Ads

Kamis, 08 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 59

Kiranya ada sehelai jala dipasang disitu. Pantas batunya tidak mengeluarkan suara karena menimpa jala yang kuat dan lunak. Begitu dia menginjak jala itu, terdengar suara berkelinting diarah kiri. Dia meraba-raba ke bagian kiri dan dapat kenyataan bahwa dinding sumur di bagian kiri itu kosong berlubang! Kalau begitu sumur itu bagian dasarnya mempunyai sebuah terowongan!

Setelah terdengar bunyi suara berkelinting tadi, segera disusul bunyi suara orang bercakap-cakap dan tak lama kemudian nampak sinar api di terowongan. Empat orang laki-laki datang dan seorang diantara mereka memegang sebuah lampu gantung yang sinarnya cukup terang. Dalam penerangan sinar itu, nampaklah oleh Si Kong bahwa terowongan itu lebar dan tinggi kurang lebih dua meter garis tengahnya. Di pinggang empat orang itu nampak ada golok bergantung dan mereka membawa tali seolah hendak mengikat korban yang terjatuh ke dalam jala mereka.

Tentu dia dikira seorang gadis manis yang menjadi korban disuguhkan kepada iblis penjaga sumur. Tepat seperti dugaannya, bukan iblis yang menuntut dikorbankannya gadis-gadis muda dan cantik, melainkan segerombolan orang-orang jahat yang menipu penduduk dusun yang percaya akan tahyul!

Hati Si Kong menjadi panas sekali. Entah sudah berapa banyak gadis dusun yang menjadi korban iblis-iblis itu. Dia menyembunyikan mukanya di bawah lengan agar mereka tidak dapat melihat dari jauh bahwa dia seorang pria. Setelah mereka menghampiri, dia mendengar dengan jelas kata-kata mereka.

“Wah, sudah datang lagi gadis manis untuk kita!”

“Engkau sudah mendapat bagian, aku yang belum.”

“Yang ini untukku, akan kuminta pada Twako!”

Ketika mereka sudah tiba dekat, dalam jarak dua meter, Si Kong melompat keluar dari dalam jala dan tiga kali tangannya bergerak menotok dan tiga orang itu roboh tak dapat berkutik lagi. Dia mencengkeram pundak orang ke empat yang membawa lampu sehingga orang itu menyeringai karena pundaknya seperti dicengkeram jepitan baja saja.

“Jangan berteriak atau bergerak kalau tidak ingin mati!” Si Kong berbisik, dan dari pundak yang gemeteran tahulah Si Kong bahwa orang itu ketakutan.

“Hayo katakan berapa banyak kawan-kawanmu?”

Agaknya orang ketakutan itu hendak menggertak, maka dia segera menjawab,
“Ada lima belas orang dan dipimpin oleh Twako (Kakak Tertua) yang amat lihai. Engkau berani masuk kesini, berarti engkau akan mati tersiksa.”

Si Kong memperkuat cengkeraman tangannya dan orang itu mengaduh-aduh.
“Aduh… ampunkan saya…” dia meratap.

“Dimana gadis-gadis korban itu?”

“Diruangan sana, dikumpulkan menjadi satu. Kalau ada yang dibutuhkan, diambil dan dibawa….”

“Antarkan aku kesana!”

Dia melepaskan cengkeramannya dan mendorong orang yang membawa lampu itu ke depan. Orang itu akan lari, akan tetapi setelah merasakan lagi cengkeraman di pundaknya, dia maklum bahwa dia sudah tidak berdaya.

“Baik, akan kuantarkan. Akan tetapi lepaskan dulu pundakku…. aduhh, sakit….!”

Si Kong mengendurkan cengkeramannya dan mendorong orang itu yang terhuyung-huyung melangkah maju. Setelah berjalan sejauh kurang lebih seratus meter dan jalan itu membelok ke kanan, nampak ruangan yang mendapatkan cahaya matahari. Orang itu menggantungkan lampu di tempat gantungan yang tersedia.

Si Kong memperhatikan sekelilingnya. Agaknya terowongan itu sengaja dibuat orang. Bagian itu merupakan dasar sebuah sumur yang tidak begitu dalam, maka mendapatkan sinar matahari dari atas. Orang itu lalu melangkah terus, jalan mulai mendaki naik.

Setelah tiba di depan sebuah ruangan yang memakai jeruji besi pada pintunya, orang itu berhenti. Si Kong melihat belasan orang gadis berada dalam ruangan itu, ada yang sedang menangis dan ada yang memandang kosong dan putus asa. Dia tertarik kepada seorang gadis yang kedua tangannya diikat pada gelang-gelang yang tertanam di dinding itu. Terkejutlah dia ketika mendapat kenyataan bahwa gadis itu adalah Hui Lan, Tang Hui Lan! Akan tetapi gadis itu tidak melihatnya, melainkan menundukkan mukanya dan sikapnya tenang sekali.






Dari depan terdengar suara orang. Si Kong cepat menotok tawanannya dan menyeretnya ke tempat gelap, kemudian dia mengintai. Belasan orang mendatangi tempat itu, menggiringkan seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya penuh bekas penyakit cacar. Akan tetapi laki-laki bopeng (cacat mukanya) ini mempunyai mata yang mencorong penuh kekejaman dan agaknya dia menjadi kepala mereka semua karena belasan orang itu nampak tunduk dan hormat kepadanya.

“Sekali ini kami bersumpah, twako. Twako tentu akan senang sekali mendapatkan yang ini. Ia luar biasa cantik jelitanya tidak seperti perawan-perawan gunung yang sederhana itu. Ketika jatuh ke dalam jala ia pingsan. Melihat ia membawa pedang, kami lalu merampas pedang dan mengikat kedua tangannya pada gelang baja. Nah, itu dia, twako, agaknya sudah sadar. Aduh, cantiknya seperti puteri kaisar saja!”

Si tinggi besar muka bopeng itu hanya menggumam, akan tetapi setibanya di depan pintu berjeruji, dia berhenti dan memandang ke arah gadis yang diikat itu dengan bengong. Ternyata anak buahnya tidak berlebihan dalam keterangannya. Seorang gadis yang luar biasa!

“Ha-ha, ia cantik dan membawa pedang? Berarti ia tentu sedikit banyak pandai bersilat. Ia pantas menjadi sisihanku, menjadi isteriku! Bukakan daun pintu ini! Aku sendiri yang akan melepaskan ikatan kedua tangannya yang mungil itu!”

Anak buahnya tertawa-tawa senang melihat pemimpin mereka puas, dan dua orang dari mereka cepat membuka daun pintu yang dipasangi rantai yang dikunci itu.

Begitu daun pintu dibuka, si bopeng itu lalu melangkah masuk dan menghampiri Hui Lan. Si Kong melihat ini dan seluruh urat syarafnya sudah menegang, siap untuk menerjang kalau si bopeng itu melakukan hal yang tidak sopan terhadap Hui Lan.

Si bopeng itu telah berdiri di depan Hui Lan dan dia tertawa bergelak.
“Hebat, cantik jelita, kulitnya begitu putih mulus! Ha-ha-ha!"

Setelah tertawa dan berkata memuji kecantikan tawanan itu, kedua tangannya yang besar bergerak hendak melepaskan tali pengikat kedua tangan Hui Lan. Tiba-tiba Si Kong yang mengintai itu tersenyum. Dia melihat gadis itu mengangkat mukanya dan melihat betapa mata gadis itu mencorong seperti mata naga.

Sekilas pandang saja tahulah Si Kong bahwa dara perkasa itu hanya pura-pura, padahal telah siap siaga sejak meloncat ke dalam sumur! Si Kong merasa kagum bukan main. Dia sendiri tentu akan berpikir dua kali kalau harus meloncat begitu saja ke dalam sumur yang gelap itu dan belum tahu apa yang akan dihadapinya di dasar sumur.

Dugaannya benar. Begitu si bopeng menjulurkan kedua tangan untuk melepaskan ikatan tangan Hui Lan, tiba-tiba saja kedua tangan gadis yang tadinya terikat, sudah lepas begitu saja dan sekali tangan kiri si gadis itu memukul dengan tangan terbuka miring yang mengenai dada si bopeng, pemimpin gerombolan itu terjengkang dan terbanting ke atas lantai, mengaduh-aduh dan mulutnya mengeluarkan darah!

Melihat ini, belasan orang anggauta gerombolan itu menjadi terkejut dan marah. Akan tetapi sebelum mereka dapat berbuat sesuatu terdengar suara Hui Lan membentak dengan nyaring penuh wibawa.

“Kalian hanya anjing-anjing yang pandai menggonggong!”

Si Kong menahan tawanya ketika belasan orang itu tiba-tiba saja menjatuhkan diri merangkak dengan kaki tangan mereka seperti anjing dan mereka menyalak dan menggonggong riuh rendah sambil merangkak ke sana ke mari! Ternyata segerombolan orang itu telah terpengaruh oleh sihir yang dilepas Hui Lan.

“Adik Hui Lan….!”

Si Kong melompat keluar dari tempat sembunyinya. Hui Lan terkejut dan cepat mengangkat muka memandang. Dengan alis berkerut ia memandang Si Kong, mengira bahwa ada anggauta gerombolan yang tidak terkena sihirnya. Akan tetapi ketika ia sudah melihat jelas, ia segera mengenal pemuda itu dan memandang dengan penuh keheranan.

“Engkau… kakak Si Kong! Bagaimana engkau dapat berada disini?” Pandang matanya tiba-tiba berubah penuh kecurigaan. “Apakah engkau menjadi satu dengan gerombolan anjing-anjing ini?”

Si Kong tersenyum dan menggeleng kepalanya.
“Bagaimana aku dapat menjadi satu dengan mereka? Aku menuruni sumur untuk melakukan penyelidikan, setelah mendengar keterangan orang dusun. Kiranya gadis yang tadi pagi meloncat ke dalam sumur adalah engkau, Lan-moi. Ah, kekhawatiranku sia-sia saja. Kalau engkau tentu tidak membutuhkan bantuan siapapun!”

“Nanti saja kita bicara, Kongko. Mari bantu aku membawa gadis-gadis ini keluar dari sini dan menyeret anjing-anjing ini keluar agar dapat dihajar oleh penduduk dusun.”

“Baik, Lan-moi. Anjing-anjing itu sebaiknya dibuat tidak berdaya,” kata Si Kong dan dia lalu memasuki ruangan tahanan itu.

Berkali-kali tangannya bergerak dan setiap gerakan tentu merobohkan seorang penjahat yang sedang merangkak dan menggonggong itu. Sebentar saja belasan orang itu sudah tertotok semua, termasuk si muka bopeng yang telah menderita luka parah oleh pukulan tangan Hui Lan tadi.

Dengan penerangan lampu yang dibawa seorang gadis yang telah dibebaskan Si Kong menyeret belasan orang itu ke dasar sumur.

“Engkau naiklah dulu, Lan-moi. Setelah berada di atas, panggil penduduk dusun agar mereka mengangkat naik gadis-gadis ini dan juga gerombolan ini!"

“Baik, Kong-ko!”

Dengan sigap dan cepat sekali Hui Lan merayap naik dengan bergantung pada tali yang tadi dipakai Si Kong untuk turun ke dalam sumur.

Para pemuda dusun yang tadi bersama kakek pemilik kedai mengintai dengan jantung berdebar tegang dan ketakutan, tiba-tiba melihat Hui Lan melompat keluar dari sumur. Gadis ini telah mengambil kembali sepasang pedangnya dari sebuah kamar bawah tanah yang menjadi gudang berisi barang-barang berharga hasil rampokan.

Melihat gadis yang tadi pagi melompat ke dalam sumur kini muncul dari dalam sumur, tujuh pemuda dusun dan kakek itu menjadi girang dan beramai-ramaii mereka menghampiri.

“Bagaimana, lihiap?” kata mereka, tidak ragu lagi menyebut lihiap (pendekar wanita) kepada Hui Lan.

“Beres, gadis-gadis itu sebentar lagi akan naik kesini, juga iblis-iblis itu telah tertangkap dan akan di naikkan pula.”

Orang-orang itu terbelalak ketakutan mendengar bahwa iblis-iblis telah tertangkap. Bagaimanapun juga, kalau harus menghadapi iblis-iblis, walaupun sudah tertangkap, mereka merasa ngeri.

Melihat mereka sudah siap untuk kabur lagi, Hui Lan tertawa.
“Jangan bodoh, yang kumaksudkan dengan iblis-iblis itu tentu saja bukan iblis asli, melainkan penjahat-penjahat yang mengaku sebagai iblis.”

Mendengar ini, mereka menjadi lega.
“Sekarang bersiap-siaplah untuk menarik tali itu. Dan kakek ini boleh pulang ke dusun memberi tahu semua orang dusun untuk menjemput gadis-gadis korban yang menjadi keluarga mereka.”

Kakek pemilik kedai segera berlari turun. Saking girangnya dia tidak mengenal lelah sehingga setelah tiba di dusunnya, dia terengah-engah sukar bicara dan tentu akan jatuh pingsan kalau tidak segera ditolong penduduk dusun.

“Lihiap itu… telah membebaskan semua gadis korban dan telah menangkap segerombolan penjahat yang menipu kita menjadi iblis dan setan."

Berita ini segera tersiar luas dan didengar pula oleh penduduk dusun-dusun di sekitar pegunungan Kera itu. Maka berbondong-bondonglah mereka itu menuju ke puncak.

Sementara itu, Hui Lam memberi isarat kepada Si Kong dengan menarik-narik tali. Si Kong yang berada di bawah, sudah membuatkan tempat duduk dari jala yang berada disitu, diikatkan dengan ujung tali dan memberi isarat dengan menarik-narik tali itu. Hui Lan mengerti dan ia menyuruh tujuh orang pemuda itu untuk nenarik tali ke atas.

Gadis pertama muncul. Semua orang bersorak gembira, terutama mereka yang mengenal gadis ini dan keluarganya. Orang-orang dusun sudah berkumpul semua di sekeliling sumur. Tua muda dan anak anak bersorak dan gadis itu tersedu-sedu dalam rangkulan ibunya.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar