Ads

Selasa, 09 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 06

Si Kong juga merasa marah mendengar ucapan ketua berpakaian kembang-kembang yang sombong itu, maka mendengar ucapan suhunya, dia lalu menurunkan keranjang rempa-rempa dan melintangkan tongkat bambunya di depan dadanya.

“Aku sudah siap, orang sombong!” katanya kepada Ouwyang Kwi.

Ouwyang Kwi sudah mendengar laporan anak buahnya bahwa pemuda yang masih remaja itulah yang merobohkan mereka. Akan tetapi tentu saja dia tidak merasa gentar. Dia sudah banyak pengalaman dalam perkelahian selama bertahun-tahun, mana mungkin dia kalah oleh seorang bocah yang usianya paling banyak lima belas tahun ini?

“Baik, akan kubunuh dulu bocah ini, baru kemudian engkau jembel tua dan ketua Hek I Kaipang ini!” bentaknya dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah mencabut sebatang golok dari punggungnya dan langsung menyerang Si Kong yang memegang tongkat bambu.

Akan tetapi Si Kong sudah siap siaga dan dengan mudahnya dia mengelak dan secepat kilat tongkatnya sudah menotok ke tiga bagian jalan darah di kedua pundak dan dada lawannya.

“Eh…..!”

Ouwyang Kwi terkejut sekali dan cepat memutar goloknya kedepan tubuhnya untuk melindungi diri dari totokan-totokan yang cepat dan tak terduga itu.

Kalau Si Kong bertanding untuk merobohkan lawan saja, sebaliknya Ouwyang Kwi bertanding untuk membunuh lawannya. Dia seorang ahli bermain golok yang lihai, akan tetapi sekali ini dia sudah kewalahan dan sebentar saja dia sudah terdesak hebat! Dia hanya mampu menangkis dan memutar goloknya saja tanpa dapat membalas.

“Jangan pakai golok, gunakan Tok-ciang (Tangan Beracun)!” tiba-tiba dia mendengar suara gurunya.

Orang lain tidak dapat mendengar seruan itu karena Tung-hai Liong-ong “mengirim” suaranya melalui khikang yang kuat sehingga seolah dia berbisik dekat telinga muridnya.

Mendengar ini, Ouwyang Kwi melempar goloknya dan dia menggerak-gerakkan kedua tangannya yang perlahan-lahan berubah menghitam! Yang terkejut melihat perubahan ini adalah Yok-sian Lo-kai. Diapun tidak mendengar bisikan itu, akan tetapi dia dapat menduga bahwa Majikan Pulau Tembaga itu yang agaknya memberi nasihat kepada muridnya. Dia tahu bahwa Si Kong tidak bermaksud membunuh lawan, maka tongkatnya hanya mencoba untuk menotok jalan darah yang tidak membahayakan nyawa lawan. Dan karena kini Ouwyang Kwi bertangan kosong, dia dapat menangkis tongkat bambu dengan tangannya dan sekaligus mencoba untuk merampas tongkat. Juga sambaran tangan itu mengandung hawa beracun yang berbahaya.

Diam-diam Yok-sian mengerahkan khikangnya dan berbisik yang hanya terdengar oleh muridnya.

“Pukul Kaki Seratus Anjing”.

Ini adalah nama jurus dari ilmu silat Tongkat Sakti Pemukul Anjing itu. Ketika Si Kong mendengar bisikan gurunya itu, cepat dia mengubah caranya bersilat dan tubuhnya bergerak rendah dan tongkatnya secara bertubi-tubi menyerang ke arah kedua kaki lawan.

Karena yang diserangnya bagian lutut dan pergelangan kaki, maka kalau mengenai sasaran, tentu lawan akan jatuh berlutut, Kembali Ouwyang Kwi terdesak oleh serangan Si Kong. Dia berloncat-loncatan dan tidak mampu balas menyerang. Kembali telinganya mendengar bisikan gurunya.

“Garuda menyerang segerombolan kelinci!”

Ini merupakan jurus yang dilakukan dengan loncatan ke atas kemudian dari atas mencengkeram ke arah kepala lawan. Dan begitu dia meloncat tinggi di udara, dengan sendirinya serangan Si Kong juga macet, dan berbalik dia yang diserang oleh kedua tangan yang membentuk cakar itu.

Si Kong terpaksa mengelak ke sana sini, karena kalau dia menangkis, ada bahayanya tongkat itu terpegang lawan dan kalau hal ini terjadi, tongkatnya dapat terampas atau setidaknya dihancurkan oleh cengkeraman tangan beracun itu!

Tiba-tiba dia yang sedang terdesak itu mendengar bisikan gurunya,
“Ular Senduk Menyerang Garuda!”

Si Kong menjadi girang sekali dan cepat dia menggerakkan tongkatnya yang meluncur seperti seekor ular yang menyerang musuh yang datangnya dari atas. Dengan jurus ini maka kembali Si Kong dapat mendesak lawan. Yang diserang oleh luncuran tongkatnya adalah kedua mata dan leher lawan, serangan yang cukup berbahaya kalau mengenai sasaran.






Demikianlah, dua orang itu saling serang dan sesungguhnya yang bertanding adalah guru-guru mereka yang membisikkan jurus-jurus melalui mereka.

Ketika mendapat kesempatan, Si Kong menggetarkan ujung tongkatnya dan dengan pengerahan sinkangnya, dia menusuk ke arah ulu hati lawan. Melihat ini, Ouwyang Kwi menangkis dengan tangan kanan sambil mengerahkan sinkang pula.

“Tuk…..!”

Ujung tongkat bertemu telapak tangan dan keduanya terdorong mundur sampai lima langkah. Ternyata dalam hal tenaga sinkang, mereka seimbang dan hal ini amat mengejutkan hati Ouwyang Kwi. Tadipun kalau tidak mendapatkan bisikan-bisikan gurunya, dia sudah terdesak beberapa kali oleh pemuda remaja itu! Kini tahulah dia mengapa anak buahnya yang enam orang jumlahnya tidak mampu melawan pemuda ini.

Baik Yok-sian Lo-kai maupun Tung-hai Liong-ong merasa khawatir kalau pertandingan antara murid-murid mereka dilanjutkan.

“Hemm, Jembel Tua, murid kita sudah cukup bertanding. Bagaimana kalau guru mereka, tua sama tua, maju menguji ilmu kepandaian?”

“Ha-ha-ha, Naga Tua, kalau dilanjutkanpun muridmu akan kalah. Kau menantang aku? Ha-ha-ha, memang sudah lama aku ingin sekali mengetahui sampai dimana kelihaian Tung-hai Liong-ong dari Pulau Tembaga yang namanya tersohor itu!”

“Jembel Tua, kalau kita menggunakan senjata, orang-orang akan menganggap aku tidak adil karena senjataku lebih berat dan lebih besar dari pada tongkat bambumu. Karena itu, aku tantang engkau untuk bertanding dengan tangan kosong!”

Berkata demikian Tung-hai Liong-ong menancapkan tongkat kepala naga itu ke tanah. Tongkat itu menancap di tanah sampai hampir setengahnya dan ini menunjukkan betapa kuat tenaga sinkang datuk itu.

Yok-sian tertawa. Dia maklum bahwa lawannya tentu gentar menghadapi ilmu tongkatnya Ta-kaw Sin-tung maka sengaja menantang pertandingan tangan kosong. Tentu mengandalkan Tok-ciang (Tangan Beracun) yang hebat. Akan tetapi dia hanya tertawa dan tidak menolak tantangan itu.

“Ha-ha-ha, sesukamulah, Naga Tua. Bersenjata baik, bertangan kosong juga baik! Nah, aku sudah siap, mulailah!”

Kakek pengemis itu berdiri santai saja, tidak memasang kuda-kuda seperti orang yang hendak bertanding. Melihat sikap lawannya, Tung-hai Liong-ong segera mengeluarkan suara bentakan nyaring dan tubuhnya bergerak ke depan menyerang dengan dahsyat bagaikan angin topan!

“Hyaaaat……….!!” Kedua lengan Tung-hai Liong-ong menyambar dari kanan kiri.

“Heiiiittt……..!”

Yok-sian mengelak dengan tubuh condong ke belakang sehingga serangan pertama Liong-ong (Raja Naga) itu luput dan segera kakinya mencuat untuk membalas serangan lawan dengan sebuah tendangan kilat.

“Wuuuutt………. dukk!”

Liong-ong sudah menangkis tendangan Yok-sian dan balas memukul. Terjadilah pertandingan yang berjalan amat cepat sehingga yang nampak hanya bayangan dua orang kakek itu yang menyambar-nyambar seperti dua ekor ayam jantan berlaga.

Diam-diam Si Kong memperhatikan dan dia melihat bahwa dalam hal ginkang atau meringankan tubuh gurunya masih menang setingkat. Akan tetapi Liong-ong memiliki ilmu pukulan yang hebat sekali. Dari kedua tangannya itu menyambar hawa pukulan yang panas. Tahulah dia bahwa Liong-ong memiliki kedua tangan yang sudah mengandung hawa beracun amat jahatnya dan kini dia mengerti mengapa Liong-ong mengajak gurunya bertanding dengan tangan kosong. Tentu karena dia mengandalkan ilmunya itu untuk mengalahkan Yok-sian.

Setelah lewat seratus jurus, dua orang kakek mengubah gerakan mereka, kini tidak cepat lagi seperti tadi, melainkan dengan gerakan lambat, namun setiap gerakan mengandung hawa sakti yang menyambar-nyambar, terasa oleh mereka yang menonton.

Kedua orang sakti itu kini mengerahkan tenaga sinkang untuk saling serang. Pukulan mereka dilakukan dengan jari tangan terbuka dan dari telapak tangan mereka itulah menyambar hawa pukulan yang dahsyat bukan main.

Dengan khawatir Si Kong melihat betapa kedua tangan Liong-ong menghitam sampai kesikunya. Itulah tandanya bahwa Liong-ong telah mempergunakan Tok-ciang (Tangan Beracun) yang amat berbahaya.

“Heeeiiiiiittt………!”

Liong-ong berseru dan tangan kirinya mendorong ke depan, sementara tangan kanannya diangkat tinggi di atas kepalanya. Ada hawa menghitam menyambar dan ketika Yok-sian mengelak, sebatang pohon kena dihantam tangan Liong-ong. Pohon itu tumbang dan di bagian yang terpukul menjadi hitam seperti terbakar.

“Hyaaatt………!”

Yok-sian yang sudah mengelak itu kini merendahkan tubuh dan dengan menekuk kedua lututnya dan kedua tangannya mendorong ke depan. Akan tetapi Tung-hai Liong-ong agaknya hendak mengadu tenaga karena diapun melakukan gerakan yang sama dan mendorongkan kedua tangannya.

“Wuuuuuuutttt……….. plak…………!”

Dua pasang tangan itu bertemu di udara dan telapak tangan mereka saling melekat. Kini kedua orang kakek itu seperti dua orang anak-anak bermain dorong-dorongan! Nampak sekali mereka mengerahkan seluruh tenaga untuk mendorong lawan. Dari kepala Liong-ong mengepul uap hitam dan dari kepala Yok-sian mengepul uap putih.

Si Kong memandang dengan hati khawatir sekali. Dia tahu betul bahwa gurunya sedang bertanding mati-matian, mengerahkan seluruh tenaga. Kalau gurunya kalah kuat dan dapat terdorong, tentu akan menderita luka dalam yang hebat! Untuk membantu juga tidak mungkin, bahkan berbahaya karena dia dapat terserang oleh dua tenaga singkang yang sedang saling dorong itu.

Ouwyang kwi juga mengerti keadaan gurunya. Dia nampak bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, hanya membanting-banting kakinya dengan kesal.

Wajah Liong-ong menjadi tegang dan kemerahan, sedangkan wajah yok-sian masih tersenyum seperti biasa.

“Hyaaaaaaaaaaaattt!!”

Dua orang kakek itu mengeluarkan teriakan melengking dan akibatnya, tubuh Tung-hai Liong-ong terdorong mundur sampai lima langkah dan hampir saja dia terjatuh, akan tetapi ditahannya, lalu dia muntahkan darah segar dari mulutnya!

Tubuh Yok-sian hanya bergoyang-goyang akan tetapi kedua kakinya tidak melangkah, hanya mukanya yang menjadi agak pucat.

Tung-hai Liong-ong menoleh kepada Ouwyang Kwi sambil mengusap darah dari bibirnya dan berkata dengan suara parau.

“Hayo kita pergi! Untuk apa memperebutkan kedudukan ketua pengemis busuk?”

Dengan kedua tangan dia mencabut tongkatnya yang tadi tertancap di atas tanah dan pergilah Tung-hai Liong-ong setelah dia memandang kepada Yok-sian.

“Lain kali aku menang!”

Dia melangkah pergi. Ouwyang Kwi nampak bingung. Akan tetapi diapun tahu bahwa dia sudah kalah, maka tanpa banyak cakap lagi diapun mengikuti langkah gurunya.

Lu Tung San kini melangkah maju dan menghadapi anak buah Hwa I Kaipang dan berteriak lantang.

“Kami akan memaafkan kalian kalau kalian mencari dimana adanya ketua kalian yang lama, Tang Sin Pangcu.”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar