Ads

Senin, 03 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 41

Kaisar Cia Ceng (1520-1566) dari Kerajaan Beng-tiauw adalah seorang kaisar yang sebetulnya tidak dapat dibilang bijaksana. Dia bahkan lemah dan tentu akan menjadi permainan para penjilat yang menjadi pembesar di sekelilingnya kalau saja di dalam pemerintahannya tidak ada dua orang menteri yang pandai dan bijaksana.

Yang pertama adalah Menteri Yang Ting Hoo yang ahli siasat dan mengatur pemerintahan, sabar dan bijaksana. Usia menteri ini lima puluh tiga tahun dan dia adalah merupakan orang kedua setelah menteri Cang Ku Ceng yang usianya lima puluh enam tahun. Menteri Cang Ku Ceng merupakan menteri yang disegani kaisar dan untung bagi negara bahwa kaisar masih suka mendengar nasihat kedua orang menteri itu, terutama Menteri Cang Ku Ceng.

Menteri Cang Ku Ceng yang usianya lima puluh enam tahun itu masih nampak kokoh kuat. Tinggi besar dan brewok, dengan tubuh tegap, namun sikapnya halus dan dia cerdik bukan main. Kemajuan yang dicapai Kaisar Cia Ceng sebagian besar karena jasa Menteri Cang Ku Ceng. Namun, Menteri Cang tidak pernah mau menonjolkan dirinya. Dia menganggap bahwa semua hasil jerih payahnya itu merupakan tugas, merupakan kewajiban seorang pejabat pemerintahan. Dia menghambakan diri demi rakyat, demi negara, demi kaisar.

Kalau ada penyelewengan di lingkungan istana, dia tidak segan-segan untuk menegur dan memperingatkan kaisar. Hal inipun dia anggap sebagai tugas seorang pejabat. Bukan hanya menyenangkan hati kaisar saja tugas seorang pejabat, melainkan juga menjaga agar kaisar dan seluruh pembantunya melaksanakan tugas dengan baik dan adil.

Cang Taijin (Pembesar Cang) atau Menteri Cang ini hanya mempunyai seorang putera yang bernama Cang Sun. Dari beberapa orang selirnya, dia hanya mempunyai seorang anak perempuan yang bernama Cang Hui. Cang Sun berusia tiga puluh tahun, tampan dan lembut, seorang sastrawan yang pandai. Sedangkan adik tirinya, Cang Hui, berusia delapan belas tahun, cantik manis dan lincah jenaka.

Pada waktu itu, biarpun usianya sudah tiga puluh tahun, Cang Sun belum menikah. Menteri Cang dan isterinya sudah seringkali membujuk, namun Cang Sun selalu menolak. Pernah Cang Sun jatuh cinta kepada pendekar wanita Cia Kui Hong yang membantu Menteri Cang mengamankan negara, akan tetapi pendekar wanita yang menjadi ketua Cin-ling-pai itu tidak membalas cinta kasih pemuda bangsawan itu karena ia sendiri sudah jatuh cinta kepada pendekar petualang Tang Hay yang dijuluki Pendekar Mata Keranjang.

Dan sejak kegagalan cinta itu, Cang Sun tidak pernah setuju untuk dinikahkan dengan gadis manapun pilihan orang tuanya. Padahal, banyak dara yang pandai dan cantik, lebih cantik dari Cia Kui Hong, yang dicalonkan menjadi isterinya, namun Cang Sun selalu menolak.

Hal ini membuat Menteri Cang dan isterinya kadang termenungg dan berduka. Pembesar ini terlalu bijaksana untuk memaksa puteranya. Dia tahu bahwa untuk satu hal ini, yaitu pernikahan, amat tidak baik kalau digunakan paksaan. Dia hendak memberi kebebasan memilih kepada puteranya. Akan tetapi, usia puteranya sudah tiga puluh tahun dan nampaknya Cang Sun belum juga berminat untuk memilih seorang wanita sebagai jodohnya! Dan menurut penyelidikannya melalui para petugas, di dalam pergaulannya, Cang Sun tidak pernah mendekati wanita, tidak pernah mengunjungi rumah pelesir.

Cang Taijin dan isterinya lalu berusaha untuk mendekatkan putera mereka itu kepada seorang gadis yang baik. Mereka tentu saja merasa cemas. Cang Sun merupakan putera tunggal, penyambung keturunan keluarga Cang! Akhirnya mereka menemukan pilihan mereka. Dara itu berusia delapan belas tahun dan bukan orang luar. Namanya Teng Cin Nio, seorang gadis yang cantik jelita, manis, pendiam, pandai dan cerdas. Juga ia masih saudara misan puteri mereka, jadi masih keponakan dari ibu Cang Hui yang menjadi selir Menteri Cang.

Ayah dan gadis itu tentu saja merasa bangga bahwa puteri mereka dipilih oleh Menteri Cang untuk dijodohkan, atau setidaknya, dicalonkan sebagai jodoh Cang Sun. Maka, mereka menyetujui sepenuhnya ketika Menteri Cang dan selirnya minta agar Teng Cin Nio tinggal di rumah bangsawan itu.

Akan tetapi, biarpun Cin Nio dan Cang Hui segera akrab sekali karena mereka memang saudara misan, Cang Sun tidak kelihatan tertarik. Biarpun demikian, Menteri Cang tidak putus asa dan selirnya selalu berusaha mendekatkan dua orang muda ini.

Bagi Cin Nio sendiri, tentu saja dalam sudut hatinya, ia merasa setuju karena sejak kecil ia memang sudah kagum terhadap Cang Sun yang terkenal ganteng dan terpelajar, putera bangsawan yang berkedudukan tinggi dan kaya raya! Namun, ia seorang gadis pendiam dan biarpun seringkali misannya, Cang Hui menggodanya, ia tidak pernah memperlihatkan rasa kagum dan harapannya terhadap pemuda bangsawan itu.






Cang Hui amat mengagumi Cia Kui Hong, pendekar wanita yang pernah membantu ayahnya membasmi para pemberontak, dan tadinya ia sudah merasa gembira mendengar bahwa ayahnya ingin mengambil pendekar wanita itu sebagai menantunya. Akan tetapi, ia merasa kecewa sekali ketika Kui Hong menolak dan meninggalkan kota raja. Ia merasa penasaran dan timbul keinginannya untuk belajar ilmu silat!

Ketika ia mengajukan permohonan kepada ayahnya, Menteri Cang yang bijaksana tertawa dan tidak keberatan. Ilmu silat memang penting, pikirnya, biar untuk anak perempuan sekalipun. Pertama, ilmu itu menyehatkan badan, kedua, ilmu dapat dipergunakan untuk membela diri dari ancaman perbuatan jahat dan mendatangkan jiwa pendekar yang gagah dan membela kebenaran.

Dia bukan saja menyetujui, bahkan dia lalu memilih seorang diantara para panglimanya yang ahli silat, yaitu Panglima Coa yang usianya sudah enam puluh tahun, untuk menjadi guru silat bagi puterinya.

Kegembiraan Cang Hui bertambah ketika adik misannya, Teng Cin Nio, yang kini tinggal dirumah keluarganya, ternyata pernah belajar ilmu silat pula. Dengan demikian, ia mempunyai teman untuk berlatih silat.

Hanya Cang Sun yang tidak suka belajar ilmu silat. Dia bahkan mengejek adiknya yang suka belajar ilmu silat.

“Engkau ini anak perempuan untuk apa belajar ilmu silat dan bermain-main dengan pedang? Apakah engkau ingin menjadi perajurit, atau pembunuh?”

“Sun-koko (kakak Sun) jangan begitu! Aku belajar ilmu silat agar aku dapat menjaga diri. Kalau aku lemah, bagaimana aku dapat membela diri apabila diganggu orang jahat.”

“Hemm, siapa akan berani mengganggu, Adikku? Ayah kita adalah seorang menteri, dan banyak perajurit yang siap untuk membela kita apa bila ada marabahaya datang. Juga disampingmu ada ayah, ada aku, ada para pengawal. Kelak kalau engkau sudah menikah, ada pengganti kami untuk menjagamu, yaitu suamimu.”

Wajah dara itu berubah merah.
“Ihh, Sun-koko, apa-apaan engkau bicara tentang suami? Aku hanya ingin menjadi seorang wanita yang perkasa, seperti enci Kui Hong itu!”

Disebutnya nama pendekar wanita ini membuat Cang Sun mengerutkan alisnya dan diapun tidak mau menggoda adiknya lagi, apalagi pada saat itu muncul Cin Nio yang mencari saudara misannya. Cang Sun segera pergi meninggalkan dua orang gadis itu.

Cang Sun meninggalkan taman dimana dia bertemu dengan adiknya tadi dengan wajah muram. Ucapan adiknya mengingatkan dia akan seorang gadis pendekar yang sesungguhnya merupakan wanita pertama yang pernah menjatuhkan hatinya, Cia Kui Hong!

Gadis yang selain cantik jelita dan memiliki daya tarik yang kuat sekali, juga seorang pendekar yang memiliki ilmu kepandaian yang hebat! Dan dia pernah tergila-gila kepada Kui Hong. Tadinya dia sudah merasa yakin bahwa gadis itu tentu akan menjadi isterinya. Betapa senangnya mempunyai seorang isteri yang selihai itu, keamanan keluarganya akan terjamin keselamatannya! Dia merasa yakin karena dia tahu bahwa dirinya dirindukan hampir semua gadis di kota raja. Tentu Kui Hong juga akan menerima pinangannya. Dia putera Menteri Cang yang terkenal.

Akan tetapi, ternyata ketika dia menyatakan cintanya, gadis pendekar itu dengan terang-terangan menolak cintanya, bahkan mengatakan bahwa gadis itu telah mempunyai seorang pilihan hatinya sendiri! Cang Sun merasa terpukul dan sampai kini dia tidak pernah mau menerima bujukan orang tuanya untuk memilih seorang gadis sebagai isterinya. Dianggapnya bahwa tidak ada gadis lain yang dapat menggantikan Kui Hong dalam hatinya, tidak ada gadis sehebat Kui Hong!

Ketika adiknya menyebut nama Kui Hong, dia merasa tertusuk hatinya, dan kenangan akan gadis pendekar itu membuat Cang Sun murung. Dia lalu keluar dari taman, terus menuju ke halaman depan dan keluar dari halaman ke jalan raya. Dia menyambut pemberian hormat para petugas jaga di depan dengan sikap acuh, lalu melangkah keluar tanpa tujuan.

Kakinya membawanya berjalan ke luar kota, dan dia tidak memperdulikan orang-orang yang bersimpang jalan memberi hormat kepadanya. Tidak perduli pula akan kerling dan pandang mata banyak mata wanita ditujukan kepadanya.

Pada waktu itu, Menteri Cang Ku Ceng bertugas di Nan-king, yaitu ibu kota kedua setelah Peking. Adapun Menteri Yang Ting Hoo yang bertugas di Peking. Kaisar Cia Ceng mengerti bahwa dia hanya dapat percaya dan mengandalkan kebijaksanaan dua orang menteri setia inilah. Maka dia sengaja membagi tugas kepada mereka.

Yang Ting Hoo yang lebih ahli dalam urusan ketentaraan bertugas di Peking, sedangkan Cang Ku Ceng yang ahli dalam urusan dalam negeri, juga pandai mengamankan para pejabat daerah yang suka memberontak, ditugaskan di Nan-king. Karena tugas ini, Menteri Cang sekeluarga pindah ke Nan-king dimana dia memang mempunyai sebuah gedung yang disediakan pemerintah untuknya.

Di luar kota Nan-king disebelah selatan terdapat sebuah danau kecil, dan tempat ini merupakan tempat dimana Cang Sun seringkali menghibur diri. Pemuda ini suka menyendiri, mendayung sebuah perahu kecil, membawa makanan dan arak, juga alat tulis untuk membuat sajak atau memainkan sebuah yang-kim (semacam gitar) sambil melamun di bagian danau yang sunyi.

Apalagi saat itu hatinya sedang gundah, teringat akan Kui Hong, maka begitu dia mendayung perahunya menuju ke bagian yang sunyi di danau itu, jauh dari perahu lain, dia membiarkan perahunya terapung-apung dan dia sendiri duduk melamun.

Dia tidak menulis sajak, tidak pula memukul yang-kim, melainkan hanya melamun dan membayangkan semua kenangan indah bersama Kui Hong ketika gadis pendekar itu tinggal di rumah orang tuanya di Peking, ketika Kui Hong membantu ayanya melakukan penyelidikan tentang kerusuhan yang terjadi di istana kaisar (baca Kisah Si Kumbang Merah).

Cang Sun sama sekali tidak tahu bahwa sejak dia keluar dari pekarangan rumah keluarganya, ada dua pasang mata mengikutinya sampai ke danau itu. Bahkan ketika dia mendayung perahu kecilnya, sebuah perahu kecil lain tak lama kemudian mengikuti dari jauh. Setiap gerak-gerik yang dilakukan Cang Sun diamati pendayung perahu lain itu, yang kini hanya seorang saja, sedangkan pemilik mata yang lain masih mengamatinya dari jauh, dari tepi danau.

Dia baru tahu setelah perahu kecil bercat hitam itu meluncur mendekati perahunya. Dia menengok dan melihat ada seorang laki-laki yang mengenakan caping lebar di atas perahu itu. Sama sekali dia tidak dapat melihat wajah orang itu yang tertutup caping sama sekali. Setelah perahu itu menabrak perahunya sendiri, dia terkejut dan menegur marah.

“Heiiii…….! Apa engkau tidak melihat ada perahu di depanmu? Kenapa engkau menabrak saja?”

Cang Sun menggunakan dayungnya untuk mengembalikan keseimbangan perahunya yang terguncang oleh tabrakan itu.

Orang bercaping itu mengangkat mukanya dan nampaklah kini wajah dibawah caping lebar. Cang Sun terbelalak karena wajah itu tertutup kedok saputangan hitam! Yang nampak hanya sepasang mata yang mencorong!

“Heiii! Siapa engkau dan mau apa…..!”

Belum habis ucapannya, orang berkedok itu telah meloncat dari perahunya ke atas perahu Cang Sun dan sebelum Cang Sun sempat berteriak, tangan orang itu bergerak dan Cang Sun tak mampu menggerakkan kaki tangannya lagi! Dia telah tertotok dan sekali lagi tangan orang itu menyentuh leher Cang Sun, membuat pemuda bangsawan itu bukan saja tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, bahkan tidak mampu mengeluarkan suara! Dia hanya dapat memandang kepada orang berkedok itu dengan sinar mata terkejut, heran dan juga ketakutan.

Orang berkedok itu bicara dengan suara yang parau dan dalam sehingga aneh menyeramkan.

“Engkau kusandera. Hanya kalau ayahmu telah menyerahkan uang seribu tail kepadaku, engkau kubebaskan. Kalau dalam waktu sehari semalam uang itu tidak diserahkan kepadaku, aku akan menyiksamu sampai mati.”

Tentu saja Cang Sun terkejut bukan main. Dia memang penakut, dalam arti kata tidak menyukai kekerasan, akan tetapi sama sekali bukan pengecut! Bagaimana ayahnya akan tahu bahwa dia diculik orang dan bagaimana pula akan dapat menebusnya? Akan tetapi karena dia tidak mampu bergerak dan bersuara, maka diapun diam saja.

Orang itu sudah mendayung perahunya, dan meninggalkan perahu orang itu yang berwarna hitam tadi. Perahu di dayung cepat ke pantai oleh orang berkedok itu. Dan di pantai itu telah menanti pemilik sepasang mata yang ke dua, yang bersembunyi di balik semak-semak. Pantai itu memang bagian yang sunyi dan tidak nampak seorangpun manusia disitu.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar