Ads

Kamis, 25 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 33

Sementara itu, gadis cantik gagah yang keluar bersama ketua Hek I Kaipang itu hanya menontong dengan sikap tenang sekali. Gadis ini bukan gadis biasa, melainkan seorang gadis yang memiliki ilmu kepandaian hebat sekali. Ia adalah puteri dan anak tunggal dari pendekar besar Pek Han Siong yang diwaktu kecilnya dijuluki Sin-tong (Anak Sakti) karena bertulang dan berbakat baik sekali.

Pek Han Siong ini menguasai banyak macam ilmu silat, diantaranya ilmu silat Pek-sim-pang (Tongkat Hati Murni), Kwan Im Kiamsut (Ilmu Pedang Dewi Kwan Im) yang dapat dimainkan dengan tangan kosong pula, disebut Kwan Im Sin-kun dan masih banyak lagi. Dan lebih dari pada itu, diapun menguasai ilmu sihir! Adapun isterinya juga bukan orang sembarangan. Ibu gadis itu bernama Siangkoan Bi Lian yang pernah mendapat julukan Tiat-sim Sian-li (Dewi Berhati Besi). Diantara ilmu-ilmu silat yang dikuasainya, terdapat ilmu Kim-ke Sin-kun (Ilmu Silat Ayam Emas) dan juga Kwan Im Sin-kun.

Gadis itu adalah puteri mereka, anak tunggal yang bernama Pek Bwe Hwa, berusia delapan belas tahun. Wajahnya berbentuk bulat telur seperti wajah ibunya, hidungnya kecil mancung, bibirnya merah membasah, dagunya yang runcing itu membayangkan kekerasan hati, tubuhnya ramping padat dan rambutnya digelung sederhana di atas kepala, diikat dengan pita merah. Pedang yang berada di punggungnya itu adalah pedang pusaka Kwan Im-kiam (Pedang Dewi Kwan Im) yang diterima dari ayahnya.

Sebagai puteri tunggal sepasang pendekar sakti itu, tidak mengherankan kalau Bwe Hwa mewarisi ilmu-ilmu dari ayah ibunya. Bahkan ia pernah diberi petunjuk dan dilatih oleh ayahnya dalam ilmu sihir!

Bwe Hwa sedang berkunjung kepada Ketua Hek I Kaipang dalam usahanya ikut mencari dan memperebutkan Pek-lui-kiam yang menghebokan dunia kang-ouw itu. Pek Han Siong dan isterinya yang mendengar tentang pedang pusaka yang kabarnya dipakai berebutan oleh para tokoh dan datuk persilatan, sengaja menyuruh puteri mereka untuk ikut pula berlumba menemukan dan merampas pedang itu.

Mereka yakin bahwa puteri mereka pasti mampu melindungi diri sendiri dengan semua ilmunya. Mereka menghendaki agar puteri mereka memperoleh pengalaman di dunia kang-ouw, seperti mereka dulu ketika masih muda. Kini Pek Han Siong sudah berusia limapuluh satu tahun dan isterinya empatpuluh sembilan tahun. Mereka juga memberitahu nama dari para tokoh sesat dan juga tokoh-tokoh yang bersih.

Demikianlah sedikit keterangan mengenai Pek Bwe Hwa dan kedua orang tuanya yang kini bertempat tinggal di kota Tung-ciu, disebalh timur kota raja. Ketika itu Pek Bwe Hwa sedang menjadi tamu ketua Hek I Kaipang karena dari orang tuanya dara ini mendapat tahu bahwa ketua Hek I Kaipang merupakan kenalan ayahnya dan boleh dipercaya.

Bwe Hwa berkunjung untuk mencari keterangan perihal Pek-lui-kiam kepada ketua itu. Dan selagi mereka bercakap-cakap didalam, datang anggauta Hek I Kaipang yang melaporkan tentang kedatangan Si Kong yang bertanding dengan para anggauta perkumpulan itu di halaman depan. Hek I Kaipangcu menjadi marah mendengar laporan itu dan diapun bergegas keluar sambil membawa tongkatnya. Bwe Hwa tertarik dan ikut keluar.

Akan tetapi gadis ini tidak mau mencampuri urusan Souw Kian atau Souw-pangcu (Ketua Souw) ketua Hek I Kaipang itu. Ia mendengar dari ayahnya bahwa Souw Pangcu adalah seorang yang memiliki ilmu tongkat yang lihai, maka iapun tidak perlu membantu.

Akan tetapi melihat Si Kong, hatinya menjadi tertarik. Pemuda itu tidak kelihatan seperti seorang penjahat dan begitu pemberani sehingga berani menyambut tantangan Souw Pangcu yang bersenjatakan tongkat baja itu hanya dengan senjata tongkat bambu. Hati gadis ini menjadi kagum dan tertarik sekali. Akan tetapi ia melangkah maju mendekat agar dapat mencegah kalau sekirana Souw Pangcu terancam bahaya maut.

Souw Pangcu adalah seorang gagah. Melihat pemuda itu hanya bersenjatakan sebatang tongkat bambu, diapun enggan menggunakan tongkat bajanya. Yang dilawannya adalah seorang yang masih muda belia, kalaupun dia menang dalam pertandingan itu, kemenangannya tidak adil dan dia merasa malu. Maka, diapun menggapai seorang anggauta perkumpulannya yang memegang tongkat bambu. Anggauta itu mendekat dan Souw Pangcu menukar tongkat bajanya dengan tongkat bambu.

“Nah, sekarang senjata kita berimbang. Bersiaplah dan seranglah aku, orang muda.”

“Aku hanya tamu dan engkau tuan rumah, pangcu. Silakan maju lebih dulu, aku sudah siap!”

“Bagus, lihat seranganku!” bentak ketua itu dan mulailah dia memutar tongkat dan segera tongkatnya itu berubah seperti payung putih yang menerjang ke arah Si Kong.

Di dalam hatinya sudah timbul keraguan apakah ketua perkumpulan ini seorang jahat karena sikapnya yang demikian gagah. Jelas bahwa ketua ini tidak ingin menang sendiri. Maka diapun menyambut dan dalam hatinya dia mengambil keputusan untuk tidak membunuh atau melukai berat lawannya. Asal dapat mengalahkan saja sudah cukup. Apalagi maksud kunjungannya bukan untuk berkelahi, melainkan untuk membujuk ketua ini agar suka melarang para anggautanya melakukan kejahatan.






“Trak-tuk-tuk…!”

Tiga kali tongkat berbenturan dan Souw Pangcu menjadi kaget setengah mati. Pertemuan tongkat yang terakhir itu membuatnya terhuyung ke belakang! Ini tidak mungkin, pikirnya. Dia tadi merasa betapa kedua tangannya tergetar ketika menangkis pukulan pertama dan kedua, akan tetapi pada pertemuan tongkat yang ketiga kalinya dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya untuk membikin hancur tongkat lawan. Akan tetapi akibatnya, bukan tongkat lawan yang hancur, melainkan tubuhnya yang terdorong kebelakang sampai dia terhuyung-huyung.

Akan tetapi hal ini membuat Souw Kian menjadi penasaran sekali. Kembali dia menerjang dengan teriakan nyaring, memainkan ilmu silat Hek-liong-tung-hwat (Ilmu Tongkat Naga Hitam). Tongkatnya berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk. Akan tetapi, semua serangannya dapat dihindarkan oleh Si Kong dengan elakan maupun tangkisan dan setiap kali pemuda itu membalas, sang ketua menjadi repot menyelamatkan diri.

Bwe Hwa melihat ini semua dan ia semakin kagum saja. Ilmu tongkat pemuda itu aneh sekali dan perubahannya tak dapat disangka lawan. Setelah lewat tiga puluh jurus, Si Kong lalu menyerang dengan hebatnya, mengurung tubuh lawan dari segala jurusan dengan tongkatnya yang bergerak amat cepatnya.

Souw Kian terkejut dan main mundur terus, akan tetapi tongkat lawan yang tadi menyerang tubuh bagian atas, tiba-tiba meluncur ke bawah dan sekali congkel, tongkat itu masuk diantara kedua kaki Souw Kian dan begitu tongkat di tarik kesamping, tak dapat dihindarkan lagi tubuh Souw Kian terjatuh menelungkup karena kedua kakinya terangkat ke atas! Dia jatuh menelungkup seolah-olah orang minta ampun.

“Bangkitlah, pangcu, tidak perlu memberi penghormatan secara berlebihan!” kata Si Kong yang hendak melucu.

Akan tetapi ucapannya ini membuat Bwe Hwa memandang kepadanya dengan mata mencorong. Iapun meloncat kedepan dan sekali tarik pundak Souw Kian, ketua itu tertarik ke atas dan dapat berdiri.

“Mengasolah, Souw Pangcu. Biar aku yang menghadapi pengacau ini!”

Souw Kian terpaksa harus mengakui kekalahannya. Dia mengundurkan diri dengan muka merah dan berulang-ulang menghela napas panjang. Akan tetapi dia kini mengharapkan gadis tamunya itu akan mampu menghajar pemuda itu. Dia dapat menduga bahwa gadis itu tentu memiliki ilmu silat yang amat tinggi, mempelajarinya dari kedua orang tuanya yang menjadi pendekar sakti. Diapun kini menonton dari pinggiran.

Bwe Hwa menghadapi Si Kong dengan senyum dingin dan matanya mencorong. Gadis ini menganggap Si Kong sebagai seorang pengacau. Ia menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka Si Kong dan berkata dengan suaranya yang lembut akan tetapi penuh wibawa. Karena menganggap pemuda itu sudah membuat malu kepada Souw Pangcu, iapun hendak membalas membikin malu pemuda pengacau itu.

“Si Kong engkau merangkaklah!”

Di dalam suara itu terkandung kekuatan sihir yang seolah hendak memaksa Si Kong berlutut dan merangkak. Si Kong terkejut bukan main ketika merasa jantungnya tergetar dan ada dorongan dari hatinya sendiri untuk menjatuhkan diri dan berlutut. Akan tetapi dia teringat akan peringatan Ceng Lojin bahwa di dunia kang-ouw, terdapat orang-orang yang memiliki keahlian sihir. Kalau menghadapi lawan seperti ini dan ada dorongan hebat dari batinnya untuk menurut apa yang di katakan oleh lawan seperti itu, dia harus cepat mengerahkan sinkangnya yang akan dapat menolak pengaruh sihir. Maka, begitu batinnya mendorongnya untuk berlutut dan merangkak, dia mengerahkan sinkangnya untuk melawan dorongan ini.

Kini berbalik Pek Bwe Hwa yang terbelalak heran. Pemuda itu sama sekali tidak terpengaruh oleh kekuatan sihirnya! Maklumlah ia bahwa pemuda itu telah memiliki sinkang yang amat kuat sehingga mampu menahan kekuatan sihirnya. Melihat kenyataan ini, ia menghentikan kekuatan sihirnya dan mencabut pedang dari punggungnya.

“Singg…!” ketika pedang itu dicabut nampak sinar berkilauan dan gadis itu sudah melintangkan pedang di depan dadanya.

“Pengacau sombong, lihat pedangku!” bentaknya dan Pek Bwe Hwa segera menyerang dengan dahsyatnya.

Pedangnya lenyap bentuknya dan berubah menjadi gulungan sinar terang yang panjang dan tiba-tiba sinar itu mencuat ke arah Si Kong.

“Tranggg….!”

Pedang di tangan Bwe Hwa tergetar hebat, gadis itu bertambah heran dan juga terkejut. Pemuda yang memegang tongkat bambu ini memiliki tenaga sinkang yang bukan main kuatnya. Akan tetapi ia tidak menjadi gentar dan melanjutkan serangannya secara bertubi-tubi. Ia menggunakan pedang Kwan-im-kian untuk memainkan Kwan im Kiam-sut yang amat lihai.

Si Kong terkejut bukan main. Ilmu pedang gadis itu memang hebat sekali dan sama sekali tidak boleh dipandang rendah. Timbul kekaguman dalam hatinya. Gadis itu masih muda, paling banyak delapanbelas tahun usianya, akan tetapi sudah memiliki ilmu pedang yang demikian dahsyatnya.

Karena maklum bahwa ilmu pedang gadis itu berbahaya bukan main, Si Kong lalu mainkan Ta-kaw Sin-tung dan mengerahkan khikangnya sehingga gerakannya cepat bukan main, lebih cepat daripada gerakan Bwe Hwa! Kedua orang muda itu bertanding dengan seru, saling serang dan saling desak.

Akan tetapi tentu saja Si Kong tidak mempunyai niat untuk melukai atau membunuh lawannya. Dia ingin mengalahkan tanpa melukai, kalau dapat merampas pedang yang hebat itu. Akan tetapi justeru ini membuat dia sukar sekali untuk mendapatkan kemenangan. Merampas pedang itu amatlah sulit dan pertandingan antara mereka sudah berlangsung lebih dari limapuluh jurus, masih belum ada yang kalah.

Mulailah Si Kong merasa khawatir. Agaknya tidak mungkin baginya untuk dapat merampas pedang gadis itu. Kalau dia mau, tentu saja dia dapat merobohkan lawan dengan melukainya, akan tetapi karena dia tidak menghendaki hal ini terjadi, dia mengalami kesulitan sendiri. Tiba-tiba teringatlah dia akan ilmu Thi-ki-i-beng. Hanya ilmu ini saja yang memungkinkan dia mengalahkan lawan tanpa melukainya.

Ketika pedang itu menyambar lagi ke arah lehernya Si Kong menangkis dan menggunakan tenaga sinkangnya untuk membuat pedang itu menempel pada tongkatnya dan tidak dapat ditarik kembali. Bwe Hwa terkejut dan mengerahkan sinkangnya untuk menarik kembali pedangnya yang sudah melekat pada tongkat. Akan tetapi pada saat itu sesuai dengan rencananya, Si kong sudah mengerahkanThi-ki-i-beng sehingga ketika gadis itu mengerahkan sinkang, tenaga gadis itu tersedot melalui pedang dan tongkat.

Bwe Hwa terkejut bukan main! Dari ayah ibunya dia mendengar bahwa di dunia kang-ouw terdapat sebuah ilmu yang luar biasa, yang dinamakan Thi-ki-i-beng. Akan tetapi yang menguasai ilmu itu di dunia persilatan mungkin hanya seorang, yaitu Ceng Thian Sin atau Pendekar Sadis yang tinggal di Pulau Teratai Merah di lautan selatan.

Karena tidak ingin tenaga sinkangnya disedot sehingga ia kehabisan tenaga, terpaksa Bwe Hwa melepaskan pedangnya dan meloncat jauh ke belakang! Biarpun andaikata ia tidak melepaskan pedang, tetap saja ia tidak akan terancam bahaya karena Si Kong segera menyimpan kembali tenaga Thi-ki-i-beng. Diapun tidak ingin menyedot habis tenaga sinkang gadis itu dan hanya ingin membuatnya terkejut sehingga dia dapat merampas pedang itu.

Si Kong mengambil pedang yang menempel pada tongkatnya, lalu menghampiri Bwe Hwa dan menyodorkan pedang itu kepada pemiliknya. Wajah Bwe Hwa menjadi merah, akan tetapi ia merasa penasaran sekali dan bertanya,

“Engkau menggunakan Thi-ki-i-beng! Dari mana engkau dapat menguasai ilmu itu? Apa hubunganmu dengan kakek Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah?” Ia menerima pedangnya.

Si Kong makin kagum. Gadis ini masih muda, akan tetapi memiliki ilmu kepandaian tinggi, bahkan agaknya memiliki pengetahuan luas sehingga dapat mengenal Thi-ki-i-beng dan gurunya, Ceng Thian Sin.

“Penglihatanmu tajam sekali, nona. Kakek Ceng Thian Sin adalah guruku.”

“Tidak mungkin!” Gadis itu membentak. “Kakek Ceng Thian Sin adalah seorang pendekar sakti yang namanya terkenal. Sejak muda ia menentang kejahatan dan menghukum para penjahat. Bagaimana sekarang muridnya menjadi penjahat?”

“Nona!” kata Si Kong penasaran. “Aku bukan penjahat!”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar