah Si Kong dengan penuh selidik.

Si Kong tersenyum.
“Apakah The-wan-gwe sudah lupa kepadaku? Aku pernah membantu membagi-bagi beras disini.” Si Kong mengingatkan dan hartawan itu segera teringat.

“Ah, kiranya engkau, Si Kong….! Aku, aku sudah tua dan menjadi pelupa. Mari masuk, kita bicara di dalam!” Hartawan itu menawarkan dengan sikap ramah sekali.

“Baik, loya (tuan tua) dan terima kasih.”

“Ha-ha-ha, engkau jangan menyebut loya kepadaku, cukup kau sebut paman saja. Bukankah manusia di dunia ini merupakan satu keluarga yang besar?”

Si Kong semakin kagum. Orang tua ini melaksanakan ujar-ujar dalam kehidupan sehari-hari. Banyak orang yang hafal akan ujar-ujar bijaksana itu dan dapat menirukan dengan suara lantang dan indah.

“Di empat penjuru lautan, semua orang adalah saudara!” dan ada pula ujar-ujar yang berbunyi, “Cintailah orang lain seperti kamu mencintai diri sendiri!”

Akan tetapi semua itu tinggal menjadi slogan belaka. Kalau dengan saudara sendiri saja sudah bertengkar, bagaimana dapat menganggap manusia di empat penjuru sebagai saudara? Kalau kepada saudara sendiri saja kita tidak dapat mengasihi, bagaimana mungkin mencintai orang lain? Akan tetapi The-wan-gwe agaknya melaksanakan segala pelajaran yang bijaksana itu dalam kehidupan sehari-hari. Dia, yang dulu pernah bekerja kepada hartawan itu, kini diterima sebagai anggota keluarga!

Setelah tiba di ruangan tamu, dengan sikap ramah Hartawan The mempersilakan Si Kong duduk. Mereka duduk berhadapan dan hartawan itu bertanya,

“Bantuan apakah yang dapat kami berikan kepadamu Si Kong?”

Si Kong tersenyum. Baru pertanyaan itu saja sudah menunjukkan sikap yang murah hati dari hartawan itu.

“Sebetulnya saya tidak mempunyai keperluan apapun dengan paman The, melainkan dengan nona Tan Kiok Nio. Akan tetapi rasanya tidak pantas kalau saya minta tolong kepada tukang kebun tadi untuk memanggilkan nona itu.”






Hartawan The tersenyum lebar.
“Kiok Nio? Dia berada didalam. Tentu akan merasa heran mendengar engkau berkunjung kepadanya.”

Untuk menghilangkan prasangka yang bukan-bukan Si Kong cepat berkata,
“Dalam pertemuan antara kami dahulu, nona Tan Kiok Nio minta kepadaku untuk menyelidiki tentang pembunuh ayahnya dan pencuri pedang pusaka milik ayahnya.”

“Ah, itukah? Dan engkau telah berhasil?”

Si Kong mengangguk dengan wajah berseri.

“Bagus!” kata hartawan itu. “Kiok Nio tentu akan senang sekali mendengarnya! Kau tunggu sebentar, aku akan memanggilnya untuk menemui engkau disini!”

Hartawan itu lalu masuk kedalam dan Si Kong menanti di atas kursinya. Tak lama dia menanti. Bunyi langkah kaki yang halus terdengar dan dia memandang ke arah pintu sebelah dalam. Muncullan Tan Kiok Nio, gadis yang cantik manis itu. Dengan pandang mata penuh harapan gadis itu menghampiri Si Kong. Pemuda ini segera bangkit untuk memberi hormat.

“Tan-siocia….,” katanya lembut.

“Ah, Si-taihiap. Engkau sudah datang? Dan bagaimana dengan pembunuh itu?”

“Harap nona suka duduk. Ceritanya agak panjang, akan tetapi aku telah berhasil menemukan pembunuh itu dan membawa pedang Pek-lui-kiam untuk dikembalikan kepadamu. Nah, terimalah pedang ini, nona Tan Kiok Nio.”

Si Kong menjulurkan tangan memberikan pedang itu. Melihat pedang itu, Tan Kiok Nio menerimanya lalu mendekap pedang itu dengan kedua mata basah. Akan tetapi ia tidak menangis dan menelan kembali tangisnya.

“Terima kasih, taihiap. Akan tetapi bagaimana ceritanya sampai engkau dapat menemukan kembali pedang ini dan bagaimana pula dengan pembunuh itu? Siapakah dia?”

“Pembunuh itu berjuluk Ang I Sianjin ketua Kui-jiauw-pang di Kui-liong-san. Akan tetapi dia telah tewas dan beruntung sekali aku dapat berhasil merampas pedang pusaka milik ayahmu ini. Ceritanya panjang, nona.”

“Ceritakanlah, taihiap!”

Si Kong lalu menceritakan pengalamannya sehingga Ang I Sianjin sampai tewas dan pedang itu dapat dirampasnya. Tentu saja dia hanya menceritakan garis besarnya saja yang ada hubungannya dengan Ang I Sianjin dan pedang Pek-lui-kiam.

“Demikianlah, nona.” Si Kong mengakhiri ceritanya. “Pedang Pek-lui-kiam yang diperebutkan orang itu akhirnya dapat kurampas kembali dan aku segera kesini untuk menyerahkannya kepadamu.”

Kiok Nio kini tidak dapat menahan keharuan hatinya. Ia mendekap pedang itu sambil menangis dan terdengar ia berkata seperti berdoa,

“Ayah…. Ibu….. tenang-tenanglah ayah ibu beristirahat dialam baka. Pembunuh ayah ibu telah terbalas, dan pedang Pek-lui-kiam telah dikembalikan kepadaku….”

Pada saat itu hartawan The memasuki ruangan tamu dan melihat keponakannya menangis sambil mendekap pedang, dia bertanya,

“Heii, pedang itukah milik ayahmu? Sekarang sudah kembali, mengapa engkau menangis, Kiok Nio?”

Kiok Nio menghapus air matanya.
“Aku…. aku terharu, paman. Pembunuh ayah ibu sudah dapat ditewaskan dan pedang ayah dapat dikembalikan!”

“Hemm, sepatutnya engkau bersyukur dan berterima kasih kepada Si Kong, bukan malah menangis.”

Kiok Nio kini memandang kepada Si Kong dengan mata kemerahan bekas tangisnya.
“Terima kasih, taihiap……” Dan ia menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Si Kong.

Pemuda itu terkejut dan cepat diapun berlutut.
“Jangan begini nona. Sebetulnya tanpa bantuan banyak pendekar lainnya, belum tentu aku akan dapat merampas pedang ini. Bangkitlah, nona.”

Kiok Nio bangkit dan Si Kong juga bangkit berdiri. Mereka berdiri berhadapan dan Kiok Nio berkata dengan suara gemetar,

“Taihiap, engkau terimalah pedang pusaka ini!”

Ia menyerahkan pedang dan dengan bingung Si Kong terpaksa menerimanya karena pedang itu dilepaskan dari pegangan Kiok Nio.

“Tapi, pusaka ini harus kembali kepada yang berhak, nona. Tidak dapat aku menerimanya! Yang berhak memiliki adalah engkau, nona.”

“Tidak, bukan aku yang berhak, melainkan engkau, Si-taihiap. Ketahuilah bahwa dulu pernah ayah memberi tahu kepadaku pemilik sesungguhnya dari pusaka ini adalah seorang sakti bernama Pek In Losian yang tinggal di Pulau Bayangan. Aku tidak berhak menyimpannya, dan karena engkau yang dapat merampasnya dari Ang I Sianjin, maka engkaulah yang berhak memilikinya. Sekali lagi terima kasih, taihiap. Sampai mati aku tidak akan melupakan budi kebaikanmu ini.”

Gadis itu terisak lalu berlari masuk. Si Kong masih memegang pedang itu dengan kedua tangannya dan termenung, tidak tahu apa yang harus dia lakukan.

“Ha-ha-ha!” The-wan-gwe tertawa. “Tidak tahukah engkau, Si Kong, mengapa Kiok Nio berlari masuk sambil menangis?”

“Saya….. saya tidak mengerti, paman.”

“Si Kong, berapakah usiamu sekarang ini?”

“Duapuluh satu atau duapuluh dua, paman. Mengapa?”

“Dan engkau belum terikat, maksudku belum menikah atau bertunangan?” tanya Hartawan The Kun tanpa menjawab pertanyaan pemuda itu.

“Belum,” Si Kong menggeleng kepalanya dengan bingung.

“Bagus sekali! Sudah cocok kalau begitu, Kiok Nio berusia sembilanbelas tahun dan iapun belum mempunyai calon suami. Si Kong, kami sekeluarga akan merasa berbahagia sekali kalau engkau dan Kiok Nio dapat menjadi jodoh masing-masing.”

Si Kong terbelalak.
“Ah, mana mungkin? Aku….. aku seorang yatim piatu…..”

“Sama dengan Kiok Nio. Dengar, Si Kong. Aku tidak mempunyai anak dan Kiok Nio sudah kami anggap anak sendiri. Aku sudah tua, malas berusaha. Kalau engkau menjadi suami Kiok Nio, kalian akan mewarisi seluruh hartaku dan engkau dapat melanjutkan usahaku.”

“Tapi……, tapi……”

“Tidak ada tapi, Si Kong. Kiok Nio pasti setuju. Ketika ia berlari masuk sambil menangis, aku sudah tahu. Karena itulah maka ia menyerahkan pedang pusaka ayahnya kepadamu. Anggaplah itu sebagai tanda pengikat perjodohan, ha-ha-ha!”

Hartawan The Kun tertawa girang sekali karena dia tidak melihat alasan bagi Si Kong untuk menolak perjodohan itu. Kiok Nio cantik sekali, berilmu tinggi, dan menjadi pewaris hartawan itu pula.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan kecewa hatinya ketika Si Kong berkata dengan suara tegas.

“Tidak, paman. Maafkanlah aku. Aku merasa amat terhormat sekali akan penawaranmu, akan tetapi, aku tidak dapat menerimanya. Aku sama sekali belum mempunyai keinginan untuk berjodoh. Aku masih hendak berkelana, aku mendengar keterangan nona Kiok Nio tadi, aku hendak mengembalikan pedang pusaka ini kepada yang berhak, yaitu pemiliknya yang berjuluk Pek In Losian di Pulau Bayangan itu.”

“Si Kong, jangan mengecewakan hatiku. Aku sungguh berharap engkau akan menerima tali perjodohan ini!”

“Maafkan kalau aku mengecewakan hatimu, paman. Akan tetapi perjodohan adalah urusan hati pribadi, tidak mungkin dapat dipaksakan. Selamat tinggal, paman!” Si Kong melangkah keluar dengan cepat.

Ketika dia tiba dipekarangan, ada sesuatu yang memaksa dia menoleh dan memandang ke atas. Dan disana, di jendela loteng yang menghadap ke pekarangan, dia melihat Kiok Nio memandang kepadanya dengan air mata mengalir dari kedua matanya. Ada rasa haru menusuk hatinya. Akan tetapi dia mengeraskan hatinya dan melanjutkan langkahnya, keluar dari pekarangan rumah Hartawan The Kun, terus keluar dari kota Ci-bun!

Setelah tiba diluar kota Ci-bun, dia merasa hatinya ringan dan bebas. Dia memang ingin bebas, tidak terikat. Dia ingin menjadi pengelana, menjelajahi banyak tempat, bertemu dengan pengalaman-pengalaman baru.

Sampai disini tamatlah kisah Si Pendekar Kelana dan kita bersua kembali di lain kisah pengalaman Si Pendekar Kelana Si Kong! semoga kisah ini ada manfaatnya bagi para pembaca.

TAMAT





Tidak ada komentar:

Posting Komentar