Ads

Kamis, 20 September 2018

Jodoh si Mata Keranjang Jilid 88

"Kui Hong. Bagaimanakah engkau ini? Sudah sering datang pinangan, namun engkau selalu menolak. Engkau sudah cukup dewasa dan ayah ibumu sudah ingin melihat engkau menikah, Nak. Pinangan sekali ini datang dari murid Kun- lun-pai yang gagah, bahkan dia putera ketua Kun-lun-pai. Bagaimana engkau menolaknya pula? Sungguh kami merasa amat tidak enak hati," kata Ceng Sui Cin kepada puterinya.

"Maaf, Ibu dan Ayah. Aku sudah tidak mempunyai sedikitpun keinginan untuk menikah. Kalau dipaksakan, tentu aku hanya akan hidup menderita dan kecewa dan aku yakin Ayah dan Ibu tidak ingin melihat aku hidup menderita, bukan? Biarlah aku seperti sekarang ini, di samping Ayah dan Ibu, mengurus Cin-ling-pai."

Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin, saling pandang dengan alis berkerut. Mereka mengamati wajah puteri mereka. Kini Kui Hong jauh berbeda dengan gadis lincah jenaka yang dahulu lagi. Tubuhnya kurus, matanya tidak memancarkan cahaya seperti dahulu, mulut yang biasa tersenyum itu kini merapat, dan kalau dahulu ia ramah gembira dan suka berceloteh, kini menjadi seorang gadis yang pendiam, kaku dan seperti mayat hidup saja.

"Kui Hong, pikirkanlah baik-baik," kini ayahnya berkata. "Kurasa para peminang itu memenuhi segala syarat. Ada yang kaya raya, ada putera bangsawan, ada pula seorang pendekar yang memiliki nama terkenal, akan tetapi engkau selalu menolak. Bahkan diperkenalkanpun tidak mau. Seolah-olah engkau memang sudah mengambil keputusan untuk tidak menikah selamanya. Betulkah ?”

Gadis itu mengangkat mukanya, memandang kepada ayahya, lalu kepada ibunya. Suami isteri itu hampir tidak tahan menerima pandang mata itu. Pandang mata yang amat menyedihkan. Mata itu nampak lebar karena mukanya kurus.

"Ayah, menikah berarti penyerahan diri kepada seseorang yang untuk selama hidup menjadi teman. Bagaimana mungkin aku menyerahkan sisa hidupku kepada seseorang yang sama sekali tidak kukenal, sama sekali tidak kusukai? Daripada kelak menderita sengsara disamping orang yang tidak kusayang, lebih baik hidup seorang diri. Aku yakin Ayah dan Ibu cukup bijaksana untuk tidak memaksaku menyerahkan diri dan sisa hidupku kepada orang yang tidak kucinta."

Gadis itu menunduk kembali dan suami isteri itu saling pandang. Sudah lama mereka berdua sering bicara dalam kamar mengenai puteri mereka ini. Setelah saling pandang dengan suaminya dan menghela nafas berulang-ulang untuk mencari kekuatan, akhirnya Ceng Sui Cin yang bertanya,

"Kui Hong, apakah sampai sekarang engkau masih tetap mencinta Tang Hay?"

Bagaikan disengat kalajengkit rasanya ketika Kui Hong mendengar disebutnya nama ini oleh ibunya. Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa ibunya akan menyebut nama ini. Alisnya berkerut, wajahnya berubah pucat dan jantungnya seperti ditusuk. Ia mengangkat muka memandang kepada ayah ibuya dan melihat betapa mereka mengamatinya dengan sinar mata tajam penuh selidik.

Muncul perlawanan dalam hatinya. Selama ini ia menderita batin karena penolakan ayah ibunya terhadap diri Tang Hay, dan kini ibunya masih bertanya apakah ia masih tetap mencinta pemuda itu!

"Ibu dan Ayah!" jawabnya dan suaranya mengandung kekerasan. "Apakah cinta kasih itu dapat berubah dan dapat diganti begitu saja? Tentu saja aku masih mencinta Hay-koko, dan sampai matipun aku akan tetap mencintanya. Hanya dengan dialah aku mau menikah. Perlukah hal ini kutegaskan lagi? Ayah dan Ibu sudah tidak setuju, kenapa mesti mengungkit kembali dan menyebut namanya?"

Suami isteri itu kembali saling pandang.
"Kui Hong, jangan salah mengerti. Ayah ibumu amat sayang kepadamu dan engkau tentu sudah tahu mengapa dahulu kami tidak setuju engkau berjodoh dengan Tang Hay………"

Kui Hong bangkit berdiri, tusukan pada jantungnya terasa semakin menghujam dalam.
"Ayah, tidak perlu dijelaskan lagi, aku sudah cukup mengetahui! Ayah dan Ibu menolak karena Hay-koko adalah seorang anak haram, lahir dari perkosaan, ayahnya seorang jahanam busuk Ang-hong-cu, seorang jai-hwa-cat terkutuk!"

Dalam suaranya ini terkandung isak dan beberapa butir air mata mengalir keluar dari sepasang matanya.

"Perlukah Ayah dan Ibu mengingatkannya kembali dan menekan-nekan, menggosok-gosok luka di hatiku agar pecah kembali?"

"Kui Hong, kau kira kami sekejam itu terhadap anak sendiri?" Ceng Sui Cin mendekat dan memegang kedua tangan puterinya. "Kui Hong, kalau kami dahulu menolak adalah karena kami amat sayang kepadamu, kami ingin melihat engkau memperoleh jodoh seorang laki-laki keturunan terhormat. Kami hanya memikirkan masa depanmu, Nak. Akan tetapi, kalau sampai sekarang engkau tidak dapat melupakan dia, masih tetap mencintanya, dan hanya mau berjodoh dengannya, kalau memang hanya menjadi isterinya saja yang akan membahagiakan hatimu, kami juga tidak dapat melarangmu……….."

Kui Hong terkejut, memandang kepada wajah ibunya, lalu ayahnya.
"Apa maksud Ibu dan Ayah……..?”






Kini Hui Song berkata,
"Sudah lama aku dan ibumu memperbincangkan soal ini, Kui Hong. Akhirnya kami bersepakat bahwa kalau memang tidak ada pilihan lain, dan engkau tetap memilih Tang Hay menjadi suamimu, kami berdua tidak akan melarangmu lagi. Kau carilah dia dan ajaklah dia kesini agar kami dapat bercakap-cakap dengan calon suamimu itu."

Kui Hong terbelalak, merasa seperti dalam mimpi, hampir tidak dapat percaya, tadinya menatap wajah ayahnya, lalu perlahan-lahan memandang ibunya dan berbisik,

"Ibu……, Ibu…….., benarkah…….?"

Ceng Sui Cin tersenyum. Matanya basah.
"Benar, Anakku. Kami teringat bahwa kamipun pernah memiliki nenek moyang yang menyeleweng. Kalau ayahnya tersesat, belum tentu anaknya juga jahat. Kami telah bersikap tidak adil kepadamu, maafkan kami."

"Ibu………..!"

Kui Hong menjerit, merangkul ibunya dan bertangisan. Kemudian ia melepaskan ibunya dan menubruk ayahnya.

"Ayah………!”

Suami isteri itu merasa terharu. Sekarang mereka yakin benar bahwa puteri mereka ini amat mencinta Tang Hay. Hanya karena ingin berbakti saja kepada mereka, Kui Hong mengorbankan perasaannya, rela hidup terpisah dari kekasihnya, demi mentaati orang tua.

"Kui Hong, engkau cepatlah pergi mencari Tang Hay, ajak dia kesini. Aku ingin mengenalnya lebih baik." kata Hui Song.

"Akan tetapi, tahukah engkau kemana harus mencarinya, Anakku?" tanya ibunya.

Kui Hong tersenyum dan menyusut air matanya dengan sapu tangan, lalu mengangguk.
"Aku pasti akan dapat menemukannya, Ibu. Memang aku tidak tahu, dia berada dimana sekarang. Akan tetapi aku akan mencarinya, sampai dapat! Pernah dia berkata bahwa kalau kami sudah menikah, dia ingin tinggal di kota raja. Dia suka tinggal disana karena ramai dan mudah mendapatkan pekerjaan disana. Apalagi dia mengenal baik Menteri Cang yang bijaksana, yang tentu akan suka memberi pekerjaan kepadanya. Aku akan mencarinya ke kota raja!”

Setelah berpamit dari ayah ibunya, kakeknya, dan menyerahkan semua urusan Cin-ling-pai kepada ayahnya, Cia Kui Hong meninggalkan Cin-ling-pai pada keesokan harinya dan ayah ibu serta kakeknya yang mengantarnya sampai keluar pintu gerbang Cin-ling-pai, diam-diam merasa terharu dan juga gembira melihat betapa keputusan mereka itu dalam sehari semalam saja telah mengubah diri Kui Hong secara hebat, yang tidak mungkin dapat dihasilkan oleh obat yang bagaimana manjur sekalipun.

Gadis itu seperti telah menemukan dirinya kembali, telah kembali seperti dahulu, lincah gagah dan penuh semangat, dengan sepasang mata yang kini bersinar-sinar, wajah yang berseri-seri dan bibir yang tersenyum manja.

Ceng Sui Cin merangkul anaknya.
"Aku akan bersembahyang setiap hari, berdoa agar engkau segera dapat bertemu dengan dia dan mengajaknya pulang kesini, Kui Hong."

"Terima kasih, Ibu, dan jangan khawatir, aku pasti akan dapat menemukannya dan mengajaknya menghadap Ayah dan Ibu. Selamat tinggal."

Kui Hong mencium pipi ibunya yang basah, dan kini ia tidak menangis lagi, melainkan tersenyum melambaikan tangan kepada ayah, ibu dan kakeknya. Kemudian, iapun berlari menuruni lereng gunung dengan cepat, bagaika seekor burung terbang meninggalkan sarangnya.

Memang Kui Hong telah menemukan kembali dirinya. Semenjak ditinggal pergi Hay Hay yang membuat ia jatuh sakit, ia seperti kehilangan semangat, kehilangan gairah hidup. Biarpun ia giat mengurus Cin-ling-pai, membangun kembali perkumpulan nenek moyangnya itu yang baru saja mengalami malapetaka besar dengan menyelundupnya tokoh-tokoh sesat yang hendak menghancurkan Cin-ling-pai, namun ia bekerja seperti boneka hidup saja. Ia tidak memperdulikan dirinya sendiri sehingga tubuhnya kurus, bahkan rambutnya yang hitam panjang itu nampak kusut tak terpelihara. Semangat dan gairah hidupnya lenyap terbawa pergi bayangan Hay Hay.

Kini, harapan bertemu dan bersatu kembali dengan Hay Hay memulihkan keadaannya, mengembalikan gairahnya. Ia tahu benar bahwa Hay Hay amat mencintanya, bahwa kepergian pemuda itu meninggalkannya merupakan bukti dari cintanya yang sejati. Pemuda itu rela berkorban, rela berpisah dan menderita batin demi Kui Hong!

Pemuda itu meninggalkannya karena dia tidak ingin melihat Kui Hong bentrok dengan orang tuanya. Ia dapat membayangkan betapa Hay Hay tentu pergi meninggalkannya dengan hati hancur. Ia yakin benar bahwa Hay Hay, biarpun putera Ang-hong-cu, sama sekali tidak dapat disamakan dengan ayahnya yang jai-hwa-cat itu Orang boleh menjulukinya Pendekar Mata Keranjang, namun itu hanya karena wataknya yang gembira, suka bergurau suka akan keindahan dan tidak menyembunyikan rasa kagumnya terhadap keindahan, termasuk kecantikan wanita.

Karena keterbukaannya itulah maka dia dikatakan-mata kerajang, padahal ia tahu benar bahwa dilubuk hatinya, Hay Hay tidak mempunyai pikiran yang cabul. Dia bukan hamba nafsu berahinya. Hal ini ia ketahui benar setelah lama bergaul dengan dia. Dahulupun ia pernah mengira bahwa Hay Hay seorang pemuda yang sama dengan ayahnya, suka berjina dan berbuat mesum dengan wanita cantik mana saja. Akan tetapi sekarang ia sudah yakin.

Kui Hong melakukan perjalanan cepat. Ia tidak tahu bahwa baru tiga hari setelah ia meninggalkan Cin-ling-pai, seorang gadis yang cantik jelita, bertahi lalat di dagunya, mendakl gunung Cin-ling-san dengan gerakan cepat dan ringan menunjukkan bahwa ia seorang gadis yang berilmu tinggi.

Gadis itu bukan lain adalah Siangkoan Bi Lian. Seperti kita ketahui, pada saat Bi Lian menjadi pengantin dengan Pek Han Siong, dalam pesta perayaan pernikahan itu muncul Ban Tok Siansu dan Hek Tok Siansu yang mendendam karena menganggap bahwa kematian Ceng Hok Hwesio ketua kuil Siauw-limsi adalah karena ketua Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu, orang tua Bi Lian.

Ceng Hok Hwesio menyiksa diri, bertapa sampai mati dan dua orang pendeta aneh ini menyalahkan Siang Koan Cikang dan isterinya, dan mereka datang untuk minta pertanggungan jawab. Terjadilah bentrokan dimana Ban Tok Siansu bertanding melawan Siangkoan Ci Kang yang mengakibatkan tewasnya Ban Tok Siansu, akan tetapi Siangkoan Ci Kang juga roboh dan terkena pukulan beracun yang hebat dari Ban Tok Siansu. Hek Tok Siansu membawa jenazah suhengnya dan pergi.

Keluarga Siangkoan menjadi geger. Luka yang diderita Siangkoan Ci Kang amat parah, pukulan beracun itu sukar diobati sampai sembuh. Han Siong dan Bi Lian, juga ibu Bi Lian, hanya dapat memberi obat agar racun tidak menjalar saja, akan tetapi tidak mampu menyembuhkan sama sekali. Mereka lalu membagi tugas. Han Siong melakukan pengejaran kepada Hek Tok Siansu untuk minta obat penawar, sedangkan Bi Lian pergi mencari Hay Hay untuk meminjam mustika penyedot racun yang dimiliki Hay Hay.

Han Siong telah memberitahu kepadanya bahwa sebaiknya dia mencari Hay Hay ke Cin-ling-san, karena ketika mereka saling berpisah dahulut Hay Hay pergi bersama Kui Hong. Setidaknya, di Cin-ling-pai tentu Bi Lian akan dapat memperoleh keterangan dimana adanya Hay Hay. Demikianlah, pagi hari itu, dengan mempergunakan ilmu berlari cepat, Bi Lian mendaki pegunungan Cin-ling-san, sama sekali tidak tahu bahwa baru tiga hari yang lalut Kui Hong meninggalkan Cin-ling-pai melalui lereng yang lain.

Karena pikirannya penuh dengan kekhawatiran akan keadaan ayahnya. Maka Bi Lian melupakan urusannya sendiri. Andaikata ia tidak memikirkan keadaan ayahnya mungkin ia akan berduka sekali. Betapa tidak? Ia baru saja melangsungkan pernikahannya dengan Han Siong. Peristiwa besar dan penting baginya itu tengah dirayakan dan terjadikan kegegeran itu yang kini membuat ia terpisah dari suaminya!

Ia menjadi isteri Han Siong hanya dalam upacara saja, belum menjadi isteri yang sesungguhnya, belum melewatkan malam pengantin! Namun pada saat itu, semua ini tidak ia hiraukan, bahkan tidak diingatnya lagi karena seluruh perhatiannya tercurah pada usaha mencarikan obat untuk menyembuhkan ayahnya.

Keluarga Cia di Cing-ling-pai menyambut kunjungan gadis perkasa ini dengan heran. Akan tetapi ketika Bi Lian memperkenalkan namanya dan ingin mecari Cia Kui Hong atau Tang Hay, merekapun segera menyambutnya dengan ramah. Dari Kui Hong mereka telah mendengar banyak tentang Siagkoan Bi Lian ini. Ketika Bi Lian mendengar bahwa baru tiga hari Kui Hong turun gunung untuk mencari Hay Hay, iapun tidak ingin berhenti lama.

"Kemanakah adik Kui Hong mencari Hay Hay?" tanyanya.

"Menurut Kui Hong, ia akan mencarinya ke kota raja." jawab Ceng Sui Cin.

"Kalau begitu, harap Paman dan Bibi memaafkan, saya tidak dapat berhenti lama, saya ingin segera menyusul adik Kui Hong. Saya juga sedang mencari Tang Hay untuk meminjam mustika penyedot racun yang dimilikinya, untuk mengobati ayah yang terkena pukulan beracun."

Demikianlah, dengan tergesa-gesa Bi Lian berpamit dan pada siang hari itu juga ia menuruni kembali gunung Cia-ling-san untuk mengejar Kui Hong. Ia mengambil jalan ke arah kota raja dan mempergunakan ilmu berlari cepat.

Akan tetapi karena Kui Hong juga mempergunakan ilmu berlari cepat, dan Bi Lian sering berhenti untuk bertanya-tanya dan mencari keterangan tentang Kui Hong agar tidak kehilangan jejak, tentu saja Bi Lian tertinggal jauh. Jarak antara mereka pada permulaan saja sudah tiga hari. Bagaimanapun juga, keduanya mengambil jalan yang sama, yaitu menuju ke kota raja.

**** 88 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar