Ads

Sabtu, 25 Agustus 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 13

Untung bagi mereka bahwa Ki Liong yang datang untuk minta ampun dari kedua gurunya, tidak berani mencelakai mereka. Pemuda ini hanya mengelak dan menangkis saja, namun setiap kali tertangkis pukulan mereka, tiga orang itu tentu terhuyung dan terdorong ke belakang.

Mereka menyerang terus dengan hati penuh kebencian. Dahulu, mereka juga sayang dan hormat kepada murid majikan mereka ini. Akan tetapi semenjak Ki Liong minggat dari pulau melarikan pusaka, mereka ikut marah dan membencinya, menganggap dia sebagai musuh majikan mereka.

Melihat betapa kekasihnya dikeroyok dan jelas bahwa pemuda itu sama sekali tidak mau membasas serangan para pengeroyok, melainkan mengelak dan menangkis saja, Mayang menjadi marah. Ia tidak berani lancang turun tangan, akan tetapi karena mendongkol, iapun tidak dapat menahan dirinya dan berserulah ia dengan suara nyaring.

"Bagus, bagus! Beginikah caranya Majikan Pulau Teratai Merah yang bernama besar itu menyambut tamu? Sungguh tidak sesuai dengan nama besar dan kehormatannya!"

"Mayang, jangan bicara sembarangan!"

Ki Liong menegur sambil tetap menghindarkan diri dari pengeroyokan tiga orang itu dengan elakan dan tangkisan.

Tiba-tiba ada angin besar yang menyambar dan tiga orang pelayan pulau Teratai Merah itu terjengkang dan bergulingan di atas tanah, sedangkan Ki Liong sendiri terhuyung karena sambaran angin dahsyat itu. Diapun cepat menjatuhkan diri berlutut karena dia tahu bahwa suhu dan subonya yang datang melerai perkelahian tadi.

Mayang memandang penuh perhatian dan entah dari mana datangnya, seperti pandai menghilang saja, tahu-tahu disitu telah berdiri seorang kakek dan seorang nenek yang usianya tentu sudah ada tujuh puluh tahun akan tetapi mereka masih nampak sehat dan bertubuh ramping tegak. Rambut mereka sudah putih, wajah sudah keriputan, namun masih jelas membayangkan ketampanan dan kecantikan di waktu mereka masih muda. Yang mengagumkan adalah mata mereka. Mata mereka masih jeli dan tajam seperti mata orang muda saja.

Mereka itu bukan lain adalah majikan pulau Teratai Merah, yaitu si Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya, Toan Kim Hong yang dahulu pernah berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan). Ceng Thian Sin memandang kepada tiga orang pengeroyok tadi yang kini sudah bangkit dan berlutut menghadap mereka. Terdengar suaranya, yang lembut namun mengandung wibawa.

"Siapa menyuruh kalian lancang tangan menyerang orang?"

Tiga orang itu menyembah-nyembah dengan sikap ketakutan, dan si jenggot panjang berkata dengan suara gemetar,

"Harap maafkan kami, Taihiap, akan tetapi dia.... dia..... !"

"Sudahlah, pergilah kalian melanjutkan pekerjaan kalian!"

Tiga orang itu memberi hormat, bangkit dan pergi dari tempat itu. Kini kakek dan nenek itu memandang kepada Ki Liong yang masih berlutut dan kepada Mayang. Gais ini tetap berdiri dan menatap mereka dengan berani.

Diam-diam Toan Kim Hong merasa tertarik dan kagum kepada gadis yang nampaknya asing itu, yang memiliki kecantikan khas Tibet.

"Nona, engkau tadi mengatakan bahwa kami menyambut tamu tidak sebagaimana mestinya. Akan tetapi kami tidak pernah mengundang tamu ke pulau kami! Engkau bukan tamu kami, melainkan pelanggar wilayah dan tempat tinggal pribadi kami!"

"Subo ……!" Ki Liong berkata dengan suara lemah.

"Diam kau! Aku tidak mempunyai seorang murid macam engkau!"

Nenek itu menghardik. Mayang merasa penasaran sekali. Nenek ini terlalu galak, pikirnya. Akan tetapi karena nenek itu adalah guru Ki Liong, iapun tidak berani bersikap tidak sopan.

"Lo-cian-pwe, teguran lo-can-pwe tadi sungguh tidak dapat kuterima begitu saja. Tidak seorangpun di dunia ini yang tidak melanggar wilayah yang bukan miliknya. Apakah ji-wi lo-cian-pwe (kedua orang tua gagah) selama hidup, sejak lahir sampai sekarang, berdiam terus disini? Kalau ji-wi keluar dari pulau ini, berarti ji-wi sudah melanggar wilayah yang bukan milik ji-wi, apalagi kalau mendarat di seberang sana, menjelajah gunung-gunung, kota dan dusun, entah berapa banyak wilayah bukan milik ji-wi yang dilanggar! Pulau ini merupakan sebagian kecil dari bumi, tentu saja sewaktu-waktu didatangi orang. Dan kalau kami datang kesini, bukan bermaksud melanggar wilayah ji-wi, melainkan ada keperluan, maka sudah sepantasnya disambut sebagai tamu!”






Kakek dan nenek itu saling pandang dan sinar mata mereka saja yang maklum bahwa mereka diam-diam merasa kagum dan tertawa. Kalau saja disitu tidak ada Ki Liong yang kemunculannya membuat mereka terkejut dan marah, tentu mereka sudah tertawa gembira mendengar ucapan gadis peranakan Tibet yang lincah itu. Gadis itu mengingatkan mereka kepada cucu mereka, Cia Kui Hong.

"Hemm, bocah lancang mulut!" Nenek Toan Kim Hong menghardik. "Engkau bilang datang kesini ada keperluan? Keperluan apakah, hayo katakan agar kami pertimbangkan apakah pantas engkau kami layani ataukah tidak!”

"Aku pun tidak minta ji-wi layani karena keperluanku hanyalah menemani Liong-koko ini untuk menghadap ji-wi. Dialah yang mempunyai keperluan dengan ji-wi locianpwe, bukan aku."

Tentu saja kakek dan nenek ini kini memandang kepada Ki Liong yang sejak tadi menundukkan mukanya. Pemuda ini diam-diam memaki Mayang karena menganggap sikap gadis itu terlalu berani dan tentu akan membuat suhu dan subonya semakin marah kepadanya.

"Hemm, orang sesat dan murtad! Mau apa engkau datang ke sini? Betapa beraninya mengantarkan nyawa kepada kami!" kata Ceng Thian Sin dengan suara yang keren.

“Suhu dan subo, ampunkanlah teecu. Teecu memang telah melakukan dosa besar terhadap suhu dan subo. Teecu telah sadar dan menyesali kesalahan teecu, dan hari ini teecu datang menghadap suhu dan subo untuk mengembalikan Gin-hwa-kiam dan teecu siap menerima hukumam apapun yang akan ji-wi jatuhkan kepada diri teecu!” berkata demikian, Ki Liong mengambil pedang Gim-hwa-kiam dengan sarungnya, dan dengan kedua tangan dia memegang pedang dan sarungnya itu di atas kepala dan diapun menyerahkannya kepada kedua orang gurunya sambil berlutut.

Tiba-tiba nenek itu menggerakkan kepalanya dan sinar putih menyambar ke arah pedang itu. Mayang terbelalak kagum. Ia melihat betapa rambut nenek penuh uban itu ternyata panjang sekali dan kini rambut itu telah menotok kedua pergelangan tangan Ki Liong sehingga kedua tangan itu menjadi lumpuh dan pedang yang dipegangnya terlepas.

Akan tetapi pedang itu telah digulung ujung rambut yang kini membawa pedang itu ke arah si nenek yang menangkapnya dengan tangan kanan. Setelah memandangi sejenak, nenek itu menyerahkan pedang kepada suaminya, kemudian ia menggelung kembali rambutnya yang terlepas dari sanggulnya.

Ceng Thian Sin mencabut pedang itu. Nampak sinar perak berkilauan dan diapun mengangguk-angguk, lalu menyimpan kembali pedang ke dalam sarung pedang.

"Manusia laknat! Apakah setelah mengembalikan pedang ini, dosamu akan menjadi bersih begitu saja? Engkau tidak layak lagi untuk hidup di dunia, hanya akan mendatangkan kejahatan saja!" kata nenek Toam Kim Hong dan kini ia bergerak ke depan, melangkah mendekati Ki Liong dan siap untuk membunuh bekas murid itu dengan sekali pukul.

Akan tetapi tiba-tiba Mayang meloncat ke depan Ki Liong, menghadang dan gadis ini kelihatan marah seperti seekor harimau betina melindungi anaknya yang akan diganggu.

"Ini sungguh tidak adil!" terlak Mayang penasaran.

Nenek itu mengerutkan alisnya, menatap tajam wajah gadis itu.
“Apa kau bilang? Kami tidak adil? Anak lancang mulut, berani engkau mengatakan kami tidak adil? Bedebah ini telah kami didik selama bertahun-tahun, dan apa yang dia lakukan untuk membalas budi kami? Dia minggat dari pulau ini, membawa harta dan pusaka! Dan sekarang engkau berani mengatakan bahwa kami tidak adil? Apa engkau sudah bosan hidup?"

"Aku tanu lo-cian-pwe. Aku tahu bahwa Liong-ko pernah menjadi murid ji-wi disini kemudian melakukan penyelewengan, minggat dan melarikan pusaka. Kalau pada waktu itu ji-wi mengejar dan membunuhnya, hal itu memang sudah sepantasnya. Akan tetapi sekarang persoalannya menjadi lain. Dia telah menyadari kesalahannya, merasa menyesal dan bertaubat. Dia menghadap ji-wi untuk mengakui kesalahan, mengembalikan pedang pusaka, bahkan menyatakan siap menerima hukuman. Dia datang dengan itikad baik, akan tetapi ji-wi bahkan hendak membunuhnya. Mana bisa ini dikatakan adil? Beginikah sikap tokoh-tokoh besar yang bijaksana? Ataukah hanya ulah orang yang berhati kejam sekali?”

"Mayang! Jangan kurang ajar engkau!"

Ki Liong berseru, khawatir sekali karena kini dia merasa pasti bahwa suhu dan subonya akan membunuh mereka berdua tanpa ampun lagi.

Akan tetapi, kembali kakek dan nenek itu saling pandang, dan anehnya, nenek itu melangkah mundur lagi dan berdiri di samping suaminya seperti tadi, sikapnya hendak turun tangan membunuh Ki Liong sudah lenyap sama sekali.

"Hemm, anak berani mati. Siapakah engkau dan mengapa pula engkau membela orang murtad ini mati-matian?" tanya Ceng Thian Sin dengan suaranya yang lembut.

Kini Mayang memberi hormat dengan membungkuk dan merangkap kedua tangan di depan dadanya.

"Namaku Mayang, dan Liong-ko adalah sahabatku yang pernah menyelamatkan aku dari tangan orang jahat. Melihat dia telah bertaubat, maka aku ingin menemaninya menghadap ji-wi disini dan mohon pengampunan. Aku percaya bahwa ji-wi sebagai dua orang tokoh besar tentu akan suka mengampuninya.”

"Ah, engkau kira kami yang telah dikhianatinya itu akan suka menerimanya kembali sebagai murid kami?" Ceng Thian Sin berkata sambil tersenyum dingin. “Dia terlalu jahat!”

"Kami harus menghukum keparat ini dan engkau tidak berhak mencampuri urusan kami, Mayang." kata pula Toan Kim Hong. "Siapa sih gurumu yang tidak mampu mengajarmu untuk bersikap sopan dan tidak mencampuri urusan orang lain."

"Guruku bernama Kim Mo Sian-kouw yang tinggal di Puncak Awan Kelabu di Ning-jing-san." jawab Mayang.

Kembali suami isteri itu saling pandang. Mereka sudah mengenal nama itu dan maklum bahwa guru gadis itu merupakan orang yang setingkat dengan mereka, berwatak aneh namun tidak pernah digolongkan sebagai tokoh sesat. Tidak mengherankan kalau tokoh itu mempunyai seorang murid wanita yang begini ugal-ugalan dan berani mati.

Akan tetapi Toan Kim Hong adalah seorang nenek yang keras hati dan tidak mau mengalah, apalagi terhadap Kim Mo Sian-kouw yang dianggap sebagai saingannya di dunia persilatan.

"Tidak perduli siapa gururnu, engkau tetap tidak boleh mencampuri urusan kami. Aku harus membunuh si laknat yang durhaka dan murtad ini!"

"Lo-cian-pwe, jangan…….!” Mayang kembali menghadapi nenek itu dan melindungi Ki Liong. ,

"Bocah lancang! Berani engkau menghalangi aku bertindak terhadap bekas muridku sendiri di pulauku sendiri?"

Toan Kim Hong membentak, kini marah sekali karena merasa ditantang seorang bocah. Walaupun Ceng Thian Sih tidak ingin membunuh bekas murid itu, dia tidak mencegah isterinya karena dia beranggapan bahwa kalau isterinya membunuh Ki Liong, hal itu tidak dapat disalahkan.

"Lo-cian-pwe, aku tidak berani menghalangi tindakan lo-cian-pwe. Hanya aku sudah berjanji akan membela Liong-ko dengan taruhan nyawa untuk membalas budinya. Juga aku hanya ingin memperigatkan lo-cian-pwe agar lo-cian-pwe bertindak adil seadil-adilnya, juga kalau lo-cian-pwe membunuh Liong-ko, hal itu berarti bahwa enci Cia Kui Hong adalah seorang penipu besar!"

Nenek itu sudah mengepal tangannya. Mendengar kalimat terakhir tentang Cia Kui Hong, kepalan tangannya terbuka lagi dan matanya terbelalak memandang kepada Mayang.

"Mayang, apa maksudmu? Apa hubungannya Kui Hong dengan urusan ini?” tanya nenek Toan Kim Hong.

“Enci Kui Hong telah memaafkan Liong-ko dan bahkan menganjurkan agar Liong-ko menghadap ji-wi. Kalau sekarang Liong-ko disini dibunuh, bukankah itu berarti bahwa enci Kui Hong sengaja menipu Liong-ko agar dibunuh?"






Tidak ada komentar:

Posting Komentar