Ads

Senin, 26 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 94

Sebelum Hui Lan atau Bwe Hwa menyambut tantangan datuk besar dari timur itu, dari arah kiri meloncat seorang laki-laki tua yang bertubuh sedang, berwajah tampan dan sikapnya gagah. Orang ini bukan lain adalah Lam Tok Siangkoan Lok, datuk dari selatan itu. Begitu muncul, dia langsung menghadapi Tung-giam-ong Tio Sun sambil tersenyum lebar.

“Tua bangka dari timur yang curang dan pengecut. Tentu engkau mengira bahwa aku sudah mati, bukan? Tidak, aku tidak mati sebelum mencabut nyawamu yang rendah itu!” Setelah berkata demikian, Lam Tok sudah mencabut pedangnya.

Tung-giam-ong Tio Sun memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat. Dia melihat Lam Tok seperti melihat setan, melihat orang yang sudah mati hidup kembali! Bagaimana mungkin Lam Tok masih hidup dan segar bugar setelah menerima cakaran-cakaran beracun dari cakar setan, menerima pukulan sinkangnya dan kemudian bahkan terjatuh ke dalam jurang yang teramat dalam?

“Kau….. kau masih… hidup?” kata-kata ini keluar dari mulutnya dan seperti bertanya kepada diri sendiri, matanya masih terbelalak dan mulutnya ternganga.

Akan tetapi diam-diam majikan Pulau Biruang itu telah mengerahkan tenaga Thai-yang Sin-ciang di tangan kirinya, siap untuk menyerang dengan pukulan jarak jauh.

“Hemm, andaikata aku sudah mati, aku akan hidup kembali hanya untuk mencabut nyawamu!” kata Lam Tok dan dia menggerakkan tangan kirinya.

Tiga batang anak panah meluncur seperti kilat menyambar ke arah tubuh Tung-giam-ong. Akan tetapi pada saat itu, Tung-giam-oang sudah siap siaga dan dia lalu memukulkan tangan kirinya ke depan. Hawa pukulan yang amat kuat menyambut tiga batang anak panah itu dan tiga batang anak panah beracun itu runtuh ke atas tanah.

Lam Tok menerjang ke depan, menggerakkan pedang di tangan kanan dan tangan kirinya siap melancarkan pukulan Jeng-kin-lat (Tangan Seribu Kati). Tung-giam-ong melihat serangan dahsyat dan berbahaya. Dia menggerakkan senjata tombak cagaknya menangkis sambil mengerahkan sinkangnya.

“Tringg…. cringgg……!!”

Dua senjata itu bertemu dua kali dan kedua orang datuk itu terhuyung mundur beberapa langkah. Akan tetapi Lam Tok sudah menerjang lagi dengan hebatnya. Dia menyerang dengan pedangnya, memainkan ilmu silat Lam-hai Sin-ciang yang bergelombang, dan tangan kirinya juga membentuk cakar garuda mengirim serangan bergantian dengan pedangnya. Tung-giam-ong terpaksa harus memutar tombak cagaknya melindungi dirinya.

“Tranggg……!”

Kembali pedang berdentang ketika bertemu dengan tombak cagak dan pada saat itu, tangan kiri Lam Tok menyambar ke arah dada lawannya. Bukan main hebatnya serangan tangan kiri ini karena menggunakan tenaga seribu kati dan tangan kiri yang ampuh itu mengandung racun yang berbahaya sekali. Maklum bahwa lawannya adalah seorang ahli racun yang lihai, Tung-giam-ong terpaksa menghindarkan diri dengan elakan ke kiri sambil menusukkan tombak cagaknya ke arah lambung Lam Tok

“Cringgg…….!”

Kembali kedua senjata saling bertemu dan bunga api berpijar. Keduanya kembali saling serang dengan hebatnya.

Sementara itu, ketika Ji Ok melihat betapa kakaknya mulai terdesak melawan Si Kong, dia lalu meloncat ke depan dengan maksud untuk mengeroyok. Toa Ok dan Ji Ok memang biasanya maju bersama dan pasangan ini merupakan lawan yang amat tangguh.

“He-he, tidak boleh main keroyokan! Engkau adalah lawanku, Ji Ok!” terdengar bentakan dari samping dan seorang kakek tinggi besar berkepala botak telah melompat dan menyambut Ji Ok dengan melintangkan sepasang goloknya di depan dada dan sikapnya menantang.

Ji Ok segera mengenal kakek ini yang bukan lain adalah Pai Ong Loa Thian Kun. Dia dijuluki Pai Ong (Raja Utara) karena semua orang kang-ouw diutara menganggap dia sebagai rajanya dunia kang-ouw.

“Pai Ong! Jangan mencampuri urusan kami!” Ji Ok membentak marah.

“Heh-he-heh! Engkau dan Toa Ok yang mengundang kami semua naik kesini. Sekarang aku sudah datang dan melihat ramai-ramai mengadu kepandaian ini, aku tidak mau ketinggalan. Toa Ok sudah mendapatkan lawan, kalau engkau maju, akulah lawanmu untuk menentukan siapa yang lebih lihai diantara kita, dan siapa yang lebih berhak mendapatkan Pek-lui-kiam!”






Ji Ok adalah seorang datuk besar dari barat. Tentu saja dia tidak gentar melawan Pai Ong. Dia menggerakkan kepala dan rambutnya yang tadi sebagian terurai ke depan, kini tergantung dibelakang punggungnya sampai ke pinggang. Wajahnya yang menyeramkan seperti wajah monyet penuh rambut itu nampak marah, matanya kemerahan dan hidungnya mendengus-dengus. Tangannya meraih kepunggung dan dia telah mencabut senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang pecut penggembala yang berekor panjang.

“Pai Ong, jangan mengira bahwa aku takut melawanmu!”

“Tar-tar-tarr…..!”

Pecutnya meledak-ledak di udara dan nampak asap mengepul saking kuatnya pecut itu melecut, dan di lain saat dia sudah menyerang Pai Ong dengan pecutnya.

Pai Ong menggerakkan sepasang goloknya, menyambut lecutan itu dengan gerakan menggunting dengan sepasang goloknya. Ji Ok tidak membiarkan pecutnya digunting dua batang golok. Ditariknya kembali pecutnya dan kini tiba-tiba dia menyerang kedua kaki lawan dengan sabetan pecutnya.

Pai Ong melompat ke atas akan tetapi dari atas menyambar sinar hitam yang bukan lain adalah rambut panjang Ji Ok yang menyambar begitu dia menggerakkan kepalanya. Ternyata Ji Ok dapat menggunakan rambutnya untuk menyerang dengan cepat dan berbahaya karena rambut itu mengandung tenaga sin-kang yang kuat.

Pai Ong kembali menangkis dengan golok kirinya, dengan maksud untuk menyabet putus rambut itu, sementara golok kanannya sudah membacok ke arah pinggang lawan. Dari kedudukan menyerang kini Ji Ok malah terserang hebat. Maka dia mencelat ke belakang untuk mengelak, lalu memutar tubuh dan kembali menyerang dengan pecutnya. Dua orang datuk ini sudah bertanding dengan hebatnya. Setiap serangan mereka merupakan serangan maut yang berbahaya.

Melihat betapa Toa Ok dan Ji Ok sudah maju dan berkelahi dengan para pendatang itu, Sam Ok atau Ang I Sianjin menjadi marah. Bagaimanapun juga, tadinya puncak Kui-liong-san adalah sarang dari perkumpulannya. Dialah tuan rumah disitu. Kini, agaknya perkumpulannya terancam oleh Si Kong dan kawan-kawannya, bahkan Lam Tok dan Pai Ong, dua orang datuk besar itu, menentang Kui-jiauw-pang seperti berpihak kepada Si Kong. Dia merasa berbesar hati karena bagaimanapun dia memiliki seratus orang lebih anggauta Kui-jiauw-pang dan seratus orang lebih anggauta Pek-lian-pai. Kalau dia mengerahkan semua pembantunya maju, pihaknya tidak akan kalah.

Agaknya Tio Gin Ciong berpendapat sama dengan Sam Ok. Melihat betapa ayahnya, Tung-giam-ong kini telah dilawan oleh Lam Tok, dia menajdi marah sekali. Diapun meloncat ke depan dengan maksud untuk membantu ayahnya menghadapi Lam Tok.

Akan tetapi pada saat itu, muncul Pek Bwe Hwa dan Hui Lan. Hui Lan melompat ke depan saat Sam Ok dan Gin Ciong maju sehingga dara ini menghadapi dua orang lawan. Tanpa banyak cakap lagi Sam Ok dan Gin Ciong sudah menggunakan senjata masing-masing untuk menerjang Hui Lan. Sam Ok menggunakan pedang di tangan kanan dan kipas di tangan kiri, sedangkan Gin Ciong juga menggunakan pedangnya.

Biarpun dara itu diserang oleh dua orang lawan, namun Hui Lan sama sekali tidak menjadi gentar. Hok-mo Siang-kun (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) telah berada dikedua tangannya dan begitu ia memainkan sepasang pedang itu, nampak sinar hitam bergulung-gulung, dan gulungan sinar yang seperti sepasang naga bermain diangkasa.

Begitu gadis itu memainkan sepasang pedangnya, Sam Ok dan Gin Ciong terkejut dan main mundur, mencoba untuk mengepung dara itu dari kiri dan kanan. Segera dua orang pengeroyok itu melakukan serangan bertubi-tubi, akan tetapi semua serangan itu terpental kembali begitu bertemu dengan dua gulungan sinar hitam itu.

Coa Leng Kun merasa tidak enak kalau tinggal diam saja. Dia melompat ke depan untuk membantu pihak tuan rumah, akan tetapi Bwe Hwa melompat ke depannya dengan muka kemerahan karena gadis ini sudah marah sekali melihat Coa Leng Kun. Ia teringat betapa ia hampir celaka, dipengaruhi sihir empat orang tokoh Pek-lian-kauw kemudian ia dikeroyok oleh Leng Kun dan See-thian Su-hiap. Ia yang tadinya tertarik dan kagum kepada Leng Kun ternyata hanya ditipu saja oleh pemuda berpakaian serba putih dan yang bersenjata suling itu!

“Jahanam Coa Leng Kun, sekarang tiba saatnya aku membasmi manusia berwatak rendah dan hina seperti kamu!”

Melihat munculnya Pek Bwe Hwa, Leng Kun terkejut bukan main. Dia sudah tahu akan kelihaian gadis itu, maka dia lalu menoleh kearah See-thian Su-hiap dan berkata,

“Su-wi totiang, bantulah aku!”

See-thian Su-hiap memang sudah siap untuk bertanding, maka mendengar permintaan Leng Kun, mereka berlompatan dan mengepung gadis itu. Melihat ini, Cang Hok Thian melompat ke depan dan membantu Bwe Hwa. Dua orang muda ini berhadapan dengan lima orang lawan dan mereka segera bergerak mengamuk, membuat lima orang pengeroyok itu mengepung dengan hati-hati.

Pertempuran itu menjadi semakin hebat ketika Bu-tek Ngo-sian maju pula mengeroyok. Dua orang dari mereka membantu Toa Ok yang sudah terdesak oleh Si Kong, dua orang lagi membantu Ji Ok yang juga kerepotan menghadapi serangan Pai Ong, dan seorang lagi membantu Tung-giam-ong yang sedang bertanding melawan Lam Tok.

Panglima Gui Tin melihat betapa pertandingan itu sudah tidak adil lagi, melainkan main keroyokan. Maka diapun memberi aba-aba kepada pasukannya. Beratus-ratus pasukan kerajaan menyerbu dan mengepung tempat itu, mengepung sarang Kui-jiauw-pang dan pasukan Kui-jiauw-pang dan Pek-lian-pai menyambut mereka. Terjadilah pertempuran sengit dan hiruk-pikuk di puncak Kui-liong-san. Akan tetapi pasukan kerajaan berjumlah tiga sampai empat kali lebih banyak dibandingkan pasukan pemberontak, maka pertempuran itu menjadi berat sebelah.

Gui Tin yang berpengalaman dalam pertempuran segera melihat bahwa pasukannya akan menang dengan mudah. Dia lalu memilih belasan orang pembantunya yang memiliki ilmu silat tinggi untuk membantu para pendekar yang dikeroyok. Bu-tek Ngo-sian dan See-thian Su-hiap tidak dapat lagi membantu kawan-kawan mereka karena mereka sendiri menghadapi pengeroyokan para prajurit.

Kini Si Kong berhadapan satu lawan satu dengan Toa Ok. Ketika dia mendapat kesempatan, pemuda itu memutar tongkat bambunya dan melibat tongkat ular lawan. Selagi mereka saling betot, Si Kong mempergunakan Hok-liong Sin-ciang untuk menyerang dengan tangan kirinya.

Ilmu silat Hok-liong Sin-ciang ini merupakan ilmu silat istimewa dari mendiang Ceng Lojin. Pukulan yang dilakukan tangan kiri Si Kong itu mendatangkan hawa pukulan yang amat dahsyat. Karena tongkat mereka seolah menjadi satu sama lain, tidak ada jalan lain bagi Toa Ok kecuali menangkis dengan dorongan tangan kiri pula.

“Plakkk!”

Dua telapak tangan bertemu, akan tetapi Si Kong sudah menyimpan tenaga Hok-liong Sin-ciang dan menggantikan dengan ilmu Thi-ki-i-beng! Seketika Toa Ok merasa betapa tenaga sin-kangnya membocor keluar dari tangan kirinya, tersedot oleh telapak tangan kiri Si Kong. Dia terkejut sekali dan teringat akan ilmu Thi-ki-i-beng yang amat berbahaya itu. Cepat dia menyimpan kembali tenaga sin-kangnya. Setelah tidak lagi menggunakan sin-kang, tempelan telapak tangan itu terlepas dengan sendirinya. Akan tetapi pada saat itu, tangan kiri Si Kong menghantam ke arah tongkat ular dengan tangan miring seperti sebatang golok.

“Krekk!” Tongkat berbentuk ular itu patah menjadi dua potong.

Marahlah Toa Ok. Dia membuang tongkat yang sudah patah itu dan mencabut pedang di punggungnya. Tampak sinar terang berkilat ketika pedang tercabut dan sekali ini Si Kong maklum bahwa yang berada di tangan Toa Ok itu adalah pedang Pek-lui-kiam yang asli dan karena itu ampuh sekali.

Sinar terang itu menyambar ke arah lehernya dari samping. Si Kong menggetarkan tongkat bambunya untuk menangkis.

“Crokk!”

Tongkat bambunya putus menjadi dua potong. Si Kong terkejut sekali. Tongkat bambunya itu tidak akan putus bertemu dengan senjata tajam yang manapun juga. Akan tetapi sekali ini, begitu bertemu Pek-lui-kiam lalu putus, padahal dia sudah mengerahkan tenaga sin-kangnya!

Terdengar Toa Ok tertawa mengejek dan kakek itu terus menyerang dengan gencar. Si Kong menggunakan dua potongan bambu di tangan kanan dan kiri untuk menyambut, akan tetapi berturut-turut tongkat bambu yang sudah menjadi pendek itu putus lagi. Dia lalu membuang potongan tongkat bambu itu dan menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak dari sambaran Pek-lui-kiam.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar