Ads

Minggu, 07 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 04

Pada suatu pagi yang cerah. Matahari masih agak kekuningan di langit timur, akan tetapi sinarnya sudah menyengat hangat. Pohon-pohon dan segala tumbuh-tumbuhan nampaknya seperti hidup baru setelah semalam suntuk mereka diselimuti kegelapan yang penuh rahasia itu.

Di jalan yang menuju kota Souw-ciu suasananya masih sunyi. Jalan itu memang hanya jalan yang menghubungkan kota Souw-ciu dengan dusun-dusun, maka nampak sunyi. Saat yang sunyi itu dibuyarkan oleh dua orang yang berjalan berdampingan.

Mereka adalah Yok-sian Lo-kai dan Si Kong. Anak itu kini telah menjadi seorang pemuda remaja berusia limabelas tahun. Akan tetapi dia nampak lebih daripada usianya, mungkin hal ini dikarenakan dia ditempa oleh keadaan, banyak menghadapi kesukaran dan kesengsaraan. Tubuhnya tinggi tegap dan wajahnya jantan dan gagah, walaupun pakaiannya yang nampak bersih itu sudah penuh dengan tambalan, seperti pakaian yang dipakai Yok-sian Lo-kai. Agaknya pagi yang cerah itu membangkitkan kegembiraan di hati Yok-sian. Dia memandang ke atas lalu menyanyikan sebuah sajak.

“Daripada menguasai sampai sepenuhnya
lebih baik berhenti pada saatnya.
Menempa untuk mencapai tajamnya
ketajaman itu takkan
bertahan lama.
Ruangan penuh dengan emas
dan batu permata
tidak mungkin dapat dijaga.
Angkuh karena mewah dan mulia
dengan sendirinya membawa bencana.
Tugas selesai, nama menyusul, diri mundur
demikianlah jalan
yang ditempuh langit.”

“Wah sajak suhu sekali ini membuat aku bingung dan tidak mengerti apa artinya. Maukah suhu menjelaskan kepadaku?”

“Apa yang tidak jelas? Sajak itu sendiri sudah menjelaskan artinya. Dinasihatkan disitu agar kita tidak menuruti kehendak nafsu yang ingin memiliki sepenuhnya, menguasai sepenuhnya, yang akhirnya tak pernah puas dan tergelincir oleh tindakan sendiri. Lebih baik berhenti pada saatnya atau mengenal batas. Segala sesuatu yang dipaksakan untuk diperolehnya, yang diperoleh itu tidak akan bertahan lama, akan membosankan. Harta kekayaan yang berlebihan hanya akan menimbulkan iri hati dan mendatangkan maling untuk mencurinya. Kalau orang menjadi angkuh karena kemewahan dan kemuliaan, harta benda atau kedudukan tinggi, hal itu akhirnya akan mendatangkan bencana pada diri sendiri. Kalau merasa sudah menyelesaikan tugas dengan baik, tentu namanya menjadi harum dan dia boleh mengundurkan diri untuk menyatukan diri dengan Tuhan. Jalan itulah yang ditempuh oleh Langit dan Bumi, yang bersikap selaras dengan kehendak Tuhan.”

“Aduh, demikian dalamnya ini sajak itu, suhu. Siapakah pembuat sajak itu?”

“Sajak itu termuat dalam kitab Tao-tek-keng, merupakan ujar-ujar peninggalan Sang Bijaksana Lo Cu. Kelak kalau ada kesempatan, engkau harus menghafalkan dan memahami seluruh sajak Tao-tek-keng itu.”

Mereka kini memasuki kota Souw-ciu dari arah barat. Kota itu cukup ramai dan dikelilingi bukit sehingga pemandangannya indah dan hawanya juga sejuk. Gembira rasa hati Si Kong ketika dia memasuki kota, melihat banyak toko, rumah makan dan penginapan.

“Suhu, aku dapat mencari pekerjaan di kota ini!” katanya. “Banyak sekali toko besar, rumah makan dan penginapan.”

“Hemm, kita lihat saja nanti. Belum tentu aku suka tinggal lama ditempat ini. Mari kita melihat kesana, agaknya disana itu ada pasar yang ramai.”

Mereka berjalan terus dan tiba-tiba perhatian mereka tertarik oleh sedikit keributan yang terjadi di depan sebuah rumah makan. Seorang pengemis berpakaian compang-camping hitam sedang ribut mulut dengan seorang pengemis yang pakaiannya tambal-tambalan berkembang.

“Tidak usah banyak cakap! Engkau dan rombonganmu tidak kami perbolehkan untuk mengemis di kota ini, kecuali kalau kalian menjadi anggauta kami!” Kata si pengemis baju berkembang.

“Kalian selalu mengganggu kami! Kami sudah mempunyai perkumpulan sendiri. Kami tidak sudi menjadi anggauta perkumpulan kalian dan sudah sejak dahulu kami bekerja disini. Kalian tidak berhak melarang.”






“Eh, berani membantah, ya? Engkau sudah bosan hidup rupanya!”

Dan si pengemis baju berkembang itu segera menyerang pengemis baju hitam. Terjadi perkelahian saling pukul dan saling tendang. Tak lama kemudiang datang lima orang pengemis baju berkembang, juga lima orang pengemis baju hitam dan terjadilah perkelahian diantara mereka. Orang-orang segera datang menonton perkelahian antara pengemis itu.

Sejak tadi Yok-sian Lo-kai berhenti melangkah dan menonton perkelahian. Melihat betapa perkelahian telah menjadi keroyokan, dia berkata kepada Si Kong,

“Orang-orang itu tidak tahu diri. Pekerjaan mengemis saja diperebutkan! Si Kong, coba kau pergunakan tongkatmu untuk melerai mereka. Kalau mereka nekat berkelahi, hajar mereka semua dengan gebukan tongkatmu!”

Selama ini belum pernah Si Kong berkelahi. Biarpun dia sudah menguasai Tongkat Sakti penggebuk anjing dengan baik, akan tetapi belum pernah dia pergunakan untuk bertanding. Kehidupan mereka sebagai pengemis itu tentu saja tidak pernah menarik perhatian para perampok atau penjahat sehingga dia dan gurunya tak pernah diganggu orang.

Kini, gurunya menghendaki agar dia melerai duabelas orang yang sedang berkelahi dan merobohkan mereka semua kalau mereka tidak berhenti berkelahi. Akan tetapi dia tidak membantah. Diturunkannya keranjang rempa-rempa dari pikulannya dan dengan senjata tongkat bambu di tangan dia menghampiri mereka yang sudah saling pukul itu.

“Heii, kawan-kawan! Berhentilah berkelahi! Tidak baik antara kita sendiri berkelahi. Hayo, berhenti!”

Akan tetapi melihat bahwa yang melerai itu adalah seorang pemuda pengemis pula, bukan anggauta pengemis baju hitam dan juga bukan anggauta pengemis baju berkembang, para pengemis itu tidak peduli, bahkan mereka berbalik menyerang Si Kong! Baik yang baju hitam maupun yang baju berkembang kini menyerang Si Kong!

Si Kong cepat mengelak dan memutar tongkat bambunya. Baginya, gerakan para pengemis itu terlampau lamban, dan mudah saja untuk dirobohkan. Akan tetapi hati Si Kong tidak tega untuk menyakiti mereka. Oleh karena itu, tongkatnya bergerak hanya untuk menjegal atau mendorong sehingga berturut-turut duabelas orang pengemis itu terpelanting ke kanan kiri!

Para pengemis itu terkejut. Mereka yang berbaju berkembang bangkit dan seorang diantara merka menudingkan telunjuknya kepada Si Kong sambil berkata,

“Awas akan pembalasan kami!” Dia lalu memberi isarat kepada kawan-kawannya untuk pergi dari situ.

Sementara itu, enam orang pengemis baju hitam tidak pergi, melainkan memandang kepada Si Kong dan Yok-sian Lo-kai. Mereka mengerti bahwa pemuda itu hanya melerai, buktinya diantara mereka tidak ada yang terluka. Tiba-tiba seorang diantara mereka melihat keranjang rempa-rempa di dekat Yok-sian Lo-kai, dan dia segera memberi hormat dan bertanya,

“Bukankah locianpwe ini yang berjuluk Yok-sian Lo-kai?”

“Ha-ha-ha, sialan itu nama! Di mana-mana ada saja yang mengetahuinya. Benar, aku Yok-sian Lo-kai. Dan kaian ini apa-apaan, diantara sesama pengemis saling hantam! Memalukan sekali!”

Kini enam orang itu menjatuhkan diri berlutut di depan Yok-sian Lo-kai dan seorang diantara mereka berkata,

“Kami mohon bantuan locianpwe!”

“Apa? Kalian menyuruh aku ikut campur dalam perkelahian antara pengemis? Nanti dulu! Aku bukan orang yang suka memusuhi sesama pengemis, darimanapun pengemis itu berasal.”

“Bukan itu, locianpwe. Melainkan kami mohon pertolongan agar locianpwe suka mengobati ketua kami yang terluka parah.”

“Hemmm, kenapa dia terluka parah? Apakah karena dia berkelahi pula dengan pengemis lain?”

“Locianpwe akan mendengarnya sendiri nanti. Tadipun kami tidak bermaksud memusuhi pengemis baju berkembang, melainkan mereka yang melarang kami mengemis, kecuali kalau kami mau menjadi anggauta mereka. Kami mohon locianpwe sudi menolong kami…….”

“Hemmm, membikin repot saja. Hayo Si Kong, kita ikuti mereka.”

Enam orang pengemis itu kelihatan gembira sekali dan mereka lalu menjadi penunjuk jalan, diikuti oleh Yok-sian Lo-kai dan Si Kong. Orang-orang yang tadi menonton juga bubaran dan mereka membicarakan dan memuji pemuda yang dengan tongkat bambunya membuat duabelas orang yang berkelahi itu menjadi kocar-kacir.

Enam orang itu ternyata keluar dari kota dan menuju ke selatan. Di luar kota ini terdapat sebuah kuil tua yang sudah tidak dipergunakan lagi dan agaknya kuil ini menjadi tempat tinggal perkumpulan pengemis Baju Hitam. Ketika mereka tiba disitu, terlihat belasan orang pengemis baju hitam sedang duduk di beranda kuil. Melihat enam orang rekan mereka datang bersama dua orang pengemis asing, mereka semua bangkit berdiri dan menyambut.

“Bagaimana dengan pangcu (ketua)?” tanya seorang dari enam orang pengemis yang baru datang itu.

“Wah, makin payah. Napasnya terengah-engah dan tubuhnya panas sekali.” Kata seorang diantara mereka yang tadi duduk diberanda.

“Locianpwe, silakan masuk. Pangcu kami berada di kamar dalam.”

Yok-sian Lo-kai mengangguk dan bersama Si Kong dia mengikuti pengemis itu memasuki kuil. Ternyata kuil yang sudah tua itu cukup besar dan mereka diajak masuk ke dalam sebuah kamar. Di dalam kamar ada beberapa orang pengemis baju hitam menjaga sang ketua yang sedang sakit.

Melihat keadaan yang gawat dari ketua itu, tanpa diminta lagi Yok-sian segera menghampirinya, memegang pergelangan tangan si sakit untuk merasakan denyut nadinya.

“Hemm, dia keracunan!” katanya.

“Dia terluka pukulan didadanya,” kata seorang pengemis.

“Coba, buka bajunya, perlihatkan luka itu.” kata Yok-sian.

Baju pengemis yang sakit itu dibuka dan nampaklah gambar lima jari tangan atau cap telapak tangan pada dada itu.

Yok-sian memeriksa luka atau bekas pukulan tangan itu, merabanya dan berkata,
“Kalian semua boleh keluar. Biarkan aku dan muridku mengobatinya.”

Mendengar ucapan ini, para pengemis baju hitam lalu keluar dari dalam kamar. Yok-sian menoleh kepada muridnya dan berkata,

“Ini kesempatan baik bagimu untuk menguji kepandaianmu dalam ilmu pengobatan. Hayo, kau periksa keadaannya dan katakan bagaimana pendapatmu dan cara mengobatinya.”

Si Kong yang sudah bertahun-tahun mempelajari ilmu pengobatan dari gurunya, segera menghampiri si sakit. Diperiksanya nadinya, dirabanya dadanya dan didengarnya detak jantungnya. Kemudian dia berkata penuh keyakinan kepada gurunya.

“Dia menderita pukulan beracun, suhu. Tangan lawannya itu tentu mengandung sinkang panas. Pengobatannya adalah dengan tusuk jarum atau totokan jari ke arah Ci-kiong-hiat, Koan-goan-hiat dan Thian-ti-hiat. Totokan-totokan untuk mengalirkan darah kearah luka juga perlu dilakukakan. Sementara itu, dia harus diberi minum obat pembersih darah dan obat menurunkan panas. Kalau itu masih kurang, boleh menyalurkan sinkang untuk membantu hawa murni di tubuhnya yang keluar dari tantian. Demikianlah, suhu, dan mudah-mudahan apa yang teecu kemukakan itu benar.”

“Ha-ha-ha, bagus! Memang itu cara pengobatan yang baik sekali. Sekarang lakukanlah totokan-totokan itu.” kata Yok-sian Lo-kai.

Si Kong memandang kepada tubuh yang bagian atasnya telanjang itu dan sambil mengerahkan tenaganya mulailah dia menotok jalan-jalan darah yang disebutkannya tadi. Dia sampai berkeringat ketika selesai melakukan totokan terakhir di sekitar dada yang terluka. Hatinya girang karena dia melihat betapa tanda telapak tangan menghitam itu sudah mulai pudar.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar