Ads

Minggu, 28 Oktober 2018

Pendekar Kelana Jilid 36

“Lima tahun yang lalu encimu keluar dari rumah ini untuk menikah dengan Lo Sam.” kata bujang tua itu.

“Dimana adanya Lo Sam itu?”

“Dahulu rumahnya di gang keempat dari jalan raya selatan, kalau mereka belum pindah tentu engkau akan dapat menemukan mereka disana.”

Si Kong mengangguk-angguk.
“Akan kucari disana. Kalau aku tidak dapat menemukan enciku, engkau harus bertanggung jawab, Lui Wan-gwe!” Setelah berkata demikian, Si Kong melompat dan keluar dari rumah itu.

Setelah pemuda itu pergi, Lui Wan-gwe yang sudah tua renta itu lalu marah-marah dan memaki-maki para pengawalnya yang dikatakannya tidak becus menjaga keselamatannya.

“Cepat undang Gin-to-kwi (Iblis Golok Perak) Bouw Kam kesini!” perintahnya.

Gin-to-kwi Bouw Kam adalah seorang tokoh besar diantara jagoan-jagoan yang menjadi tukang-tukang pukul para hartawan di dusun itu. Dia bersedia melakukan segala macam perintah para hartawan itu dengan imbalan uang. Kalau perlu dia bersedia membunuh demi mendapatkan upah.

Sementara itu Si Kong tidak membuang waktu lagi segera pergi kejalan raya selatan dan memasuki gang empat. Ketika dia mencari keterangan dari orang-orang yang tinggal di gang itu dimana rumah Lo Sam, dengan mudah dia mendapatkan keterangan itu. Dia lalu menuju kerumah Lo Sam, menyelinap dan memasuki rumah itu dari pintu belakang. Tiba-tiba dia mendengar suara wanita batuk-batuk dan disusul suara seorang pria yang terdengar marah-marah.

“Engkau perempuan tiada guna! Kenapa tidak cepat mampus saja agar aku terlepas dari beban!”

Suara wanita itu menjawab,
“Huk-huk-ugh…… Lo Sam, dimana perasaanmu….? Ketika aku masih sehat….. kau memaksaku untuk melacurkan diri….. dan uangnya semua engkau pergunakan untuk berjudi dan bersenang-senang…… tapi, sekarang setelah aku jatuh sakit, engkau tidak mau merawatku bahkan setiap hari memaki-maki……”

Berdebar rasa jantung Si Kong. Dia tidak lagi mengenal suara wanita itu, akan tetapi timbul dugaannya bahwa itu adalah suara Si Kiok Hwa, encinya! Maka cepat dia mendorong pintu kamar itu terbuka dan dia melihat seorang wanita kurus kering sedang rebah telentang di atas pembaringan dan seorang laki-laki tinggi besar sedang berdiri dekat pembaringan sambil bertolak pingggang.

“Engkau yang bernama Lo Sam?” tanya Si Kong sambil memandang laki-laki itu.

Laki-laki itu terkejut melihat tiba-tiba ada seorang pemuda membuka pintu dan memasuki kamarnya. Dia menjadi marah sekali dan tanpa berkata-kata lagi, dia sudah menerjang dan memukul Si Kong dengan cepat dan mengerahkan seluruh tenaganya.
Akan tetapi Si Kong menangkap tangan itu dan mencengkeramnya. Pria itu mengaduh-aduh karena merasakan kepalan tangannya seperti dijepit cengkeraman besi.

“Aduh, aduh…. sakit….. ampunkan saya….”

“Katakan dulu, benarkah engkau yang bernama Lo Sam?” kata Si Kong tanpa melepaskan cengkeramannya.

“Benar, aku Lo Sam…”

Si Kong menggerakkan jari tangan kanannya dan menotok pundak Lo Sam sehingga orang itu tidak mampu bergerak lagi, berdiri dengan posisi menyerang dan memukul, seolah dia telah menjadi sebuah patung.

Si Kong menghampiri pembaringan itu. Dia tidak mengenal wanita yang kurus kering itu. Dahulu, sepuluh tahun yang lalu, encinya adalah seorang gadis remaja berusia enambelas tahun yang cantik manis, sedangkan yang menggeletak disitu adalah seorang wanita yang kelihatan tua dan kurus kering rambutnya awut-awutan dan tubuhnya kurus sekali.

“Apakah engkau Si Kiok Hwa?” tanyanya ragu.

Wanita itu memandang Si Kong dan berkata lemah.
“Benar, aku Si Kiok Hwa…. dan engkau siapa, orang muda?”






“Enci Kiok Hwa! Aku Si Kong, adikmu!”

“Si Kong….? Ya Tuhan, terima kasih atas pertemuan ini….”

Si Kong duduk ditepi pembaringan dan memegang tangan encinya. Terkejutlah dia ketika memeriksa nadi tangan encinya. Detik jantugnya begitu lemah dan tidak tetap, napasnya terengah-engah dan tahulah dia bahwa encinya menderita tekanan batin yang luar biasa sehingga kini tubuhnya tidak kuat bertahan dan jatuh sakit yang berat sekali.

Baru memeriksa nadi, mulut dan pernapasan encinya saja tahulah Si Kong bahwa encinya sukar diselamatkan. Encinya itu seolah telah berada diambang kematian.

“Enci kenapa engkau sampai menderita seperti ini? Bukankah dahulu engkau menjadi selir Lui Wan-gwe?”

Dengan suara terputus-putus dan terengah-engah, wanita itu lalu menceritakan pengalamannya yang pahit. Ternyata ia hanya menjadi permainan Lui Wan-gwe saja. Setelah Lima tahun, kakek yang kaya raya itu bosan dengannya, lalu menyerahkan kepada Lo Sam untuk menjadi istrinya.

Mula¬mula ia memang merasa bahagia karena Lo Sam menjadi suaminya. Akan tetapi Lo Sam ini seorang penjudi dan suka hidup royal. Ketika dia masih menerima sumbangan dari Lui Wan-gwe, memang hidup mereka tidak kekurangan. Akan tetapi tiga tahun kemudian Liu Wan-gwe menghentikan bantuannya dan mulailah penderitaan menimpa diri Kiok Hwa. Mula-mula semua perhiasannya dijual oleh Lo Sam untuk berjudi, lalu perabot rumah tannga. Akhirnya, ketika tidak ada lagi yang harus dijual untuk mendapatkan uang, Lo Sam lalu menjual isterinya!

“Dia memaksa untuk menjadi pelacur….. betapa hancur hatiku…. akan tetapi dia memaksa dan kalau tidak mau dia menyiksaku. Aku terpaksa….. menjadi pelacur……… dan uang penghasilanku semua di ambil oleh Lo Sam. Selama hampir tiga tahun aku menjadi pelacur dan akhirnya, sebulan yang lalu aku jatuh sakit dan tidak dapat bekerja……… sebagai pelacur….. akan tetapi dia…… dia…” Wanita itu menuding kepada Lo Sam yang masih berdiri seperti patung. “Dia tidak mau merawatku….. bahkan memujikan agar aku lekas mati…..”

Kiok Hwa menangis, akan tetapi tidak ada air mata yang keluar. Agaknya air matanya sudah habis terkuras selama ini.

Si Kong menjadi marah bukan main. Dia meninggalkan encinya dan menghampiri Lo Sam, sekali totok Lo Sam dapat bergerak lagi. Tadi dalam keadaan tertotok, Lo Sam mendengar semua cerita isterinya dan dia menjadi takut setengah mati ketika mengetahui bahwa pemuda yang lihai itu adalah adik isterinya!

Maka begitu bebas dari totokan, dia segera lari untuk meninggalkan pemuda itu. Akan tetapi sekali menggerakkan kaki, Si Kong telah dapat mengejarnya dan menjambak rambutnya, menyeretnya kembali ke dalam kamar. Ketika jambakan rambut dilepaskan, Lo Sam segera menjatuhkan diri berlutut di depan Si Kong.

“Ampunkan saya….. ah, ampunkan saya….”

“Keparat busuk!” Si Kong memakinya dan dua kali tangannya bergerak, terdengar suara “krak-krak” dua kali dan kedua tangan Lo Sam sudah dipatahkan tulangnya di atas siku.

Lo Sam mengaduh-aduh dan kedua lengannya tergantung tak berdaya karena tulangnya sudah patah.

“Si Kong….!” terdengar Kiok Hwa berkat lirih. “Jangan Si Kong…. dia mempunyai banyak teman, engkau akan dikeroyoknya……”

“Jangan khawatir, enci. Kalau dia memanggil teman-temannya, aku akan menghajar mereka semua! Lo Sam, berdirilah saja disitu, awas, kalau engkau melarikan diri, aku tidak akan mengampunimu lagi!”

“Ba….. baik…… taihiap…..!” kata Lo Sam tergagap saking takutnya.

“Si Kong……” wanita itu mengeluh panjang dan Si Kong segera menghampirinya dan duduk di tepi pembaringan.

“Ada apa enci?”

“Aku…. aku…..”

Si Kong segera menotok beberapa jalan darah untuk memulihkan kekuatan encinya yang sudah terengah-engah itu.

“Si Kong….. kalau aku mati….. kuburkanlah aku…. di dekat makam…. ayah dan ibu……”

“Enci….!”

Si Kong merangkulnya sambil menangis. Tidak dapat dia menahan kesedihannya melihat keadaan encinya, satu-satunya keluarganya yang masih hidup, kini berada diambang kematian tanpa dia dapat menolongnya. Dia hanya dapat menolong agar encinya tidak terlalu menderita kenyerian, akan tetapi tidak dapat mengobatinya sampai sembuh. Keadaan encinya sudah parah sekali. Paru-parunya juga sudah terluka digerogoti penyakit.

“Enci tenangkanlah hatimu dan mengasolah. Aku akan membalaskan sakit hatimu kepada semua orang yang telah membuatmu sengsara seperti ini. Aku pergi sebentar, enci.”

Dia lalu membantu encinya menelan sebutir pil yang dibuatnya sendiri dari akar-akaran dan khasiat pil ini adalah untuk menguatkan badan dan melancarakan jalan darah. Setelah itu, dia merebahkan lagi encinya, menyelimutinya dan encinya dapat tidur dengan tenang.

“Hayo ikut aku!” katanya kepada Lo Sam sambil menyeret tangan orang yang usianya sudah empatpuluh tahun itu.

“Ke….. kemana…., taihiap?”

“Tidak perlu bertanya, ikut saja!” kata Si Kong dan menyeretnya keluar dari rumah itu.

Orang-orang yang tinggal di gang itu terheran-heran melihat Lo Sam didorong-dorong oleh seorang pemuda untuk melangkah maju dan kedua lengan Lo Sam tergantung lemas.

Akan tetapi tidak ada orang mau bertanya. Mereka sudah mengenal Lo Sam itu orang macam apa. Penjudi, pemabok dan pembuat kerusuhan, apalagi kalau bersama teman-temannya.

Setelah tiba di jalan besar, Si Kong mendorong pundaknya.
“Kita pergi ke rumah Lui-wangwe!”

Lo Sam menjadi pucat, akan tetapi tidak berani membantah. Sebelum tiba di rumah hartawan Lui, tiba-tiba ada empat orang pemuda yang berpapasan dengan mereka.

“He, Lo Sam. Engkau mengapa?” tanya mereka.

Timbul kembali semangat Lo Sam ketika melihat bahwa mereka itu adalah kawan-kawannya.

“Kawan-kawan, tolonglah aku. Aku dipaksa oleh pemuda ini!” teriaknya.

Empat orang itu cepat maju dan mengepung Si Kong. Mereka berempat mencabut senjata yang tadinya terselip dipinggang, yaitu pisau belati yang panjang dan tajam berkilauan. Mereka menyerang dengan ganasnya, menusukkan pisau-pisau itu ke arah Si Kong.

Akan tetapi pemuda itu tiba-tiba lenyap dari kepungan mereka dan ternyata Si Kong memang meninggalkan mereka untuk mengejar Lo sam yang berusaha melarikan diri. Lo Sam yang melihat empat orang kawannya sudah mengepung Si Kong, menggunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba ada bayangan orang di depannya, ketika dia melihat, alangkah kagetnya melihat Si Kong sudah menghadang di depannya!

Si Kong lalu menggerakkan jari tangannya menotok Lo Sam, membuat Lo Sam kembali tidak dapat bergerak seperti patung. Setelah itu barulah Si Kong menghadapi empat orang pemuda berandalan itu.

Empat orang itu mengejar dan kembali mengepung, lalu mereka menyerang dengan tusukan belati mereka. Si Kong menggerakkan kaki tangan dan empat orang itu berpelantingan. Dalam waktu singkat Si Kong telah menampar dua menendang dua orang lagi sehingga mereka terpelanting roboh dan menyeringai kesakitan, tidak dapat segera bangkit lagi.

Si Kong tidak memperdulikan merkea, lalu menghampiri Lo sam, membebaskan totokannya kemudian menyeret lengan yang sudah lumpuh itu sehingga terpaksa Lo sam melangkah dengan muka pucat dan mulut menyeringai kesakitan.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar