Ads

Kamis, 11 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 11

Sebulan lewat tanpa terasa sejak Si Kong bekerja di Bukit Bangau. Benar saja seperti telah dijanjikan Tong Li Koan, dia menerima upah yang lumayan, setiap hari makan sekenyangnya dan diberi pakaian sehingga dia dapat berganti pakaian setiap hari. Pekerjaan menggembala kerbau itu cukup menyenangkan. Kerbau-kerbau itu adalah hewan ternak yang sudah diatur, penurut dan mudah dijaga, tidak liar lari ke sana-sini.

Setelah matahari naik tinggi, dia menggembala kerbaunya kembali ke kandang. Kelebihan waktunya dia pergunakan untuk menyabit rumput sebagai penambah makanan hewan itu. Sore hari dan malamnya dia boleh beristirahat di dalam pondok dekat kandang kerbau itu.

Dia sama sekali tidak tahu bahwa diam-dian Tong Kim Hok mendendam kepadanya. Pemuda ini telah dimarahi ayahnya karena memukuli Si Kong. Dia tahu bahwa tentu adiknya yang mengadu, akan tetapi kemarahannya dia timpakan kepada Si Kong.

Selain menggembala tigapuluh ekor kerbau, Si Kong juga diberi tugas mengurus lima ekor kuda yang menjadi kuda tunggangan keluarga Tong. Memberi makan dan menggosok badan kuda sampi bersih.

Pada suatu siang, setelah dia pulang menggembala kerbau, makan dan hendak berangkat menyabit rumput untuk kerbau-kerbaunya dan lima ekor kuda, mendadak muncul Kim Lan di depan pondoknya. Si Kong menyambutnya dengan hormat.

“Apakah nona membutuhkan kuda untuk ditunggangi hari ini?” tanyanya.

Sudah seringkali dia bertemu dengan gadis manis ini karena Kim Lan memang suka sekali menunggang kuda dan seringkali datang sendiri ke kandang untuk mengambil kudanya.

“Tidak, Si Kong. Aku hanya ingin bertanya bagaimana dengan pekerjaanmu disini? Apakah engkau sudah cocok dan suka tinggal disini bekerja untuk kami?”

“Cocok dan senang sekali, nona. Nona dan Tong-loya amat baik kepada saya.”

Gadis itu tersenyum dan menatap tajam wajah Si Kong yang gagah. Ia mengerutkan alisnya dan bertanya.

“Si Kong, engkau berasal dari manakah dan mengapa bisa sampai kesini, minta pekerjaan kepada ayahku? Dimana orang tua dan keluargamu?”

Si Kong tersenyum sedih dan menjawab.
“Saya berasal dari jauh, nona, dari sebuah dusun yang disebut Ki-ceng. Akan tetapi saya sudah yatim piatu dan tidak mempunyai sanak keluarga, tidak mempunyai siapa-siapa di dunia ini, sebatang kara. Saya seorang kelana dan ketika lewat disini, saya tertarik dan ingin mencari pekerjaan tetap. Untung nona menolong saya dan menghadapkan kepada Loya sehingga saya mendapatkan pekerjaan disini. Terima kasih, nona.”

Tiba-tiba dari arah kandang kerbau muncul Tong Kim Hok. Pemuda itu kelihatan marah sekali dan berkata kepada Si Kong,

“Hei, Si Kong! Bagaimana engkau bekerja ini? Kalau engkau lalai seperti ini, lama-kelamaan kerbau-kerbau kami akan mati semua!”

Si Kong terkejut dan memandang kepada pemuda itu dengan mata terbelalak heran.
“Apa yang kongcu maksudkan? Saya tidak pernah lalai menjaga kerbau-kerbau itu!”

“Enak saja kau bicara! Seekor diantara mereka mengalami luka parah pada kakinya dan kau bilang menjaga dengan baik?”

“Koko, apa artinya ini?” tanya Tong Kim Lan.

“Moi-moi, engkau tidak perlu bersikap manis kepadanya! Kau lihat sendiri, ada kerbau yang terluka dan dia pura-pura tidak tahu! Mari lihat sendiri!”

Kim Hok berjalan ke arah kandang, diikuti oleh Kim Lan dan Si Kong yang merasa heran akan tetapi juga khawatir. Setelah tiba di kandang, Kim Hok menuding ke arah seekor kerbau yang mendekam di sudut.

“Lihat itu! Kakinya luka berdarah. Dia bahkan tidak kuat berdiri!”

Si Kong terkejut sekali dan cepat memasuki kandang, membantu kerbau yang mendekam itu agar berdiri. Dan nampak olehnya betapa sebuah kaki depan kerbau itu terluka parah!






“Tapi ini…….. ini aneh sekali! Tadi ketika saya menggiring mereka masuk kandang, tidak ada yang terluka kakinya!”

“Apa yang aneh? Kerbau-kerbau ini setiap hari engkau yang mengurusnya. Kini ada yang terluka kakinya, karena engkau takut dimarahi ayah, engkau pura-pura bodoh dan tidak tahu! Bagus sekali, ya?”

“Si Kong, apakah yang terjadi dengan kerbau ini? Nampaknya seperti terluka oleh bacokan senjata tajam!” kata Kim Lan, mendekati Si Kong dan kerbaunya.

“Saya tidak tahu, nona. Ketika tadi saya menggiring semua kerbau memasuki kandang, belum ada yang terluka. Agaknya ada orang sengaja melukai kerbau ini sewaktu saya sedang makan.”

“Apa? Kau berani menuduh aku melukai kerbau ini? Jangan kurang ajar, Si Kong!” bentak Kim Hok marah dan dia sudah menghampiri Si Kong dengan sikap hendak menyerang.

Akan tetapi Kim Lan menghadangnya.
“Tahan, koko. Si Kong tidak menuduh siapa-siapa, hanya mengatakan bahwa agaknya ada orang melukai kerbau ini sewaktu dia sedang makan, tidak menuduhmu!”

Pada saat itu terdengan suara orang tertawa, tawa seorang wanita terkekeh-kekeh. Kim Hok dan Kim Lan terkejut dan menengok, demikian pula Si Kong memandang ke kanan, ke arah datangnya suara tawa. Kiranya disitu telah berdiri seorang wanita yang usianya sekitar empatpuluh tahun, akan tetapi ia masih kelihatan cantik dengan pakaiannya yang mewah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang dan tangan kirinya memegang sebatang kebutan berbulu merah.

“Hi-hi-hik-heh-heh! Kalau tidak ada yang membacok dengan pedang, mana mungkin kaki kerbau bisa terluka? Si Huncwe Maut serakah dan curang, agaknya menurun kepada puteranya! Heh-heh!”

Mendengar ini Kim Hok menjadi merah mukanya dan dia meloncat ke depan wanita itu. Huncwe Maut adalah nama julukan ayahnya di dunia kang-ouw, maka jelas bahwa wanita itu tadi maksudkan dia sebagai putera Huncwe Maut.

“Siapakah engkau? Berani sekali berlancang mulut!” bentak Kim Hok marah.

“Hi-hik, orang muda, engkau masih remaja akan tetapi sudah banyak akal dan licik. Coba cabut pedangmu, di situ pasti masih ada bekas darah kaki kerbau itu!”

“Perempuan lancang! Engkau datang melanggar wilayah kami, hayo cepat pergi sebelum aku terpaksa menggunakan kekerasan!”

“Heh-heh-heh-hi-hik! Persis seperti ayahnya, berani angkuh dan cerdik! Akan tetapi engkau tidak tahu siapa yang engkau hadapi, anak muda. Lebih baik lekas panggil ayahmu kesini untuk bertemu denganku!”

Watak Kim Hok memang angkuh dan dia merasa kuat sendiri. Tentu saja dia memandang rendah kepada wanita setengah tua itu. Orang perempuan itu berani tidak memandang kepada ayahnya!

“Engkau layak dipukul!” katanya dan cepat dia sudah menerjang ke depan dan memukul ke arah muka wanita itu.

Wanita itu hanya mengelak sedikit dan begitu tangannya bergerak, tubuh Kim Hok telah terlempar ke belakang dan terbanting jatuh!

Kim Hok marah sekali. Dia tidak menjadi jera, bahkan dia kini mencabut pedangnya dan menyerang wanita itu dengan tusukan pedangnya ke arah dada. Akan tetapi wanita itu menggerakkan tangan kirinya, bulu kebutannya membelit pedang dan sekali bergerak, ia sudah menendang Kim Hok hingga kedua kalinya tubuh pemuda itu terpental dan pedangnya telah terampas. Sambil mendengus penuh ejekan wanita itu menggerakkan kebutannya dan pedang itu meluncur dan menancap di atas tanah dekat kaki Kim Hok!

Seorang pembantu melihat perkelahian itu dan dia cepat lari masuk ke gedung untuk memberitahu kepada majikannya. Sementara itu, Kim Hok sudah mencabut lagi pedangnya dari tanah dan seperti kerbau gila mengamuk dan menyerang wanita itu, lupa bahwa sudah dua kali dia dirobohkan.

Melihat kakaknya dua kali dirobohkan wanita itu, Kim Lan mencabut pedangnya dan hendak membantu, akan tetapi Si Kong berkata kepadanya,

“Nona, wanita itu bukan lawanmu! Ia terlalu lihai bagimu!”

Kim Lan tidak jadi menyerang dan hanya memandang ketika kakaknya itu kembali sudah menyerang secara bertubi-tubi. Akan tetapi wanita itu dengan mudahnya mengelak ke sana-sini, sambil mengeluarkan suara tawanya yang mengejek seperti mempermainkan seorang anak.

“Anak nakal, engkau masih juga belum mau mengaku kalah?” wanita itu tiba-tiba menggerakkan hudtimnya ke depan dan seketika tubuh Kim Hok menjadi kaku dan tidak mampu bergerak lagi karena jalan darahnya sudah tertotok.

“Hi-hi-hik, kau anak nakal yang bandel!”

Wanita itu menggunakan tangannya untuk mengelus dan mencubit dagu Kim Hok dengan gaya yang genit sekali kemudian tangannya itu mendorong dada Kim Hok dan untuk ketiga kalinya Kim Hok terjengkang roboh! Sekali ini dia roboh dekat kaki Si Kong yang segera membungkuk dan menolongnya.

“Kongcu, engkau tidak apa-apa?” katanya diam-diam menotok punggung pemuda itu sehingga tubuh Kim Hok yang tadinya kaku dapat bergerak kembali.

“Huh! Jangan pegang-pegang aku!” bentak Kim Hok sambil meronta, dan dia sudah memegang pedangnya kuat-kuat untuk menyerang lagi.

Akan tetapi sebelum Kim Hok menyerang lagi, terdengar bentakan ayahnya,
“Kim Hok, jangan lancang!”

Mendengar bentakan ayahnya, Kim Hok berhenti meyerang dan mundur. Tong Li Koan kini berdiri berhadapan dengan wanita itu. Setelah memandang dengan mata tajam penuh selidik sambil mengisap huncwenya, Tong Li Koan melepaskan huncwe dari mulut dan berkata sambil tersenyum.

“Hemm, kalau tidak salah sangka, agaknya aku berhadapan dengan Ang-bi Mo-li (Iblis Perempuan Cantik Merah)” Tentu julukannya ini dihubungkan dengan bulu kebutannya yang berwarna merah.

Wanita itu tertawa dan nampak giginya yang rapi berderet rapi.
“Kiranya yang berjuluk Huncwe Maut, selain kaya raya juga berpemandangan tajam! Tong Wan-gwe (Hartawan Tong), aku memang Ang-bi Mo-li! Puteramu ini curang angkuh dan pemberani. Tidak kecewa menjadi putera Huncwe Maut, hanya sayang ilmu silatnya rendah saja sehingga aku menjadi ragu apakah ilmu kepandaianmu juga sebesar namamu!”

Tong Li Koan maklum bahwa Iblis Betina ini sengaja hendak mencari perkara, maka diapun mengangkat tangan ke depan dada memberi hormat lalu berkata,

“Anakku masih muda dan lancang, harap engkau suka memaafkannya. Setelah engkau lewat disini, mari silakan singgah di rumah kami agar lebih leluasa kami menyambutmu sebagai tamu.”

Tong Li Koan sengaja bersikap lunak karena dia tidak ingin bermusuhan dengan wanita yang namanya terkenal di dunia persilatan sebagai tokoh yang lihai sekali.

Mendengar ini, Ang-bi Mo-li tertawa terkekeh-kekeh.
“Heh-heh-heh-hi-hik! Tong wan-gwe aku berada di daerah ini bukan sebagai tamu dan juga engkau bukan sebagai tuan rumah disini. Dahulu, lama sebelum engkau datang, tanah ini sudah menjadi wilayahku dan aku tinggal di sebelah timur bukit. Sekarang, aku mendengar bahwa engkau menguasai seluruh bukit. Ini tidak adil! Karena aku berminat untuk tinggal disini lagi, kita bagi rata saja. Bagian timur bukit menjadi milikku, dan engkau menguasai bagian barat ini.”

Tong Li Koan mengerutkan alisnya, mengisap huncwenya dan mengepulkan asapnya dari hidung. Kemudian dia berkata, suaranya lantang.

“Usulmu itu tidak mungkin dilaksanakan, Mo-li! Sebelum aku datang, seluruh daerah bukit ini masih merupakan hutan dan rawa liar. Aku yang membangunnya sehingga kini menjadi tanah sawah ladang yang subur dan digarap oleh orang-orangku. Mana bisa aku yang mencangkul dan menanam, sekarang engkau ingin memetik hasilnya begitu saja?”

“Aku yang datang lebih dulu, orang she Tong! Kalau engkau berkukuh hendak menguasai bukit ini seluruhnya, engkau harus dapat mengalahkan dan mengusir aku dari sini. Sebaliknya kalau engkau kalah olehku, engkaulah dan seluruh keluargamu harus pergi meninggalkan tempat ini!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar