Ads

Rabu, 28 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 96

Si Kong tidak berniat buruk terhadap Pai Ong. Bagaimanapun juga, datuk utara ini telah memperlihatkan bahwa dia tidak sudi menjadi pengkhianat seperti Toa Ok dan Tung-giam-ong. Biarpun dia disebut datuk besar dunia kangouw, akan tetapi dia masih memiliki kegagahan. Karena itu, Si Kong tidak ingin mencelakainya.

Melihat lawannya sudah terdesak, Si Kong mempercepat gerakan tongkatnya sehingga Pai Ong menjadi semakin bingung. Seolah-olah tongkat itu berubah menjadi banyak sekali, mengurung dirinya dari berbagai penjuru. Karena bingung menghadapi tongkat itu, Pai Ong menggerakkan sepasang goloknya, berniat untuk menggunting tongkat yang ampuh itu agar terpotong.

Suatu saat dia melihat bayangan tongkat itu dan secepat kilat sepasang goloknya menggunting dari atas ke bawah. Si Kong sengaja memperlambat gerakan tongkatnya sehingga tampaknya hampir terjepit sepasang golok. Pai Ong sudah merasa girang sekali, akan tetapi pada saat terakhir, tongkat itu hilang dan sepasang goloknya bertemu sendiri di udara.

“Traangg…..!!”

Pada saat itu, ujung tombak Si Kong bergerak dua kali menotok ke arah pergelangan tangan Pai Ong sehingga kedua tangan itu kehilangan kekuatannya dan sepasang golok itupun terlepas dari tangannya, jatuh ke atas tanah. Si Kong melompat mundur, memberi kesempatan kepada Pai Ong untuk memungut sepasang goloknya kembali.

Pai Ong terbelalak, mukanya berubah sedikit pucat. Dia harus mengakui kekalahannya, akan tetapi hatinya masih penasaran sekali. Harus diakuinya bahwa pemuda itu memiliki ilmu tongkat yang hebat, akan tetapi mungkin dalam perkelahian tangan kosong pemuda itu tidak akan mampu mengalahkannya. Untuk menebus rasa malu karena kalah dalam pertandingan menggunakan senjata, Pai Ong berkata tanpa memungut sepasang goloknya.

“Harus kuakui bahwa engkau memiliki ilmu tongkat yang luar biasa dan aku mengaku kalah dalam permainan senjata. Akan tetapi, aku baru mengakui kekalahanku kalau engkau mampu menandingi aku dalam pertandingan tangan kosong dan penggunaan sin-kang.”

Si Kong tersenyum maklum. Kakek tinggi besar itu dikenal sebagai seorang datuk besar. Tentu saja dia sukar mengakui kekalahannya terhadap seorang pemuda sepertinya. Dia dapat memaklumi hal ini dan sambil tersenyum dia menjawab,

“Kalau locianpwe mengajak bertanding dengan tangan kosong, akan kulayani, akan tetapi harap locianpwe suka mengalah dan tidak menjatuhkan tangan yang terlalu keras bagiku.”

Pai Ong memandang kagum. Pantas saja Lam Tok enggan bermusuhan dengan pemuda ini. Seorang pemuda yang luar biasa. Sudah jelas dapat mengalahkannya, akan tetapi tetap merendahkan diri.

“Engkau terlalu merendahkan diri, Si Kong. Mari kita uji kekuatan masing-masing.”

“Aku sudah siap, locainpwe,” kata Si Kong sambil membuang tongkatnya.

Dua orang itu saling berhadapan seperti dua ekor ayam jago hendak bertarung. Pai Ong mengerutkan alisnya dan bersungguh-sungguh karena dalam pertandingan ini dia harus mempertahankan kedudukannya sebagai datuk besar yang patut disegani semua orang.

Akan tetapi Si Kong kelihatan tenang-tenang saja dengan bibir tersenyum seolah dia sudah merasa pasti bahwa dia tidak akan kalah oleh lawannya. Sikap percaya diri ini ditanamkan mendiang Pendekar Sadis kepadanya bersama ilmu-ilmu yang dipelajarinya.

“Lihat serangan!” terdengar Pai Ong membentak karena dia melihat pemuda itu agaknya tidak mau mendahului menyerang.

Tubuhnya menerjang maju dan dia sudah mengirimkan pukulan yang mendatangkan hawa panas sekali. Inilah ilmu pukulan Hok-ciang (Tangan Api) yang mengandung sin-kang amat kuat. Si Kong mengenal pukulan ampuh, maka diapun mengelak dan selanjutnya memainkan Yan-cu Hui-kun (Silat Burung Walet Terbang) sehingga tubuhnya bergerak amat cepat. Dengan penuh penasaran Pai Ong melancarkan serangan bertubi-tubi, namun tidak satupun dari semua pukulannya mengenai sasaran.

Dengan seluruh tenaga dan kepandaiannya, Pai Ong menyerang dan agaknya tidak memberi kesempatan kepada Si Kong untuk membalas serangannya. Hebat memang kakek datuk utara ini. Serangannya sambung menyambung dan bertubi-tubi sehingga menggetarkan sekeliling tempat itu. Bahkan orang yang berdiri dalam jarak sepuluh meter dari tempat pertandingan itu, terpaksa mundur menjauh karena merasakan sambaran angin yang panas.






Si Kong sama sekali tidak mampu membalas. Setiap kali dia mengelak dari satu serangan lawan, maka serangan lain telah menyusul sebagai sambungan, seolah jurus-jurus itu telah dirangkai dan tiada putusnya. Diam-diam pemuda ini merasa kagum bukan main. Tingkat kepandaian datuk utara ini bahkan lebih unggul dibandingkan tingkat kepandaian Toa Ok. Andaikata pertandingan Pai Ong dan Lam Tok diadakan, tentu Pai Ong akan merupakan lawan tangguh dari Racun Selatan itu.

Hampir seratus jurus telah lewat dengan cepatnya dan belum juga ada pukulan Pai Ong yang mengenai tubuh Si Kong. Pai Ong sudah mulai lelah dan dia semakin penasaran. Pada suatu saat, tangan kanannya dengan telapak tangan terbuka menghantam ke arah dada Si Kong dan tangan kirinya mencengkeram ke arah pusar.

Si Kong yang tidak memiliki kesempatan untuk balas menyerang, menganggap sudah cukup dia memberi kesempatan kepada lawannya. Diapun lalu menggerakkan kedua tangannya menyambut dua serangan Pai Ong itu. Tangan kirinya dengan telapak tangan terbuka menyambut pukulan ke arah dadanya dan tangan kanannya mengibas kebawah untuk menyambut cengkeraman tangan kiri lawan.

“Plak! Plak!”

Dua pasang tangan bertemu di udara dan mata Pai Ong terbelalak. Dia merasa betapa kedua tangannya bertemu benda lunak yang langsung menghisap tenaga sin-kangnya. Tenaga sinkangnya membanjir keluar disedot telapak tangan yang lunak itu. Tentu saja dia terkejut setengah mati.

Dalam dunia persilatan hanya para hwesio Siauwlimpai yang sudah mencapai tingkat tertinggi dari ilmu mereka yang dapat menggunakan tenaga dalam untuk menyedot tenaga lawan. Akan tetapi dia teringat akan ilmu menyedot seperti itu yang pernah dimiliki mendiang Pendekar Sadis. Maka, tanpa disadarinya mulutnya mengeluarkan apa yang terasa di hatinya.

”Pendekar Sadis….?”

Si Kong yang tidak bermaksud mencelakai lawan memang sudah hendak melepaskan ilmu Thi-ki-i-beng, ketika mendengar disebutnya nama gurunya, lalu melepaskan kedua tangannya dan meloncat mundur ke belakang.

Pai Ong memejamkan mata dan menghirup hawa murni untuk memulihkan tenaganya, kemudian dia membuka matanya dan maklum bahwa kalau lawannya yang muda itu menghendaki, dengan mudah lawan akan mengirim pukulan maut selagi dia tidak berdaya tadi. Dia melangkah maju dan mengangkat kedua tangannya.

“Si-taihiap (Pendekar besar Si), aku Pai Ong Loa Thian Kun mengaku kalah dan dengan kekalahanku ini, engkaulah yang berhak memakai gelar Jago Silat Nomor Satu di dunia dan pedang pusaka Pek-lui-kiam memang pantas menjadi milikmu.”

Si Kong cepat membalas penghormatan kakek itu.
“Locianpwe, harap jangan bersikap seperti ini. Aku sama sekali tidak ingin disebut Jago Nomor Satu, dan akupun sama sekali tidak ingin memiliki Pek-lui-kiam untuk pribadi. Locainpwe telah mengalah kepadaku, aku berterima kasih sekali.”

Wajah Pai Ong menjadi kemerahan.
“Ahh, betapa bodohnya kami yang menyebut diri datuk besar persilatan, betapa sombongnya seperti katak dalam tempurung! Aku telah mendapat pelajaran yang amat berharga, orang muda. Mulai saat ini Loa Thian Kun hanya seorang biasa, tidak ada lagi Pai Ong. Selamat tinggal!”

Orang tua itu lalu melompat dan lenyap diantara pohon-pohon besar di bawah puncak. Si Kong menghela napas panjang dan diam-diam bersyukur bahwa mendiang gurunya telah mewariskan ilmu-ilmu yang dapat menundukkan orang-orang sakti seperti para datuk besar itu.

**** 96 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar