Ads

Selasa, 09 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 09

Karena terus diserang dari berbagai penjuru dan sama sekali dia tidak dapat balas menyerang, Si Kong sampai mandi keringat menjaga diri dari serangan yang tiba-tiba datangnya itu. Akan tetapi, mendadak setelah Si Kong kehilangan lagi bayangan Kwa Siucai, tahu-tahu tongkatnya terpegang ujungnya dari belakang. Dia mempertahankan tongkatnya sehingga tidak dapat dirampas, akan tetapi diapun tidak dapat menggerakkan lagi tongkatnya!

“Ha-ha-ha, memang bukan kosong saja berita tentang kehebatan Ta-kaw Sin-tung! Aku kagum sekali, Si Kong!”

Si Kong adalah seorang pemuda remaja yang cerdik bukan main. Dari pengalamannya bertanding tadi, tahulah dia bahwa dia berhadapan dengan seorang yang sakti yang memiliki ilmu silat tinggi. Maka, tanpa banyak cakap lagi dia segera menjatuhkan diri berlutut di depan Penyair Gila itu.

“Locianpwe telah membuka mata saya untuk melihat ilmu meringankan tubuh yang luar biasa sekali. Mohon petunjuk, locianpwe!”

“Ha-ha-ha-ha! Bagus sekali, Si Kong. Tadi ketika bertemu pertama kali melihat engkau dapat menghafal ujar-ujar dalam kitab Tiong Yong, aku sudah tertarik sekali padamu. Sekarang melihat engkau mainkan Ta-kaw Sin-tung, aku lebih kagum lagi. Agaknya kita memang berjodoh, Si Kong. Bagaimana kalau engkau menjadi muridku?”

Memang inilah yang dikehendaki Si Kong. Maka, tanpa banyak cakap lagi dia sudah memberi hormat sambil berlutut dan berkata,

“Teecu (murid) akan menaati semua perintah suhu!”

Kwa Siucai menjadi girang sekali.
“Bagus! Nah, bangkitlah dan perhatikan semua petunjukku. Kejarlah aku!”

Dan tiba-tiba saja tubuh Kwa Siucai sudah melesat seperti anak panah terlepas dari busurnya, sebentar saja sudah jauh. Melihat ini, Si Kong menjadi gembira dan diapun melompat dan mengejar. Akan tetapi betapapun dia mengerahkan tenaga untuk berlari secepatnya, tetap saja dia tidak mampu mengejar, padahal Kwa Siucai kelihatan melangkah dengan santai saja. Dipandang sepintas lalu, seolah kedua kaki Penyair Gila itu tidak menyentuh tanah!

Napas Si Kong hampir putus ketika mereka tiba di puncak bukit karena dia mengerahkan seluruh tenaganya sejak tadi. Tahu-tahu Kwa Siucai sudah menanti di puncak bukit dan tertawa melihat dia terengah-engah.

“Duduklah bersila!” perintahnya.

Si Kong menaati dan duduk bersila di depan suhunya yang juga sudah duduk bersila di atas tanah berumput.

“Bernapaslah dengan perut tarik napas sepanjang dan sekuat mungkin, tarik terus lalu keluarkan ke dalam tan-tian dan tahan sejenak, lalu keluarkan dari mulut dengan mengeluarkan suara begini!”

Kwa Siucai memberi contoh kepada Si Kong dan pada saat itu juga dia sudah mulai dilatih untuk menghimpun udara bersih dan memperkuat pernapasannya. Si Kong berlatih dengan penuh kesungguhan sehingga gurunya menjadi semakin suka.

Pada hari-hari berikutnya dia mulai melatih ginkang (ilmu meringankan tubuh) kepada Si Kong. Perlahan-lahan dia mengajarkan ilmu meringankan tubuh yang disebut Liok-te Hui-teng (Lari Terbang Di atas Tanah) dan ilmu silat yang mengandalkan ginkang dan disebut ilmu silat Yan-cu Hui-kun (Silat Burung Walet Terbang).

Tentu saja untuk mempelajari kedua ilmu ini, membutuhkan waktu lama, terutama untuk latihan pernapasan, akan tetapi Si Kong dengan tekunnya mengikuti semua petunjuk Kwa Siucai.

Dalam kehidupannya bersama guru barunya ini, Si Kong mendapatkan kenyataan bahwa Penyair Gila itu bahkan lebih miskin dibanding Yok-sian Lo-kai. Yok-sian setidaknya diterima orang dengan senang hati dan tangan terbuka karena Dewa Obat ini datang untuk mengobati orang sehingga dia dan guru pertamanya itu dimana-mana disambut orang dengan hidangan dan kehormatan. Dan kalau dia mau, dengan kepandaiannya mengobati orang, dia akan bisa mendapatkan uang.

Akan tetapi Penyair Gila ini tidak dapat menjual sajak-sajaknya yang aneh, apalagi ramalannya yang menelanjangi orang-orang sehingga membuat banyak orang merasa tidak suka kepadanya!






Dan terdapat perbedaan yang besar antara watak Kwa Siucai ini dengan Yok-sian. Yok-sian biarpun miskin namun menjaga nama dan kehormatan dirinya, tidak suka mencuri bahkan tidak pernah menjual kepandaiannya mengobati orang. Daripada mencuri dia lebih baik mengemis! Akan tetapi ternyata tidak demikian dengan Kwa Siucai.

“Orang-orang kaya yang tidak pernah mau memperdulikan nasib sesama manusia yang menderita karena kemiskinannya, adalah orang-orang yang tidak berbudi,” demikian antara lain Kwa Siucai berkata. “Orang-orang kaya itu sudah mendapatkan kemurahan dari Thian, maka sudah sepatutnya kalau dia menjadi seorang dermawan pula. Seorang hartawan harus menjadi seorang dermawan, maka barulah cocok. Kalau dia kikir, maka orang seperti itu pantas kalau dikurangi sebagian hartanya.”

Yang dimaksudkan oleh Kwa Siucai dengan dikurangi sebagian hartanya itu adalah dicuri, kemudian uang hasil curian itu dia bagikan kepada orang-orang miskin. Kwa Siucai menjadi seorang maling budiman! Dan Si Kong yang menjadi muridnya diharuskan melakukan perbuatan yang sama. Si Kong mempertimbangkan alasan Kwa Siucai itu, dan akhirnya diapun tidak keberatan untuk mencuri uang dari para hartawan untuk dibagi-bagikan kepada orang miskin.

Sejak kecil dia sudah terbiasa dengan kemiskinan dan dapat merasakan penderitaan orang miskin. Maka setelah mendapat pelajaran dari Kwa Siucai, dia merasakan betapa bahagianya orang-orang miskin yang diberinya uang hasil curian itu.

Akan tetapi semua ini dikerjakan oleh Kwa Siucai secara diam-diam. Dia mencuri tanpa meninggalkan bekas dan memberikan uang kepada orang-orang miskin tanpa mereka ketahui siapa pemberinya. Hartawan-hartawan pemeras rakyat itu tahu-tahu kehilangan sebagian hartanya, dan orang-orang miskin itu tahu-tahu menemukan uang didalam rumahnya tanpa mengetahui siapa yang memberi mereka.

Kalau guru dan murid ini mendengar adanya seorang hartawan yang dermawan, mereka sama sekali tidak mengganggu hartawan itu. Akan tetapi hartawan yang pelit dan suka memeras rakyat jelata, tidak pernah diampuni. Dan diantara yang mereka curi itu, hanya sedikit saja yang mereka pergunakan untuk keperluan sendiri. Hanya untuk membeli makan dan minum, juga pengganti pakaian sekadarnya. Semua dihabiskan untuk dibagi-bagikan kepada orang miskin!

Setelah belajar selama setahun dengan tekun sambil merantau bersama Kwa Siucai, Si Kong telah menguasai dua ilmu yang diajarkan oleh Kwa Siucai, yaitu ilmu meringankan tubuh Liok-te Hui-teng dan ilmu silat Yan-cu Hui-kun. Dia kini tinggal mematangkan saja ilmu-ilmu itu dengan latihan yang tekun.

Pada suatu hari Kwa Siucai berkata kepada Si Kong.
“Si Kong, engkau sudah menguasai dua ilmu yang kuajarkan kepadamu. Dalam waktu setahun engkau sudah dapat menguasainya, hal itu luar biasa sekali. Bakatmu amat besar dan engkau memiliki ketekunan yang teguh. Sekarang tiba saatnya bagi kita untuk berpisah!”

Si Kong terkejut sekali.
“Akan tetapi kenapa, suhu? Kenapa kita harus berpisah? Teecu masih membutuhkan bimbingan suhu dalam segala hal!”

Kwa Siucai tersenyum dan menggerakkan tangannya.
“Engkau telah menguasai Ta-kaw Sin-tung. Kalau kau gabungkan ilmu tongkatmu itu dengan Yan-cu Hui-kun, maka engkau sudah menjadi orang yang sukar di tandingi. Aku ingin kembali ke kampungku, jauh di selatan, Si Kong, dan kitapun tidak mungkin berkumpul terus. Aku dapat mengurus diriku sendiri seperti juga engkau dapat mengurus dirimu sendiri. Ada pertemuan tentu ada perpisahan, Si Kong.”

Si Kong menjatuhkan dirinya berlutut.
“Suhu, perkenankan teecu ikut dengan suhu untuk membalas semua kebaikan suhu.”

“Aih, sudahlah, tidak ada budi dan tidak ada pembalasan. Selama ini engkau menjadi murid yang baik, itu sudah cukup menyenangkan hatiku. Selamat tinggal, Si Kong!”

“Suhu……!”

Akan tetapi Si Kong melihat bayangan berkelebat dan suhunya sudah tidak berada di depannya lagi. Dia tetap berlutut lalu berkata lantang.

“Terima kasih atas semua kebaikan suhu kepada teecu!”

Dia memberi hormat beberapa kali baru bangkit berdiri dan kembali dia merasakan kekosongan di hatinya seperti ketika dulu ditinggalkan Yok-sian Lo-kai. Dia merasa kesepian dan sendiri, bagaikan seekor burung di udara, tidak tahu harus pergi kemana dan harus berbuat apa!

Dia menghela napas. Inilah kelemahannya selama ini. Dia terlalu menggantungkan dirinya kepada orang lain! Maka, begitu ditinggalkan, dia merasa kesepian dan nelangsa.

Tidak! Dia harus berani hidup sendiri! Dia mengepal tinjunya. Dia sama sekali tidak boleh lemah seperti ini. Kedua orang gurunya itu telah memberi banyak pelajaran tentang hidup kepadanya. Sekaranglah saatnya untuk memasuki kehidupan seorang diri dan menghadapi apa saja yang menimpa dirinya seorang diri. Dia bukan anak kecil lagi. Usianya sudah enambelas tahun! Dia harus berani dan harus mampu mandiri.

Si Kong seperti mendapat semangat baru. Dengan cepat dia menuruni bukit itu. Dari atas bukit itu tadi dia melihat samar-samar genteng rumah orang di bukit depan. Tentu disana ada penghuninya, maka diapun kini menuruni bukit lalu mendaki bukit di depan.
Hari telah menjelang sore dan dia ingin mencari tempat bermalam di dusun yang berada di lereng bukit itu.

Setelah tiba dilereng itu, dia melihat sebuah perkampungan yang dikelilingi tembok yang cukup tinggi. Akan tetapi agaknya itu bukan merupakan sebuah dusun karena di pintu gerbangnya yang besar terjaga oleh lima orang yang bertubuh tinggi besar dan berwajah keren.

“Hei, orang muda! Siapa engkau dan hendak kemana?” tanya seorang diantara para penjaga itu ketika melihat Si Kong hendak memasuki pintu gerbang. Lima orang itu menghadang di pintu gerbang dan sikap mereka galak.

“Maaf, aku hanya ingin memasuki dusun ini untuk mencari tempat menginap malam ini,” kata Si Kong dengan sikap tenang.

Lima orang itu saling pandang lalu tertawa bergelak. Si penanya tadi yang agaknya menjadi pimpinan membentak,

“Bocah lancang! Ini bukan dusun, akan tetapi tempat tinggal majikan kami, Tong Lo-ya (Tuan besar Tong). Orang dari luar sama sekali tidak boleh masuk!”

“Ah…….” kata Si Kong kecewa, akan tetapi dia mendapat pikiran baik dan segera berkata, “Kebetulan kalau begitu. Aku ingin menghadap majikan kalian untuk mohon diberi pekerjaan.”

Memang dalam hatinya Si Kong sudah mengambil keputusan untuk tidak mengemis seperti Yok-sian dan tidak mencuri seperti Kwa Siucai. Kedua kebiasaan ini dianggapnya tidak baik. Dia ingin bekerja untuk mendapatkan uang guna biaya hidupnya.

“Hemm, tidak demikian mudah untuk menghadap majikan kami! Dan bocah macam engkau ini dapat bekerja apakah?”

Menghadapi sikap yang angkuh dan kasar ini, Si Kong masih bersabar hati.
“Aku dapat melakukan apa saja yang kalian dapat lakukan.”

Pemimpin para penjaga itu mengerutkan alisnya.
“Kau dapat melakukan apa saja yang kami dapat lakukan? Huh, kalahkan dulu kami kalau engkau ingin diberi kesempatan menghadap Lo-ya!” dia menantang untuk menakut-nakuti pemuda remaja itu, sedangkan empat orang kawannya tertawa-tawa. Pemuda itu pasti pergi ketakutan, pikir mereka. Akan tetapi Si Kong kini merasa penasaran.

“Kalau itu yang kalian kehendaki, aku siap melawan kalian berlima!”

“Bocah gila! Melawan aku seorang saja jangan harap kau dapat menang, apalagi melawan kami berlima!” teriak seorang diantara mereka yang matanya agak juling.

“Boleh coba-coba!” kata Si Kong yang menganggap sikap mereka ini keterlaluan.

Dia sudah menancapkan tongkatnya ke atas tanah karena tidak memerlukan senjata itu untuk melawan lima orang sombong itu.

Si juling makin marah.
“Bocah gila, rasakan pukulanku ini!”

Dia menyerang dengan jotosan ke arah muka Si Kong. Akan tetapi dengan amat mudahnya Si Kong mengangkat tangan menangkap lengan yang menyambar ke arahnya itu dan sekali menggeser kakinya dia telah menekuk lengan itu ke belakang tubuh si juling, lalu mendorong ke depan. Si juling terdorong ke depan dan jatuh menelungkup!






Tidak ada komentar:

Posting Komentar