Ads

Rabu, 28 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 97

Mereka semua sudah bubaran. Para pasukan kerajaan, setelah menguburkan semua jenazah, lalu ditarik mundur dan kembali ke kota raja oleh Panglima Gui Tin dan juga Cang Hok Thian.

Percuma saja Cang Hok Thian yang amat terpesona oleh Bwe Hwa mencoba untuk membujuk Bwe Hwa agar mau ikut pulang bersamanya, dan ingin dia perkenalkan kepada ayah bundanya. Bwe Hwa menolak halus dan minta agar Cang Hok Thian meninggalkannya. Hok Thian terpaksa ikut Panglima Gui Tin pulang, didalam hatinya mengambil keputusan bahwa dia harus berjodoh dengan gadis itu atau tidak akan menikah dengan gadis lain.

Setelah semua orang pergi, Si Kong juga melakukan perjalanan seorang diri menuruni puncak. Akan tetapi baru tiba di lereng bawah puncak, gerakan dua orang telah membuat dia membalikkan tubuh dan ternyata yang mengejarnya adalah Pek Bwe Hwa dan Hui Lan!

Dia berhenti dengan jantung berdebar. Tadi dia telah berpamit dari dua orang gadis ini dan kini mereka mengejarnya. Apa yang mereka kehendaki? Hatinya menjadi tegang dan gelisah, akan tetapi dia menekan hatinya sehingga kelihatan tenang saja ketika dua orang gadis itu tiba di depannya.

“Lan-moi dan Hwa-moi, ada urusan apakah kalian mengejarku?” tanya Si Kong sambil memandang ke kiri. Tanpa disengaja, dia berhenti tak jauh dari makam Siangkoan Cu Yin ketika dua orang gadis itu menyusulnya!

Dua orang pendekar wanita itu adalah puteri-puteri para pendekar yang gagah perkasa dan keduanya mewarisi watak ibu mereka yang terkenal keras dan terbuka. Mendengar pertanyaan Si Kong, Hui Lan menjawab,

“Kong-ko, kami berdua mengejarmu karena hendak menanyakan sesuatu yang kami harap Kong-ko akan menjawab dengan sejujurnya dan terbuka, sesuai dengan watak kita yang menghargai kebenaran dan kejujuran!”

Debar jantung di dada Si Kong makin menggebu.
“Pertanyaan tentang apakah?”

Sekarang Bwe Hwa yang melangkah maju.
“Kong-ko, ketika engkau meninggalkan kami berdua dari guha dahulu, mengapa engkau meninggalkan sajak itu? Aku masih ingat bunyinya!” kata Bwe Hwa yang lalu membacakan sajak itu.

“Seekor burung gagak yang papa
tidak pantas berdekatan dengan
sepasang burung Hong yang mulia!
Seekor burung gagak yang papa
terbang naik ke angkasa
sendirian bermain di udara
bebas dan merdeka
tak terikat apapun juga!”

“Nah, mengapa engkau meninggalkan sajak itu dan meninggalkan kami tanpa pamit? Kong-ko, apakah engkau tidak menghargai perasaan kami terhadapmu?” Hui Lan bertanya secara terbuka sehingga wajah Si Kong berubah kemerahan.

“Engkau harus menjawab sejujurnya, Kong-ko. tidak perlu ada rahasia diantara kita, semua harus dijelaskan agar tidak terkandung pikiran buruk satu sama lain. Apakah kami berdua yang kau maksudkan dengan Sepasang Burung Hong itu dan engkau menganggap dirimu seekor burung gagak yang papa, yang tidak pantas berdekatan dengan kami?”

Si Kong harus menelan ludah berulang kali untuk menenteramkan hatinya yang berdebar gelisah menghadapi dua orang gadis yang bicara secara terbuka itu. Lebih gelisah daripada harus menghadapi dua ekor singa betina yang marah!






“Eh… hemmm……. aku…… terus terang saja aku telah mendengar percakapan kalian ketika aku habis mandi. Hatiku menjadi gelisah dan bingung. Aku merasa tidak berharga untuk kalian, merasa tidak pantas. Aku tidak ingin melihat kalian berduka atau kecewa, maka kupikir… sebaiknya aku meninggalkan kalian. Percayalah, Lan-moi dan Hwa-moi, tidak ada maksudku untuk membikin kalian berduka. Aku… aku merasa lebih baik menjauhkan diri, aku sungguh tidak berharga untuk kalian….”

“Kami tidak perlu menyembunyikan, Kong-ko, bahwa kami berdua kagum dan tertarik kepadamu. Karena itu buanglah keraguanmu bahwa pilihanmu akan membuat seorang diantara kami menderita kecewa atau berduka. Kami sudah saling menceritakan rahasia hati kami masing-masing dan kami berani menghadapi kenyataan dengan hati terbuka,” kata Hui Lan.

“Benar, Kong-ko. Andaikata engkau memilih Hui Lan, akupun tidak akan merasa sakit hati atau mendendam kepada kalian.” kata Bwe Hwa.

“Dan andaikata engkau memilih enci Bwe Hwa, akupun rela dan menganggap bahwa engkau bukan jodohku,” kata pula Hui Lan.

“Engkau boleh menganggap kami sebagai wanita tidak tahu malu membicarakan urusan cinta kami, akan tetapi kami sudah bersikap terbuka dan jujur, maka harap engkau terbuka dan jujur pula terhadap kami,” sambung Bwe Hwa.

Si Kong mengeluarkan keringat dingin. Tentu saja tidak sedikitpun terdapat pendapat bahwa dua orang gadis itu tidak tahu malu, bahkan dia kagum sekali terhadap keterbukaan mereka. Kalau didunia ini semua orang bersikap terbuka dan jujur, tentu dunia tidak seperti sekarang, penuh pertikaian dan kesalah pahaman.

“Aih, Lan-moi dan Hwa-moi, apakah yang harus aku katakan?” Si Kong menghela napas panjang dan sekali lagi dia menengok ke kiri, ke arah kuburan Cu Yin. “Kepada kalian aku merasa kagum dan hormat. Kalian bagiku merupakan pendekar-pendekar wanita yang gagah dan patut dikagumi selain berilmu tinggi juga berbudi luhur. Perasaan kalian terhadap diriku sungguh merupakan kehormatan yang berlebihan bagiku.”

“Tidak perlu berbelit-belit, Kong-ko!” kata Hui Lan. “katakan saja, siapakah diantara kami berdua yang kau cinta? Ataukah, engkau tidak mencinta kami berdua?”

Si Kong menggeleng kepala dan menghela napas lagi.
”Cintaku telah terbawa mati oleh Cu Yin yang sekarang bermakam disana. Kalian bagiku terlampau tinggi untukku. Aku hanya kagum dan hormat, dan terus terang saja, sayangku kepada kalian bukan seperti yang kalian duga. Maafkan keterus teranganku ini, akan tetapi sesungguhnya, tidak ada perasaan cinta asmara dalam hatiku.”

Dua orang gadis itu saling pandang dan wajah mereka menjadi agak pucat, akan tetapi lalu menjadi kemerahan kembali.

“Kong-ko, siapa itu Cu Yin?” tanya Hui Lan sambil menoleh dan memandang makam baru itu.

“Ya, siapa gadis yang telah mampu menjatuhkan hatimu itu, Kong-ko?” tanya Bwe Hwa penasaran.

Si Kong menghela napas.
“Sebelum ia tewas akupun tidak tahu bahwa aku mencintainya. Kasihan Cu Yin. Ia bukan berkedudukan tinggi seperti kalian. Ia hanyalah puteri Lam Tok yang tewas oleh anak panah ayahnya sendiri ketika ia berkorban untukku, menghadang anak-anak panah yang ditujukan kepadaku.”

Dua orang gadis itu menunduk, merasa terharu. Mereka adalah dua orang gadis perkasa yang gagah, maka keterus terangan Si Kong tidak membuat mereka menjadi sakit hati. Mereka menerimanya dengan wajar dan dapat menekan perasaan sendiri. Mereka maklum bahwa cinta asmara tidak mungkin terjadi sepihak saja, dan juga cinta tidak dapat dipaksakan. Mereka tidak marah, tidak sakit hati dan hanya pandangan mereka terhadap Si Kong berubah. Kini mereka melihat pemuda itu sebagai seorang sahabat yang mereka kagumi, tidak lagi mengharapkan balasan cinta darinya.

“Menyedihkan sekali….” Kata Hui Lan sambil memandang ke arah kuburan itu.

“Kasihan gadis itu….,” kata pula Hui Lan.

Sikap kedua orang gadis itu menerima keterus terangannya yang menolak cinta mereka membuat Si Kong semakin kagum kepada mereka. Demikian bijaksana. Pantas kalau mereka berdua merupakan dua orang gadis yang disebut pendekar yang berbudi luhur dan tidak mementingkan kesenangan diri sendiri.

“Nah, selamat tinggal, Lan-moi dan Hwa-moi. Aku hendak melanjutkan perjalanan untuk menyerahkan Pek-lui-kiam ini kepada yang berhak.”

“Selamat berpisah, Kong-ko,” kata Hui Lan.

“Selamat tinggal, Kong-ko,” kata Bwe Hwa dan kedua orang gadis itu lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu.

Mereka dapat menerima kenyataan yang betapa pahitpun dengan tabah dan gagah, tanpa penyesalan, melainkan penuh keikhlasan dan kemakluman.

Setelah dua orang gadis itu pergi, Si Kong menghela napas panjang. Dia telah berbohong dalam usahanya agar tidak membuat salah satu dari mereka kecewa dan menyesal. Kalau hanya seorang saja yang mencintanya, alangkah mudahnya baginya untuk jatuh cinta kepada seorang gadis seperti Hui Lan atau Bwe Hwa.

Akan tetapi dia maklum bahwa kalau dia memilih salah satu, yang lain akan merasa kecewa dan menyesal. Pula, dia melihat betapa buruk nasib Cu Yin, gadis yang mencintainya. Dia tidak ingin kalau kedua orang dara perkasa itu mengalami nasib buruk pula.

Dengan perlahan dia menghampiri makam Cu Yin, lalu duduk bersila di depan makam itu sampai hampir sejam lamanya. Setelah itu, dia lalu pergi menuruni gunung Kui-liong-san untuk melanjutkan perjalanannya menuju ke kota Ci-bun, dimana Tan Kiok Nio tinggal mondok dirumah pamannya, yaitu Hartawan The Kun.

**** 97 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar