Ads

Minggu, 07 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 05

“Sekarang minggirlah dan masak obat pembersih darah dan obat menurunkan panas di luar. Aku akan menyalurkan sin-kang kepadanya.”

Si Kong merasa girang bahwa cara dia mengobati ketua Hek I Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Hitam) tadi ternyata benar. Dia lalu keluar membawa keranjang rempa-rempa dan minta kepada para pengemis untuk disediakan perapian untuk memasak obat.

Setelah selesai memasak obat dan membawa dua mangkok kecil ke dalam kamar, dia melihat suhunya menempelkan telapak tangan kirinya ke dada ketua perkumpulan pengemis itu sambil pejamkan mata. Tahulah dia bahwa gurunya sedang mengerahkan tenaga sakti ke dada orang sakit itu untuk mengusir sisa hawa kotor yang terkandung dalam pukulan tangan beracun itu.

Dia sendiri sudah mempelajari dan menghimpun tenaga sinkang yang lumayan, akan tetapi untuk mengusir hawa kotor itu tenaga saktinya belum kuat. Oleh karena itu suhunya yang melakukannya.

Setelah Yok-sian Lo-kai menyalurkan hawa sakti dari telapak tangannya, perlahan-lahan kakek yang sakit itupun mulai menggerakkan biji matanya. Lalu dia membuka matanya dan mencoba untuk bangkit.

Yok-sian membantunya bangkit duduk, dan dia minta dua mangkok yang dibawa masuk Si Kong.

“Minumlah dua mangkok obat ini dan engkau akan sembuh seperti sediakala.”

Kai-pangcu (ketua perkumpulan pengemis) itu tidak membantah dan minum dua mangkok obat itu. Tenaga kakek itu kini pulih dan wajahnya kemerahan, dadanya sudah tidak ada lagi tanda-tanda menghitam. Dia memandang kepada Yok-sian Lo-kai, lalu kepada Si Kong dan dia lalu turun dari pembaringan dan menjatuhkan diri berlutut di depan Yok-sian.

“Atas pertolongan locianpwe Yok-sian Lo-kai, saya menghaturkan terima kasih.”

Yok-sian Lo-kai tertawa sambil memandang kepada muridnya.
“Ha-ha-ha-ha! Lihat, Si Kong, betapa tidak enaknya menjadi orang terkenal. Dimana-mana ada saja orang mengenalnya, padahal orang itu tidak pernah berjumpa dengannya.”

Setelah berkata demikian, dia menggunakan tongkatnya, dimasukkan ke bawah lengan ketua itu dan sekali bergerak, ketua itu dipaksa berdiri.

“Jangan keterlaluan, aku bukan raja kenapa mesti berlutut? Dan bagaimana engkau bisa tahu siapa diriku?”

Dengan sikap hormat, membungkuk Hek I Kaipangcu itu lalu berkata,
“Mudah saja. Melihat pakaian locianpwe jelas pakaian seorang pengemis, dan melihat betapa locianpwe dapat menyembuhkan dan memulihkan kesehatan saya, jelas bahwa locianpwe seorang ahli pengobatan luar biasa yang berilmu tinggi. Siapa lagi pengemis yang pandai ilmu pengobatan selain Yok-sian Lo-kai?”

“Dan siapakah engkau? Mengapa engkau sampai terluka oleh pukulan keji itu?”

Ketua itu menghela napas panjang.
“Saya adalah ketua perkumpulan Pengemis Baju Hitam, semenjak dahulu kami selalu mengambil jalan benar, mengemis kepada orang-orang yang dermawan dan tidak pernah melakukan kejahatan dalam bentuk apapun. Akan tetapi pada suatu hari muncul pengemis-pengemis yang memakai baju berkembang, dan mereka melarang kami mengemis di tempat ini. Kami boleh mengemis kalau menjadi anggauta perkumpulan mereka. Akan tetapi melihat cara mereka mengemis tiada bedanya dengan merampok, mengemis dengan paksa kami tidak sudi bergabung. Lalu pada suatu hari, sepekan yang lalu, ketuanya datang dan menantangku. Aku terluka oleh pukulannya yang keji.”

Yok-sian Lo-kai mengerutkan alisnya. Biarpun dia tidak aktif dalam dunia mengemis, dia sudah mendengar keadaan para perkumpulan pengemis dimana-mana.

“Akan tetapi sepanjang pendengaranku, Hwa I Kaipang (Perkumpulan Pengemus Baju Kembang) adalah kaipang yang bersih, dipimpin oleh ketuanya yang baik pula.”

Hek I Kaipangcu menghela napas panjang.
“Dahulu sayapun menganggap demikian. Nama saya adalah Lu Tung San, dan saya mengenal baik ketua Hwa I Kaipang. Akan tetapi yang muncul dan mengaku sebagai ketua Hwa I Kaipang sama sekali bukan ketua yang saya kenal, melainkan seorang yang masih muda dan entah bagaimana, dia bisa menjadi ketua Hwa I Kaipang dan membawa perkumpulan pengemis itu ke jalan sesat.”






“Dan dimana adanya ketua yang dulu?”

“Tidak seorangpun yang mengetahui nasibnya dan dimana dia berada.”

“Wah, gawat kalau begitu. Pangcu, mari antar kami ke sarang Hwa I Kaipang. Urusan ini terpaksa kami harus campur tangan karena akan mencemar nama baik para pengemis. Kalau dibiarkan saja tentu sukar membedakan antara pengemis dan perampok.”

“Baik, akan saya antar sekarang juga. Dan perlukah anak buah Hek I Kaipang ikut? Siapa tahu mereka akan melakukan pengeroyokan.”

“Tidak perlu. Yang ingin kami temui adalah ketuanya. Perkumpulan pengemis adalah perkumpulan orang-orang yang taat kepada pimpinan. Kalau ketuanya sudah dapat kita bereskan, tentu anak buahnya akan menaati kita.”

Lu Tung San, ketua Hek I Kaipang, ternyata sudah sembuh sama sekali. Karena selama sepekan ini dia hampir dikatakan tidak bisa makan, maka para anggautanya telah mempersiapkan makan minum untuk ketua mereka. Lu Tung San mengajak Yok-sian dan Si Kong untuk makan bersama. Dan ternyata makanan itu cukup lumayan, bahkan cukup mewah bagi para pengemis. Setelah makan Lu Tung San berangkat bersama Yok-sian Lo-kai dan Si Kong yang tidak lupa memikul keranjang rempa-rempa milik gurunya.

Sarang Hwa I Kaipang juga berada di luar kota, akan tetapi bukan merupakan rumah tua bekas kuil seperti yang ditempati Hek I Kaipang. Di luar kota, di lereng sebuah bukit, berdiri sebuah rumah besar dari tembok dan itulah sarang Hwa I Kaipang. Ketika mereka mendaki bukit itu, beberapa anggauta Hwa I Kaipang melihat mereka. Mereka mengenal Lu Tung San dan cepat mereka berlari ke sarang mereka untuk memberitahukan kunjungan Lu Tung San yang pernah dirobohkan ketua mereka yang baru itu.

Tepat seperti yang dikatakan Yok-sian, tadinya Hwa I Kaipang juga merupakan sebuah perkumpulan pengemis yang sederhana dan baik, tidak pernah mereka itu melakukan pemerasan atau kejahatan lain. Baru beberapa bulan yang lalu, pada suatu hari datang seorang laki-laki berusia kurang lebih tigapuluh lima tahun ke sarang Hwa I Kaipang. Laki-laki itu bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam. Ketika ketua Hwa I Kaipang yang usianya sudah enampuluh tahun keluar menemui tamu itu, dengan terang-terangan orang yang mengaku bernama Ouwyang Kwi itu mengatakan bahwa dia hendak mengambil alih pimpinan Hwa I Kaipang! Tentu saja Hwa I Kai-pangcu menjadi marah dan terjadi perkelahian.

Akan tetapi ternyata orang itu lihai bukan main. Biarpun dia dikeroyok oleh belasan orang yang merupakan pimpinan dan pembantunya, dia merobohkan mereka semua, bahkan menawan ketuanya.

Melihat kelihaian si muka hitam itu, semua pengemis menyatakan takluk dan tunduk dan semenjak hari itu, Ouwyang Kwi menjadi ketua Hwa I Kaipang. Bahkan dia memindahkan sarang Hwa I Kaipang ke lereng bukit itu, dimana berdiri sebuah rumah tembok yang besar.

Dan mulailah terjadi perubahan besar dari para anggauta Hwa I Kaipang. Karena anjuran pemimpin baru mereka, para pengemis itu berani melakukan pemerasan terhadap penduduk kota Su-couw, dusun-dusun dan kota-kota di sekitar wilayah itu. Sejak Ouwyang Kwi menjadi ketua, kehidupan para pengemis baju kembang berubah menjadi mewah. Pakaian mereka yang berkembang-kembang itu bersih dan masih baru karena mereka mendapatkannya dari toko-toko yang tidak berani menentang permintaan mereka.

Kalau permintaan mereka ditolak, mereka lalu mengamuk dan tidak ada orang yang berani melawan. Memang tadinya ada orang-orang yang merasa dirinya kuat dan pandai silat, menentang kaum pengemis Baju Kembang, akan tetapi mereka semua satu demi satu dirobohkan oleh ketua Hwa I Kaipang yang bermuka hitam itu.

Demikianlah keadaan Hwa I Kaipang. Ouwyang Kwi tadinya adalah seorang perampok tunggal. Akan tetapi agaknya dia merasa jemu dengan pekerjaan merampok seorang diri saja. Maka diapun mengambil alih kedudukan ketua Hwa I Kaipang dan dia selain memperoleh kedudukan ketua, juga mendapatkan anak buah yang siap melakukan semua perintahnya. Dia merasa seolah menjadi seorang raja! Pakaiannya juga berkembang-kembang, namun pakaian itu mewah, sama sekali bukan pakaian seorang pengemis yang biasanya compang-camping dan penuh tambalan.

Dalam waktu beberapa bulan saja semua anak buah Hwa I Kaipang telah berubah. Memang demikianlah keadaannya dengan kita manusia. Mengajar orang-orang agar supaya menjadi baik budi amatlah sukarnya. Akan tetapi ajarilah orang-orang itu untuk berbudi buruk dan memperoleh kesenangan, maka sebentar saja semua orang akan suka dan menurut.

Ketika Lu tung San, Yok-sian dan Si Kong memasuki perkampungan Hwa I Kaipang, mereka disambut oleh Ouwyang Kwi sendiri yang muncul bersama seorang kakek berpakaian mewah. Kakek ini bukan orang biasa. Dia adalah seorang datuk besar dunia kang-ouw dan juga majikan Pulau Tembaga di Lautan Timur. Datuk sesat inilah guru Ouwyang Kwi yang datang berkunjung kepada muridnya yang kini telah menjadi ketua Hwa I Kaipang itu. Kedatangannya di sambut oleh Ouwyang Kwi dengan mengadakan pesta makan minum secara mewah.

Ketika Ouwyang Kwi menerima laporan dari anak buahnya bahwa Lu Tung San datang bersama seorang kakek dan seorang pemuda yang pada siang hari tadi menghajar enam orang anggautanya, menjadi marah sekali.

“Bagus dia sudah mengantarkan sendiri nyawanya. Sekarang ini aku tidak akan membiarkan dia pergi hidup-hidup!” kata Ouwyang Kwi.

Gurunya merasa heran sekali melihat muridnya marah¬marah.
“Ada apakah Ouwyang Kwi? Siapa yang datang dan membuatmu marah?”

Datuk ini merasa bangga bahwa muridnya telah menjadi ketua sebuah perkumpulan pengemis yang berpengaruh. Dia sendiri adalah seorang datuk yang besar pengruhnya di Lautan Timur. Para bajak laut semua tunduk kepadanya dan membayar “upeti” kepadanya sebagai hadiah karena mereka diperkenankan membajak di perairan itu.

Datuk ini dikenal di dunia kang-ouw sebagai Tung-hai Liong-ong (Raja Naga Lautan Timur). Julukan Raja Naga ini mungkin karena orang melihat dia bersenjata sebatang tongkat kepala naga yang selalu dibawanya kemanapun dia pergi. Tongkat kepala naga ini menjadi andalan dan senjatanya yang ampuh.

Ketika Tung-hai Liong-ong melihat Yok-sian Lo-kai, dia tercengang sejenak dan memandang tajam. Demikian pula dengan Yok-sian Lo-kai. Sama sekali tidak pernah menyangka akan bertemu dengan datuk besar itu di tempat ini.

“Hemm, kiranya Yok-sian Lo-kai yang datang!” kata Tung-hai Liong-ong.

“Ha-ha-ha, kiranya majikan Pulau Tembaga berada disini pula! Tidak mengherankan kalau terjadi keributan!” kata Yok-sian sambil tertawa.

Dua orang yang sama-sama amat terkenal di dunia kangouw ini memang pernah saling bertemu walaupun diantara mereka belum pernah terjadi pertikaian.

Sementara itu, ketika melihat Lu Tung San, Ouwyang Kwi berkata mengejek.
“Hek I Kaipang, agaknya ada orang yang mengobatimu sampai sembuh. Apakah engkau belum jera dan ingin merasakan pukulanku lagi?”

“Ouwyang Kwi, aku datang mengantarkan locianpwe Yok-sian Lo-kai yang ingin bicara denganmu karena sepak terjang anak buahmu yang sewenang-wenang.”

“Aha, kiranya engkau memanggil bala bantuan? Aku tidak takut menghadapi jagoanmu!”

Ouwyang Kwi mengejek. Ouwyang Kwi adalah murid Tung-hai Liong-ong dan dia baru saja masuk ke dalam dunia kangouw setelah selama beberapa tahun menjadi perampok tunggal. Oleh karena itu dia belum mengenal nama Yok-sian Lo-kai dan sama sekali tidak gentar menghadapi nama julukan itu.

“Jadi mereka inikah yang memukul enam orang anak buahku? Jembel tua dan pengemis muda ini?” Dia menudingkan telunjuknya ke arah Yok-sian dan Si Kong.

“Ha-ha-ha, betapa sombongnya! Aku sudah mengenal semua ketua perkumpulan para pengemis di empat penjuru. Mereka semua rata-rata baik. Maka ketika melihat enam orang pengemis Baju Kembang melarang Pengemis Baju Hitam untuk mengemis, aku menjadi tertarik dan ingin menyelidiki. Aku pernah mendengar bahwa perkumpulan Pengemis Baju Kembang adalah perkumpulan yang bersih, dipimpin oleh ketuanya yang baik pula. Akan tetapi, kenapa sekarang menjadi tersesat? Aku mendengar bahwa engkau orang she Ouwyang mengambil alih ketua yang lama?”

“Jembel tua, orang di luar Hwa I Kaipang tidak berhak mengurus urusan yang menyangkut Hwa I Kaipang. Sekarang yang menjadi ketua Hwa I Kaipang adalah aku, Ouwyang Kwi. Sebaiknya engkau tidak lancang mencampuri urusan kami, atau kami akan menggunakan kekerasan mengusirmu!”

“Ha-ha-ha-ha! Engkau bukan lawanku, Ouwyang Kwi. Kalau engkau mampu mengalahkan tongkat muridku ini, barulah engkau pantas melawan aku. Si Kong, bersiaplah untuk menandingi ketua palsu yang sombong ini.”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar