Ads

Kamis, 25 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 32

“Keterangan itu penting sekali, nona. Kalau tidak dapat dikenal orangnya, mungkin dapat dikenal pedangnya. Saya akan berusaha mencarinya, nona.”

“Terima kasih, engkau baik sekali, Si Kong. Dan untuk bekal perjalananmu, terimalah benda-benda ini dan juallah.” Gadis itu menyerahkan sapasang gelang emasnya.

Si Kong menolak dengan halus.
“Nona, apa yang saya lakukan adalah suatu kewajiban bagi saya, dan saya tidak membutuhkan imbalan.”

“Tidak, Si Kong. Simpanlah ini. Kalau engkau sampai kehabisan bekal di perjalanan, dapat kau pergunakan gelang-gelang ini. Kalau engkau tidak mau menerimanya, aku akan selalu merasa gelisah dan menyesal, dan tidak mempunyai harapan akan dapat menemukan musuh besarku. Terimalah! Ini bukan imbalan jasa, melainkan untuk biaya perjalanan.”

“Kiok Nio benar, Si Kong. Terimalah sepasang gelang itu agar hatinya tenteram.” Kata Hartawan The Kun.

Karena di desak oleh mereka, akhirnya Si Kong mau juga menerima sepasang gelang emas bertabur permata itu. Malam itu dia bermalam di dalam sebuah kamar tamu dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia sudah berpamit lalu pergi meninggalkan rumah The Kun dan berjalan keliling kota.

Tak lama kemudian, bertemulah dia dengan yang dicari-carinya. Dua orang pengemis yang mengenakan pakaian berwarna hitam sedang mengemis di depan sebuah pasar. Dua orang pengemis ini sama sekali tidak kelihatan menyeramkan seperti lima orang perusuh yang kemarin mengacau di depan rumah Hartawan The.

Si Kong memperhatikan mereka berdua. Pakaian mereka memang serba hitam seperti pakaian para pengacau kemarin akan tetapi mereka mengemis seperti pengemis biasa, bukan menggunakan kekerasan dan menerima apa dan berapa saja pemberian orang.

Si Kong sengaja lewat di depan mereka, akan tetapi mereka itu sama sekali tidak mengenalnya dan hanya menodongkan tangan minta sumbangan. Si Kong mengambil empat keping uang dan memberi mereka masing-masing dua keping.

Melihat ada orang memberi mereka masing-masing dua keping, dua orang pengemis itu membungkuk-bungkuk mengucapkan terima kasih.

“Sekarang aku minta tolong kepada kalian.” kata Si Kong. “Dimanakah tempat tinggal ketua Hek I Kaipang?”

Mendengar ini, mata dua orang pengemis itu menatap wajah Si Kong penuh perhatian dan setelah bertemu pandang, baru Si Kong menduga bahwa dua orang pengemis yang kelihatan lemah ini tentu memiliki ilmu silat yang lumayan.

“Kongcu, ada keperluan apakah kongcu menanyakan Hek I Kaipang?”

“Aku hanya ingin bertemu dengan pangcu kalian. Kalau pembicaraan kami cocok, aku ingin menyumbang.” kata Si Kong.

Mata yang tadinya mencorong penuh selidik itu menjadi lembut kembali dan seorang diantara dua orang pengemis itu tersenyum.

“Kalau kongcu keluar dari pintu gerbang kota sebelah timur, dalam jarak kurang lebih lima mil, kongcu akan melihat sebuah bangunan kuil yang sudah tidak dipergunakan lagi. Disanalah tempat tinggal kami.”

“Terima kasih,” kata Si Kong dengan gembira. “Sekarang juga aku akan pergi kesana.”

Dia lalu melangkah cepat ke pintu gerbang timur dan keluar dari pintu gerbang itu. Ternyata sebelah timur kota itu merupakan persawahan yang tidak ada bangunan rumahnya, tidak ada orang kecuali mereka yang bekerja di sawah ladang. Dia berjalan menuju ke timur, melalui jalan yang tanahnya pecah-pecah karena musim kering panjang.

Dari jauh kelihatan sebuah hutan di depan dan sungguh menyenangkan melihat kehijauan hutan itu setelah hati merasa sedih melihat tanah yang kekeringan. Karena jalan itu sepi orang, Si Kong lalu mempergunakan ilmu Liok-te Hui-teng sehingga tubuhnya seolah melayang atau terbang saja saking cepatnya dia berlari.

Tak lama kemudian dia memasuki hutan itu dan di dalam hutan terdapat sebuah kuil kuno yang besar namun sudah tidak berfungsi menjadi kuil tempat bersembahyang lagi. Ketika Si Kong tiba di depan kuil, di pekarangan kuil itu dia melihat beberapa orang berpakaian hitam sedang bekerja. Ada yang menyapu halaman, ada yang memelihara tanaman bunga, adapula yang membersihkan pintu dan jendela-jendela. Kiranya kuil yang tua dan sudah tidak digunakan lagi itu kini terpelihara oleh anak buah Hek I Kaipang. Kuil itu nampak tua akan tetapi bersih.






Si Kong memasuki halaman itu dan segera ada tiga orang pengemis berpakaian hitam menghadangnya.

“Kongcu, disini bukan tempat umum, melainkan tempat tinggal kami. Ada keperluan apa kongcu masuk kesini?” tanya seorang diantara mereka yang bertubuh tinggi kurus.

Pengemis ini masih memegang sapu bergagang panjang. Adapun dua orang temannya yang tadi bekerja memelihara pohon bunga, berdiri dengan sikap waspada sambil membawa golok yang tadi mereka pergunakan untuk membabat tumbuh-tumbuhan yang liar.

Si Kong segera menjawab dengan tulus,
“Kedatanganku ini untuk bertemu dengan ketua Hek I Kaipang.”

Tiga orang itu kelihatan terkejut lalu memandang dengan sinar mata penuh kecurigaan.
“Orang muda, ada keperluan apa engkau hendak bertemu dengan pangcu (ketua) kami?”

“Kalian tidak perlu tahu. Bawa saja aku menghadap pangcu kalian dan aku akan bicara dengannya.”

“Hemm, tidak mudah untuk bertemu dengan pangcu kami, orang muda. Ada syaratnya untuk dianggap patut bertemu dengan beliau.” kata pula pengemis jangkung kurus itu.

“Ada syaratnya? Dan apakah syarat itu?” tanya Si Kong penasaran.

Masa hendak bertemu dengan ketua pengemis saja ada syaratnya? Betapa angkuhnya para pengemis ini.

“Syaratnya ada dua. Pertama, harus diberitahukan dulu kepada kami apa keperluanmu dan kami akan melapor kepada pangcu apakah beliau mau bertemu dengan engkau atau tidak.”

“Dan syarat kedua?”

“Syarat kedua berlaku untuk mereka yang tidak memenuhi syarat pertama, yaitu kalau hendak masuk kuil, harus melangkahi tubuh kami bertiga!”

Ini sebuah tantangan! Biarpun sikap mereka tidak sekasar dan sesombong si baju hitam dan empat orang kawannya yang mengacau di depan rumah Hartawan The, tiga orang ini jelas memandang rendah orang lain dan menantangnya. Hatinya makin merasa tidak suka kepada Hek I Kaipang.

“Bagus, aku menghendaki syarat kedua!” kata Si Kong.

Si tinggi kurus melintangkan sapunya yang bergagang panjang sedangkan dua orang temannya memegang golok. Mereka kelihatan tegang dan sudah bersiap-siap untuk mengeroyok.

“Majulah kalau engkau berani melawan kami bertiga, kami sudah siap!” kata si tinggi kurus.

Si Kong lalu menerjang maju, menampar ke arah pengemis kurus itu. Si pengemis kurus menggerakkan gagang sapunya, memainkan sapu itu seperti orang bersilat pakai tongkat, menangkis tamparan Si kong sambil mengerahkan tenaga.

“Krakk!” tongkat sapu itu patah menjadi dua potong!

Dua orang pengemis lain sudah membantu dengan menyerang Si Kong, menggunakan golok mereka, dari kanan kiri. Namun dengan amat mudahnya Si Kong mengelak ke belakang dan ketika kedua batang golok itu menyambar luput, Si Kong sudah menggerakkan jari tangannya menotok dan kedua orang itu roboh tanpa dapat bangkit kembali karena tubuh mereka sudah tertotok lemas.

Si tinggi kurus marah sekali dan dia menggunakan tongkatnya yang sudah patah menjadi dua potong itu untuk menyerang Si Kong. Akan tetapi, Si Kong menangkis dua potong tongkat itu dengan kedua tangannya dan kembali tongkat itu patah! Sebelum pengemis itu mampu menyerang lagi, Si Kong sudah menotoknya pula dan si tinggi kurus itu juga roboh tak dapat bangkit kembali.

Masih ada dua orang pengemis yang bekerja di halaman itu. Melihat tiga orangnya dirobohkan pemuda itu, mereka menjadi marah. Seorang dari mereka berlari masuk ke dalam kuil, sedangkan orang kedua berlari menghampiri Si Kong dan menyerang, menggunakan tongkatnya. Si Kong tidak mau membuang banyak waktu lagi. Dia menangkap tongkat itu dan menotok roboh pengemis keempat.

“Nah, aku telah memenuhi syarat kedua, dapat melangkahi tubuh kalian. Tentu sekarang aku diperkenankan masuk.” Setelah berkata demikian dia melangkahi tubuh mereka.

Pada saat itu, dari dalam kuil muncul dua orang. Yang seorang adalah seorang kakek berpakaian serba hitam yang usianya sudah ada enampuluh tahun, namun tubuhnya masih nampak sehat dan kokoh. Muka pengemis ini bundar, dengan sepasang mata yang mencorong menandakan bahwa dia memliki tenaga sinkang yang kuat.

“Siapa berani membikin ribut disini?” bentaknya dan dia memandang kepada Si Kong, lalu kepada tubuh empat orang pengemis yang menggeletak diatas tanah tanpa dapat bergerak.

Adapun orang kedua adalah seorang gadis yang cantik dan gagah sekali, dengan sebatang pedang terselip di punggung. Pengemis tua itu lalu meloncat kedepan tubuh empat orang pengemis tertotok itu. Tongkatnya bergerak cepat menotok mereka berempat dan seketika empat orang itu mampu bergerak kembali. Mereka bangkit dan berdiri, muka mereka merah karena telah dikalahkan oleh pemuda itu.

“Orang muda, siapakah engkau? Engkau berani datang dan menyerang empat orang anggauta kami, merobohkan mereka dengan totokan. Apa maksud perbuatanmu ini dan apa kehendakmu?”

Si Kong mengamati orang tua itu. Tubuhnya masih tegap dan nampak kuat. Sebatang tongkat hitam setinggi pundak berada di tangannya. Tentu orang ini memiliki ilmu tongkat yang lihai, pikirnya.

“Engkau ketua Hek I Kaipang?” tanya Si Kong, suaranya tegas.

“Benar, akulah Hek I Kaipangcu (Ketua Perkumpulan Pengemis Baju Hitam).”

“Aku bernama Si Kong dan aku datang untuk menegurmu. Sebagai ketua Kaipang, engkau harus mendidik anggautamu dengan baik-baik. Mengemis makanan dan uang memang perbuatan tak tahu malu dan menjadi tanda kemalasan. Akan tetapi mengemis dengan cara merampok merupakan kejahatan yang tak dapat diampuni lagi!”

“Pemuda sombong! Engkau datang mengacau disini, sebaliknya engkau menuduh orang lain yang bukan-bukan. Engkaulah yang sombong dan jahat!”

“Hemm, dengarkan dulu omonganku….”

“Tidak perlu banyak bicara. Engkau kalahkan dulu tongkatku ini, baru kita bicara. Engkau telah merobohkan empat orang anggauta kami, itu sudah lebih dari cukup. Merobohkan anggauta kami di tempat kami sendiri merupakan penghinaan bagi ketuanya. Nah, bersiaplah engkau!”

Kakek itu memutar-mutar tongkatnya dan terasa ada angin yang kuat menyambar. Diam-diam Si Kong kagum akan tetapi juga membangkitkan nafsunya untuk mencoba dan menandingi kakek ahli ilmu tongkat itu.

Melihat tempat itu dikepung banyak pengemis baju hitam dan banyak diantara mereka yang memegang tongkat, Si Kong lalu meloncat ke samping dan sebelum pemilik tongkat itu tahu apa yang terjadi, tongkat bambunya sudah berpindah ke tangan Si Kong.

“Pangcu, aku datang untuk bicara, akan tetapi aku disambut dengan tongkat. Jangan dikira bahwa aku takut menghadapi tongkatmu. Mari kita bermain tongkat sebentar. Hendak kulihat sampai dimana kelihaian tongkatmu!” Si Kong melintangkan tongkat bambunya di depan dada.

Sebaliknya, ketua Hek I Kaipang itu menjadi semakin penasaran. Pemuda itu berani menyambut tantangannya dengan bersenjatakan sebatang tongkat bambu! Padahal, tongkat di tangannya adalah sebatang tongkat yang terbuat dari pada baja pilihan sehingga tongkatnya itu berani menyambut senjata pusaka yang bagaimanapun ampuhnya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar