Ads

Kamis, 25 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 34

“Hemm, kau datang kesini dan mengacaukan kehidupan para pengemis yang tenteram, engkau mengandalkan ilmumu untuk membikin rusuh, apakah itu tidak jahat namanya?”

Diam-daim Si Kong terkejut. Jelas bahwa gadis itu bukan orang jahat, akan tetapi mengapa ia berada di sarang Hek I Kaipang yang jahat?

“Nona, aku datang kesini bahkan untuk menentang kejahatan. Aku ingin menegur ketua Hek I Kaipang yang membiarkan anak buahnya melakukan kejahatan!”

“Souw-pangcu biarpun menjadi ketua para pengemis adalah seorang gagah perkasa yang selalu membela keadilan dan kebenaran. Bagaimana engkau dapat menuduhnya memiliki anak buah yang jahat? Itu hanya fitnah belaka!”

Souw Kian kini maju menghadapi Si Kong.
“Agaknya terjadi kesalah-pahaman di antara kita, Si-taihiap. Kalau Si-taihiap hendak menegakkan kebenaran dengan menentang kejahatan, maka jelaslah bahwa disini terjadi kesalah-pahaman. Aku berani menanggung jawab bahwa diantara anggauta kami tidak ada yang menjadi penjahat.”

Si Kong menjadi ragu-ragu mendengar ucapan ketua Hek I Kaipang itu.
“Akupun bukan bertindak secara ngawur, pangcu. Aku sendiri yang menghadapi para penjahat itu. mereka berpakaian hitam-hitam seperti anggautamu.”

“Hemm, mungkin ada yang sengaja berusaha merusak nama baik Hek I Kaipang. Tolong taihiap ceriatakan apa yang terjadi. Akan tetapi rasanya tidak enak bicara sambil berdiri di halaman ini. Marilah, taihiap, kita bicara di dalam. Mari, lihiap.”

Si Kong yang kini menyadari bahwa memang ada kesalah-pahaman, mengikuti kedalam, Bwe Hwa juga masuk ke dalam dan ternyata di dalam kuil yang tua dan tidak dipergunakan lagi itu amat bersih terawat. Dindingnya di kapur putih dan lantainya juga bersih sekali. Diruangan tengah terdapat meja dan beberapa buah bangku kayu.

“Silakan duduk, taihiap dan lihiap (pendekar wanita).”

Setelah mereka bertiga duduk menghadapi meja, Souw Kian berkata,
“Nah, silakan menceritakan semua yang telah terjadi sehingga taihiap menuduh kami.”

Si Kong menjadi semakin ragu. Lima orang pengacau berpakaian hitam itu baru lagaknya saja sudah dapat diketahui bahwa mereka bukan orang baik-baik. Akan tetapi sikap ketua Hek I Kaipang ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa dia orang jahat. Dia menghela napas beberapa kali lalu bercerita.

“Mula-mula terjadi di depan rumah Hartawan The pada hari kemarin. Ketika The-wan-gwe sedang membagi-bagi beras kepada mereka yang membutuhkan sehingga orang-orang itu berdiri dengan antri, tiba-tiba muncul seorang berbaju hitam yang pakaiannya serba hitam pula. Dia tidak mau antri seperti yang lain, menyerobot ke depan, bahkan dia minta sekarung beras. Ketika para petugas menolaknya, dia memukul empat orang petugas itu.”

“Hemm, jahat sekali orang itu. The-wan-gwe terkenal sebagai seorang dermawan yang budiman. Kalau aku berada disana, tentu orang itu sudah kuhajar!” kata Souw Kian marah.

“Pendapatku sama dengan pendapat Souw-pangcu. Aku melihat kejadian itu lalu turun tangan dan menghajarnya. Dia melarikan diri akan tetapi tidak lama kemudian dia muncul lagi dengan empat orang kawannya yang semua juga berpakaian serba hitam. Untung disana ada keponakan The-wan-gwe, seorang gadis yang pandai ilmu pedang dan gadis itu berhasil mengusir lima orang itu. Nah, karena lima orang itu berpakaian hitam-hitam, maka aku menduga bahwa mereka tentu anak buah Hek I Kaipang dan aku segera datang kesini untuk menegur Souw-pangcu. Akan tetapi malah aku yang dituduh membikin kacau!”

“Mengerti aku sekarang. Tentu ada orang-orang yang sengaja hendak memburukkan nama kami. Akan tetapi percayalah, taihiap, bahwa lima orang itu bukan anak buah kami, dan kami akan mengerahkan seluruh anggauta kami untuk melakukan penyelidikan dan menangkap lima orang itu.”

Si Kong mengangguk.
“Setelah melihat keadaan Hek I Kaipang disini, dan sikap pangcu, akupun mulai percaya bahwa lima orang itu bukan anggauta Hek I Kaipang, melainkan orang-orang lain yang sengaja menyamar. Maafkanlah kesalahanku, pangcu.” Si Kong bangkit berdiri dan memberi hormat kepada ketua itu.






Souw Kian cepat berdiri dan membalas penghormatan itu.
“Tidak perlu minta maaf, taihiap. Kalau aku yang melihat peristiwa itu tentu akupun bertindak seperti yang taihiap lakukan. Silakan duduk lagi, taihiap. Kami merasa beruntung sekali dapat berkenalan dengan Si-taihiap.”

Akan tetapi Si Kong tidak ingin duduk kembali. Urusannya telah selesai dengan Hek I Kaipang, maka dia tidak mau terlalu lama disitu.

“Aku masih mempunyai banyak urusan yang harus kuselesaikan, pangcu. Karena itu aku tidak dapat terlalu lama berada disini.”

“Tunggu dulu, sobat.” kata Bwe Hwa. “Ayah ibuku mempunyai hubungan yang dekat dan akrab sekali dengan keluarga Cin-ling-pai. Karena engkau murid Ceng-locianpwe dan memiliki ilmu Cin-ling-pai, maka berarti engkau adalah orang sendiri. Bagaimana keadaan Ceng-locianpwe di Pulau Teratai Merah? Tentu beliau kini sudah tua sekali.”

Di tanya tentang keadaan gurunya, wajah Si Kong menjadi muram seperti diselimuti awan. Setelah menghela napas panjang Si Kong menjawab,

“Suhu telah wafat beberapa bulan yang lalu.”

“Ahhh! Kalau begitu, tentu ayah dan ibuku pergi kesana untuk melayat. Sudah lama aku meninggalkan rumah.”

Melihat sikap gadis itu kini ramah padanya, Si Kong merasa senang.
“Kurasa ayah ibumu tidak datang melayat karena kematian suhu terjadi secara mendadak dan kami tinggal di pulau terpencil. Akan tetapi pada saat suhu wafat, bibi Cia Kui Hong yang menjadi ketua Cin-ling-pai bersama suami dan puterinya datang sehingga mereka dapat bicara dengan suhu sebelum meninggal dan ikut pula mengurus jenazah suhu.”

Mendengar ini, wajah Bwe Hwa menjadi berseri.
“Ah, engkau bahkan telah bertemu dengan mereka? Baru sekali, dua tahun yang lalu, aku bertemu dengan keluarga itu. Bagaimana sekarang keadaan adik Hui Lan? Tentu ilmu kepandaiannya sudah tinggi sekali. Ayahnya, paman Tang Hay adalah sahabat ayahku.”

“Adik Hui Lan baik-baik saja. Mengenai kepandaiannya, aku tidak tahu, akan tetapi aku percaya bahwa ia tentu memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Sudahlah, nona, aku harus melanjutkan perantauanku.”

“Nona? Engkau menyebut nona? Kong-ko (kakak Kong), kita adalah orang-orang sendiri, tidak perlu bersikap seperti orang asing. Bolehkah aku mengetahui nama orang tuamu dan dimana mereka tinggal?’

Menghadapi gadis yang lincah dan pandai bicara ini, Si Kong merasa terdesak dan terpaksa diapun menjawab.

“Ayah ibuku telah meninggal dunia. Aku yatim piatu dan sebatang kara, tempat tinggalkupun dimana saja, tidak tetap. Nah, sudah cukup, Hwa-moi, aku harus pergi sekarang.” Dia mengangkat kedua tangan depan dada lalu melangkah keluar.

Bwe Hwa merasa kecewa. Sebetulnya ia ingin bicara lebih banyak dengan pemuda itu, menceritakan riwayat perjalanan mereka masing-masing. Hatinya tertarik sekali kepada Si Kong yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu. Akan tetapi sebagai seorang gadis, tentu saja ia merasa tidak enak kalau harus mencegah pemuda itu agar jangan begitu cepat pergi meninggalkannya.

Karena ia merasa kecewa dan hatinya merasa sepi setelah pemuda itu pergi, Bwe Hwa mengalihkan perhatiannya dengan bercakap-cakap dan minta bantuan Souw-pangcu dalam usahanya mencari pedang pusaka Pek-lui-kiam.

“Seperti yang ku katakan tadi sebelum Kong-ko itu datang, pangcu. Apakah engkau mengetahui dimana adanya pedang pusaka Pek-lui-kiam?”

Souw Kian menghela napas panjang.
“Dunia kang-ouw menjadi ramai dengan munculnya berita bahwa pedang pusaka Pek-lui-kiam menjadi rebutan dan semua orang mencarinya. Pedang itu kabarnya menjadi milik Tan-taihiap atau Tan Tiong Bu yang tinggal di kota Sia-lin. Akan tetapi, beberapa pekan yang lalu, kabarnya Tang Tiong Bu dan isterinya terbunuh. Tidak ada orang tahu siapa pembunuhnya, akan tetapi diduga keras bahwa orang itu membunuh untuk merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam itu.”

“Dapatkah engkau menduga siapa kiranya yang melakukan pembunuhan dan merampas Pek-lui-kiam?” Bwe Hwa mendesak.

Ketua Hek I Kaipang itu menggeleng kepalanya.
“Aku sudah menyuruh anak buahku menyelidik ke Sia-lin. Akan tetapi disana pun tidak ada yang tahu. Hanya menurut kabar, pada saat kematian Tan Tiong Bu, ada orang melihat seorang kakek berpakaian serba merah keluar dari pekarangan rumah itu. Nah, kalau engkau hendak ikut mencari Pek-lui-kiam, engkau harus mencari kakek yang berpakaian serba merah dan mukanya pucat itu.”

Bwe Hwa mengerutkan alisnya. Betapa akan sukarnya mencari seorang kakek berpakaian merah dan pucat mukanya diantara rakyat yang tak terhitung jumlahnya itu.

“Pangcu, engkau jauh lebih berpengalaman dari pada aku di dunia kang-ouw. Tentu engkau dapat menduga siapa adanya kakek berpakaian merah bermuka pucat itu. Barangkali ada tokoh atau datuk sesat yang seperti itu.”

“Banyak sekali datuk sesat empat penjuru, nona. Akan tetapi belum pernah aku mendengar tentang seorang datuk yang berpakaian serba merah. Akan tetatpi….. nanti dulu! Aku pernah mendengar akan munculnya seorang tokoh baru yang datang dari barat. Tidak ada yang tahu siapa namanya dan orang hanya menyebutnya Ang I Sianjin (Manusia Dewa Jubah Merah), dan tempat tinggalnyapun tidak ada yang mengetahui. Mungkin dia yang melakukannya, akan tetapi sepanjang pendengaranku, tokoh itu tidak pernah melakukan kejahatan.”

“Terima kasih, pangcu. Setidaknya itu merupkan landasan bagiku untuk mencarinya. Mencari pedang yang tidak diketahui dimana adanya amatlah sukar, bahkan tidak mungkin. Akan tetapi mencari orang yang sudah diketahui namanya, agaknya lebih mudah. Nah, selamat tinggal, pangcu. Engkau telah menyambut kedatanganku dengan baik sekali. Akan kuceritakan kebaikanmu ini kepada ayah dan ibuku kalau aku pulang nanti.”

“Ah, nona, kedatanganmu kesini saja sudah merupakan penghormatan besar bagi kami, dan kamilah yang berterima kasih bahwa seorang pendekar wanita sudi berkunjung ke rumah jelek dan kotor ini. Sampaikan salam hormatku kepada orang tuamu.”

Bwe Hwa lalu meninggalkan kuil itu, memasuki lagi kota Ci-bun dengan hati mengharapkan pertemuan dengan Si Kong di dalam kota itu. Akan tetapi setelah tiga hari ia tinggal di Ci-bun dan tidak pernah melihat bayangan pemuda itu, hatinya terasa hampa dan kehilangan. Ia lalu meninggalkan Ci-bun untuk melanjutkan perantauannya.

**** 34 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar