Ads

Jumat, 31 Agustus 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 39

Wajah tampan Sim Ki Liong nampak muram dan alisnya berkerut ketika Mayang berkeras minta disediakan dua buah kamar kepada pelayan rumah penginapan dikota Wangsian disebelah utara tepi Sungai Yang-ce.

Seperti kita ketahui, dua orang muda ini meninggalkan pulau Teratai Merah dan sebelum mereka pergi ke tempat tinggal ibu dan guru Mayang diperbatasan Tibet, mereka akan lebih dahulu pergi ke Cin-ling-san untuk mencari Cia Kui Hong di Cin-ling-pai. Cin-ling-pai masih cukup jauh, diutara karena pegunungan itu terletak ditapal batas Propinsi Se-cuan dan Sen-si. Adapaun kota Wang-sian terletak dibagian utara Propinsi Se-cuan.

Sudah berkali-kali Ki Liong merasa kecewa karena gadis yang menjadi kekasihnya itu selalu minta disediakan kamar terpisah apabila mereka bermalam dirumah penginapan. Sikap gadis ini mendatangkan dua pukulan baginya. Pertama, keinginan untuk segera “memiliki” gadis itu menjadi tidak mungkin kalau dia selalu berpisah kamar. Dan kedua, sikap gadis itu jelas merupakan bukti bahwa kekasihnya tidak percaya kepadanya!

Tentu saja Ki Liong tidak mau bercekcok dan berbantahan di depan pelayan. Setelah mereka diantarkan dan mendapatkan dua buah kamar yang bersebelahan, dan pelayan itu pergi, barulah Ki Liong menegur Mayang.

“Mayang, kenapa engkau sampai sekarang masih belum percaya kepadaku? Apa artinya dua kamar terpisah ini? Bukankah kita saling mencinta dan kita adalah calon suami isteri?” tegurnya marah.

“Baru calon, Liong-ko. Ingat, kita belum suami isteri, bagaimana mungkin harus sekamar?”

“Akan tetapi, asal kita tidak melakukan pelanggaran, apa salahnya?” Ki Liong membantah.

“Bukan hanya itu yang harus dijaga, Liong-ko, akan tetapi terutama sekali pandangan dan dugaan orang. apa akan dikata orang kalau mereka tahu bahwa seorang pemuda dan seorang gadis yang bukan suami isteri menginap dalam satu kamar?”

“Perduli amat dengan pandangan dan kata orang, Mayang!”

“Mudah saja engkau berkata demikian karena engkau laki-laki, Liong-ko. Akan tetapi aku perempuan dan aku tidak ingin nama dan kehormatanku tercemar.”

Melihat gadis itu sudah merah mukanya dan mulai marah, Ki Liong tersenyum dan menghela napas panjang.

“Baiklah, Mayang, mungkin engkau yang benar. Akupun tidak mempunyai niat lain kecuali merasa bahwa lebih aman bagi kita kalau sekamar. Juga tidak bertemu semalam saja denganmu rasanya hati ini merasa kesepian dan rindu. Sudahlah, maafkan aku kalau aku bersalah.”

Melihat sikap Ki Liong yang mengaku salah dan minta maaf, luluh kekerasan hati Mayang dan iapun tersenyum lalu memegang tangan kekasihnya.

“Kau tahu, Ling-ko. Penolakanku hanya untuk kebaikan kita berdua. Sabarlah, kalau kita sudah menghadap ibu dan subo, kalau kita sudah menikah, tentu setiap saat kita berkumpul dan takkan berpisah lagi.”

Ki Liong menggenggam tangan kekasihnya sejenak, lalu melepaskan dan mereka memasuki kamar masing-masing. Pada saat itu, sepasang mata yang jeli memandang ke arah Ki Liong. Sejak pemuda dan gadis itu memasuki rumah penginapan, pemilik sepasang mata jeli ini sudah mengikuti mereka. Akan tetapi karena pemilik mata itu mengikuti gerak-gerik mereka, bahkan mendengarkan percakapan mereka di depan kamar Mayang sambil bersembunyi, Ki Liong dan Mayang tidak tahu bahwa ada orang memperhatikan mereka. Setelah Ki Liong dan Mayang memasuki kamar masing-masing, pemilik mata jeli itu tersenyum dan mengangguk-angguk.

Menjelang tengah malam, Ki Liong yang sudah pulas terbangun oleh suara ketukan perlahan di jendela kamarnya. Sebagai seorang ahli silat yang pandai, sedikit suara saja sudah cukup untuk membangunkannya. Dan begitu terbangun diapun sudah siap siaga, meloncat dengan cepat turun dari pembaringan dan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun dia sudah mendekati jendela kamarnya yang tertutup, mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Tik-tik-tik!”

Lirih saja ketukan itu. Tentu pengetuknya menggunakan kuku jari tangan saja untuk mengetuk daun jendela kamarnya.






Karena pengetuk itu bersikap hati-hati dengan ketukan lirih seolah tidak ingin membuat gaduh. Ki Liong mengira bahwa tentu Mayang sipengetuk itu, dan tentu terjadi sesuatu yang membuat kekasihnya itu curiga. Cepat dia membuka daun jendela tanpa mengeluarkan suara dan begitu daun jendela dibuka dan diapun siap menghadapi serangan kalau yang datang itu musuh. Dia melihat bayangan berkelebat, bayangan yang ramping. Tentu Mayang!

Bayangan itu meloncat menjauhi kamar dan menyelinap ke bagian yang gelap disudut taman diluar kamarnya itu. Ki Liong cepat mengenakan sepatunya dan diapun meloncat keluar dari jendela dengan gerakan seperti seekor burung saja, lalu dia berlari menuju ke tempat gelap itu, kini hampir yakin bahwa Mayang tentu menemukan sesuatu dan memanggil dia keluar.

Ketika dia tiba disudut gelap itu, bayangan itu muncul bahkan berdiri di bawah lampu gantung sehingga sinar lampu menerangi dirinya dan nampak wajah dan tubuhnya, cukup jelas.

Ki Liong terbelalak, kaget dan heran. Bukan Mayang! Walaupun tak kalah cantiknya! Seorang wanita muda, namun jauh lebih dewasa daripada Mayang, usianya sekitar duapuluh lima tahun, berwajah lonjong manis dengan senyum memikat dan matanya tajam dengan kerling yang amat genit. Wanita itu memiliki bentuk tubuh yang menggairahkan, dengan sikap menantang berdiri menanti dengan senyum dan kerling penuh arti. Seorang wanita yang sudah matang!

Ki Liong menghampiri dan berdiri berhadapan. Mereka saling pandang dan wanita itu mengamati Ki Liong seperti seorang pedagang kuda sedang mengamati dan menilai seekor kuda yang akan dibelinya.

“Nona, siapakah engkau dan mengapa pula mengetuk daun jendela kamarku?” tanya Ki Liong, suaranya lirih agar jangan sampai terdengar orang lain, terutama Mayang walaupun kini kamar gadis itu agak jauh dari situ.

Wanita itu tersenyum lebar sehingga nampak deretan gigi putih mengkilap yang menambah kecantikannya.

“Kiranya engkau seorang yang memiliki kepandaian hebat, seorang pendekar! Caramu melompat keluar dari kamarmu tadi…..”

“Nona, siapakah engkau dan mengapa pula……” Ki Liong mengulang pertanyaannya.

“Hi-hik, pendekar kesepian! Akupun senasib denganmu. Akupun merasa kesepian sekali. Sepi, dingin dan rindu!” Kembali senyum dan kerlingnya memikat.

Ki Liong bukan seorang pemuda alim. Sama sekali bukan. Dia bahkan pernah menjadi hamba nafsu yang tidak pantang melakukan apapun demi pemuas nafsunya. Kini, menghadapi seorang wanita yang demikian cantik manis dan menggairahkan, yang menantang lagi, tentu saja jantungnya sudah berdebar tegang, membayangkan hal-hal yang amat menyenangkan. Akan tetapi dia pura-pura tidak mengerti.

“Maksudmu bagaimana?”

“Hi-hik, orang muda yang ganteng. Kita dapat saling menolong mengusir kesepian masing-masing, saling menghangatkan dan saling mengobati hati rindu. Akupun bermalam disini. Kamarku disana. Marilah kita bicara dikamarku!” Wanita itu menunjuk ke kiri.

Akan tetapi biarpun gairahnya sudah bangkit oleh kecantikan wanita yang menantangnya itu, Ki Liong bukan orang yang ceroboh atau bodoh. Dia selalu berhati-hati karena maklum bahwa dia mempunyai banyak musuh. Dia tidak mengenal siapa wanita ini sehingga bahaya tetap saja mungkin mengancamnya. Siapa tahu ini merupakan sebuah perangkap dan dia tidak begitu bodoh untuk memasuki perangkap hanya karena tertarik paras cantik dan sikap genit memikat.

“Nona, usulmu memang baik dan memikat. Kita dapat saling menghibur. Akan tetapi, kamarku lebih dekat. Maka, kalau benar engkau menghendaki dan jujur, mari kita bicara dikamarku saja.”

Wanita itu tersenyum dan mengedipkan matanya.
“Tapi….. kamar gadis Tibet itu berdampingan dengan kamarmu. Kalau ia mendengar….”

Ki Liong tersenyum.
“Perlukah kita membuat gaduh? Bicarapun dapat berbisik kalau mulut dan telinga kita saling berdekatan.” Dia pun mengedipkan matanya.

Wanita itu tertawa, tampa menutupi mulutnya dan hal ini memang tidak perlu. Mulutnya amat menarik kalau ia tertawa. Hanya ia menahan diri sehingga suara tawanya tidak nyaring. Dan iapun mengangguk.

“Mari kita berlumba siapa yang dapat masuk lebih dulu kekamarmu tanpa mengeluarkan suara gaduh sedikitpun!” kata wanita itu. “Yang kalah harus menuruti semua permintaan yang menang.”

Ki Liong tersenyum. Kalah atau menang sama enaknya baginya, baik dia yang memerintah atau yang diperintah,

“Baik, silahkan!” katanya, akan tetapi terkejutlah dia melihat wanita itu bergerak cepat sekali, seperti meluncur saja menuju ke kamarnya.

Diapun cepat mengerahkan gin-kangnya mengejar, namun ketika dia meloncat ke dalam kamarnya melalui jendela yang terbuka, wanita itu rebah diatas pembaringan sambil tersenyum dan mengembangkan kedua lengannya.

“Nah, kau kalah. Sekarang kuperintahkan tutup dan palang daun jendela, lalu ke sinilah, aku kedinginan!”

Dengan patuh dan dengan senang hati Ki Liong mentaati perintah itu. Mereka segera mendapat kenyataan yang amat menyenangkan hati mereka karena mereka itu bagaikan minyak bertemu api.

Ki Liong menemukan seorang wanita yang benar-benar menggairahkan, berpengalaman dan bagaikan bunga sudah mekar sepenuhnya, bagaikan buah sudah masak benar. Dilain pihak, wanita itupun dengan heran dan gembira menemukan seorang pemuda yang sama sekali tidak hijau seperti yang disangkanya semula, melainkan seorang laki-laki yang banyak pengalaman dan pandai menyenangkan hatinya.

Tidak mengherankan jika mereka segera menjadi amat mesra dan akrab, tidak seperti dua orang yang baru bertemu melainkan sebagai sepasang kekasih yang sudah saling berkasih-kasihan selama bertahun-tahun. Keduanya pun menjadi semakin kagum ketika mereka saling menceritakan riwayat masing-masing dengan sejujurnya. Keduanya dapat merasakan bahwa mereka masing-masing telah bertemu dengan orang yang dapat dipercaya sepenuhnya, orang yang memiliki kecocokan hati.

Wanita itu memperkenalkan dirinya. Ia bukan lain adalah Tok-ciang Bi Moli (Iblis Betina Cantik Tangan Beracun) Su Bi Hwa! Ketika Sim Ki Liong mendengar bahwa kekasihnya yang cantik manis dan pandai menyenangkan hatinya ini murid Pek-lian Sam-kwi, tahulah dia bahwa wanita ini memang seorang tokoh sesat yang berilmu tinggi, pantas sekali menjadi kekasihnya dan juga sekutunya. Diapun bercerita terus terang siapa dirinya.

Ketika mendengar bahwa pemuda ganteng itu adalah murid Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah, Su Bi Hwa terkejut bukan main sampai ia melompat turun dari atas pembaringan dan memandang pemuda itu dengan muka pucat dan mata terbelalak.

“Pen….., Pendekar Sadis….?”

Ia berseru dalam bisikan. Siapa orangnya tidak gentar mendengar nama julukan itu? Bahkan para datuk sesat sekalipun menjadi gentar kalau mendengar nama Pendekar Sadis. Pendekar itu memang sekarang jarang meninggalkan pulaunya dan tidak pernah mencampuri urusan dunia persilatan. Akan tetapi sekali dia keluar, kalau ada penjahat bentrok dengan dia, maka nasib penjahat itu akan mengerikan sekali.

Pendekar Sadis terkenal tak pernah dapat memberi ampun kepada musuhnya, dan dia bukan hanya membunuh, akan tetapi juga menyiksa lawannya sedemikian rupa sehingga para penjahat lain yang mendengarnya menjadi ngeri dan ketakutan.

Ki Liong tersenyum dan diapun melompat turun, merangkul dan menarik Bi Hwa ke dalam pelukannya.

“Jangan takut, manis. Aku adalah muridnya, dan aku tidak sadis seperti guruku. Lihat, aku tidak sadis terhadap dirimu, bukan?”

Bi Hwa menghela napas panjang.
“Ihh, engkau sungguh mengejutkan hatiku, Ki Liong. Pantas engkau lihai bukan main. Kiranya engkau murid Pendekar Sadis.”

“Bekas muridnya, Bi Hwa. Aku sudah diusir dari pulau Teratai Merah dan tidak diakui lagi sebagai murid.”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar