Ads

Kamis, 08 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 58

Si Kong melakukan perjalanan seenaknya. Dia tidak tergesa-gesa pergi ke Kwi-liong-san karena dia memang sedang berkelana, menikmati semua keindahan alam yang terbentang di depannya.

Pada suatu siang, tibalah dia di sebuah dusun. Dia melihat betapa penduduk dusun berada dalam keadaan sibuk sekali. Orang-orang berkeliaran kesana-sini berunding berkelompok-kelompok. Ketika mereka melihat dia memasuki dusun, banyak orang membayanginya dengan pandang mata penuh kecurigaan. Yang amat aneh baginya, dia tidak melihat seorangpun wanita muda. Yang ada hanya wanita-wanita tua dan anak-anak. Selebihnya, semua penduduk itu laki-laki! Wajah mereka jelas sekali nampak resah dan khawatir.

Si Kong melihat sebuah kedai minuman di sudut dusun, dan disitupun banyak pria sedang berkumpul dan bicara ramai. Akan tetapi ketika dia memasuki kedai minuman itu, percakapan mereka berhenti tiba-tiba dan seorang demi seorang meninggalkan kedai itu. Si Kong mendapatkan dirinya seorang diri saja di kedai itu, bersama seorang kakek penjaga kedai yang nampak ketakutan dan sering kali mencuri pandang ke arahnya. Si Kong menjadi tidak sabar lagi.

“Paman, aku minta secangkir teh dan bak-pau,” katanya kepada penjaga kedai.

Kakek itu tergopoh-gopoh menyediakan pesanannya dan membawa kepada Si Kong setelah menaruh makanan dan minuman di atas meja, kakek itu tergesa-gesa hendak pergi lagi.

“Nanti dulu, paman. Aku ingin bertanya kepadamu.”

“Bertanya apa, kongcu.Aku tidak tahu apa-apa.”

Tiba-tiba wajah kakek itu menjadi pucat dan kedua tangannya diangkat seolah takut kalau dipukul.

Tentu saja Si Kong menjadi lebih heran lagi.
“Paman, aku tidak apa-apa, jangan takut. Duduklah, paman, duduklah dengan tenang, jangan takut kepadaku. Bahkan kalau ada bahaya mengancam dirimu, aku yang akan menghadapinya dan menolongmu!”

“Tidak…., tidak…..! jangan tanyakan apa-apa kepadaku aku tidak tahu, tidak mengerti… ah, kasihanilah diriku yang sudah tua…”

Si Kong mengerutkan alisnya. Tahulah dia bahwa kakek ini takut akan sesutau, seperti semua orang dusun itu berada dalam keadaan panik dan ketakutan. Akan amat sukarlah membujuk kakek yang sudah ketakutan seperti itu. Jalan satu-satunya hanyalah membuat kakek itu takut kepadanya agar mau mengatakan apa yang terjadi di dusun ini. Si Kong melepaskan capingnya yang lebar dan meletakannya di atas meja. Kemudian, dengan tiba-tiba saja dia menyambar lengan kakek itu dan membuat mukanya nampak bengis, matanya melotot.

“Engkau ingin hidup atau ingin kugantung sampai mati! Hayo jawab atau aku akan menghancurkan semua tulangmu dan mengupas semua kulitmu!”

Wajah itu menjadi semakin pucat dan tubuhnya menggigil. Kakek itu menjatuhkan diri berlutut di depan Si Kong. Suaranya hampir tidak terdengar, karena dia bicara dengan tubuh menggigil dan lidah terasa kelu.

“Ampunkan saya kongcu, ampun…”

“Hemm, aku mau mengampunimu kalau engkau mau menjawab pertanyaanku. Nah, katakan apa yang telah terjadi di dusun ini maka semua orang kelihatan ketakutan dan aku tidak melihat seorangpun wanita muda disini. Apa yang telah terjadi? Jawab dengan sejelasnya!” kata Si Kong dengan girang karena gertakannya berhasil.

“Ada…. ada malapetaka melanda dusun kami…”

“Hayo jawab yang jelas. Malapetaka apakah itu?”

“Aku… takut menjawabnya, kongcu.”

“Takut apa?”

“Kalau saya banyak bicara, tentu saya akan dibunuh…”

“Dan kalau engkau tidak mau menjawab, engkau bukan saja akan kubunuh, bahkan kusiksa lebih dulu. Sebaliknya kalau engkau suka menerangkan kepadaku, aku akan melindungimu dari bahaya apapun!”






Mendengar ucapan Si Kong itu, kakek penjaga kedai itu kelihatan agak lega.
“Kongcu, bukan hanya di dusun ini saja malapetaka itu menimpa, akan tetapi di semua dusun sekitar bukit Monyet disana itu juga. Iblis penjaga bukit Kera itu minta agar wanita-wanita muda, terutama yang cantik, dikorbankan kepadanya. Wanita itu harus dilempar ke dalam sumur tua. Entah sudah berapa banyak wanita menjadi korban dilempar ke dalam sumur tua….”

“Mengapa kalian suka melakukan itu?”

“Kami dipaksa, kongcu. Ada di dusun selatan yang tidak menurut dan akibatnya, pada malam harinya, kepala dusun dan tujuh orang lain dibunuh tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya, dan dalam semalam saja, tiga orang gadis telah lenyap tanpa ada yang tahu kemana perginya.”

“Hemm…. aneh sekali ada iblis minta korban wanita muda yang cantik. Jadi karena itu, semua wanita muda mengungsi keluar dari dusun ini dan semua orang nampak ketakutan?”

“Benar, kongcu. Kami khawatir kalau-kalau iblis itu di malam hari akan datang dan membunuh kami. Akan tetapi tadi pagi ada kejadian aneh. Ketika malam tadi kami semua mendengar suara iblis itu yang suaranya bergema minta agar hari ini disediakan korban seorang gadis, kami sudah kebingungan. Semua gadis telah pergi, yang ada hanya kanak-kanak dan nenek-nenek. Lalu pagi tadi datang seorang gadis cantik dan gadis itu menawarkan dirinya untuk menjadi korban dan dilempar ke dalam sumur tua.”

“Ah, siapakah gadis itu?”

“Tidak ada seorangpun yang mengenalnya. Akan tetapi ia membawa pedang, agaknya ia seorang pendekar wanita yang sengaja hendak menantang iblis penjaga gunung Kera itu, kongcu.”

“Hemm, dan ia sudah dilempar ke dalam sumur tua?”

“Sudah dan bukan dilempar, melainkan ia meloncat kedalam sumur tua dan lenyap. Karena itu kami ketakutan, takut kalau-kalau iblis itu akan mengamuk karena ada gadis dari dusun kami yang hendak menentangnya. Ahh, kami telah memberi peringatan kepada gadis itu, akan tetapi ia memaksa dan kami tidak dapat menghalanginya.”

Si Kong mengerutkan alisnya.Dia dapat menduga bahwa yang berani berbuat demikian tentulah seorang pendekar wanita. Dia merasa kagum akan tetapi juga khawatir. Dia tidak percaya bahwa ada iblis penjaga bukit yang menuntut agar dikorbankan gadis-gadis cantik. Ini tentu ulah orang-orang jahat. Mungkin penjahat itu lihai sekali sehingga tidak ada orang di dusun itu yang pernah melihatnya walaupun iblis itu membunuhi banyak orang di waktu malam. Dia khawatir kalau-kalau gadis itu akan mengalami celaka di dalam sumur tua.

“Paman, hayo antar aku ke sumur tua itu!” kata Si Kong.

Wajah kakek itu menjadi semakin pucat dan seluruh tubuhnya menggigil seolah dirinya diserang demam parah.

“Saya…. saya…. tidak berani, kongcu.”

“Hayolah, ada aku jangan takut. Atau aku menggunakan kekerasan seperti ini?”

Si Kong mengambil sebuah cangkir dan meremasnya dengan tangan kiri. Cangkir itu hancur berkeping-keping dan kakek itu semakin takut.

“Nah, mau antar aku ke sumur tua itu atau kau memilih kuhancurkan tulang-tulangmu?” Si Kong menggertak.

“Baik…. baik, kongcu… saya akan menutup dulu kedai ini…”

Kakek itu ketakutan dan bergegas menutup kedainya. Kemudian bersama Si Kong dia meninggalkan dusun. Beberapa orang laki-laki yang melihat pemilik kedai berjalan bersama seorang pemuda asing, menjadi tertarik.

“Paman Kiu, hendak kemana engkau?” beberapa orang bertanya.

Kakek itu sengaja menjawab dengan suara keras agar terdengar banyak orang.Dia ingin mencari teman dalam keadaan terancam dan terpaksa itu.

“Aku… mengantar kongcu ini ke sumur tua!!”

Semua orang terkejut dan menyingkir, akan tetapi ada tujuh orang pemuda yang mengikuti dari belakang. Si Kong membiarkan saja mereka mengikuti, dan kakek itu kelihatan lega karena kini dia mempunyai teman yang mengantar pemuda itu ke sumur tua yang mereka takuti.

Mereka kini mendaki lereng bukti Kera menuju ke puncak. Matahari telah naik tinggi, sinarnya panas membakar sehingga kakek itu bersimbah peluh dan kadang diusapnya muka dan lehernya dengan ujung lengan bajunya.

“Masih jauhkah, paman?” Si Kong bertanya.

“Sudah dekat.Itu puncaknya sudah nampak dari sini.Sumur tua itu berada di puncak bukit ini.”

Mereka melewati sebuah hutan kecil dan melihat banyak sekali kera di hutan itu. Mengertilah Si Kong mengapa bukit itu disebut Bukit Kera, kiranya memang banyak kera hidup di bukit ini. Tak lama kemudian tibalah mereka di puncak. Dengan tubuh gemetar kakek itu mengajak Si Kong menghampiri sebuah sumur tua. Tujuh orang pemuda berhenti di tempat yang agak jauh sambil memandang dengan hati tegang dan kaki siap untuk melarikan diri!

"Inilah sumurnya, kongcu ...."

Si Kong melihat betapa sinar matahari yang berada di atas menyinari sumur. Dia menghampiri dan nenjenguk ke dalam sumur. Akan tetapi kelihatannya gelap menghitam. Sinar matahari hanya sampai bagian luar dan atas sumur itu saja. Sumur itu lebar, ada dua meter lebarnya, makin ke bawah makin nengecil.

"Nona berpedang itu melompat ke dalam sumur ini?" tanya Si Kong kepada kakek itu.

Kakek itu hanya mengangguk, tidak berani mengeluarkan suara, agaknya dengan was-was dia menunggu munculnya iblis itu dari dalam sumur. Kedua kakinya yang gemetar juga sudah siap melarikan diri. Si Kong menoleh dan melihat tujuh orang pemuda dusun masih berdiri disana.

"Heiii, kalian sobat-sobat! Aku ingin nenyelidiki ke dalan sumur. Maukah kalian membawakan segulung tali yang kuat? Kalau ada makin panjang semakin baik!" tujuh orang itu saling pandang, lalu mereka mengangguk dan larilah mereka dari puncak itu.

Si Kong memeriksa keadaan sekitar sumur. Tidak ada sesuatu yang aneh. Puncak itu tidak berapa lebar, hanya kurang lebih sepuluh meter lebarnya, menjulang ke atas. Dia mengambil sepotong batu sebesar kepalan tangannya dan menjatuhkan batu itu ke dalan sumur. Dia nenanti sambil mendengarkan dengan penuh perhatian. Tidak ada suara apa-apa yang datang dari bawah sana, seolah-olah sumur itu tidak berdasar!

Kalau dasarnya air, tentu akan terdengar suara batu yang jatuh ke dalamya. Juga kalau dasarnya tanah, akan terdengar oleh pendengarannya yang terlatih. Si Kong mengerutkan alisnya. Aneh sekali, pikirnya. Benarkah lubang sumur itu tidak berdasar atau dasarnya amat dalam hingga suara batu yang dia jatuhkan tidak dapat terdengar dari atas? Kalau seperti itu dalamnya, gadis pendekar itu tentu mengalami kecelakaan.

Mendadak telinganya menangkap suara yang hanya sayup-sayup terdengar olehnya. Seperti suara orang berkata-kata, seperti bisikan halus. Dia merasa heran dan bulu tengkuknya meremang juga. Dia tidak pernah melihat setan. Akan tetapi pernah mendengar orang bercerita tentang setan yang seram-seram. Kini mendengar suara bisik-bisik itu, jantungnya berdebar dan terbayanglah dalan ingatannya perihal setan seperti yang pernah didengarnya. Ah, mustahil! Demikian dia mencela diri sendiri. Mana mungkin ada setan di tempat ini!

Tujuh orang pemuda itu berlarian mendaki puncak dan mereka menyerahkan segulung tali yang panjang kepada Si Kong. Si Kong mengikatkan ujung tali ke batang pohon yang tumbuh disitu dan melemparkan gulungan tali itu ke dalam sumur. Lingkaran gulungan tali itu terbuka.

'Terima kasih atas bantuan kalian. Sekarang aku hendak turun ke dalam sumur ini.”

Setelah Si Kong menuruni sumur melalui tali itu, tujuh orang pemuda dan kakek pemilik kedai itu tidak dapat menahan lagi rasa takut mereka. Mereka lalu meninggalkan sumur dan mengintai dari jarak jauh dengan hati tegang dan jantung berdebar. Si Kong meninggalkan caping lebarnya di bibir surnur, akan tetpai dia membawa bambu pikulannya dan buntalan pakaiannya yang dia ikatkan di punggung.

Tali itu temyata panjang sekali dan setelah melewati batas antara bagian sumur yang mendapat cahaya matahari dan yang gelap, dia menuruni tali itu dengan hati-hati. Tak lama kemdian tibalah dia di dasar sumur dan dia tersenyum sendiri ketika kakinya menyentuh sebuah jala.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar