Ads

Selasa, 11 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 68

Sesungguhnya, apakah yang terjadi di kota Cang-cuw di Propinsi Hok-kian? Isi surat laporan itu memang benar, menceritakan keadaan yang sesungguhnya sedang bergolak dengan diam-diam dan rahasia di kota itu.

Orang-orang kulit putih Portugis, sepanjang sejarahnya, merupakan orang kulit putih pertama yang menjelajah ke Asia, dan ketika para pelaut Portugis itu pertama kali mendarat di Cina, mereka diterima baik oleh pemerintah setempat dan rakyat dengan senang hati, diperlakukan sama dengan orang-orang asing yang sudah jauh lebih dahulu berkunjung dan berdagang di Cina, seperti orang-orang Arab, dan Melayu yang sejak puluhan tahun sudah berdatangan dan berdagang dengan tenteram dan saling menguntungkan dengan rakyat Cina.

Kapal pertama dari orang-orang Portugis yang mendarat adalah milik Perestrello. Anak kapal yang dipimpin Perestrello ini diterima dengan ramah dan mereka diperbolehkan berdagang tukar-menukar barang di darat. Beberapa bulan kemudian, empat buah kapal besar datang dipimpin oleh De Andrada yang ditugaskan mengantarkan seorang duta yang datang dari pejabat tinggi Portugis di Goa.

Rombongan empat kapal inipun diterima dengan baik seperti bangsa-bagsa asing lainnya, dan rombongan duta Portugis diantar ke Peking untuk menghadap Kaisar dan seperti lajimnya pada waktu itu, para pedagang ini membawa semacam upeti atau hadiah yang akan dibalas dengan hadiah lain dari kaisar. Tali persahabatan pertama diikat.

Akan tetapi, selagi rombongan duta Portugis masih berada di kota raja, terdengar desas-desus yang tidak enak. Dikabarkan dan berita ini sampai ke istana bahwa orang-orang Portugis yang semula datang sebagai pedagang-pedagang yang ramah itu, setelah mendapat kesempatan tinggal di darat, mulai menampakkan watak asli mereka.

Seperti harimau berkedok domba, mereka mulai mengganas dan melakukan pelbagai perbuatan kekerasan mengandalkan senjata api mereka, bahkan melawan pemerintah setempat, mendirikan kedaulatan dan kekuasaan mereka sendiri. Bahkan terdengar berita bahwa orang-orang Portugis yang berada Kanton, yang dipimpin oleh Kapten Simon De Andrada, melakukan pembajakan di sepanjang sungai Mutiara (Muara Kwang-tung), bahkan selain merampoki perahu-perahu, juga membunuh dan menculik memperkosa wanita!

Makin lama, gerombolan orang Portugis itu semakin liar dan jahat. Mendengar ini, pasukan keamanan daerah di Kanton segera mengambil tindakan dan menyerang orang-orang Portugis dan berhasil mengusir kapal-kapal Portugis keluar dari muara itu. Kiranya orang-orang Portugis itu adalah bajak-bajak taut yang menyamar sebagai pedagang.

Beberapa tahun kemudian, yaitu dalam tahun 1522, ketika armada kapal Portugis yang dipimpin oleh Alphonso de Mello muncul di perairan Kanton, mereka diserang oleh armada kapal cina dan setelah terjadi pertempuran di lautan, kapal-kapal Portugis itu dapat diusir, dan sebuah kapal ditangkap, anak buah kapal dihukum sebagai bajak-bajak taut. Semenjak itu, sampai puluhan tahun tidak terdengar lagi tentang orang Portugis.

Akhimya, pada tahun 1542, yaitu enam tujuh tahun yang lalu, muncullah kapal-kapal Portugis di pantai Cina. Akan tetapi, pengalaman dua puluh enam tahun yag lalu membuat mereka tidak berani mendarat di Kanton. Mereka memilih kota Ning-po di Propinsi Cekiang, yaitu di sebelah utara, dan disini mereka diterima dengan baik oleh para pejabat di Ning-po.

Waktu yang sudah dua puluh tahun itu agaknya membuat rakyat lupa akan peristiwa di Kanton. Rakyat dan para pejabat di Ning-po menerima orang-orang Portugis dengan ramah seperti mereka menerima bangsa asing lainnya yang datang berkunjung untuk berdagang.

Mula-mula, orang-orang Portugis dapat membawa diri dan mereka melakukan perdagangan yang makin lama semakin besar, menguntungkan kedua pihak. Dan semakin banyak pula kapal Portugis datang ke Ning-po, semakin banyak orang-orang Portugis tinggal di Ning-po. Dalam waktu kurang lebih dua tahun saja, terdapat tidak kurang dari tiga ribu orang Portugis tinggal di pelabuhan ini.

Akan tetapi, setelah orang-orang Portugis ini merasa diri kuat karena mereka berjumlah banyak, apalagi mengandalkan senjata api mereka, mulailah lagi nampak watak mereka yang seperti bajak laut, apalagi setelah mereka mabuk. Mereka bahkan membangun sebuah benteng tembok yang kokoh untuk melindungi warga mereka, lengkap dengan meriam-meriam mereka. Mereka mulai memperlihatkan kekuasaan, memandang rendah sekali kaum pribumi, dengan mudah memukul bahkan membunuh orang, menculik dan memperkosa wanita.

Akhirnya, para pejabat mendapat peringatan dari kota raja yang sudah mendengar akan keadaan di Ning-po. Pemerintah mengerahkan pasukan besar menyerbu benteng. Portugis itu. Terjadilah pertempuran hebat, dan akhirnya, benteng itu bobol dan mereka yang tidak sempat melarikan diri ke kapal mereka, dibunuh.

Demikianlah, dua buah peristiwa permusuhan terhadap orang-orang Portugis terjadi di Kanton pada tahun 1522 dan di Ning-po pada tahun 1542. Namun, bagaikan semut yang tertarik oleh gula, setelah beberapa tahun tidak memperlihatkan diri, beberapa orang Portugis bermunculan di Cang-cow di Propinsi Hok-kian.






Sekitar tahun 1548 itu, kota Cang-cow merupakan sebuah kota yang amat terkenal bagi orang-orang di luar Cina. Bahkan bangsa Arab dan Melayu, sudah sejak beberapa abad menjadi pedagang-pedagang yang berhubungan amat baik dengan kaum pribumi, melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua pihak. Bangsa Arab mengenal kota Cang-cow sebagai kota Jaitun seperti tercatat dalam sejarah mereka. Di kota yang dengan tangan terbuka menerima hubungan dagang dengan semua bangsa asing ini, orang-orang Portugis juga diterima tanpa banyak kecurigaan.

Mulailah orang-orang Portugis berdatangan untuk berdagang. Di tempat inilah orang-orang Portugis menggunakan siasat lain. Mereka sudah berpengalaman dan kini mereka melakukan perdagangan dan bersiasat halus. Bukan saja mereka terorganisir, bahkan mereka dipimpin oleh seorang berpangkat kolonel bernama Simon De Andrada, putera dari mendiang Simon De Andrada yang pernah pula memimpin orang-orang Portugis yang kemudian melakukan pembajakan di sekitar sungai Mutiara dan muara Kwan-tung.

Kolonel Simon De Andrada yang sudah mendapat pesan dari atasannya melakukan siasat yang halus, menekan anak buahnya dengan keras agar mereka tidak melakukan kejahatan. Bahkan Kolonel Simon De Andrada ini melakukan pendekatan dan berhasil menyuap dan berhubungan baik sekali dengan para pejabat tinggi di Cang-cow, juga melakukan hubungan dengan orang-orang Pek-lian-kauw, juga dengan para pimpinan bajak laut Jepang.

Dengan taktik seperti ini, mulailah orang-orang Portugis menancapkan kuku-kuku mereka di Cang-cow dan karena para pejabat sudah menjadi sekutu mereka, maka laporan para pejabat itu ke kota raja selalu memuji-muji orang-orang Portugis dan dikatakan sebagai pedagang-pedagang yang mendatangkan keuntungan bagi Cina dan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat di daerah Cang-cow!

Seperti yang sudah-sudah, bangsa Portugis membangun sebuah benteng di dekat laut, benteng besar dimana semua bangsa Portugis tinggal untuk memudahkan mereka berlindung kalau terjadi sesuatu. Namun Kolonel Simon De Andrada memberi alasan bahwa benteng itu dipergunakan untuk memusatkan anak buahnya agar mereka lebih mudah dapat diawasi dan diatur. Dan para pejabat yang sudah kenyang menerima sogok dan suap, hanya mengangguk-angguk membenarkan saja. Padahal, bangsa asing lainnya, seperti bangsa Arab dan Melayu, tidak ada yang membuat benteng, tidak ada yang membawa pasukan bersenjata, melainkan tinggal bersama rakyat di kampung-kampung, walaupun tetap mereka itu berkelompok.

Karena keadaan dianggap aman dan menyenangkan, bangsa Portugis mulai mendatangkan sanak keluarga mereka, wanita dan kanak-kanak, bahkan mereka mulai mendirikan sekolah anak-anak mereka, dan juga mendirikan tempat ibadah dan pendeta-pendeta.

Kolonel Simon De Andrada mempunyai dua orang pembantu yang amat dipercaya dan diandalkan. Yang seorang adalah Kapten Armando yang berusia lima puluhan tahun bersama puterinya yang bernama Sarah. Kapten Armando hanya datang bersama puterinya, karena dia seorang duda yang sudah bercerai dari isterinya. Adapun orang kedua yang menjadi pembantu utama kolonel itu adalah Kapten Gonsalo yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun, masih membujang.

Kapten Armando adalah seorang pria setengah tua yang wajahnya ganteng sekali, dengan rambut keemasan, matanya biru dan hidungnya yang mancung tidak terlalu besar dan panjang. Mulutnya membayangkan keberanian dan dagunya yang berlekuk membuat dia nampak jantan, apalagi ditambah dengan kumisnya yang melintang dan jenggotnya yang tidak panjang. Wajah seorang laki-laki yang berwatak keras, namun sinar matanya yang biru laut itu lembut.

Puterinya, Sarah Armando, adalah seorang dara berusia tujuh betas tahun. Cantik jelita dengan raut wajah mirip ayahnya, rambutnya kuning keemasan dan matanya juga biru amat jernihnya, tenang menghanyutkan seperti air laut. Biarpun usianya baru tujuh betas tahun, namun tubuhnya sudah dewasa dan matang, dengan lekuk-lengkung sempurna.

Bagaikan setangkai bunga, Sarah sedang mekar dan semerbak harum, maka tidaklah mengherankan kalau para pria Portugis, bahkan juga bangsa lain, bagaikan kumbang-kumbang kehausan madu kalau melihatnya. Namun dara ini biarpun lincah jenaka dan berwatak gembira, ia sama sekali tidak genit dan tidak pernah mau memberi hati kepada pria manapun juga sehingga tidak ada pria yang berani menggodanya.

Kehormatan seorang wanita memang terletak kepada sikapnya kalau berhadapan dengan pria. Kerlingnya, senyumnya, gerak-gerik dan suaranya, semua itu dapat menunjukkan apakah seorang wanita itu dapat digoda ataukah tidak. Seorang wanita yang menjaga kehormatan dan pandai menjaga dirinya, akan bersikap tenang dan terbayang keagungan pada setiap gerak-geriknya, membuat pria sungkan dan segan untuk bersikap kurang ajar, karena wanita seperti itu seolah-olah setiap saat dapat meledak marah kalau diganggu secara tidak layak dan tidak sopan.

Sebaliknya, setiap orang pria sudah pasti condong untuk menggoda wanita yang sikapnya genit, yang pembawaannya seolah merupakan tantangan, dengan kerling tajam memikat, senyum menantang, dan dengan sikap seperti ini otomatis wanita itu telah membanting harga dirinya dan setiap orang pria akan senang sekali menggodanya!

Kapten Gonsalo, pembantu Kapten Armando dan merupakan orang kedua yang menjadi pembantu dan kepercayaan Kolonel Simon De Andrada, adalah seorang diantara mereka yang tergila-gila kepada Sarah. Dia yang masih membujang dan sudah berusia tiga puluh tahun itu memang mempunyai lebih banyak harapan untuk menang berlomba mendapatkan diri Sarah. Dia seorang kapten, pembantu ayah gadis itu sehingga paling dekat hubungannya dengan Sarah. Juga Kapten Gonsalo seorang pria yang bertuhuh tinggi besar, ganteng dan jantan, dengan kumis tipis dan dagu dicukur bersih dan nampak kebiruan karena jenggotnya memang tebal andai dibiarkan tumbuh.

Biarpun biasanya Kapten Gonsalo ini seorang laki-laki yang amat kasar dan suka memamerkan kekuasaan dan kekuatannya, apalagi karena dia seorang jago tinju dan ahli tembak, namun di depan Sarah dia dapat bersikap lunak dan jinak seperti seekor domba! Dengan segala daya dia berusaha untuk memikat hati gadis yang telah membuatnya tergila-gila itu.

Kapten Gonsalo selain kuat, juga dia seorang yang memiliki ambisi besar, dan amat cerdik pula. Karena itu, dia dapat menjadi orang kepercayaan Kolonel Simon De Andrada, dan diperbantukan kepada Kapten Armando. Bahkan setengah tahun yang lalu, Kapten Gonsalo pernah diutus oleh sang kolonel untuk pergi ke kota raja menghadap kaisar, dan tentu saja diantar oleh pejabat daerah.

Di hadapan kaisar, Kapten Gonsalo atas nama Kolonel Simon De Andrada dan semua bangsa Portugis, menghaturkan salam dan tidak lupa memberi hadiah yang terdiri dari benda-benda berharga dari Portugis.

Yang amat menyenangkan hati Kaisar Cia Ceng dari Kerajaan Beng adalah hadiah yang berupa sebuah senjata api pistol yang dilapis emas! Maka, Kapten Gonsalo ketika meninggalkan istana, juga membawa hadiah yang cukup berharga dari kaisar untuk disampaikan kepada Kolonel Simon De Andrada.

Semenjak diterimanya utusan itu oleh kaisar, maka para pejabat daerah semakin dekat hubungan mereka dengan orang Portugis dan bangsa ini dianggap sebagai bangsa yang diterima baik oleh kaisar sendiri!

Demikian pandainya orang Portugis di Cang Cow membawa diri sehingga tidak ada seorangpun pejabat tinggi di kota raja yang mencurigai mereka. Apalagi kaisar, sedangkan dua menteri tertinggi yang merupakan tulang punggung pemerintahan kaisar, yaitu Menteri Cang Ku Ceng dan Menteri Yang Ting Hoo, tidak mengetahui akan bahaya yang mengancam dari persekutuan gelap, di Cang Cow itu.

Ketika beberapa bulan yang lalu seorang jaksa di Cang-cow, yaitu Jaksa Yu, melihat persekutuan itu, tentu saja dia terkejut dan cepat dia menemui atasannya, yaitu kepala daerah Cang-cow untuk menyadarkannya betapa tidak benarnya persekutuan dengan orang-orang Portugis, bahkan dengan bajak laut Jepang dan pemberontak Pek-lian-kauw, kepala daerah itu menjadi terkejut.

Dia tahu bahwa Jaksa Yu seorang yang amat setia dan jujur, kalau kini dia sudah tahu akan rahasia itu, tentu dia akan melapor ke kota raja. Maka, kepala daerah itu segera mengambil tindakan tegas. Jaksa Yu sekeluarga ditangkap, dituduh hendak memberontak dan dijatuhi hukuman mati! Habislah seluruh keluarga Jaksa Yu dan berarti aman pula rahasia persekutuan itu.

Akan tetapi, kemudian baru kepala daerah mendengar bahwa ayah dari Jaksa Yu yang sudah tua, yaitu Yu Siucai, yang kebetulan sedang keluar kota, lolos dari pembasmian sekeluarga itu. Karena khawatir bahwa kakek itu tahu pula akan rahasia persekutuan mereka, maka dengan kerjasama dengan para sekutunya, mereka lalu mengutus pembunuh-pembunuh untuk melakukan pengejaran dan membunuh Yu Siucai.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar