Ads

Selasa, 04 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 49

Kita tinggalkan dulu Mayang, Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa yang telah mendapatkan kedudukan yang baik di rumah keluarga menteri Cang Ku Ceng. Sudah lama kita meninggalkan Hay Hay.

Setelah bertemu suami isteri yang aneh, isterinya cantik dan suaminya buruk, si cantik yang bodoh dan si buruk yang pintar, Hay Hay melanjutkan perjalanan. Hatinya terasa ringan dan udara pegunungan terasa sejuk segar menyehatkan. Betapa nikmat dan indahnya hidup ini apabila pikiran tidak dilanda prahara! Hay Hay berjalan-jalan di pegunungan yang sunyi itu, menikmati keindahan alam senja.

Matahari condong ke barat, meninggalkan cahaya kemerahan yang amat indah di langit barat. Langit seperti di sepuh emas, ada warna emas, biru dan putih perak yang indah dilator belakangi warna merah redup.

Pada saat itu, pikirannya kosong, tidak terisi ingatan apapun, tidak muncul kenangan apapun, tidak timbul pendapat dan penilaian. Kelima alat jasmaninya bekerja dengan sepenuhnya. Matanya memandang semua yang terbentang di depannya tanpa menilai. Tidak ada sebutan indah dalam pikiran, namun yang nampak mendatangkan perasaan yang tak dapat dilukiskan bagaimana. Mungkin itulah perasaan damai dan tenteram, semua yang nampak ditelan dalam ingatan.

Telinganya menangkap suara burung yang berkelompok beterbangan kembali ke sarang mereka, nyanyian katak diperairan yang berdendang menyambut datangnya malam. Hidungnya menyambut semua ganda yang segar dari pohon-pohon, rumput dan tanah, diselingi keharuman kembang disana-sini, menghirup udara yang memenuhi dadanya sepenuh-penuhnya sampai ke ujung pusar.

Hay Hay ingin tertawa ketika dia berdiri di puncak bukit dan menghadap ke barat, melihat matahari telah menjadi bola besar merah yang mulai tenggelam di balik kaki langit. Dan diapun tidak menahan keinginannya itu. Dia tertawa bergelak, lepas bebas sehingga suara tawanya bergema di seluruh permukaan bukit. Belum pernah selama hidupnya dia tertawa seperti itu!

Baru terasa olehnya betapa biasanya, kalau dia tertawa di depan orang lain, suara tawanya terkendali, terdorong sesuatu bahkan terkekang sesuatu, tidak dapat bebas lepas seperti ini. Bahkan dia merasa betapa suara tawanya itu biasanya palsu, hanya demi sopan santun, demi menyenangkan orang, tidak seperti sekarang ini. Dia tertawa tanpa sebab tertentu. Tertawa yang timbul dari perasaan diri ada dan bersatu dengan alam, perasaan bebas!

Kenapa dia biasanya hidup diantara manusia-manusia lain lalu menjadi terbelenggu oleh kebiasaan-kebiasaan umum, membuat dia tak pernah merasa bebas seperti ini? Kehidupan di dunia ramai membuat dia bagaikan sebuah biduk yang oleng ke sana-sini, dipermainkan gelombang kehidupan yang penuh dengan ombak suka-duka, lebih banyak dukanya dari pada sukanya.

“Siancai (damai) ….! Sungguh mengagumkan, masih dapat aku mendengar suara tawa seindah itu. Puji syukur kepada Tuhan Maha Kasih, suara tawa itu datang dari surga…….!”

Hay Hay membalikkan tubuhnya dan dia melihat seorang kakek tertatih-tatih mendaki puncak. Kakek itu usianya sudah tua sekali, tentu sudah ada delapan puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus, rambut dan jenggot kumisnya sudah putih semua, gerak-geriknya membayangkan kelembutan dan kelemahan. Dengan tongkatnya dia melangkah satu-satu dan hati-hati agar jangan sampai tersandung batu, menuju ke tempat Hay Hay berdiri.

Melihat ini, otomatis timbul rasa hormat dan iba di hati Hay Hay, dan diapun cepat menghampiri dan membantu kakek itu, menuntun dengan memegangi tongkatnya. Ketika mereka tiba di puncak itu, si kakek duduk di atas batu yang halus sambil terengah-engah. Akan tetapi wajah yang dikelilingi rambut putih halus itu nampak segar kemerahan seperti wajah anak kecil. Mata kakek itupun bersinar-sinar lembut, ketika tersenyum mulutnya sudah tak bergigi sebuahpun, membuat wajah itu semakin mirip wajah kanak-kanak!

Hay Hay memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk.

“Maaf, Totiang (bapak pendeta), bolehkah saya mengetahui, siapa Totiang dan tinggal dimana?”

“Ho-ho, orang muda, aku bukan pendeta. Aku seorang manusia yang sudah tua dan lemah badannya, aku seorang kakek-kakek jompo, heh-heh. Aku sendiri sudah lupa nama apa yang diberikan kepadaku, aku seorang kakek tanpa nama.”

“Bu Beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama)? Itukah sebutan untuk kakek?” Hay Hay bertanya.

“Heh-heh-heh-heh, tidak ada sebutan apa-apa. Dan tempat tinggalku adalah dimana tubuh ini berada. Rumahku alam ini, atap rumahku langit, lantaiku bumi, dindingku empat penjuru, heh-heh. Adakah yang lebih indah daripada alam ini? Adakah lauk yang lebih lezat dari pada lapar? Adakah tempat tidur yang lebih enak daripada kantuk? Adakah yang lebih kaya daripada yang tidak menginginkan apa-apa?”






Hay Hay memandang kagum. Mungkin kakek ini seorang yang memiliki jasmani yang lemah, akan tetapi dia tidak melihat jiwa dan semangat yang lemah!

“Kakek yang bijaksana, saya merasa beruntung sekali dapat bertemu dan bercakap-cakap dengan kakek disini. Nama saya Hay Hay dan juga seperti kakek, saya tidak mempunyai rumah tinggal yang tetap. Setelah berjumpa denganmu, saya yakin akan menemukan jawaban dari banyak pertanyaan tentang kehidupan yang selama ini mengganggu hatiku. Kakek yang baik, maukan kakek menerangkan, apakah bahagia itu dan bagaimana saya bisa memperolehnya?”

Kakek itu terkekeh-kekeh, seolah pertanyaan Hay Hay itu terdengar lucu sekali.
“Heh-heh-heh, mari kita duduk, orang muda. Mari kita bicara. Angin bicara pada pohon dan daun, burung-burung bicara, alam bicara, akan tetapi siapa mau mendengarkannya? Kulihat engkau bersungguh untuk mengetahui, marilah kita sama-sama menyelidikinya. Mari kita renungkan dan bicarakan, apa sih artinya bahagia itu? Orang muda, pernahkah engkau berbahagia?”

Hay Hay termenung, mengingat-ingat. Baru-baru saja ini ketika dia berada di samping Kui Hong, melakukan perjalanan bersama gadis yang dicintanya, bercakap dan bergurau, dia merasa berbahagia sekali! Akan tetapi ketika perjodohan itu tak disetujui keluarga Kui Hong dan dia terpaksa meninggalkan gadis itu, dia merasa berduka sekali. Akan tetapi, kedukaan itupun lewat begitu saja dan kini sudah hampir tak berbekas. Banyak suka duka seperti itu dialaminya sepanjang hidupnya, susah senang silih berganti mengisi hidupnya. Akan tetapi bahagia?

“Entahlah, Kek. Pernah aku merasa seperti berbahagia, akan tetapi dilain saat perasaan itu lenyap berganti duka dan sengsara. Aku tidak tahu apakah itu perasaan bahagia ataukah bukan?

“Yang berganti duka adalah suka, orang muda. Yang berganti susah adalah senang. Senang susah memang menjadi bagian daripada isi kehidupan ini, yang satu tak terpisahkan dari yang lain, sambung menyambung dan susul menyusul, seperti siang dan malam, terang dan gelap, atas dan bawah, langit dan bumi. Kalau ada yang satu, pasti ada yang lain. Bagaimana orang akan dapat mengenal suka kalau dia tidak mengenal duka dan demikian sebaliknya. Adanya yang satu memang untuk melengkapi yang lain, bahkan yang satu menciptakan yang lain. Sejak kita masih kanak-kanak, sejak pikiran kita bekerja, kita sudah mengalami suka duka, senang susah itu yang ditandai dengan tawa dan tangis!”

“Engkau benar, Kakek yang mulia. Yang kurasakan itu hanyalah kesenangan dan kesusahan, kepuasan dan kekecewaan. Akan tetapi, apakah kebahagiaan itu, Kek?”

Kakek itu tersenyum memperlihatkan mulut ompongnya yang nampak bersih dan sehat.
"Orang muda, kalau kita belum pernah bertemu dengan seseorang, bagaimana mungkin kita mengenalnya? Kalau kita belum pernah makan garam, bagaimana mungkin kita mengetahui rasanya? Kalau kita belum pernah berbahagia, bagaimana kita dapat menceritakan apakah kebahagiaan itu? Seperti kita pernah alami, yang kita rasakan hanyalah senang dan susah, dan kedua perasaan itu baru timbul setelah kita menilai. Suatu peristiwa tidaklah disebut Susah atau senang sebelum kita menilainya. Susah atau senangnya tergantung dari hasil penilaian. Bukankah demikian? Karena itu, senang dan susah bukanlah suatu kenyataan, melainkan hasil penilaian pikiran. Pikiran bergelimang nafsu, maka dengan sendirinya penilaiannya didasari kepentingan diri pribadi. Yang menguntungkan menimbulkan senang, yang merugikan menimbulkan susah. Jelas bahwa penilaian adalah palsu, dan hasilnya, susah senangpun hanya bayangan palsu belaka."

"Maaf, Kek. Maukah engkau menjelaskan tentang palsunya susah senang yang timbul karena penilaian palsu sebagai hasil kerja pikiran bergelimang nafsu?"

"Contohnya hujan, orang muda. Hujan itu suatu peristiwa, tidak ada kaitannya dengan susah senang. Hujan itu suatu kenyataan, suatu kewajaran, suatu bukti kekuasaan Tuhan. Akan tetapi kita menilainya. Kalau di waktu kita menilai itu kita membutuhkan air hujan, maka hal itu dianggap menguntungkan dan karenanya kita menjadi senang dengan turunnya hujan. Akan tetapi kalau dilain saat kita terganggu oleh turunnya hujan, penilaian kita sudah berbalik, kita dirugikan dan kita menjadi susah. Kalau pada hujan pertama kita menganggap hujan itu baik dan menyenangkan, dilain kali kita menganggap hujan itu buruk dan menyusahkan. Nah, nampak sekali kepalsuan penilaian itu, bukan?"

Hay Hay mengangguk-angguk, mengerti,
"Kita sudah menyelidiki tentang senang-susah yang hanya menjadi akibat daripada penilaian yang didasari nafsu kepentingan diri pribadi. Jadi kesenangan bukanlah kebahagiaan. Lalu apakah kebahagiaan itu, Kek?"

"Nah, itulah. Bagaimana menceritakan tentang asinnya garam kepada orang yang tidak pernah makan garam? Semua orang agaknya mencari-cari kebahagiaan, heh-heh-heh."

"Benar, Kek. Semua orang haus akan kebahagiaan."

"Engkau juga, orang muda?"

"Tentu saja, Kek. Siapa orangnya yang tidak ingin berbahagia dalam hidupnya.?"

"Disanalah letak rahasianya, orang muda. Kebahagiaan tidak akan mungkin ada bagi orang yang mencari dan mengejarnya!"

"Ehh? Kenapa begitu, Kek?"

"Karena keinginan memperoleh kebahagiaan itu sendiri adalah nafsu, dan selama nafsu menguasai hati dan akal pikiran, maka yang dikejar itu tiada lain hanyalah kesenangan, yang menyenangkan, dan kita tahu tadi bahwa pengejar kesenangan sudah pasti akan bertemu pula dengan kesusahan, saudara kembarnya."

"Kalau begitu, lalu bagaimana kita dapat memperoleh kebahagiaan, Kek?"

"Ho-ho-heh-heh," kakek itu tertawa. "Pertanyaanmu itu bukankah mengandung keinginan untuk mengejar kebahagiaan pula?"

Hay Hay menjadi bengong dan bingung.
"Habis, lalu apa yang harus kita lakukan, Kek?"

"Tidak ada yang harus melakukan apa-apa. Mari kita simak dengan teliti, orang muda. Sekarang jawab sejujurnya, mengapa kita mencari kebahagiaan? Mengapa engkau menginginkan kebahagiaan?"

Ditanya demikian, Hay Hay termenung. Ya, mengapa? Sukarnya mencari jawaban! Mengapa dia mendambakan kebahagiaan? Tiba-tiba wajahnya berseri dan dia menjawab,

"Karena aku merasa tidak berbahagia, Kek! Kukira semua orang juga demikian. Mereka tidak berbahagia, maka mendambakan kebahagiaan!"

"Tepat sekali. Memang agaknya demikianlah, jawaban itu jujur dan sewajarnya. Kita selalu mencari kebahagiaan, tentu saja yang menjadi sebabnya adalah karena kita tidak berbahagia, atau lebih tepat karena kita MERASA tidak bahagia! Nah, dalam keadaan tidak berbahagia kita mengejar kebahagiaan, bagaimana mungkin itu? Keadaan tidak berbahagia merupakan kenyataan apa yang ada, sedangkan kebahagiaan masih merupakan khayalan, harapan. Bagaimana mungkin yang kotor ingin bersih? Bagaimana mungkin yang sakit ingin sehat? Yang penting, bukankah lebih tepat kalau kita mencari sebab penyakit itu, mencari penyebab yang membuat kita tidak sehat, dan menyembuhkan penyakit itu? Demikian pula, lebih tepat kalau kita menyelidiki, APA yang menyebabkan kita tidak merasa berbahagia. Kalau penyebab itu sudah lenyap, kalau kita sudah tidak sakit lagi, apakah kita membutuhkan kesehatan? Demikian pula kalau tidak ada sesuatu yang menyebabkan kita TIDAK berbahagia apakah kita butuh lagi kebahagiaan? Yang mencari air minum adalah mereka yang haus, yang tidak haus tentu tidak butuh air minum."

Hay Hay memandang wajah kakek itu dengan sinar mata berseri dan wajahnya penuh senyum maklum.

"Jelas sekali, Kek. Yang tidak merasa lagi bahwa dia tidak bahagia, tentu tidak kebahagiaan, karena DIA SUDAH BERBAHAGIA!"

"Nah, jadi yang merasa tidak berbahagia, kemudian yang mengejar-ngejar kebahagiaan, bukan lain adalah hati akal pikiran yang bergelimang nafsu, yang menamakan diri sendiri si-aku yang mengaku-aku.”

"Kalau begitu, Kek. Kebahagiaan itu sudah ada pada kita. Akan tetapi karena kita tidak merasakannya? Kenapa kita tidak merasa berbahagia walaupun tidak ada apa-apa yang mengganggu?"






Tidak ada komentar:

Posting Komentar