Ads

Selasa, 09 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 08

Setelah berkelana seorang diri Si Kong meninggalkan pula kebiasaannya memakai pakaian seperti pengemis, yaitu tambal-tambalan. Dengan tubuhnya yang kuat dan tenaganya yang besar, mudah baginya mencari pekerjaan kasar yang menghasilkan sedikit uang dan mulailah dia membeli pakaian yang sederhana namun tidak ada tambalannya. Dia berkelana dari kota ke kota, dari dusun ke dusun, dan berhenti beberapa bulan lamanya untuk bekerja. Setelah mendapatkan uang, dia berkelana lagi.

Pada suatu pagi, dia berjalan dengan santai mendaki sebuah bukit kecil. Dia baru saja meninggalkan kota Pu-han dimana dia tinggal sebulan lamanya untuk bekerja. Kini dia melanjutkan kelananya dengan mengantungi uang hasil pekerjaannya. Hatinya terasa ringan, segala yang nampak kelihatannya indah. Matahari belum naik tinggi, sinarnya masih kemerahan. Pemandangan di bukit kecil itu pada pagi hari amatlah indahnya.

Burung-burung berkicau, siap meninggalkan sarangnya dimana dia melewatkan malam gelap. Para petani sepagi itu sudah menuju ke sawah ladangnya membawa cangkul. Semua nampak indah berseri dan seperti itulah seyogyanya kehidupan ini. Namun sayang, batin selalu mudah terguncang sehingga menimbulkan perasaan tidak bahagia.

Si Kong mendaki makin tinggi dan di dekat puncak bukit sudah tidak ada lagi sawah ladang, melainkan padang rumput dan hutan disana-sini. Tiba-tiba dia mendengar suara orang menyanyikan sajak. Jantungnya berdebar. Gurunya, Yok-sian Lo-kai yang biasa bernyanyi seperti itu! Akan tetapi suaranya agak lain. Dia mempercepat langkahnya dan dapat menyusul seseorang yang berjalan sambil menyanyikan sajak.

“Sebelum timbul girang dan marah
sebelum terasa senang dan susah
batin berada dalam
keadaan bimbang.
Apa bila perasaan itu timbul
namun dapat mengendalikan
batin berada dalam keadaan keselarasan.
Keseimbangan dasar
termulia di dunia
dan keselarasan adalah
jalan utama di dunia”

Si Kong segera mengenal kata-kata itu. Dia sudah banyak mempelajari ayat-ayat dari kitab-kitab agama dari Yok-sian. Maka diapun mengenal syair yang dinyanyikan itu, ialah sebagian daripada isi kitab Tiong Yong. Karena suara orang itu terdengar lantang gembira, dia terbawa gembira dan seperti tanpa disadari diapun menyambung nyanyian itu dengan suaranya yang lantang.

“Apabila Keseimbangan dan Keselarasan
dilaksakan dengan sempurna,
maka keberesan abadi meliputi
langit dan bumi,
dan segala mahluk dan benda
terpelihara dengan baik.”

Mendengar ini, orang itu menghentikan langkahnya dan menoleh. Dia seorang laki-laki berusia limapuluh tahun, tubuhnya kurus kering seperti pohon kekeringan, namun wajahnya tampan dengan kumis dan jenggot terpelihara baik-baik. Orang itu membelalakkan matanya dan nampak keheranan setelah melihat bahwa orang yang menyambung sajaknya itu hanyalah seorang pemuda remaja! Dia berhenti melangkah dan menanti sampai Si Kong datang dekat.

“Engkau hafal akan ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong?” tanya orang itu, masih keheranan. “Engkau tentu seorang anak yang terpelajar!”

Si Kong tersenyum dan memberi hormat.
“Paman, saya tidak pernah bersekolah atau belajar, saya hanya menirukan apa yang pernah dikatakan suhu.”

“Siapa suhumu?”

Dengan bangga Si Kong menjawab,
“Suhu adalah Yok-sian Lo-kai.”

“Ah, dia? Pantas engkau hafal ayat-ayat Tiong Yong. Akan tetapi apakah engkau mengerti akan artinya ayat-ayat itu?”

“Justru artinya yang membingungkan aku, paman. Suhu tidak pernah menjelaskan dan hanya mengatakan bahwa kelak aku akan mengerti sendiri.”






“Mengerti sendiri memang dapat, akan tetapi ada kemungkinan pengertian itu menyeleweng dari arti yang sebenarnya. Nah, dengarlah baik-baik anak muda. Batin manusia seperti yang telah ada padanya sejak lahir memiliki Watak Asli yang sifatnya tenteram, lurus dan seimbang. Akan tetapi apabila batin diguncangkan oleh perasaan seperti suka dan duka, senang dan marah, maka keseimbangannya dapat menjadi goyah dan miring dan kalau demikian halnya, maka dia akan meninggalkan Tao atau Jalan Kebenaran atau Hukum Alam. Akan tetapi manusia disertai pula oleh nafsu-nafsu daya rendah yang saling berebut untuk menguasainya, maka tidak dapat dielakkan lagi berbagai macam guncangan itu akan menerjangnya dalam kehidupan, seperti sebuah biduk tak terbebas dari guncangan ombak. Akan tetapi kalau dia sedang diguncang nafsu, namun dapat mengendalikan perasaan itu, maka akan terciptalah keselarasan. Sudah manusiawi kalau mendapatkan sesuatu yang tidak enak, manusia berduka, apabila melihat kejadian yang tidak adil, dia marah, akan tetapi kalau semua itu dapat dia kendalikan, maka segalanya akan selaras dan dia tidak akan tenggelam ke dalam perasaan itu dan pertimbangannya akan tetap tegak dan berimbang. Demikian pula kalau menghadapi sesuatu yang mendatangkan perasaan suka dan girang, dia tidak akan mabuk dan menjadi bangga, angkuh, serakah dan selanjutnya. Demikianlah, maka seperti yang kau nyanyikan tadi, apabila Keseimbangan dan Keselarasan dapat dilaksanakan dengan sempurna, maka langit dan bumi akan menjadi beres dan tenteram, dan kehidupan di dunia akan penuh kebahagiaan.”

Si Kong memandang kagum. Jelas bahwa orang ini seorang sastrawan, atau setidaknya seorang yang terpelajar tinggi. Dia segera memberi hormat dan berkata,

“Paman, terima kasih atas penerangan semua itu. Kalau begitu, dalam kitab Tiong Yong terdapat pelajaran tentang kehidupan yang amat mendalam.”

“Dalam kitab suci, tentu saja tersimpan pelajaran yang amat mendalam. Hanya persoalannya, kalau hanya dipelajari dan tidak dilaksanakan, maka pelajaran itu menjadi benda yang tidak ada gunanya sama sekali.”

Si Kong menghela napas panjang.
“Tepat sekali, paman. Akan tetapi mengapa di dunia ini terdapat lebih banyak kejahatan daripada kebaikan, terdapat demikian banyaknya orang jahat padahal di dunia ini terdapat pelajaran agama yang demikian indah dan mendalam?”

“Ha-ha-ha-ha!” Sastrwan itu terbahak, mengingatkan Si Kong akan gurunya yang mempunyai kebiasaan tertawa lepas. “Mudah sekali menjawabnya. Karena manusia disertai nafsu-nafsu daya rendahnya yang selalu ingin menguasainya. Nafsu-nafsu daya rendah sudah menguasai manusia lahir batin, lebih kuat karena memang manusia itu lemah sehingga manusia menjadi budak dari nafsunya. Bahkan pikirannya sudah dikuasai nafsu sehingga biarpun dia tahu bahwa melakukan perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, pikiran yang sudah dikuasai nafsu itu selalu mencoba untuk membelanya dan membenarkan tindakannya yang menyimpang dari kebenaran itu. Maka orang bijaksana jaman dahulu selalu mengingatkan manusia agar berhati-hati menghadapi musuh dalam selimut, yaitu nafsu-nafsunya sendiri.”

“Wah, paman. Sungguh jelas apa yang paman terangkan itu! Terima kasih paman.”

“Dan engkau juga seorang anak yang aneh. Masih remaja akan tetapi sudah tertarik akan soal-soal kehidupan.”

“Tentu saja, paman. Bukankah saya inipun manusia hidup yang harus tahu akan kehidupan, bukan?”

“Ha-ha-ha, engkau juga cerdik Siapakah namamu orang muda?”

“Nama saya Si Kong, paman.”

“Si Kong? Nama yang bagus, engkau harus berhati-hati kalau mempunyai nama yang bagus, karena engkau harus menyesuaikan perbuatanmu dengan namamu itu! Kau tidak ingin tahu namaku?”

“Tentu saja, paman. Paman tentu seorang yang terkenal sekali di dunia.”

“Ha-ha-ha, orang-orang menyebut aku Kwa Siucai (Pelajar Kwa) dan ada pula yang menyebutku Penyair Gila! Orang-orang itu membenciku karena aku suka berterus terang menyatakan watak-watak mereka yang buruk. Aku seorang peramal, heh-heh!”

“Saya tidak suka diramal nasib saya, paman.”

“Kenapa?”

“Tahu lebih dulu akan nasib diri mendatangkan banyak kerugian. Kalau nasibnya baik akan membuat dia sombong dan tekebur, sebaliknya kalau mengetahui nasibnya buruk akan membuat dia putus asa dan murung. Tidak, saya lebih baik tidak mengetahui dan menanti saja apa yang akan datang menimpa diri kita.”

“Ha-ha-ha, cocok sekali! Aku sendiripun tidak suka meramalkan nasib sendiri. Tapi orang-orang bodoh itu ingin sekali menjenguk masa depan mereka. Dan aku hidup bebas dari rasa takut. He, Si Kong, banyak sikap yang sama diantara kita, dan melihat bentuk tubuhmu, aku tidak akan merasa heran kalau engkau lihai dalam ilmu silat. Bukankah gurumu Yok-sian Lo-kai yang lihai?”

“Saya hanya mempelajari beberapa macam pukulan dengan tongkat ini, paman.”

“Ah, engkau tentu sudah pandai mainkan Ta-kaw Sin-tung!”

Si Kong tertegun. Orang ini memang aneh. Ternyata pandai pula menebak ilmu silat yang dia pelajari dari Yok-sian Lo-kai.

“Bagaimana paman dapat mengetahuinya?”

“Engkau masih muda, sebetulnya tidak membutuhkan tongkat, akan tetapi engkau selalu membawa tongkat bambu. Apalagi kalau tidak pandai Ta-kaw Sin-tung, Tongkat Sakti Pemukul Anjing yang tersohor itu?”

“Ah, saya hanya bisa sedikit saja, paman.”

“Ada nasihat yang dikatakan orang-orang di dunia kangouw bahwa semakin orang merendahkan diri, makin lihailah dia! Sudah lama sekali aku mendengar tentang Tongkat Sakti Pemukul Anjing yang kabarnya telah mengalahkan banyak anjing dan srigala di dunia kangouw. Sekarang aku bertemu denganmu, ingin sekali aku merasakan bagaimana lihainya ilmu tongkat itu.”

“Ah, paman hanya main-main saja. Aku tidak akan mau menggunakan tongkat ini untuk memukul paman. Tongkat ini kubawa hanya untuk memukul anjing-anjing dan srigala.”

“Nah, anggap saja aku ini anjing atau srigala!”

“Tidak, paman adalah seorang yang baik hati. Aku tidak ingin berkelahi dengan paman.”

“Aku hanya ingin mencoba kelihaian tongkatmu, bukan mengajakmu berkelahi. Sekarang begini saja. Aku akan menyerangmu dan kau lawanlah dengan Ta-kaw Sin-tung. Awas, aku mulai!”

Setelah berkata demikian, Kwa Siucai atau Penyair Gila itu sudah menerjang ke depan dan tangannya menghantam ke arah dada Si Kong. Pemuda ini terkejut bukan main ketika dari tangannya yang menghantam itu menyambar hawa pukulan yang amat kuat! Kiranya Penyair Gila ini memiliki tenaga sin-kang yang amat hebat. Diapun cepat mengelak sambil memutar tongkatnya. Begitu serangan pertamanya luput, Kwa Siucai sudah menyusul dengan serangan kedua yang lebih cepat dan lebih kuat.

Kini terpaksa untuk membela diri Si Kong mainkan Ta-kaw Sin-tung, menangkis, memutar tongkat melindungi dirinya dan balas menyerang. Dalam ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung, balas menyerang merupakan gaya melindungi diri yang paling tepat. Kalau orang diserang anjing, dia harus membalas dengan serangan, bukan hanya mengelak saja, demikian inti ilmu tongkat itu.

Kwa Siucai tertawa terbahak karena girang melihat betapa pemuda itu mainkan ilmu tongkat yang ingin sekali dilihatnya itu. Dan setelah Si Kong menyerangnya secara bertubi, barulah dia menjadi repot melayaninya. Memang ilmu tongkat itu aneh bukan main. Yang dipukul kepala akan tetapi tahu-tahu ujungnya yang lain menotok ke arah kaki. Kalau yang dipukul bagian tubuh yang kanan, ujungnya yang lain menyerang tubuh kiri! Anjing-anjing memang akan menjadi bingung dan terkena pukulan kalau diserang seperti itu!

Si Kong tidak ingin melukai Kwa Siucai, maka tongkatnya hanya mendesak saja dan tidak pernah dia memukul dengan sungguh-sungguh walaupun kedua ujung tongkatnya menyerang silih berganti dan tidak memberi peluang kepada lawan untuk membalas menyerang.

“Bagus, Si Kong. Bagus sekali! Akan tetapi sekarang berhati-hatilah engkau!”

Tiba-tiba saja tubuh Kwa Siucai yang diserangnya itu lenyap! Dari hawa pukulannya yang datang dari belakang tahulah dia bahwa lawannya telah berada di belakangnya. Dia membalik dan memutar tongkatnya untuk menyerang, akan tetapi hanya kelihatan berkelebatnya bayangan orang dan tahu-tahu Kwa Siucai sudah lenyap pula. Tiba-tiba orang itu sudah berada di sebelah kananya. Kini Si Kong yang menjadi repot. Dia harus terus menangkis pukulan yang datangnya dari semua penjuru seolah tubuh Kwa Siucai berubah menjadi puluhan banyaknya!

Tahulah dia dengan hati kagum dan kaget bahwa Kwa Siucai sebenarnya seorang sakti yang memiliki ilmu meringankan tubuh yang sudah mencapai sempurna sehingga dia seperti pandai menghilang saja!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar