Ads

Selasa, 09 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 10

Bukan main marahnya si mata juling. Dia meloncat bangun dan sudah menyambar sebatang tombak yang disandarkan pada gardu penjagaan, lalu menyerang Si Kong dengan tusukan-tusukan tombak.

Si Kong sudah melihat bahwa kepandaian lawannya itu biasa saja, maka dia masih tidak menggunakan tongkatnya melainkan mengelak ke kanan kiri. Dan setelah mendapat kesempatan, kakinya menendang tangan lawan. Tombak itu terlepas dan terlempar sampai jauh.

Melihat ini, empat orang penjaga yang lain lalu turun tangan mengeroyok Si Kong dengan menggunakan golok dan tombak. Si mata juling juga tidak menjadi jera. Melihat teman-temannya membantu, diapun segera mengambil tombaknya yang terlempar tadi dan ikut pula mengeroyok!

Si Kong masih menghadapi pengeroyokan lima orang itu dengan tangan kosong saja. Gerakannya yang gesit sekali membuat lima orang itu bingung, bahkan kadang senjata mereka saling bertemu sendiri. Pemuda itu seperti berubah menjadi bayangan yang tidak dapat disentuh senjata mereka. Si Kong sengaja tidak mau mencari permusuhan, maka diapun hanya mengelak saja dan berloncatan ke sana sini tanpa membalas.

Tiba-tiba nampak seorang pemuda meloncat keluar dari sebelah dalam pintu gapura dan dia membentak,

“Hentikan perkelahian!”

Lima orang itu segera menghentikan pengeroyokan mereka sehingga Si Kong merasa lega. Dia melihat seorang pemuda yang perawakannya sedang dan berwajah tampan, berusia kurang lebih delapan belas tahun telah berdiri disitu dengan gagahnya.

“Ada apa ribut-ribut ini?” bentak si pemuda kepada lima orang penjaga.

Pemimpin para penjaga segera menghadap pemuda itu dengan sikap hormat.
“Maafkan kami, Kongcu. Bocah ini hendak lancang menghadap Tong Loya. Tentu saja kami melarangnya dan timbul perkelahian.”

Pemuda ini mengerutkan alisnya dan matanya memandang ke arah Si Kong. Pandangan matanya menunjukkan kemarahan dan dia memandang rendah kepada Si Kong, seorang pemuda yang pakaiannya sederhana seperti orang dusun.

“Siapa engkau yang begitu lancang hendak menghadap ayahku?” tanyanya dan nadanya menunjukkan bahwa dia tidak senang mendengar laporan para penjaga.

Si Kong segera memberi hormat, karena dia maklum bahwa pemuda yang disebut kongcu ini tentulah putera majikan Tong itu.

“Maafkan saya, kongcu. Nama saya Si Kong dan saya hanya mohon menghadap Loya untuk minta pekerjaan.”

Pemilik atau majikan tempat itu yang disebut Tong-Loya oleh para penjaga itu bernama Tong Li Koan, seorang kaya berusia lima puluh tahun yang juga terkenal memiliki kepandaian ilmu silat tinggi. Pemuda itu adalah puteranya yang bernama Tong Kim Hok, berusia delapanbelas tahun. Pemuda ini juga mempelajari ilmu silat dari ayahnya dan wataknya agak angkuh dan tinggi hati, sadar sepenuhnya bahwa sebagai kongcu (tuan muda) dia adalah majikan kecil Bukit Bangau itu dan menganggap dirinya sudah memiliki ilmu silat yang dapat dibanggakan. Kini melihat ada seorang pemuda lain berani melawan pengeroyokan lima orang penjaga, dia merasa penasaran sekali.

“Minta pekerjaan? Engkau bisa apakah?” tanyanya dengan nada tinggi.

“Pekerjaan apapun yang diberikan kepada saya, akan saya lakukan, kongcu. Pekerjaan kasarpun tidak saya tolak!”

“Pekerjaan kasar? Engkau merasa kuat?”

“Tentu saja saya merasa kuat melakukannya, kongcu.”

“Hemm, hendak kulihat sampai dimana kekuatanmu. Aku yang akan mengujimu apakah engkau pantas bekerja untuk kami. Coba lawanlah aku. Jaga seranganku ini. Hyaaaaaaatt………..!”

Si Kong terkejut sekali. Tak disangkanya akan mendapat sambutan seperti itu dari tuan muda ini. Akan tetapi diapun melihat bahwa serangan pemuda itu tidak seperti gerakan para penjaga yang hanya mengandalkan tenaga kasar. Serangan pemuda ini mengandung tenaga dalam dan dilakukan cukup cepat. Namun tidak terlalu cepat baginya dan dengan mudah dia sudah mengelak.






Serangannya yang luput membuat Tong Kim Hok menjadi semakin penasaran dan marah. Dia merasa malu kepada para penjaga itu kalau dia tidak mampu merobohkan Si Kong. Maka diapun menyerang lagi lebih cepat dan kuat.

Si Kong menjadi bingung. Tentu saja dia mampu melawan pemuda yang ilmu silatnya masih mentah itu. Akan tetapi dia tidak berani mengalahkan pemuda itu, karena pemuda itu tentu akan marah dan kalau sudah begitu, tidak mungkin dia diterima bekerja disitu. Maka diapun mengalah, setelah enam tujuh serangan dengan mengelak, dia mulai menangkis tanpa mengerahkan tenaganya sehingga setiap kali menangkis dia terhuyung kebelakang.

“Bukk….!”

Sebuah tendangan dari Tong Kim Hok mengenai lambungnya, membuat Si Kong terhuyung-huyung. Tentu saja dia sudah menjaga lambungnya yang dibiarkannya terkena tendangan itu dengan sinkang sehingga dia tidak sampai terluka.

Akan tetapi ternyata Tong Kim Hok masih belum puas dengan sebuah tendangan yang mengenai lambung Si Kong. Dia bahkan merasa penasaran sekali karena Si Kong tidak sampai roboh dan dia menyerang lagi kalang-kabut. Beberapa kali Si Kong membiarkan tubuhnya kena hantaman yang membuatnya terhuyung.

“Sudah cukup, kongcu. Saya mengaku kalah!” katanya berulang-ulang, akan tetapi Tong Kim Hok tetap saja menyerangnya terus.

Para penjaga menjadi girang melihat Si Kong dihajar. Mereka tertawa-tawa dan ada yang berkata memberi semangat kepadaTong Kim Hok.

“Hajar terus, kongcu! Pukul terus!”

Biarpun dia tidak sampai terluka, akan tetapi karena membiarkan tubuhnya mendapat pukulan-pukulan, bibir kiri Si Kong berdarah dan pipi kanannya menjadi membiru bekas pukulan. Pada saat itu, seekor kuda datang berlari dan sesosok bayangan orang meloncat dari atas punggung kuda itu.

“Cukup, koko (kakak)! Mengapa engkau memukul orang?” terdengar seruan dan diantara Si Kong dan Tong Kim Hok sudah berdiri menghadang seorang gadis remaja berusia kurang dari enambelas tahun.

Gadis ini cantik manis, dengan rambut dikuncir dua dan diikat pita merah, dibiarkan tergantung di kedua pundaknya.

“Moi-moi (adik), engkau minggirlah, biar aku menghajar bocah lancang ini!” kata Tong Kim Hok yang lehernya sudah bersimbah peluh dan napasnya agak memburu karena tadi dia mengerahkan seluruh tenaganya untuk menghajar Si Kong.

“Nanti dulu, koko. Kenapa engkau hendak menghajar orang? Apa kesalahannya?”

“Bocah itu minta bertemu dengan ayah, katanya mencari pekerjaan. Maka aku mengujinya karena dia tadi melawan lima orang penjaga kita. Nah, minggirlah, aku ingin menghajarnya sampai dia tahu rasa!”

Gadis itu bernama Tong Kim Lan berusia hampir enambelas tahun dan adik dari Tong Kim Hok. Ia memang seorang gadis lincah dan berbakat sekali dalam ilmu silat sehingga dibandingkan dengan Tong Kim Hok, ia lebih maju, terutama sekali lebih cepat sekali gerakannya dan dalam hal ilmu pedang, iapun melebih kakaknya.

Ia menoleh dan memandang kepada Si Kong yang berdiri dengan muka ditundukkan. Melihat bibir Si Kong berdarah dan pipinya lebam, ia merasa kasihan. Seorang bocah dusun minta pekerjaan malah dihajar!

“Apa salahnya minta pekerjaan? Kalau tidak ada pekerjaan, tolak saja, tidak perlu dipukuli. Dan pula, aku mendengar sendiri dari ayah bahwa dia membutuhkan tenaga seorang pembantu untuk menggembala kerbau kita. Eh, sobat siapa namamu dan apakah engkau mau diberi pekerjaan menggembala segerombolan kerbau?”

“Nama saya Si Kong, nona. Saya akan senang sekali kalau diberi pekerjaan dan rasanya saya sanggup untuk menggembala kerbau.” jawab Si Kong dan dalam hatinya dia memuji gadis ini yang sikapnya berbeda jauh sekali dibandingkan kakaknya yang angkuh. Gadis ini ramah dan lincah.

“Kalau ada seekor saja kerbaunya yang hilang, engkau harus menggantinya!” bentak Tong Kim Hok, suaranya masih marah.

“Aih, koko. Siapa sih yang berani mencuri kerbau kita? Mari kau ikut aku, Si Kong, kita menghadap ayah.”

“Terima kasih, nona.”

Si Kong mengikuti gadis itu yang memasuki pintu gerbang dan menghampiri sebuah gedung yang berdiri dengan megahnya di tengah perkampungan itu. Di kanan-kiri dan belakang gedung besar itu berdiri banyak pondok, agaknya menjadi tempat tinggal para pekerja disitu.

Tong Li Koan memang seorang kaya raya yang menjadi majikan Bukit Bangau. Dia menggunakan banyak pekerja dan mengerjakan sawah ladangnya di bukit itu juga memperkerjakan sejumlah belasan tukang pukul untuk menjaga perkampungan.

“Ayah…….!”

Kim Lan berteriak ketika memasuki rumah dan menyuruh Si Kong menanti di serambi depan. Tak lama kemudian gadis itu sudah muncul kembali bersama seorang laki-laki berusia limapuluhan tahun, berpakaian mewah dan tangan kirinya memegang sebatang huncwe (pipa tembakau) yang panjangnya setengah meter dan ketika dihisap mengeluarkan bau tembakau yang harum.

“Inikah orangnya?” tanya Tong Li Koan kepada puterinya. Dia amat menyayangi puterinya yang jauh lebih pandai dan cerdik dibandingkan puteranya.

“Ya, ayah. Namanya Si Kong dan dia mau menjadi penggembala kerbau kita.”

Si Kong sudah mengangkat kedua tangan depan dada sebagai penghormatan kepada Tong-Loya.

“Saya bersedia untuk bekerja apa saja, Loya,” katanya hormat.

Tong Li Koan memandang ke arah mulut dan pipi Si Kong lalu mengerutkan alisnya dan menuding dengan huncwenya ke arah muka Si Kong.

“Kenapa mukamu itu? Seperti orang habis berkelahi!” katanya.

Si Kong merasa tidak enak sekali untuk memberitahu bahwa dia dipukuli putera majikan itu, maka dia hanya menggumam,

“Tidak apa-apa, Loya.”

“Dia dipukuli koko, Ayah. Koko hendak mengujinya sebelum dia bekerja.”

“Ah, Kim Hok terlalu ringan tangan…” kata hartawan itu.

“Saya yang bersalah, Loya,” kata Si Kong cepat-cepat. “Saya telah berani lancang hendak menghadap loya untuk minta pekerjaan.”

“Sudahlah, engkau kuterima sebagai penggembala kerbau. Setiap hari, pagi-pagi sekali engkau harus menggembalakan kerbau-kerbau kami yang berjumlah tigapuluh ekor itu ke padang rumput, memelihara dan menjaga mereka baik-baik.”

Tong Li Koan bertepuk tangan dan seorang pembantu datang berlari kepadanya. Hartawan itu memerintahkan kepada pembantu itu untuk memberi sebuah kamar bagi Si Kong dan memberi petunjuk akan pekerjaannya menggembala kerbau.

“Beri dia kamar di pondok dekat kandang kerbau di belakang. Dan engkau, Si Kong, bekerjalah baik-baik dan engkau akan memperoleh upah yang lumayan serta makan dan pakaian yang secukupnya.”

Si Kong merasa girang sekali.
“Terima kasih, lo-ya dan siocia (nona).”

Lalu dia pergi mengikuti pembantu itu yang membawanya menuju ke kandang kerbau untuk memperlihatkan kerbau-kerbau yang harus dirawatnya, juga menunjukkan sebuah kamar di pondok dekat kandang kerbau dimana dia boleh memakai sebagai tempat tinggalnya.

Demikianlah, dengan hati gembira Si Kong menerima pekerjaan baru itu. Kekosongan hidupnya sudah terisi. Dia mempunyai pekerjaan! Dia merasa beruntung sekali bahwa pada hari kepergian gurunya yang kedua, yaitu Kwa Siucai, langsung dia mendapatkan pekerjaan sebagai penggembala kerbau.

**** 10 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar