Ads

Kamis, 23 Agustus 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 04

Pagi hari yang cerah. Matahari belum nampak, baru sinarnya saja yang sudah membakar langit timur. Namun, cahaya kemerahan itu sudah dapat mengusir sisa kegelapan yang ditinggalkan sang malam. Cahaya itu pula yang mendatangkan suasana gembira. Setiap batang rumput, setiap helai daun, tenggelam dalam suasana gembira itu, berseri basah oleh embun bermandikan sinar keemasan bagaikan puteri-puteri jelita baru keluar dari dalam danau. Burung-burung juga berdendang senang, berkicau saling menyahut sambil menari berloncatan dari ranting ke ranting, siap untuk memenuhi tugas kehidupan mereka, yaitu mencari makan setiap hari.

Dilereng yang sunyi dan segar indah berseri itu, nampak dua orang manusia yang berjalan-jalan dengan wajah yang ceria pula. Dua orang itu merupakan dua keadaan yang amat berlawanan, namun merupakan perpaduan yang membuktikan kekuasaan alam.

Seorang kakek berusia tujuhpuluh dua tahun dan seorang anak laki-laki berusia lima tahun! Seorang manusia yang sudah tiba di ambang akhir perjalanan hidup, dan seorang manusia lain yang baru saja muncul dari ambang pertama dan sedang bertumbuh, menggambarkan awal dan akhir sebuah perjalanan hidup manusia yang hanya dibatasi oleh usia, oleh sang waktu yang melesat cepat tanpa terasa. Kakek itu akhirnya akan mati, dan anak itupun akhirnya akan menjadi seperti kakek itu, siap untuk mati pula, mungkin kelak dia akan menggandeng tangan seorang cucunya seperti dia sekarang digandeng oleh kakeknya.

Kakek itu biarpun usianya sudah tujuh puluh dua tahun, namun masih nampak gagah dan tubuhnya masih tegap. Wajahnya anggun dan mudah dilihat bahwa dia dahulu tentu seorang pria yang amat ganteng. Langkah juga masih gagah dan perutnya tidak menggendut seperti perut kebanyakan pria yang sudah berusia lanjut, juga tidak kurus kering melainkan tubuh itu masih padat.

Dia adalah Cia Kong Liang, kakek yang dahulu pernah menjadi ketua Cin-ling-pai, kakek dari ketua yang sekarang, yaitu nona Cia Kui Hong. Sudah belasan tahun kakek ini lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar untuk bersamadhi, atau berjalan-jalan di puncak-puncak bukit sunyi, merasa lebih akrab dengan alam daripada dengan manusia lain. Dan pada pagi hari itu, dia berjalan-jalan bersama cucunya, anak laki-laki berusia lima tahun yang bernama Cia Kui Bu itu.

Cia Kui Bu adalah anak kedua dari Cia Hui Song, pendekar Cin-ling-pai yang pernah menjadi ketua. Isterinya bernama Ceng Sui Cin, seorang wanita yang mempunyai kepandaian silat tinggi, tiada banyak selisihnya dengan tingkat kepandaian suaminya karena wanita ini adalah puteri tunggal dari Pendekar sadis Ceng Thin Sin majikan Pulau Teratai Merah dan isterinya Toan Kim Hong yang pernah berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan), kini seorang nenek yang berusia tujuh puluh tahun yang kepandaiannya setingkat dengan suaminya!

Akan tetapi, Ceng Sui Cin ini adalah ibu tiri dari Cia Kui Bu. Anak tunggal Ceng Sui Cin adalah Cia Kui Hong yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai. Adapun Cia Kui Bu adalah putera Cia Hui Song dari seorang isteri muda bernama Bi Nio yang sudah meninggal, akan tetapi anak ini sejak kecil dirawat Ceng Sui Cin seperti anaknya sendiri sehingga diapun menganggap bahwa ibunya adalah Ceng Sui Cin.

Baru kemarin Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, bersama anak mereka itu, pulang dari perjalanan mereka ke Pulau Teratai Merah, berkunjung ke tempat kediaman orang tua Sui Cin. Mereka beristirahat di tempat itu sampai berbulan-bulan dan baru kemarin mereka kembali ke Cin-ling-pai. Akan tetapi puteri mereka yang menjadi ketua, Cia Kui Hong, belum pulang dari perantauannya.

Tentu saja kedatangan mereka itu disambut gembira oleh semua anggauta Cin-ling-pai. Terutama sekali kakek Cia Kong Liang merasa girang bukan main melihat cucunya, Cia Kui Bu. Dan pada pagi hari itu, seperti telah dijanjikannya semalam kepada cucunya, kakek itu mengajak Cia Kui Bu berjalan-jalan.

Cuaca masih gelap ketika tadi mereka meninggalkan perkampungan Cin-ling-pai. Setelah berbulan-bulan tinggal di Pulau Teratai Merah, setiap hari hanya menikmati keindahan pemandangan alam pulau yang dikepung air laut itu, tentu saja kini keindahan alam di pegunungan merupakan keindahan yang lain sama sekali dan mendatangkan kegembiraan di hati anak itu. Dia berlari-lari mengejar-ngejar kelinci, meneriaki burung-burung dan kakeknya terbawa oleh kegembiraan cucunya.

Kesenangan melalui panca indera dikemudikan oleh nafsu, oleh karena itu selalu berakhir dengan kebosanan dan dengan pengejaran akan kesenangan yang lain. Inilah sebabnya mengapa orang-orang kota merasa gembira kalau pergi ke dusun, sebaliknya orang dusun senang kalau pergi ke kota. Penduduk pantai tidak lagi menikmati keindahan pemandangan tepi laut dan merindukan keindahan pemandangan di pegunungan, sebaliknya penghuni gunung bosan akan pemandangan di pegunungan dan akan mengagumi keindahan pemandangan di tepi laut.

“Kong-kong (kakek), ada kijang disana. Mari kita tangkap!” Tiba-tiba Cia Kui Bu berlari cepat mendaki lereng sebuah bukit.

“Heii, Kui Bu, hati-hati jangan lari sembarangan!”

Kakek itu berseru dan mengejar. Dia dapat menyusul dan menggandeng tangan cucunya dan mereka berlarian mengejar seekor kijang muda yang seperti hewan lainnya kalau masih muda suka bermain-main. Kijang itu seolah mengajak mereka bermain, berlari-lari sambil berloncatan kecil, kalau jarak antara mereka terlalu jauh, ia berhenti dan seperti menanti, kalau sudah dekat ia lari lagi.






Cia Kong Liang membiarkan cucunya bergembira dan mengejar kijang itu. Dia hanya menjaga agar cucunya jangan sampai terjatuh ke dalam jurang. Tanpa terasa mereka telah tiba di tepi hutan lebat yang berada di lereng bukit itu.

Kijang itu melompat ke dalam hutan dan lenyap di balik semak belukar. Ketika Cia Kui Bu yang digandeng kakeknya hendak mengejar, tiba-tiba dari dalam hutan itu muncul seorang laki-laki yang berdiri seperti patung dan memandang kepada mereka.

Cia Kong Liang berhenti dan memandang.
“Haii, Ciok Gun! Kenapa engkau belum pulang? Semua orang disana menantimu. Sejak kemarin pagi engkau pergi berburu dan sampai sekarang belum pulang. Dimana Teng Sin dan Koo Ham?”

Ciok Gun nampak ragu-ragu sejenak, lalu memberi hormat kepada kakek itu.
“Sukong, sute Teng Sin dan Koo Ham baik-baik saja. Nanti teecu (murid) akan pulang.”

Cia Kong Liang memandang dengan heran. Memang Ciok Gun tidak pandai bicara, malu-malu walaupun dia amat setia kepada Cin-ling-pai. Akan tetapi mengapa pagi ini sikapnya kelihatan demikian dingin dan bahkan kaku? Sebelum dia bertanya, Kui Bu sudah berlari ke arah Ciok Gun.

“Suheng…..!” serunya gembira.

Karena berbulan-bulan meninggalkan Cin-ling-pai, setelah pulang Kui Bu bersikap ramah kepada semua orang, sebagai pelepasan rindunya. Apalagi kepada Ciok Gun dan Gouw Kian Sun, dua orang yang dekat dengan keluarga Cin-ling-pai. Maka ketika melihat Ciok Gun yang masih terhitung suheng (kakak seperguruan) kakaknya, atau juga murid keponakan orang tuanya, dia lalu lari menghampiri dengan gembira.

“Ciok-suheng, mana hasil buruanmu?” tanyanya setelah dia sampai di depan Ciok Gun.

Tiba-tiba Ciok Gun menyambar tubuh Kui Bu dan memondongnya, terus mengajaknya lari kedalam hutan.

“Heii, Ciok-suheng, kita kemana….?”

Kui Bu berseru heran akan tetapi gembira karena mengira bahwa tentu Ciok Gun akan mengajaknya bermain-main. Akan tetapi kakek Cia Kong Liang merasa heran dan curiga. Ada sesuatu dalam sikap Ciok Gun yang dianggapnya aneh sekali.

“Ciok Gun, berhenti……!” bentaknya dan diapun melompat dan mengejar.

Akan tetapi Ciok Gun tidak mau berhenti dan berlari terus, dikejar oleh Cia Kong Liang. Akhirnya, Ciok Gun yang memondong Kui Bu tiba di depan sebuah pondok yang dari luar nampak sederhana saja.

Kakek itu memandang heran. Bukit ini sunyi dan biarpun sudah bertahun-tahun dia tidak pernah mendaki bukit ini, akan tetapi seingatnya, tidak pernah ada orang tinggal disini karena bukit ini jauh dari dusun-dusun lain, juga masih liar dan berbahaya.

Ketika dia hendak mengejar masuk pondok melalui pintunya yang terbuka lebar, tiba-tiba muncul tiga orang pria berpakaian pendeta dan seorang wanita muda yang cantik. Wanita itu berada paling depan dan agaknya sengaja menyambut sambil tersenyum-senyum.

“Selamat datang di pondok kami, lo-cian-pwe Cia Kong Liang!” kata Su Bi Hwa sambil tersenyum manis sekali.

Kakek itu mengerutkan alisnya. Dia tidak mengenal empat orang ini, akan tetapi karena wanita muda itu menyambutnya dengan sikap hormat, diapun membalas penghormatannya dan berkata.

“Siapakah nona, dan harap nona menyuruh Ciok Gun keluar mengajak cucuku.”

“Ci-lo-cian-pwe, sekarang lo-cian-pwe telah menjadi tamu kami, seperti juga anak Cia Kui Bu itu. Mari, lo-cian-pwe, silakan masuk dan kita bicara di dalam.”

Biarpun sudah amat tua, namun kakek Cia Kong Liang masih waspada dan pengalamannya yang banyak membuat dia maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang tidak boleh dipercaya begitu saja.

“Harap suruh Ciok Gun keluar membawa cucuku dulu, baru kita bicara!” Lalu dia mengerahkan khi-kang, suaranya menggetar ketika dia ke arah pondok itu. “Ciok Gun, aku su-kongmu yang bicara ini. Kuperintahkan engkau keluar mengajak Kui Bu!”

Bukan main hebatnya suara itu, melengking dan seperti menggetarkan jantung semua orang. Diam-diam empat orang itu terkejut dan harus mereka akui bahwa kakek yang sudah tua ini tidak boleh di pandang ringan. Su bi Hwa lalu berteriak pula ke arah pintu pondok.

“Ciok Gun, engkau tinggal saja di dalam dan jaga baik-baik Cia Kui Bu. Engkau tidak boleh keluar sebelum kuperintahkan! Ini aku Su Siocia (Nona Su) yang bicara!”

Dari dalam pondok terdengar suara Ciok Gun,
“Baik, Su Siocia!”

Kakek itu terbelalak. Tidak mungkin cucu muridnya itu begitu saja mentaati wanita ini dan berani membangkang terhadap perintahnya. Tentu ada sesuatu yang tidak wajar!

“Nona, apa artinya ini? Apa yang kau lakukan kepada Ciok Gun?”

Kini gadis itu tertawa dan begitu tertawa kakek itupun mengerti bahwa dia berhadapan dengan seorang wanita yang kejam dan amat jahat.

“ha-ha-hi-hi-hik! Cia-lo-cian-pwe, tidak perlu engkau mencoba untuk memerintah Ciok Gun. Dia sekarang telah menjadi hambaku yang setia.”

“Akan kuambil sendiri cucuku kalau begitu!”

Cia Kong Liang meloncat ke arah pintu, akan tetapi nampak bayangan berkelebat dan wanita itu telah menghadang di depan pintu.

“Nona, minggir! Aku tidak ingin bermusuhan dengan siapapun juga. Aku hanya ingin mengambil kembali cucuku!” bentak Cia Kong Liang, kini sikapnya angkuh dan tegas, penuh wibawa.

“Lo-cian-pwe, ini rumah kami dan tanpa seijin kami, engkau atau siapapun tidak boleh memasukinya!” kata gadis itu sambil tetap tersenyum.

Wajah Cia Kong Liang berubah merah. Dia sudah marah sekali.
“Nona, apakah kau hendak mengatakan bahwa engkau telah menculik cucuku dan hendak menahannya di dalam pondokmu ini?”

“Boleh saja kau anggap demikian, Cia Kong Liang,” kata Bi Hwa dan kini ia menanggalkan kedoknya, tidak lagi bersikap hormat.

“Hemm, tidak semestinya aku seorang tua berkelahi melawan seorang muda apalagi seorang gadis! Sekali lagi, kuminta engkau membebaskan cucuku dan aku tidak akan menggunakan kekerasan!”

Bi Hwa tertawa.
“Ha-ha-heh-heh, justeru kami ingin melihat engkau mengeluarkan semua kepandaianmu untuk melawanku, Cia Kong Liang!”

“Keparat!”

Kakek itu sudah lama sekali tidak pernah berkelahi, akan tetapi untuk menjaga kesehatan, hampir setiap hari dia masih berlatih. Dia sudah dapat menjadi seorang yang penyabar sekali. Andaikata tidak untuk membebaskan cucunya, tentu dia akan mengalah dan akan pergi menelan semua penghinaan orang. Akan tetapi sekali ini tidak mungkin dia tinggal diam. Cucunya di sekap di dalam pondok itu! Diapun menggerakkan kaki hendak memasuki pintu pondok.

Su Bi Hwa menghalang dan kakek itu menggerakkan tangan mendorong wanita itu ke samping. Karena ia menduga bahwa wanita itu tentu lihai, dia mengerahkan tenaga Thian-te Sin-ciang ketika mendorong.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar