Ads

Senin, 26 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 95

Biarpun Toa Ok menyerang dan mendesak dengan pedang pusakanya, namun gerakan Si Kong terlampau gesit sehingga semua serangannya hanya mengenai tempat kosong saja. Makin cepat Toa Ok menyerang, semakin cepat pula Si Kong bergerak mengelak dan dia sudah menggunakan ilmu silat Yan-cu Hui-kun yang membuat tubuhnya seperti seekor burung walet saja gesitnya.

Setelah lewat lima puluh jurus sejak Toa Ok mencabut Pek-lui-kiam Si Kong mendapatkan kesempatan yang baik. Secepat kilat dia menangkap pergelangan tangan kanan lawan yang memegang pedang. Tangan kiri Toa Ok melakukan pukulan dengan sin-kang panas ke arah dada Si Kong dalam jarak dekat. Akan tetapi Si Kong menerima pukulan itu dengan dadanya.

“Bukk!”

Telapak tangan Toa Ok melekat pada dada Si Kong dan seketika hawa sin-kang membanjir keluar dari tangan kiri Toa Ok, tersedot oleh ilmu Thi-ki-i-beng!

Toa Ok terkejut bukan main, akan tetapi Si Kong sudah mengerahkan tenaganya dan menggunakan tangan kanan untuk merenggut pedang Pek-lui-kiam daru tangan kanan Toa Ok.

Karena Toa Ok sedang sibuk hendak melepaskan tangan kirinya, maka dia tidak dapat mempertahankan pedang itu yang dapat terampas oleh Si Kong. Dia menggereng marah dan menggerakkan tangan kirinya tanpa pengerahan sin-kang. Akan tetapi dia terlambat. Si Kong sudah memukulnya dengan jurus Hok-liong Sin-ciang dan pukulan itu tepat mengenai ulu hatinya.

”Dess….!!”

Tubuh Toa Ok terlempar seperti bola dan jatuh terbanting ke atas tanah tanpa bergerak lagi. Isi dadanya sudah remuk oleh pukulan yang amat hebat itu!

Pada saat yang hampir bersamaan, Hui Lan sudah merobohkan Sam Ok atau Ang I Sianjin dengan pedang hitamnya. Dada Ang I Sianjin tertusuk pedang dan diapun roboh dan tewas seketika. Setelah merobohkan Sam Ok, Hui Lan mengamuk dan robohlah Tio Gin Ciong dan Kui Hwa Cu, orang pertama dari See-thian Su-hiap.

Mendengar teriakan maut puteranya, Tung-giam-ong terkejut dan perhatiannya terpecah sehingga Lam Tok berhasil memukul dada datuk besar timur itu dengan tangan kirinya. Pukulan itu beracun dan hebat sekali sehingga tubuh Tung-giam-ong terjengkang keras dan diapun tewas seketika.

Dapat dibayangkan betapa paniknya Ji Ok yang masih dapat bertahan melawan Pai Ong. Akan tetapi karena hatinya sudah merasa takut melihat robohnya teman-temannya, terutama robohnya Toa Ok, dia main mundur dan mencari kesempatan untuk melarikan diri. Dia memutar pecutnya dengan cepat, membentuk perisai yang lebar menutupi tubuhnya dan tiba-tiba tangan kirinya bergerak ke depan.

Tiga batang paku beracun menyambar ke arah tubuh Pai Ong. Datuk utara ini cepat mengelak sambil meloncat ke kiri dan kesempatan itu di pergunakan oleh Ji Ok untuk melarikan diri. Akan tetapi baru lima langkah dia lari, Pai Ong menggerakkan tangan kirinya dan golok di tangan kirinya itu meluncur dan menancap di punggung Ji Ok sampai tembus ke dadanya dan Ji Ok roboh. Diapun tewas seketika.

Yang masih bertahan terhadap Bwe Hwa hanya Coa Leng Kun. Pemuda ini masih dapat bertahan karena dia dibantu oleh dua orang dari Bu-tek Ngo-sian yang lihai. Melihat betapa Bwe Hwa belum dapat merobohkan lawan yang mengeroyoknya, Hui Lan melompat dan membantu Bwe Hwa. Kini pertermpuran itu menjadi berat sebelah dan dengan mudah pedang Kwan-im-kiam di tangan Bwe Hwa menyambar dan melukai leher Coa Leng Kun.

Dua orang Bu-tek Ngo-sian itu, orang pertama Ciok Khi dan orang kedua Sia Leng Tek, menjadi gentar akan tetapi tidak ada kesempatan bagi mereka untuk melarikan diri sedangkan tiga orang adik mereka juga sudah terdesak oleh pengeroyokan banyak prajurit. Mereka berdua menjadi nekat melawan dua orang gadis perkasa itu. Akan tetapi karena hati mereka sudah gentar, permainan pedang mereka menjadi lemah dan hampir berbareng mereka roboh oleh tusukan pedang Hui Lan dan pedang Bwe Hwa.

Para anggauta Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai sudah banyak yang tewas melawan pasukan kerajaan yang tiga empat kali lebih banyak jumlahnya. Tiga orang dari See-thian Su-hiap dan tiga orang dari Bu-tek Ngo-sian masih bertahan, akan tetapi Si Kong, Hui Lan dan Bwe Hwa menerjang mereka dan dalam waktu singkat saja mereka semua sudah roboh dan tewa.

Apalagi karena Si Kong mempergunakan Pek-lui-kiam yang amat ampuh sehingga sepak terjangnya menggiriskan. Begitu sinar berkelebat, sudah ada seorang lawan yang tewas! Melihat ini, sisa anak buah Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai menjadi ketakutan dan mereka membuang senjata dan berlutut menyerah.






Panglima Gui Tin lalu menyuruh pasukannya untuk menangkapi mereka, kemudian dia memerintahkan pasukannya untuk mundur. Setelah memeriksa keadaan pasukannya, dia lalu memerintahkan pasukannya untuk bekerja, mengubur semua jenazah dan mengobati mereka yang terluka.

Sementara itu, Lam Tok berhadapan dengan Pai Ong. Mereka saling pandang dan Lam Tok yang lebih dulu berkata,

“Ha-ha-ha, kita berdua saja yang masih hidup diantara empat orang datuk besar. Apakah engkau masih ada hasrat untuk menjadi datuk paling lihai di kolong langit ini?” Pertanyaan ini mengandung tantangan.

Pai Ong tertawa pula,
“Ha-ha-ha, ucapanmu benar, Lam Tok! Karena kita berdua memilih pihak yang benar, tidak menuruti hasutan Toa Ok dan Tung-giam-ong yang bersekongkol dengan pemberontak, maka kita masih hidup. Ini berarti kita memilih pihak yang benar.”

“Tepat sekali, Pai Ong! Pek-lian-kauw selamanya memang membujuk dan menghasut para tokoh kangouw sehingga terseret ke dalam pemberontakan melawan pemerintah. Dan kalau seorang datuk masih dapat terbujuk omongan manis, dia tidak berhak menjadi seorang datuk yang berpendirian gagah perkasa dan bebas. Akan tetapi mengingat sekarang yang tinggal hidup hanyalah Pai Ong datuk dari utara dan aku Lam tok datuk selatan, lalu bagaimana pendapatmu?”

“Lam Tok, aku sudah merasa malas untuk memperebutkan sebutan Datuk Nomor Satu di Dunia. Kalau yang ada tinggal dua orang datuk saja, apa artinya mendapat sebutan Datuk Nomor Satu? Tidak kau boleh memakai sebutan Datuk Terlihai, aku tidak ingin merebutnya. Akan tetapi pedang pusaka Pek-lui-kiam, itulah yang dapat diperebutkan!”

“Tepat sekali! Mari kita bertanding untuk menentukan siapa yang lebih berhak memperoleh pedang pusaka Pek-lui-kiam!” kata LamTok.

“Bagus, aku setuju!” teriak Pai Ong. “Siapa pemilik Pek-lui-kiam biar tanpa sebutan apapun, menjadi bukti bahwa dia yang terlihai!”

Pada saat itu Si Kong melangkah maju menghampiri dua orang datuk yang saling tantang itu dan memberi hormat kepada mereka.

“Ji-wi locianpwe, pedang pusaka Pek-lui-kiam telah berada di tanganku.”

“Bagus, Si Kong. Serahkan pedang pusaka itu kepadaku. Sejak aku melihat betapa engkau mengubur jenazah puteriku, aku telah berubah pikiran dan membantumu menentang mereka yang menjadi musuh-musuhmu. Karena engkau tidak termasuk seorang datuk, maka serahkan pedang Pek-lui-kiam kepadaku!” kata Lam Tok yang kini mengerti mengapa puterinya dahulu jatuh cinta kepada pemuda perkasa ini.

Dia berterima kasih sekali ketika melihat Si Kong mengubur jenazah Cu Yin dan timbul rasa sukanya kepada pemuda ini

“Bukan diserahkan kepada Lam Tok. Itu kurang adil karena disini ada dua orang datuk yang masih hidup. Orang muda, serahkan pedang itu kepada siapa diantara kami yang menangkan pertandingan memperebutkan Pek-lui-kiam” kata Pai Ong.

Si Kong kembali memberi hormat kepada dua orang datuk itu. Kini pandangannya terhadap dua orang datuk itupun sudah berubah. Dua orang datuk itu tidak seperti yang lain, tidak tunduk terhadap pemberontak Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai, bahkan menentang mereka. Dia beranggapan bahwa dua orang datuk ini masih memiliki jiwa pahlawan dan berpendirian, walaupun mereka memiliki watak yang aneh dan menurut kehendak mereka sendiri.

“Ji-wi locianpwe, pedang pusaka ini adalah milik pendekar Tan Tiong Bu, karena itu tidak dapat dimiliki siapapun, harus kukembalikan kepada yang berhak.”

“Akan tetapi Tan Tiong Bu telah mati, terbunuh oleh Ang I Sianjin!” tegur Lam Tok.

“Benar, locianpwe. Akan tetapi dia masih mempunyai seorang anak perempuan dan kepada anaknya itulah pedang Pek-lui-kiam akan kuserahkan. Dara itulah yang berhak memiliki Pek-lui-kiam sebagai peninggalan ayahnya.”

“Ah, mana bisa begitu?” Pai Ong mencela. “Siapa yang terkuat dialah yang berhak memiliki Pek-lui-kiam. Karena itu kita bertiga akan membuktikan siapa yang terkuat dan siapa yang berhak memiliki Pek-lui-kiam!”

Akan tetapi Lam Tok menghela napas panjang dan berkata,
“Apa yang dikatakan Si Kong benar! Apa gunanya kita memperebutkan sebuah pusaka yang sesungguhnya menjadi hak milik seseorang? Memalukan saja! Apa engkau suka kalau disebut sebagai seorang pencuri? Aku tidak! Sudahlah, Si Kong, aku tidak akan memperebutkan pusaka Pek-lui-kiam itu. Dan engkau, Pai Ong, kalau engkau masih penasaran untuk memperebutkan kedudukan datuk nomor satu, kupersilakan engkau mendatangi tempat tinggalku di Lembah Sungai Heng-kiang. Selamat tinggal!” Setelah berkata demikian, Lam Tok meloncat jauh dan lenyap dibalik pohon-pohon.

“Bagaimana locianpwe? Apakah engkau tidak sependapat dengan locianpwe Lam Tok?” tanya Si Kong kepada Pai Ong.

“Tentu saja tidak. Sebelum aku dapat kau kalahkan dalam pertandingan, aku tidak rela engkau membawa pergi Pek-lui-kiam! Kalahkan aku dulu, baru engkau berhak menentukan apa yang akan kau lakukan dengan Pek-lui-kiam!”

“Sesungguhnya, locianpwe, aku sendiri tidak ingin memiliki pedang pusaka itu. Aku hanya hendak mempertahankan bahwa pusaka itu harus diserahkan kepada puteri pemiliknya, sebelum pusaka itu dibawa pergi oleh Ang I Sianjin.”

“Kalau begitu, mari kalahkan aku lebih dulu!” Kakek tinggi besar berkepala botak ini mencabut sepasang goloknya. “Akan tetapi engkau licik kalau engkau hendak menghadapi sepasang golokku dengan pedang pusaka itu.”

Si Kong tersenyum dan memungut sebatang kayu dari bawah pohon. Dia membuang ranting dan daun kering dari cabang kayu itu dan memegangnya sebagai tongkat.

“Pedang Pek-lui-kiam tidak akan kupergunakan untuk melawanmu, locianpwe. Cukup dengan sebatang kayu ini saja. Kalau aku kalah terhadap locianpwe, pedang Pek-lui-kiam akan kuserahkan.”

Pai Ong tersenyum dan wajahnya berseri.
“Aku tahu bahwa engkau seorang pemuda yang gagah perkasa dan dapat dipercaya. Marilah kita tentukan siapa diantara kita yang berhak membawa pergi Pek-lui-kiam. Mulailah, Si Kong.”

“Aku telah siap, locianpwe. Harus mulai lebih dulu.”

“Bagus, lihat golok!” Kakek tinggi besar itu sudah menggunakan sepasang goloknya untuk menyerang.

Serangannya memang dahsyat sekali karena dia menggunakan seluruh tenaga dan kecepatannya. Karena maklum bahwa lawannya, biarpun masih muda, memiliki ilmu silat yang tinggi, maka begitu menyerang dia telah mengeluarkan jurusnya yang paling ampuh.

Golok kanan membacok miring dari atas ke bawah ke arah leher Si Kong sedangkan golok kiri bergerak dari lain jurusan menyambar pinggang. Si Kong tidak berani memandang rendah lawannya yang dia tahu merupakan orang yang tingkat ilmu silatnya tidak berada dibawah tingkat mendiang Toa Ok.

Dengan ringan sekali Si Kong mengelak mundur sehingga serangan sepasang golok itu mengenai tempat kosong. Ketika datuk itu memutar goloknya untuk menyerang lagi, Si Kong mendahuluinya dengan serangan balasan. Tongkatnya tergetar ujungnya dan sekali bergerak seperti ular-ular mematuk, ujung tongkatnya sudah mengarah tujuh jalan darah di bagian depan tubuh Pai Ong.

“Hemmm…..!”

Pai Ong menggereng dan kedua goloknya sibuk menangkis totokan itu dengan pengerahan tenaga agar tongkat itu terpotong oleh goloknya. Namun biarpun ditangkis sepasang golok yang tajam, tongkat itu tidak terpotong melainkan terayun dan membuat gerakan melingkar menyerang lagi dengan totokan ke arah lambung kakek tinggi besar itu.

Pai Ong terkejut. Tak disangkanya pemuda itu dapat menggerakkan tongkatnya demikian cepat dan tidak terduga. Karena tidak sempat menangkis, dia meloncat kebelakang untuk menghindarkan diri dari serangan cepat itu. Kemudian, setelah memutar sepasang goloknya, dia menyerang lagi dengan dahsyat. Namun, gerakan tubuh Si Kong terlampau cepat baginya, juga amat aneh sehingga dia menjadi bingung.

Makin lama permainan tongkat Si Kong semakin banyak perubahannya yang sama sekali tidak tersangka-sangka sehingga setelah lewat lima puluh jurus kakek tinggi besar itu mulai terdesak.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar