Belum pernah selama hidupnya Hay Hay mengalami perasaan seperti saat itu. Kepalanya terasa berat, seluruh tubuhnya lemas, perasaan hatinya mengambang, tak menentu, dan ada sesuatu yang menekan dan menusuk, seperti himpitan berat yang sekaligus mendatangkan rasa nyeri di dada. Pandang matanya hampa dan ia merasa betapa dia hidup di dunia yang teramat sunyi dan kosong, bahkan tidak ada artinya, hampa.
Wajahnya yang biasa berseri itu kini muram, senyum yang biasanya tak pernah meninggalkan bibirnya itu kini terganti tarikan mulut seperti orang yang sedang tersiksa nyeri yang amat hebat, sepasang mata yang biasanya bersinar-sinar dan mencorong itu kini bagaikan pelita kehabisan minyak yang hampir padam. Rambut yang biasanya bersih dan tersisir rapi itu kini kusut dan kotor, juga pakaian yang biasanya rapi itu kini nampak kusut dan sudah perlu diganti.
Memang sudah dua hari Hay Hay tidak makan, tidak tidur, tidak berganti pakaian, tidak mandi. Selama dua hari dua malam dia berjalan terus, jalan tanpa arah tertentu, asal kedua kakinya melangkah saja. Banyak lembah bukit dan sawah ladang dilalui, hutan ditembusi, dan dia tidak tahu berada dimana, dari mana atau hendak kemana. Dia seperti seorang yang kehilangan ingatan, atau yang kehabisan semangat, kehilangan gairah hidup. Sejak dia meninggalkan ruangan tamu di rumah keluarga Cia, keluar dari Cin-ling-san, keadaannya sudah seperti itu.
Hanya satu saja yang selalu teringat, selalu terbayang, selalu terngiang, yaitu bahwa dia harus berpisah dari Kui Hong! Dan satu hal itu justeru membuat perasaan hatinya seperti di tusuk-tusuk. Ingin dia menjerit, ingin dia menangis. Ingin memprotes, namun dia tidak mampu melakukannya. Dia harus meninggalkan kekasihnya. Harus! Hanya satu ini yang menjadi tekadnya. Demi kebaikan Kui Hong. Dia harus pergi meninggalkannya!
Setiap lambaian daun pohon tertiup angin, atau setiap kicau burung, apa saja yang dilihatnya, seolah-olah tahu akan keadaannya dan ikut berduka dengannya. Ada pula perasaan bahwa setiap orang yang dijumpainya dalam perjalanan tanpa arah itu, seolah mengejeknya, menyorakinya!
Haus dan lapar membuat dia lemas dan hampir pingsan ketika dia menjatuhkan diri berlutut di tepi sebuah danau kecil yang jernih airnya. Sejenak dia hanya berlutut saja, memejamkan kedua matanya, masih belum ada gairah untuk minum walaupun air berada didekatnya dan haus mencekik lehernya.
Dan ketika dia memejamkan kedua matanya, malah terbayang wajah Kui Hong. Wajah yang demikian manisnya, mata yang memandangnya dengan pancaran kasih sayang yang demikian mendalam, dengan ujung bibir bergerak-gerak seolah hendak menyatakan kasih sayangnya dengan seribu satu bisikan.
“Hong-moi….. aihhh, Hong-moi……” dan kini Hay Hay tidak mampu lagi menahan tangisnya.
Hanya sesenggukan, akan tetapi air matanya jatuh bagaikan hujan deras, menetes-netes, ke dalam air danau di depannya. Makin dirasakan, semakin perih rasa hatinya dan semakin deras keluarnya air mata. Belum pernah selama hidupnya dia menangis seperti ini!
Tiada hujan yang takkan mereda, tida tangis tanpa berhenti. Setelah berlutut sambil menangis dan memejamkan mata selama hampir setengah jam, akhirnya mereda juga badai dan topan yang mengamuk di dalam perasaan hati Hay Hay. Air matanya terkuras sudah, terkuras bersama air matanya. Kalau awan mendung yang gelap sudah mencair menjadi air hujan dan jatuh, cuaca pun berubah terang. Demikian pula, duka nestapa di hati kalau sudah mencair menjadi air mata dan tertumpah keluar, terasa ringan di hati yang tadinya amat tertekan itu.
Hay Hay tanpa sengaja atau disadari, menarik napas panjang. Seolah-olah hawa udara yang sejuk itu mengalir memasuki paru-paru dan seluruh rongga-rongga kosong yang tadinya diisi hawa kedukaan. Terasa nyaman dan nikmat sekali, melegakan.
Hay Hay membuka matanya, seolah baru bangun dari mimpi buruk. Begitu membuka matanya, teringatlah dia akan segala yang terjadi. Tentang Cin-ling-pai, keluarga Cia, tentang keadaannya selama dua hari dua malam setelah meninggalkan ruangan tamu rumah Kui Hong itu. Dia menghela napas panjang, merasa heran mengapa dia sampai dapat bersikap seperti itu. Dan dia menunduk. Bayangan wajahnya nampak di air danau yang jernih seperti cermin itu. Dia terkejut.
“Ehh? Kaukah itu, Hay Hay?” tanyanya kepada bayangannya.
Dia melihat ketika dia bertanya itu, bayangannya menggerak-gerakkan bibir yang nampak begitu pucat, kering dan dengan tarikan yang menyedihkan, betapa bayangan itu memiliki pandang mata yang seperti mayat hidup, wajah yang kotor dan muram, rambut awut-awutan, pakaian lusuh kotor.
“Ihh! Apa-apan sih kau ini, Hay Hay?” tegurnya kepada bayangannya.
Dan tiba-tiba dia membungkuk dan membenamkan kepalanya sendiri sampai ke leher ke dalam air! Air yang dingin itu meresap ke seluruh kepalanya seperti menembus ke otak, mengusir semua kenangan masa lalu dan bayangan masa depan. Yang terasa hanyalah dingin dan dingin, segar dan nyaman. Ketika akhirnya dia mengangkat kembali mukanya dari dalam air, dia agak terengah-engah. Air menetes-netes dari muka dan rambutnya ketika dia menunduk dan nampak bayangan mukanya yang kacau balau di permukaan air yang pecah.
“Engkau tolol, Hay Hay! Engkau membiarkan kepalamu terbenam dalam duka yang hampa. Lebih baik dibenamkan dalam air sejuk nyaman, ha-ha-ha!” dan kembali ia membenamkan kepalanya ke dalam air!
Hal ini berulang sampai beberapa kali, sampai napasnya terengah-engah ketika dia mengangkat kembali kepalanya keluar. Akan tetapi dia kini telah sadar sepenuhnya. Nampak benar segala sikapnya yang dianggapnya lucu dan bodoh. Dia sudah mengambil keputusan untuk mundur dari Kui Hong, karena tahu bahwa hal itu yang sebaiknya bagi Kui Hong, gadis yang dicintanya. Kenapa setelah mengambil keputusan yang dianggapnya sudah tepat itu, dia lalu menyiksa batin dengan penyesalan, kedukaan, kekecewaan dan kehilangan?
Kini dia duduk di tepi danau, melamun akan tetapi tidak berduka lagi. Rambutnya sudah dia keringkan, masih terurai di pundak. Dia bahkan sudah mandi dan berganti pakaian. Kini dia tinggal menanti pakaian kotor yang dicucinya menjadi kering, dijermurnya di ranting pohon. Sambil menanti, dia memutar otaknya untuk mengatur langkah hidup selanjutnya. Kini dia dapat mengenang pengalaman pahit itu tanpa mengeluh, tanpa merasa sakit hati lagi.
Memang dia telah diremehkan keluarga Cia, namun kini, dengan pikiran jernih dan dingin, dia dapat melihat mengapa keluarga Cia meremehkan dirinya dan tidak menyetujui perjodohan antara dia dan Kui Hong. Dan dia tidak dapat menyalahkan mereka. Semua ini merupakan akibat daripada sebab yang diperbuat oleh ayah kandungnya, merupakan buah dari pohon yang ditanam oleh Ang-hong-cu.
Kui Hong adalah seorang pangcu yang terhormat yang mempunyai tugas berat, harus menjaga nama baik Cin-ling-pai. Juga puteri suami isteri pendekar, tokoh Cin-ling-pai yang amat terkenal. Semua anggauta keluarga Cia merupakan pendekar-pendekar besar, pendekar-pendekar gagah perkasa dan budiman yang selalu menentang kejahatan. Bagaimana mungkin gadis seperti Kui Hong berjodoh dengan putera Ang-hong-cu, penjahat cabul yang ditentang, dibenci dan bahkan dikutuk oleh semua pendekar?
Memang pahit sekali. Namun hal itu merupakan kenyataan yang harus ditelannya! Dalam segala peristiwa yang terasa pahit dan tidak enakpun terkandung hikmah yang amat bermanfaat bagi yang bersangkutan. Tuhan Maha Kasih. Semua peristiwa yang dikehendaki Tuhan terjadi pada seseorang, pasti demi kebaikan orang itu sendiri. Tentu saja hati pikiran kita yang terbatas ini tidak mungkin mampu menjenguk makna atau hikmah yang tersembunyi di dalam setiap peristiwa. Kita hanya melihat kulitnya saja. Kalau menguntungkan kita, kita anggap baik. Kalau merugikan kita, kita anggap buruk! Kita tidak tahu apa intinya, apa isinya, dan hanya pandai mengeluh kalau terasa tidak enak.
Hay Hay teringat akan dongeng yang diceritakan oleh gurunya yang terakhir, yaitu Song Lojin tentang hikmah yang terkandung dalam segala macam peristiwa dalam kehidupan ini. Tuhan selalu bekerja, tak pernah berhenti sedetikpun. Dan pekerjaan Tuhan selalu sempurna, walaupun lika-likunya banyak yang merupakan rahasia bagi kita, atau belum kita mengerti.
Kalau ada bagian pekerjaan Tuhan yang sudah kita mengerti benar, barulah kita ketahui bahwa hasil pekerjaan Tuhan itu sempurna, seperti Tuhan adalah Maha Sempurna! Dongeng yang diceritakan Song Lojin kepadanya itu kini teringat olehnya dan dia melamun, mengingat-ingat dongeng yang seperti dongeng kanak-kanak akan tetapi mengandung pelajaran yang dapat membuka mata kita terhadap kenyataan, terhadap hikmah yang tersembunyi dalam setiap peristiwa.
Ada seorang janda yang hidup berdua saja dengan seorang puteranya yang baru berusia lima tahun. Janda itu beribadat dan saleh, tak pernah menyimpang dari jalan kebenaran sehingga terkenal sebagai seorang janda yang berbudi baik. Puteranya juga lucu dan mungil sehingga biarpun janda itu hanya hidup berdua, ia cukup bahagia.
Akan tetapi, pada suatu hari, puteranya jatuh sakit dan usaha apapun yang dilakukan janda itu untuk menyembuhkan puteranya, gagal. Anak itu meninggal dunia! Hancur luluh perasaan hati janda itu. Ratap tangisnya terhadap Tuhan untuk minta pertolongan sejak puteranya jatuh sakit, kini berubah menjadi ratap tangis penyesalan. Bahkan demikian hebat kedukaannya sehingga ia berani menegur Tuhan dalam tangisnya, mengapa Tuhan begitu kejam, mengambir satu-satunya anak, satu-satunya pelipur hatinya, teman hidupnya. Mengapa Tuhan membalas semua kebaktiannya dengan siksaan. Dalam tangisnya, ia mengatakan bahwa Tuhan tidak adil!
Saking sedihnya, ia jatuh pingsan. Para tetangga mengangkatnya dan merebahkan tubuhnya di atas pembaringan. Tak jauh dari jenazah puteranya. Dan dalam pingsannya itu, semangat janda yang dilanda penasaran itu melayang naik mencari Tuhan! Ia bertekat untuk menghadap Tuhan, untuk memprotes kematian puteranya! Dan semangatnya yang melayang-layang itu bertemu dengan malaikat yang diutus Tuhan menjemputnya.
“Janda saleh, hendak kemanakah engkau?” tanya malaikat.
“Aku ingin mencari Tuhan. Aku ingin menghadap Tuhan!” jawabnya.
“Mengapa?”
“Aku ingin memprotes, ingin menyatakan penasaran hatiku. Sejak kecil aku selalu beribadat, tak penah lupa sembahyang dan memuji nama Tuhan, tidak pernah melakukan kejahatan karena aku takut kepada Tuhan, selalu ingin menyenangkan Tuhan dengan perbuatan yang baik. Akan tetapi, ketika masih muda dan mempunyai anak seorang, Tuhan mengambil suamiku. Hal itu masih kuterima dengan penuh ketawakalan, aku menyerah atas kehendak Tuhan. Aku hidup menjanda dengan puteraku yang kuanggap sebagai anugerah Tuhan. Aku selalu berterima kasih dan menjaga diri agar jangan sampai membikin marah Tuhan dengan perbuatan yang mengandung dosa. Akan tetapi, mengapa kini Tuhan mengambil puteraku? Mengapa Tuhan begitu kejam terhadap aku? Nah, aku akan menghadap Tuhan dan memprotes! Mengapa kehidupan orang-orang yang berdosa bahkan jauh lebih beruntung daripada kehidupanku, seorang yang selallu memuja Tuhan?”
Malaikat itu membiarkan sang janda bicara sampai habis, mengeluarkan semua isi hatinya yang penuh duka dan penasaran. Kemudian, malaikat itu membimbingnya ke atas awan, lalu berkata dengan lembut.
“Janda yang saleh. Sebelum kau lanjutkan protesmu kepada Tuhan, kami ingin memperlihatkan sesuatu. Nah, kau tengoklah disana itu!” Sang malaikat menununjuk ke arah langit biru di barat.
Sang janda melihat ke arah langit yang ditunjuk dari atas gumpalan awan putih itu dan iapun melihat pemandangan yang mengherankan. Ia melihat kehidupan di dunia ramai! Dilihatnya seorang pemuda yang tampan dan gagah sedang melakukan perbuatan yang mengerikan. Pemuda itu dengan bengis dan kejamnya menyerang orang-orang, membunuh dan merampok, bahkan memperkosa. Pemuda itu demikian garang dan demikian jahat, bagaikan iblis sendiri sehingga sang janda tidak sanggup lagi menyaksikan kekejaman-kekejaman yang luar biasa itu dan ia memalingkan mukanya, tidak sudi melihat lagi.
“Betapa kejamnya! Betapa jahatnya! Kenapa aku yang sudah menderita duka ini diharuskan menyaksikan perbuatan yang demikian kejam dan jahat? Siapakah pemuda yang jahat itu?”
“Ketahuilah olehmu, janda yang baik budi. Pemuda itu adalah puteramu, kalau dia dibiarkan menjadi dewasa kelak.”
Wanita itu terbelalak dan menutup mulut dengan tangan seolah hendak menjaga agar ia jangan menjerit, membalik dan memandang lagi ke arah pemuda itu yang masih mengamuk itu.
“Ya Allah! Ampunilah hamba Ya Tuhan….. jangan….. jangan…..! Hentikanlah perbuatannya….. !” Dan iapun menangis tersedu-sedu, menutupi mukanya dengan kedua tangan.
“Lihatlah kenyataan, janda yang baik dan sadarilah mengapa kini Tuhan menghendaki anakmu mati dalam usia kecil. Karena engkau, ibunya, seorang wanita yang saleh dan baik budi, maka Tuhan tidak menghendaki engkau tersiksa kelak oleh perbuatan anakmu. Nah, sekarang bagaimana? Apakah engkau masih menghendaki agar anakmu dihidupkan kembali dan dibiarkan menjadi dewasa?”
“Tidak…. tidak…….! Biarlah dia mati sekarang, aku…. aku rela….., jangan sampai dia menjadi jahat seperti itu….”
Wajahnya yang biasa berseri itu kini muram, senyum yang biasanya tak pernah meninggalkan bibirnya itu kini terganti tarikan mulut seperti orang yang sedang tersiksa nyeri yang amat hebat, sepasang mata yang biasanya bersinar-sinar dan mencorong itu kini bagaikan pelita kehabisan minyak yang hampir padam. Rambut yang biasanya bersih dan tersisir rapi itu kini kusut dan kotor, juga pakaian yang biasanya rapi itu kini nampak kusut dan sudah perlu diganti.
Memang sudah dua hari Hay Hay tidak makan, tidak tidur, tidak berganti pakaian, tidak mandi. Selama dua hari dua malam dia berjalan terus, jalan tanpa arah tertentu, asal kedua kakinya melangkah saja. Banyak lembah bukit dan sawah ladang dilalui, hutan ditembusi, dan dia tidak tahu berada dimana, dari mana atau hendak kemana. Dia seperti seorang yang kehilangan ingatan, atau yang kehabisan semangat, kehilangan gairah hidup. Sejak dia meninggalkan ruangan tamu di rumah keluarga Cia, keluar dari Cin-ling-san, keadaannya sudah seperti itu.
Hanya satu saja yang selalu teringat, selalu terbayang, selalu terngiang, yaitu bahwa dia harus berpisah dari Kui Hong! Dan satu hal itu justeru membuat perasaan hatinya seperti di tusuk-tusuk. Ingin dia menjerit, ingin dia menangis. Ingin memprotes, namun dia tidak mampu melakukannya. Dia harus meninggalkan kekasihnya. Harus! Hanya satu ini yang menjadi tekadnya. Demi kebaikan Kui Hong. Dia harus pergi meninggalkannya!
Setiap lambaian daun pohon tertiup angin, atau setiap kicau burung, apa saja yang dilihatnya, seolah-olah tahu akan keadaannya dan ikut berduka dengannya. Ada pula perasaan bahwa setiap orang yang dijumpainya dalam perjalanan tanpa arah itu, seolah mengejeknya, menyorakinya!
Haus dan lapar membuat dia lemas dan hampir pingsan ketika dia menjatuhkan diri berlutut di tepi sebuah danau kecil yang jernih airnya. Sejenak dia hanya berlutut saja, memejamkan kedua matanya, masih belum ada gairah untuk minum walaupun air berada didekatnya dan haus mencekik lehernya.
Dan ketika dia memejamkan kedua matanya, malah terbayang wajah Kui Hong. Wajah yang demikian manisnya, mata yang memandangnya dengan pancaran kasih sayang yang demikian mendalam, dengan ujung bibir bergerak-gerak seolah hendak menyatakan kasih sayangnya dengan seribu satu bisikan.
“Hong-moi….. aihhh, Hong-moi……” dan kini Hay Hay tidak mampu lagi menahan tangisnya.
Hanya sesenggukan, akan tetapi air matanya jatuh bagaikan hujan deras, menetes-netes, ke dalam air danau di depannya. Makin dirasakan, semakin perih rasa hatinya dan semakin deras keluarnya air mata. Belum pernah selama hidupnya dia menangis seperti ini!
Tiada hujan yang takkan mereda, tida tangis tanpa berhenti. Setelah berlutut sambil menangis dan memejamkan mata selama hampir setengah jam, akhirnya mereda juga badai dan topan yang mengamuk di dalam perasaan hati Hay Hay. Air matanya terkuras sudah, terkuras bersama air matanya. Kalau awan mendung yang gelap sudah mencair menjadi air hujan dan jatuh, cuaca pun berubah terang. Demikian pula, duka nestapa di hati kalau sudah mencair menjadi air mata dan tertumpah keluar, terasa ringan di hati yang tadinya amat tertekan itu.
Hay Hay tanpa sengaja atau disadari, menarik napas panjang. Seolah-olah hawa udara yang sejuk itu mengalir memasuki paru-paru dan seluruh rongga-rongga kosong yang tadinya diisi hawa kedukaan. Terasa nyaman dan nikmat sekali, melegakan.
Hay Hay membuka matanya, seolah baru bangun dari mimpi buruk. Begitu membuka matanya, teringatlah dia akan segala yang terjadi. Tentang Cin-ling-pai, keluarga Cia, tentang keadaannya selama dua hari dua malam setelah meninggalkan ruangan tamu rumah Kui Hong itu. Dia menghela napas panjang, merasa heran mengapa dia sampai dapat bersikap seperti itu. Dan dia menunduk. Bayangan wajahnya nampak di air danau yang jernih seperti cermin itu. Dia terkejut.
“Ehh? Kaukah itu, Hay Hay?” tanyanya kepada bayangannya.
Dia melihat ketika dia bertanya itu, bayangannya menggerak-gerakkan bibir yang nampak begitu pucat, kering dan dengan tarikan yang menyedihkan, betapa bayangan itu memiliki pandang mata yang seperti mayat hidup, wajah yang kotor dan muram, rambut awut-awutan, pakaian lusuh kotor.
“Ihh! Apa-apan sih kau ini, Hay Hay?” tegurnya kepada bayangannya.
Dan tiba-tiba dia membungkuk dan membenamkan kepalanya sendiri sampai ke leher ke dalam air! Air yang dingin itu meresap ke seluruh kepalanya seperti menembus ke otak, mengusir semua kenangan masa lalu dan bayangan masa depan. Yang terasa hanyalah dingin dan dingin, segar dan nyaman. Ketika akhirnya dia mengangkat kembali mukanya dari dalam air, dia agak terengah-engah. Air menetes-netes dari muka dan rambutnya ketika dia menunduk dan nampak bayangan mukanya yang kacau balau di permukaan air yang pecah.
“Engkau tolol, Hay Hay! Engkau membiarkan kepalamu terbenam dalam duka yang hampa. Lebih baik dibenamkan dalam air sejuk nyaman, ha-ha-ha!” dan kembali ia membenamkan kepalanya ke dalam air!
Hal ini berulang sampai beberapa kali, sampai napasnya terengah-engah ketika dia mengangkat kembali kepalanya keluar. Akan tetapi dia kini telah sadar sepenuhnya. Nampak benar segala sikapnya yang dianggapnya lucu dan bodoh. Dia sudah mengambil keputusan untuk mundur dari Kui Hong, karena tahu bahwa hal itu yang sebaiknya bagi Kui Hong, gadis yang dicintanya. Kenapa setelah mengambil keputusan yang dianggapnya sudah tepat itu, dia lalu menyiksa batin dengan penyesalan, kedukaan, kekecewaan dan kehilangan?
Kini dia duduk di tepi danau, melamun akan tetapi tidak berduka lagi. Rambutnya sudah dia keringkan, masih terurai di pundak. Dia bahkan sudah mandi dan berganti pakaian. Kini dia tinggal menanti pakaian kotor yang dicucinya menjadi kering, dijermurnya di ranting pohon. Sambil menanti, dia memutar otaknya untuk mengatur langkah hidup selanjutnya. Kini dia dapat mengenang pengalaman pahit itu tanpa mengeluh, tanpa merasa sakit hati lagi.
Memang dia telah diremehkan keluarga Cia, namun kini, dengan pikiran jernih dan dingin, dia dapat melihat mengapa keluarga Cia meremehkan dirinya dan tidak menyetujui perjodohan antara dia dan Kui Hong. Dan dia tidak dapat menyalahkan mereka. Semua ini merupakan akibat daripada sebab yang diperbuat oleh ayah kandungnya, merupakan buah dari pohon yang ditanam oleh Ang-hong-cu.
Kui Hong adalah seorang pangcu yang terhormat yang mempunyai tugas berat, harus menjaga nama baik Cin-ling-pai. Juga puteri suami isteri pendekar, tokoh Cin-ling-pai yang amat terkenal. Semua anggauta keluarga Cia merupakan pendekar-pendekar besar, pendekar-pendekar gagah perkasa dan budiman yang selalu menentang kejahatan. Bagaimana mungkin gadis seperti Kui Hong berjodoh dengan putera Ang-hong-cu, penjahat cabul yang ditentang, dibenci dan bahkan dikutuk oleh semua pendekar?
Memang pahit sekali. Namun hal itu merupakan kenyataan yang harus ditelannya! Dalam segala peristiwa yang terasa pahit dan tidak enakpun terkandung hikmah yang amat bermanfaat bagi yang bersangkutan. Tuhan Maha Kasih. Semua peristiwa yang dikehendaki Tuhan terjadi pada seseorang, pasti demi kebaikan orang itu sendiri. Tentu saja hati pikiran kita yang terbatas ini tidak mungkin mampu menjenguk makna atau hikmah yang tersembunyi di dalam setiap peristiwa. Kita hanya melihat kulitnya saja. Kalau menguntungkan kita, kita anggap baik. Kalau merugikan kita, kita anggap buruk! Kita tidak tahu apa intinya, apa isinya, dan hanya pandai mengeluh kalau terasa tidak enak.
Hay Hay teringat akan dongeng yang diceritakan oleh gurunya yang terakhir, yaitu Song Lojin tentang hikmah yang terkandung dalam segala macam peristiwa dalam kehidupan ini. Tuhan selalu bekerja, tak pernah berhenti sedetikpun. Dan pekerjaan Tuhan selalu sempurna, walaupun lika-likunya banyak yang merupakan rahasia bagi kita, atau belum kita mengerti.
Kalau ada bagian pekerjaan Tuhan yang sudah kita mengerti benar, barulah kita ketahui bahwa hasil pekerjaan Tuhan itu sempurna, seperti Tuhan adalah Maha Sempurna! Dongeng yang diceritakan Song Lojin kepadanya itu kini teringat olehnya dan dia melamun, mengingat-ingat dongeng yang seperti dongeng kanak-kanak akan tetapi mengandung pelajaran yang dapat membuka mata kita terhadap kenyataan, terhadap hikmah yang tersembunyi dalam setiap peristiwa.
Ada seorang janda yang hidup berdua saja dengan seorang puteranya yang baru berusia lima tahun. Janda itu beribadat dan saleh, tak pernah menyimpang dari jalan kebenaran sehingga terkenal sebagai seorang janda yang berbudi baik. Puteranya juga lucu dan mungil sehingga biarpun janda itu hanya hidup berdua, ia cukup bahagia.
Akan tetapi, pada suatu hari, puteranya jatuh sakit dan usaha apapun yang dilakukan janda itu untuk menyembuhkan puteranya, gagal. Anak itu meninggal dunia! Hancur luluh perasaan hati janda itu. Ratap tangisnya terhadap Tuhan untuk minta pertolongan sejak puteranya jatuh sakit, kini berubah menjadi ratap tangis penyesalan. Bahkan demikian hebat kedukaannya sehingga ia berani menegur Tuhan dalam tangisnya, mengapa Tuhan begitu kejam, mengambir satu-satunya anak, satu-satunya pelipur hatinya, teman hidupnya. Mengapa Tuhan membalas semua kebaktiannya dengan siksaan. Dalam tangisnya, ia mengatakan bahwa Tuhan tidak adil!
Saking sedihnya, ia jatuh pingsan. Para tetangga mengangkatnya dan merebahkan tubuhnya di atas pembaringan. Tak jauh dari jenazah puteranya. Dan dalam pingsannya itu, semangat janda yang dilanda penasaran itu melayang naik mencari Tuhan! Ia bertekat untuk menghadap Tuhan, untuk memprotes kematian puteranya! Dan semangatnya yang melayang-layang itu bertemu dengan malaikat yang diutus Tuhan menjemputnya.
“Janda saleh, hendak kemanakah engkau?” tanya malaikat.
“Aku ingin mencari Tuhan. Aku ingin menghadap Tuhan!” jawabnya.
“Mengapa?”
“Aku ingin memprotes, ingin menyatakan penasaran hatiku. Sejak kecil aku selalu beribadat, tak penah lupa sembahyang dan memuji nama Tuhan, tidak pernah melakukan kejahatan karena aku takut kepada Tuhan, selalu ingin menyenangkan Tuhan dengan perbuatan yang baik. Akan tetapi, ketika masih muda dan mempunyai anak seorang, Tuhan mengambil suamiku. Hal itu masih kuterima dengan penuh ketawakalan, aku menyerah atas kehendak Tuhan. Aku hidup menjanda dengan puteraku yang kuanggap sebagai anugerah Tuhan. Aku selalu berterima kasih dan menjaga diri agar jangan sampai membikin marah Tuhan dengan perbuatan yang mengandung dosa. Akan tetapi, mengapa kini Tuhan mengambil puteraku? Mengapa Tuhan begitu kejam terhadap aku? Nah, aku akan menghadap Tuhan dan memprotes! Mengapa kehidupan orang-orang yang berdosa bahkan jauh lebih beruntung daripada kehidupanku, seorang yang selallu memuja Tuhan?”
Malaikat itu membiarkan sang janda bicara sampai habis, mengeluarkan semua isi hatinya yang penuh duka dan penasaran. Kemudian, malaikat itu membimbingnya ke atas awan, lalu berkata dengan lembut.
“Janda yang saleh. Sebelum kau lanjutkan protesmu kepada Tuhan, kami ingin memperlihatkan sesuatu. Nah, kau tengoklah disana itu!” Sang malaikat menununjuk ke arah langit biru di barat.
Sang janda melihat ke arah langit yang ditunjuk dari atas gumpalan awan putih itu dan iapun melihat pemandangan yang mengherankan. Ia melihat kehidupan di dunia ramai! Dilihatnya seorang pemuda yang tampan dan gagah sedang melakukan perbuatan yang mengerikan. Pemuda itu dengan bengis dan kejamnya menyerang orang-orang, membunuh dan merampok, bahkan memperkosa. Pemuda itu demikian garang dan demikian jahat, bagaikan iblis sendiri sehingga sang janda tidak sanggup lagi menyaksikan kekejaman-kekejaman yang luar biasa itu dan ia memalingkan mukanya, tidak sudi melihat lagi.
“Betapa kejamnya! Betapa jahatnya! Kenapa aku yang sudah menderita duka ini diharuskan menyaksikan perbuatan yang demikian kejam dan jahat? Siapakah pemuda yang jahat itu?”
“Ketahuilah olehmu, janda yang baik budi. Pemuda itu adalah puteramu, kalau dia dibiarkan menjadi dewasa kelak.”
Wanita itu terbelalak dan menutup mulut dengan tangan seolah hendak menjaga agar ia jangan menjerit, membalik dan memandang lagi ke arah pemuda itu yang masih mengamuk itu.
“Ya Allah! Ampunilah hamba Ya Tuhan….. jangan….. jangan…..! Hentikanlah perbuatannya….. !” Dan iapun menangis tersedu-sedu, menutupi mukanya dengan kedua tangan.
“Lihatlah kenyataan, janda yang baik dan sadarilah mengapa kini Tuhan menghendaki anakmu mati dalam usia kecil. Karena engkau, ibunya, seorang wanita yang saleh dan baik budi, maka Tuhan tidak menghendaki engkau tersiksa kelak oleh perbuatan anakmu. Nah, sekarang bagaimana? Apakah engkau masih menghendaki agar anakmu dihidupkan kembali dan dibiarkan menjadi dewasa?”
“Tidak…. tidak…….! Biarlah dia mati sekarang, aku…. aku rela….., jangan sampai dia menjadi jahat seperti itu….”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar