Ads

Kamis, 25 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 35

Dengan jantung berdebar karena tegang dan terharu, Si Kong memasuki dusun Ki-ceng. Begitu memasuki dusun itu, semua kenangan masa kecilnya terbayang kembali. Sungai kecil yang kalau musim kering tiba menjadi kering itu kini di penuhi air yang mengalir jernih. Dahulu, sering kali dia mandi di sungai ini atau mengail ikan. Hatinya menjadi sedih ketika melihat betapa dusun itu masih dipenuhi gubuk-gubuk reyot yang menjadi tempat tinggal petani miskin. Dia tahu benar bagaimana penderitaan mereka karena ketika dia masih kecil, ayahnya juga menjadi buruh tani, demikian pula ibunya. Namun penghasilan mereka berdua masih belum cukup untuk dapat memberi makan anak-anak mereka sampai kenyang.

Jembatan kayu itu masih berdiri, dan terdapat tambahan kayu disana sini untuk mengganti yang lapuk. Dan beberapa rumah gedung milik para hartawan masih berdiri megah, dikelilingi pagar tembok yang tinggi. Di pintu gerbang rumah-rumah gedung ini Si Kong melihat beberapa orang laki-laki yang bertubuh kekar. Dia masih ingat. Mereka itu adalah tukang-tukang pukul para hartawan itu, ditugaskan untuk mengancam, memukul atau membunuh buruh tani yang tidak dapat mengembalikan hutang mereka kepada sang hartawan.

Si Kong lewat di depan rumah gubuk yang dahulu menjadi tempat tinggal orang tuanya dan dalam hatinya timbul keharuan dan kesedihan yang mengiris hati. Terbayanglah semua peristiwa dahulu, kematian ayah ibunya. Akan tetapi dia merasa kehilangan karena rumah yang lama sudah tidak ada lagi. Hanya pohon di depan rumah itu masih berdiri seperti dahulu. Rumahnya telah berganti dengan rumah yang bagus. Dia dapat menduga. Tentu rumah dan tanahnya telah disita tuan tanah untuk pengganti hutang ayahnya dan tuan tanah itu mendirikan rumah disitu, entah untuk siapa. Mungkin untuk pegawai yang dipercaya.

Dia melanjutkan perjalanannya, melupakan semua itu dan kini dia pergi menuju ke rumah Hartawan Lui. Setelah tiba di depan rumah itu, teringatlah dia akan segalanya. Kakaknya perempuan Si Kiok Hwa, sejak berusia enambelas tahun, telah dijual oleh ayahnya kepada Hartawan Lui untuk dijadikan selir. Kakaknya Si Leng, dalam usia empat belas tahun telah memasuki rumah itu lewat pagar tembok di belakang, dengan maksud mencari encinya dan minta bantuan encinya karena keluarga ayahnya kehabisan beras dan diancam kelapan. Akan tetapi kakaknya itu ketahuan oleh tukang pukul dan dipukuli, disiksa sampai mati! Tentu saja dengan tuduhan mencuri.

Tiba-tiba kerinduannya terhadap kakak perempuan itu demikian mendesak hatinya. Ingin sekali dia melihat keadaan encinya. Kalau encinya dalam sehat dan hidup berbahagia, diapun akan merasa senang.

Si Kong lalu menghampiri pintu pekarangan gedung besar itu. disitu terdapat lima orang penjaga yang tubuhnya tinggi besar dan kekar, bahkan mereka semua membawa golok di pinggang. Menyeramkan sekali. Belum juga Si Kong datang dekat dia sudah menegur.

“Heii! Mau apa engkau mendekati pintu ini? Mau mengemis, atau mau mencuri?”

Hati Si Kong menjadi panas, akan tetapi dia menahan dirinya, bersabar karena demi kebaikan encinya, dia tidak boleh membikin ribut di tempat itu. Si Kong melangkah maju menghampiri lima orang yang berdiri bertolak pinggang dengan sombongnya itu dan berkata,

“Maaf, aku tidak ingin mengemis atau mencuri. Aku hanya ingin bertemu dengan kakakku perempuan yang tinggal di dalam gedung ini.”

Para tukang pukul itu mengerutkan alis dan saling pandang, lalu dia yang berkumis lebat itu melangkah maju mendekati Si Kong sambil bertanya.

“Encimu tinggal disini?” katanya tidak percaya. “siapakah encimu itu? Jangan main-main kau!”

“Aku berkata benar. Enciku bernama Si Kiok Hwa, sudah sepuluh tahun tinggal disini menjadi selir Lui-wan-gwe.”

“Si Kiok Hwa? Ha-ha-ha, engkau mimpi! Sudah bertahun-tahun aku menjadi pekerja disini dan tidak pernah mendengar nama Si Kiok Hwa. Pergilah dan jangan membikin aku marah. Tidak ada Si Kiok Hwa di tempat ini.”

“Kalau begitu, biarkan aku bicara dengan Lui-wan-gwe. Dia tentu tahu tentang enciku Si Kiok Hwa itu.”

“Mau bertemu Lui-wan-gwe? Aha, enak saja kau bicara! Orang macam engkau ini mana ada harganya untuk bertemu dengan Lui-wan-gwe? Tidak boleh, dan pergilah, atau aku akan menghajarmu!”

Kini Si Kong tidak dapat menahan kemarahannya lagi.
“Jahanam-jahanam busuk. Kalian ini seperti anjing-anjing yang menggonggong keras akan tetapi sebetulnya kepalamu kosong!”

“Keparat!”

Si kumis tebal sudah maju menghantam ke dada Si Kong. Si Kong miringkan tubuhnya dan ketika lengan yang besar itu lewat, dia menangkap lengan itu, diputar ke belakang tubuh si kumis tebal dan sekali tarik ke atas, lengan itu menjadi lumpuh karena sambungan lengan terlepas dari pundaknya. Nyerinya bukan kepalang dan si kumis itu melolong-lolong kesakitan.






Empat orang kawannya segera mencabut golok masing-masing dan mengeroyok Si Kong dari empat penjuru. Akan tetapi Si Kong tidak memberi kesempatan lagi kepada mereka. Dengan gerakan yang demikian cepatnya sehingga tidak dapat diikuti pandang mata mereka berempat, tahu-tahu golok di tangan mereka terlepas dan berjatuhan di atas tanah, disusul tubuh mereka yang terpental oleh tendangan kaki maupun tamparan tangan Si Kong.

Masih untung bagi mereka bahwa Si Kong tidak mau membunuh orang, maka mereka itu hanya mengalami tulang patah dan muka membengkak saja. Si Kong tidak mempedulikan mereka lagi dan dengan langkah lebar dia memasuki pekarangan itu, terus menuju ke pintu depan.

Lima orang penjaga lain sudah menghadangnya dengan golok di tangan.
“Heii, berhenti kau! Tidak boleh memasuki rumah ini!” bentak seorang diantara mereka.

“Kalian yang minggir dan memberi jalan kepadaku kalau tidak ingin kuhajar!”

Lima orang penjaga itu melihat betapa lima orang rekan mereka yang berjaga diluar masih merangkak-rangkak dengan susah payah. Akan tetapi mereka tidak percaya kalau pemuda ini telah merobohkan rekan-rekan mereka itu, dan dengan teriakan marah mereka berlima sudah menerjang dan mengeroyok Si Kong.

Kembali Si Kong berkelebatan dan sebentar saja lima orang itupun roboh malang melintang dan golok mereka beterbangan terlepas dari tangan mereka. Mereka hanya mengaduh-aduh dan tidak dapat berbuat sesuatu ketika Si Kong memasuki rumah besar itu.

Sesampainya diruangan depan, beberapa orang pelayan wanita menyambutnya dengan heran dan seorang diantara mereka bertanya,

“Engkau siapakah dan ada keperluan apa memasuki rumah ini?”

“Aku hendak bertemu dan bicara dengan Hartawan Lui. Cepat beritahu mana dia. Aku akan menemuinya!”

Para pelayan itu sudah melihat dari dalam betapa para penjaga dibuat roboh berpelantingan oleh pemuda ini. Mereka tidak berani menolak, akan tetapi juga tidak berani membawa pemuda itu menghadap majikan mereka yang sudah tua.

“Silakan tunggu diruangan depan, kami akan segera memberitahu majikan kami.”

Si Kong mengangguk dan berkata,
“Cepat laporkan dan minta dia keluar menemuiku, sekarang juga.”

Tiga orang wanita pelayan itu bergegas pergi ke sebalah dalam dan Si Kong tetap berdiri di tempat itu, memandangi perabot rumah yang serba indah. Di dinding terdapat banyak lukisan indah dengan sajak pasangan yang muluk-muluk, mengajarkan manusia melakukan segala macam kebaikan. Akan tetapi, ujar-ujar yang suci itu digantung disitu hanya sebagai hiasan saja, tidak ada sebuahpun yang dilaksanakan oleh si hartawan!

Terdengar langkah-langkah kaki dari dalam. Si Kong melihat kedalam dan muncullah seorang kakek tua renta yang usianya tentu sedikitnya sudah delapanpuluh tahun. Jalannya saja dipapah oleh dua orang gadis cantik dan disampingnya berjalan seorang laki-laki tinggi kurus dan laki-laki ini memandang kepada Si Kong dengan mata mencorong. Sebatang pedang tergantung dipunggung orang itu. Tentu dia seorang ahli silat, mungkin merupakan pengawal pribadi Lui Wan-gwe!

Melihat kakek itu yang dipapah duduk di atas sebuah kursi, Si Kong lalu menghadapinya dan memberi hormat. Bagaimanapun juga kakek ini adalah kakak iparnya.

“Apakah engkau yang bernama Hartawan Lui?”

Kakek itu tidak menjawab. Yang menjawab adalah orang tinggi kurus yang sudah melangkah menghadapi Si Kong.

“Kalau benar beliau ini Lui Wan-gwe, engkau mau apakah?”

“Aku hendak bertanya tentang enciku yang bernama Si Kiok Hwa. Sepuluh tahun yang lalu enciku diambil selir oleh Lui Wan-gwe. Aku ingin bertemu dengan enciku itu.”

“Si Kiok Hwa tidak berada disini lagi. Nah, pergilah, orang muda dan jangan mengganggu majikan kami.”

“Aku tidak mau pergi sebelum mendengar tentang enciku!”

“Hemm, nampaknya engkau patut dihajar, berani engkau kurang ajar terhadap Lui wan-gwe?”

Orang tinggi kurus yang usianya sekitar empat puluh tahun itu mencabut pedangnya dengan sikap mengancam.

“Aku tetap tidak mau pergi sebelum mendengar keterangan yang jelas tentang diri enci Si Kiok Hwa!” kata Si Kong dengan suara tegas.

“Engkau sudah bosan hidup!” bentak kepala pengawal itu dan dia sudah menyerang dengan pedangnya.

Akan tetapi dengan mudahnya Si Kong mengelak. Ilmu pedang orang ini boleh juga. Setelah pedangnya dapat dielakkan Si Kong, dia menyusulkan serangan bertubi-tubi ke arah tubuh Si Kong.

Namun, betapapun cepat gerakan pedangnya, gerakan Si Kong jauh lebih cepat lagi. Setelah mengelak sampai sepuluh kali, tiba-tiba Si Kong menyambar pedang yang ditusukkan ke dadanya itu dan menjepit pedang itu dengan jari-jari tangannya. Si tinggi kurus terkejut dan berusaha menarik kembali pedangnya. Akan tetapi Si Kong sudah menggerakkan kaki menendang.

“Bukk…!”

Orang tinggi kurus itu terpental kebelakang dan memegangi dadanya yang rasanya remuk sehingga dia terengah-engah, tidak mampu berdiri hanya bangkit duduk sambil menekan-nekan dadanya yang tertendang. Si Kong menggerakkan tangan yang merampas pedang dan senjata itu meluncur seperti anak panah dan menancap di dinding sampai setengahnya lebih. Gagangnya bergoyang-goyang saking besarnya tenaga yang melemparkannya tadi.

Si Kong menghampiri kakek tua itu yang kelihatan gemetaran.
“Tidak perlu takut, Lui Wan-gwe. Aku datang kesini hanya ingin bertemu dengan enci Kiok Hwa! Akan tetapi para tukang pukulmu yang menghalangi, terpaksa aku merobohkan mereka. Nah, sekarang katakan dimana adanya enci Kiok Hwa?”

Kakek itu menggeleng kepalanya.
“Entah dimana. Sudah lima tahun yang lalu ia meninggalkan rumah ini, dan menikah dengan seorang yang bernama Lo Sam, aku tidak tahu lagi…”

Melihat kakek itu suaranya sudah gemetaran, Si Kong tidak mau mendesaknya.
“Kalau engkau tidak tahu, siapa yang tahu dimana adanya Lo Sam itu sekarang?” Dia berhenti sebentar lalu melanjutkan dengan suara mengandung ancaman. “Karena tadinya enciku berada disini, maka yang bertanggung jawab adalah engkau, Lui Wan-gwe. Kalau aku tidak mendapat keterangan yang jelas, akan kugeledah seluruh isi rumah ini!”

“Tunggu……!” Lui Wan-gwe mengangkat tangan. “Terus terang saja, aku sendiri tidak tahu. Akan tetapi ada seorang bujang tua yang mengetahui kemana Lo Sam membawa Kiok Hwa.” Dia lalu memberi isyarat kepada seorang gadis cantik yang tadi memapahnya. “Panggilkan Ji Kwi kesini.”

Tak lama kemudian gadis itu sudah muncul kembali bersama seorang wanita tua yang usianya sudah enampuluh tahun. Wanita ini menghadap dengan takut-takut.

“Lo-ya memangggil saya?” katanya sambil berlutut di depan Hartawan Lui.

“Benar. Aku ingin engkau menceritakan tentang diri Kiok Hwa kepada adiknya ini!”

Hartawan Lui menunjuk ke arah Si Kong dan Si Kong menghampiri bujang tua itu dan berkata dengan suara halus.

“Bibi, ceritakanlah tentang enci Kiok Hwa, ceritakan semuanya jangan menyembunyikan sesuatu.”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar