Ads

Kamis, 11 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 13

Ang-bi Mo-li cepat mencabut pedangnya karena hanya menggunakan kebutan saja ia merasa kewalahan. Sementara itu, Tong Li Koan, Kim Hok dan Kim Lan memandang dengan bengong. Sedikitpun tidak pernah mereka sangka bahwa Si Kong selihai itu!

Terutama sekali Kim Hok. Wajahnya menjadi pucat dan matanya terbelalak memandang kepada Si Kong, seolah-olah tidak percaya kepada penglihatannya sendiri. Si Kong yang pernah dihajarnya! Tanpa dapat melawannya! Kini dapat menandingi Ang-bi Mo-li yang demikian lihainya! Sedangkan Kim Lan ternganga, terkagum-kagum.

Ang-bi Mo-li kini menyerang dengan pedang dan kebutannya. Serangannya cepat dan dahsyat sekali. Wanita itu kini tidak berani memandang rendah setelah mendengar bahwa pemuda remaja ini murid Yok-sian Lo-kai. Dengan sepasang senjatanya yang lihai, ia merasa sanggup menghadapi ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung.

Akan tetapi tiba-tiba ia terkejut sekali. Ia telah kehilangan lawannya yang tahu-tahu telah berada di belakangnya. Demikian cepatnya gerakan Si Kong sehingga ia sendiri menjadi bingung. Pemuda itu seolah dapat menghilang. Ternyata pemuda itu telah menggabung ilmu tongkat Ta-kaw Sin-tung dengan ilmu meringankan tubuh Liok-te Hui-teng sehingga tubuhnya seperti pandai menghilang dan gerakan tongkatnya semakin cepat sehingga seolah tongkat itu mempunyai berpuluh ujung yang menyerang dari segala penjuru.

“Takk….. tranggg………!”

Kebutan dan pedang itu terpental ketika bertemu dengan tongkat. Kecepatan gerakan pemuda itu membuat Ang-bi Mo-li teringat kepada Penyair Gila yang terkenal memiliki ginkang yang sukar ditandingi. Ia menggunakan kesempatan ketika ia melompat mundur untuk bertanya.

“Apa hubunganmu dengan Kwa Siucai?”

“Beliau adalah guruku!” jawab Si Kong pula dengan terus terang tanpa menghentikan desakannya.

Ang-bi Mo-li terkejut bukan main mendengar pengakuan itu. Pantas pemuda ini lihai bukan main, kiranya murid Yok-sian Lo-kai dan Kwa Siucai! Dengan repot ia menggerakkan kebutan dan pedangnya untuk melindungi tubuhnya dari hujan serangan ujung tongkat yang gerakannya amat cepat dan sukar diikuti pandang mata itu.

Namun, betapapun cepat ia memutar kedua senjatanya untuk melindungi tubuhnya, tetap saja ujung tongkat itu menotok pundaknya, membuat lengannya seperti lumpuh dan ia terhuyung ke belakang, memegang pundak kanannya dengan tangan kiri yang masih memegang kebutan. Wajahnya berubah pucat, lalu kemerahan. Ia merasa malu bukan main karena jelas ia telah kalah. Ia harus mengakui ini dan menerimanya, karena kalau dilanjutkan, mungkin ia akan menderita luka yang lebih hebat. Pemuda itu terlalu cepat baginya, ilmu tongkatnya terlalu aneh dan sulit ditandingi.

“Si Kong, sekali ini aku mengaku kalah. Akan tetapi lain kali aku akan menebus kekalahan ini!” katanya untuk menutupi rasa malunya dan tanpa berkata apa-apa lagi tubuhnya melompat jauh dan ia sudah melarikan diri secepatnya dari tempat yang membuatnya malu itu.

Sejenak suasana menjadi sunyi karena keluarga Tong masih tertegun saking heran dan kagumnya. Kemudian meledaklah kegembiraan Kim Lan yang lari menghampiri Si Kong.

“Si Kong, engkau hebat sekali!’ kata gadis itu dengan penuh kekaguman.

Juga Tong Li Koan menghampiri pemuda itu dengan wajah gembira dan kagum. Pemuda yang menjadi penggembala kerbaunya ini telah menyelamatkannya! Kalau tidak ada Si Kong, dia tentu terpaksa harus meninggalkan tempat itu bersama seluruh keluarganya dan menyerahkan bukit itu kepada Ang-bi Mo-li!

“Si Kong, kenapa engkau tidak pernah memberitahukan kepadaku bahwa engkau memiliki kepandaian yang tinggi?” kata Tong Li Koan dengan nada menegur.






Kalau Tong Li Koan dan Tong Kim Lan menghampiri Si Kong dengan wajah berseri gembira dan penuh kagum, Tong Kim Hok masih berdiri di tempatnya yang tadi tanpa menggerakkan kakinya dan mukanya menjadi pucat. Dia merasa malu bukan main!

Si kong sudah mengambil keputusan untuk pergi meninggalkan Bukit Bangau. Tong Kim Hok sudah jelas tidak suka kepadanya. Untuk apa dia bekerja terus disitu kalau putera majikannya tidak suka kepadanya?

“Maaf, Lo-ya. Saya pamit karena hendak pergi dari sini.”

Tong Li Koan terbelalak.
“Pergi dari sini? Hendak ke mana dan mengapa pergi?”

Si Kong tersenyum.
“Hendak melanjutkan pergi berkelana. Sudah terlalu lama saya tinggal disini. Terima kasih kepada Lo-ya dan Siocia, selama ini telah bersikap baik sekali kepadaku.”

“Si Kong, jangan pergi dan jangan sebut aku nona. Panggil saja namaku. Aku ingin bersahabat denganmu, ingin belajar silat darimu.” Kata Kim Lan.

“Benar, Si Kong. Mulai sekarang engkau tidak usah menggembala kerbau, bantu saja mengawasi para pekerja di ladang.” kata Tong Li Koan. “Engkau tidak usah pergi dari sini.”

“Maaf, Loya dan Siocia. Saya harus pergi berkelana untuk meluaskan pengalamanku.”

Pada saat itu Kim Hok berlari menghampirinya. Dengan muka kemerahan dia berkata.
“Ayah, akulah yang bersalah mengganggunya. Si Kong, kau maafkanlah aku dan jangan pergi dari sini.”

Si Kong tersenyum dan menepuk-nepuk pundak pemuda yang lebih tua darinya itu.
“Sudahlah, kongcu. Kesalahan apapun yang dilakukan seseorang, kalau dia sudah insaf dan menyesali kesalahannya, hal itu baik sekali. Saya senang melihat kongcu menyadari kesalahannya.”

Biarpun tiga orang itu membujuknya agar jangan pergi, tetap saja Si Kong mengambil buntalan pakaiannya, lalu mengangkat kedua tangan depan dada, berkata,

“Loya, harap jangan khawatir. Ang-bi Mo-li tentu tidak berani datang lagi. Kini kemarahannya tertumpah kepadaku, kalau ia hendak membalas tentu mencari saya bukan mencari Loya. Selamat tinggal Loya, Siocia dan Kongcu.”

Tiga orang itu tidak sempat lagi menahan karena setelah berkata demikian, sekali berkelebat Si Kong yang menggunakan ginkangnya itu telah lenyap dari depan mereka.

Tong Li Koan menghela napas panjang.
“Luar biasa sekali anak itu. Semuda itu telah memiliki ilmu kepandaian hebat, bahkan menjadi murid Yok-sian Lo-kai dan Kwa Siucai! Dan dia tidak malu untuk bekerja menjadi penggembala kerbau! Luar biasa! Kim Hok, engkau patut mencontoh dia sudah pandai masih rendah hati sedemikian rupa.”

“Ini semua kesalahan koko!” Kim Lan merengek. “Karena perbuatan koko, Si Kong menjadi tersinggung dan meninggalkan kita! Koko telah menuduhnya menggembala kerbau tidak benar sehingga kaki seekor kerbaunya terluka, padahal, menurut Moli tadi, yang melukai kaki kerbau itu adalah koko sendiri!”

Tong Li Koan mengerutkan alisnya dan memandang tajam penuh selidik kepada puteranya.

“Benarkah itu, Kim Hok?”

“Ampun, ayah. Saya memang bersalah, dan tadipun saya sudah minta maaf kepada Si Kong,” kata Kim Hok.

“Akan tetapi kenapa engkau melakukan fitnah begitu kepada Si Kong?”

“Tadinya hati saya masih jengkel kepadanya, ayah, karena dia pernah melawan para penjaga.”

“Jangan ulangi lagi perbuatan semacam itu, Kim Hok. Engkau sama sekali tidak boleh tinggi hati dan angkuh dan sama sekali tidak boleh memandang rendah orang lain. Ah, kalau saja sikapmu seperti Si Kong, alangkah akan bahagianya hatiku.”

“Ampun, Ayah. Saya sudah sadar sekarang dan saya akan mencontoh Si Kong, saya akan belajar dengan tekun dan tidak akan memandang rendah orang lain.”

“Begitu baru kakakku!” kata Kim Lan girang.

Tong Li Koan mengajak dua orang anaknya masuk kedalam, diam-diam berterima kasih sekali kepada Si Kong karena berkat anak pengelana itu keluarganya terbebas dari ancaman Ang-bi Mo-li dan lebih dari itu, puteranya telah menyadari kesalahannya dan akan berusaha mencontoh sikap Si Kong yang rendah hati.

**** 13 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar