Ads

Kamis, 08 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 57

Terjadilah perkelahian yang seru di dalam taman itu. Baik Pek Han Siong maupun Siangkoan Bi Lian menggunakan pedang mereka untuk memainkan ilmu pedang Kwan Im Kiamsut yang amat hebat, halus dan lemah gemulai gerakannya, akan tetapi di balik kehalusan itu terkandung tenaga yang dahsyat sekali.

Setelah bertanding belasan jurus, Pek Han Siong mendapat kenyataan bahwa ilmu silat kedua orang pengeroyoknya amat tangguh. Ilmu pedang mereka merupakan ilmu pedang golongan sesat dari barat, dan banyak pula tokoh Pek-lian-kauw menguasai ilmu pedang itu yang sebetulnya lebih tepat kalau di mainkan dengan pedang melengkung. Dia sendiri tidak merasa berat melawan dua orang pengeroyoknya. Akan tetapi ketika dia mengerling ke arah isterinya dia melihat betapa isterinya terdesak oleh pengeroyokan Thian Hwa Cu dan Tiat Hwa Cu.

Akan tetapi selagi Bi Lian terdesak dan Han Siong mencari kesempatan untuk membantu isterinya, tiba-tiba nampak bayangan orang dan muncullah seorang gadis yang cantik jelita. Gadis ini memegang sepasang pedang yang berkilauan dan membentak,

“Tosu-tosu palsu dari mana berani di rumah paman Pek Han Siong?” karena ia melihat bahwa Siangkoan Bi Lian terdesak hebat, iapun terjun ke dalam pertempuran dan membantu Bi Lian sehingga kini dua orang pengeroyok Bi Lian terpaksa berpisah.

Thian Hwa Cu tetap bertanding melawan Bi Lian sedangkan Tiat Hwa Cu menghadapi gadis yang baru datang.

Kini Han Siong bernapas lega. Kalau hanya menghadapi seorang tosu, dia tidak mengkhawatirkan keadaan isterinya. Dan diapun merasa girang sekali ketika mengenal siapa gadis yang memainkan sepasang pedang itu. Gadis itu bukan lain adalah Tang Hui Lan! Siangkoan Bi Lian juga mengenal gadis itu dan ia berseru,

“Hui Lan…!”

“Bibi, mari kita hajar para pendeta palsu ini!” kata Hui Lan sambil tersenyum dan bangkitlah semangat Siangkoan Bi Lian.

Sikap gadis itu mengingatkan ia akan Cia Kui Hong, ibu dari gadis itu yang waktu mudanya bersama ia menentang Pek-lian-kauw. Lincah, berani, dan galak!

Empat orang tosu yang menamakan diri sendiri See-thian-Su-hiap (empat pendekar dunia barat) itu merasa terkejut sekali. Menurut perhitungan mereka, mereka berempat pasti akan dapat membunuh Pek Han Siong dan isterinya. Siapa kira, biarpun di keroyok dua, Pek Han Siong sama sekali tidak terdesak, dan tiba-tiba muncul gadis lihai itu yang membantu Siangkoan Bi Lian yang sudah terdesak. Dengan munculnya gadis itu terpaksa Thian Hwa cu maju sendirian menghadapi Siangkoan Bi Lian, dan Tiat Hwa Cu juga sendirian saja menghadapi gadis yang luar biasa lihainya itu!

Tingkat kepandaian Tang Hui Lan memang sudah tinggi sekali, bahkan dibandingkan dengan Siangkoan Bi Lian, tingkatnya lebih tinggi. Payah Tiat Hwa Cu menandinginya dan setelah lewat dua puluh jurus, Tiat Hwa Cu hanya mampu melindungi dirinya dengan memutar pedang sambil terus mundur. Sepasang pedang di tangan gadis itu seolah telah berubah menjadi puluhan batang banyaknya! Dan ketika dia terdesak dan tersudut, sebuah tendangan kaki Hui Lan membuat dia terjengkang roboh!

Hui lan hanya berdiri tidak mengejar karena ia belum tahu siapa mereka dan mengapa mereka memusuhi keluarga Pek Han Siong. Apalagi melihat betapa Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian juga mulai mendesak musuh-musuhnya, Hui Lan berdiri saja tidak membantu karena ia tahu bahwa mereka berdua tidak membutuhkan bantuannya. Kedua orang tuanya sudah memesan agar ia tidak sembarangan saja membunuh orang. Itulah sebabnya ia diam saja melihat Tiat Hwa Cu yang sudah ditendang roboh itu merangkak bangkit dan menggunakan tangan kirinya menutupi dada kanannya yang terasa nyeri bukan main oleh tendangan kaki mungil Hui Lan! Diapun tidak berani maju lagi dan hanya menonton keadaan saudara-saudaranya yang mulai terdesak.

Mendadak terdengar Siangkoan Bi Lian membentak nyaring dan pedangnya berhasil melukai pundak kiri lawannya. Thian Hwa Cu terhuyung dan darah mengalir dari luka di pundaknya. Dia terhuyung ke belakang. Siangkoan Bi Lian hendak mengejar untuk membunuhnya, akan tetapi terdengar seruan suaminya,

“Jangan bunuh dia!”

Mendengar seruan suaminya ini, Siangkoan Bi Lian tidak jadi mengejar dan ia melompat ke dekat Hui Lan. Mereka berdua kini melihat perkelahian antara Pek han Siong yang di keroyok dua.

Pek Han Siong merasa lega bahwa Hui Lan dan Bi Lian sudah berhasil mengalahkan dua orang musuh. Kini dia dapat mencurahkan semua perhatiannya kepada dua orang lawannya.

“Kena….!”

Dia membentak dan tiba-tiba pedangnya membuat gerakan memutar dan pedang di tangan kedua orang lawannya itu terpental dan terlepas dari pegangan. Secepat kilat Han Siong mnyapu dengan kakinya dan Lian Hwa Cu roboh terpelanting. Han Siong menginjakkan kaki kirinya di atas dada Lian Hwa Cu dan pedangnya menodong dada Kui Hwa Cu yang sudah tidak berpedang lagi.

Injakan kaki kirinya membuat Lian Hwa Cu merasa seolah dia ditindih benda yang berat sekali, membuat dia tidak mampu berkutik dan Kui Hwa Cu juga merasakan ujung pedang itu menembus pakaiannya dan menyentuh kulit dadanya. Sedikit gerakan saja dari tangan yang menodongnya itu dan tamatlah riwayatnya. Maka diapun tidak berani bergerak, hanya memandang dengan muka pucat.






“Hemm, sebetulnya sudah lebih dari pantas kalau kami membunuh kalian berempat. Akan tetapi kami bukan orang-orang kejam dan jahat yang suka membunuh lawan yang sudah kalah dan tidak berdaya. Kalau kalian masih merasa penasaran, pergi dan belajarlah dua puluh tahun lagi, baru kalian mencari kami. Lihatlah, siapa gadis itu? Ia adalah puteri Tang Hay yang dulu membunuh Hek Tok Siansu!”

“Kami akan membalas kekalahan ini!” kata Kui Hwa Cu dengan marah dan merasa terhina.

“Bagus kalau kalian masih memiliki semangat. Nah, cepat kalian pergi dari sini!” dia melepaskan kakinya dari dada Lian Hwa cu dan menarik pedangnya yang menodong dada Kui Hwa Cu.

Empat orang tosu itu tidak mau membuang waktu lagi. Mereka telah beruntung tidak di bunuh oleh musuh-musuh mereka. Mereka melompati pagar tembok dan lenyap.

Pek Han Siong menarik napas panjang, lalu menoleh dan memandang ke arah Hui Lan.
“Bagus Sekali, Hui Lan. Kedatanganmu seperti malaikat penolong!”

“Kalau Hui Lan tidak segera datang membantu, aku bisa celaka di tangan dua orang kerbau itu!” kata pula Siangkoan Bi Lian sambil merangkul gadis cantik itu.

“Aih, paman dan bibi terlalu memuji. Tanpa adanya aku sekalipun, aku yakin paman Pek Han Siong akan dapat mengusir mereka. Akan tetapi, aku merasa heran sekali mengapa enci Bwe Hwa tidak muncul membantu paman dan bibi?”

“Bwe Hwa sedang pergi, marilah kita masuk ke dalam rumah agar lebih leluasa kita bercakap-cakap.”

Siangkoan Bi Lian menggandeng tangan Hui Lan dan mereka bertiga masuk kedalam rumah. Para pembantu penjaga toko rempah-rempah telah berdatangan dan toko itu mulai dibuka. Akan tetapi Pek Han Siong dan isterinya tidak keluar karena asik bercakap-cakap dengan Hui Lan.

“Bagaiaman kabar tentang ayah dan ibumu? Dan bagaimana tentang Cin-ling-pai?” tanya Pek Han Siong.

“Kami semua baik-baik saja, paman. Ayah dan ibu memang berpesan agar dalam perantauanku memperluas pengalaman, aku singgah disini untuk menyampaikan salam mereka kepada paman dan bibi.”

“Kami girang sekali engkau datang Hui Lan. Hanya sayangnya Bwe Hwa juga sedang merantau seperti engkau. Kalau ia berada disini, tentu ia merantau bersamamu dan itu akan lebih menggembirakan lagi.”

”Paman, siapakah empat orang tosu tadi? Mengapa mereka memusuhi paman dan bibi?”

“Kami juga baru tadi mengenal mereka. Pagi tadi tiba-tiba saja mereka muncul dan menantang kami. Mereka hendak membalaskan kematian guru-guru mereka, yaitu mendiang Ban-tok Siansu dan Hek-tok Siansu. Ban-tok Siansu tewas di tangan ayah mertuaku Siangkoang Ci Kang dan Hek-tok Siansu tewas di tangan ayahmu. Akan tetapi kami berdua juga musuh-musuh karena dahulu kami bekerja sama dengan ayahmu menentang Pek-lian-kauw.”

“Jadi mereka tadi adalah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw?” tanya Hui Lan.

“Benar dan mereka itu murid-murid mendiang Ban-tok Siansu dan Hek-tok Siansu.” Jawab Siangkoan Bi Lian.

“Nama mereka Kui Hwa Cu, Lian Hwa cu, Thian Hwa Cu, dan Tiat Hwa Cu dan menggunakan julukan See-thian Suhiap!” sambung Pek Han Siong. “Engkau berhati-hatilah kalau bertemu mereka, Hui Lan. Mereka adalah orang-orang licik yang tidak malu maju bersama untuk mengeroyok musuh.”

“Aku akan berhati-hati, paman.”

“Hui Lan, bagaiman engaku tadi dapat mengetahui bahwa kami sedang berkelahi dan datang membantu?”

“Aku datang berkunjung pagi-pagi, bibi. Akan tetapi pintu depan masih ditutup dan tidak nampak seorangpun di luar. Aku lalu masuk ke pekarangan dan dari situ aku mendengar beradunya senjata dari taman di belakang rumah ini. Karena tertarik, aku lalu melompat ke pagar tembok dan melihat paman dan bibi di keroyok, maka aku segera melompat masuk dan membantu bibi.”

Pek Han Siong menghela napas panjang.
“sungguh menyebalkan sekali. Kami tinggal bertahun-tahun disini tanpa ada yang tahu bahwa kami adalah keluarga yang dapat bermain silat. Ternyata hari ini kami didatangi musuh-musuh yang hendak membalas dendam.”

“Kenapa harus menyesal? Kita dahulu selalu membasmi golongan sesat di dunia kangouw, dan kita melakukan hal itu dengan penuh pertanggungan jawab. Kalau golongan sesat mendendam kepada kita, kita tidak perlu menyesal, melainkan menghadapi mereka dengan gagah.”

“Engkau benar, akan tetapi betapa indahnya kehidupan kita selama ini. Jauh dari kekerasan, jauh dari perkelahian dan permusuhan.”

“Karena kita sudah mulai tua memang sebaiknya kalau kita mengundurkan dan hidup dalam ketenangan dan kedamaian. Akan tetapi orang-orang muda harus melanjutkan sikap kami membasmi golongan sesat, karena kalau tidak diimbangi oleh para pendekar, tentu golongan sesat akan semakin merajalela dan menyusahkan rakyat jelata. Itulah pula yang menyebabkan kita memberi kesempatan kepada Bwe Hwa untuk merantau dan bertindak sebagai pendekar, menegakkan kebenaran dan keadilan, menumpas yang melakukan penindasan mengandalkan kekuatan mereka dan membela yang tertindas dan lemah.”

Ucapan Siangkoan Bi Lian ini penuh semangat, matanya mencorong dan cuping hidungnya kembang kempis. Hui Lan memandang kagum dan teringat kepada ibunya. Ada persamaan antara Siangkoan Bi Lian dan ibunya, sama-sama keras hati dan pemberani!

“Paman dan bibi, kedatanganku ini selain menjenguk karena merasa rindu, juga aku membawa sebuah berita yang tidak menyenangkan. Ketahuilah bahwa dua bulan yang lalu kakek buyut Ceng Thian Sin di pulau Teratai Merah telah meninggal dunia.”

Pek Han Siong bangkit dari tempat duduknya dengan kaget.
“Meninggal? Kakek Ceng Thian Sin yang sakti itu dapat meninggal dunia?”

Isterinya mencela.
“Aih, engkau ini bagaimana sih? Setiap orang manusia betapa pandai dan saktinya, tetap saja akan mati satu demi satu. Apakah anehnya kalau kakek Ceng Thian Sin meninggal dunia? Usianya tentu sudah ada seratus tahun.”

“Bibi benar, kakek buyut meninggal dunia dalam usia seratus tahun lebih. Hanya ada satu hal yang mengganggu hatiku mengenai kematian kakek buyut.”

Pek Han Siong sudah duduk kembali dan memandang gadis itu dengan alis berkerut,
“Apa yang mengganggu hatimu Hui Lan?”

“Kakek buyut meninggal dunia setelah dia bertanding, dikeroyok tujuh orang lawan. Beliau berhasil mengusir tujuh orang lawan itu, akan tetapi agaknya beliau terlalu mengeluarkan tenaga sehingga tubuhnya yang sudah tua sekali itu tidak kuat menahan, dan beliau tewas karenanya.”

Pek Han Siong mengangguk-angguk.
“Tidak aneh kalau kakek Ceng di cari dan di musuhi orang dalam usia setua itu, karena diwaktu mudanya dia membasmi banyak sekali tokoh kangouw yang jahat. Siapakah tujuh orang itu, Hui Lan?”

“Mereka itu adalah datuk sesat yang berjuluk Toa Ok, Ji Ok, dan Bu-tek Ngo-sian.” Jawab Hui Lan sambil menggenggam jari-jari tangannya, mengepal kedua tinjunya.

Melihat ini, Siangkoan Bi Lian bertanya,
“Jadi engkau merantau ini adalah untuk mencari tujuh orang itu dan membalas kematian kakek buyutmu?”

“Tidak, bibi. Akan tetapi dalam perantauanku, kalau aku sampai bertemu dengan mereka, tentu mereka itu akan kuserang.”

“Hemm, Hui Lan, apakah engkau hendak membalaskan dendam kematian kakek Ceng Thian Sin?” tanya Pek Han Siong sambil memandang tajam wajah gadis itu.

Hui Lan menggeleng kepalanya.
“Tidak, paman. Aku telah di nasehati ayah dan ibu agar jangan menyambung rantai balas membalas dan dendam mendendam ini. Akan tetapi kalau aku bertemu mereka dan mereka melakukan kejahatan, tentu akan kutentang mereka!”

Pek Han Siong mengangguk.
“Ayah ibumu bijaksana, Hui Lan. Dendam itu menimbulakn kebencian dan kemarahan, membuat orang ingin sekali membalas. Tujuh orang datuk itu mendatangi kakek Ceng dipulau Teratai merah juga untuk membalas dendam. Memang tidak benar kalau kita mengikat diri dengan dendam, akan tetapi kalau engkau menentang seseorang karena dia melakukan kejahatan, bukan karena engkau mendendam, tentu saja tindakanmu itu benar.”

“Akan tetapi betapapun juga, engkau harus berhati-hati sekali kalu bertemu mereka, Hui lan.” Kata Siangkoan Bi Lian. “Nama tujuh orang itu sebagai datuk sesat sudah amat terkenal, apalagi Toa Ok dan Ji Ok itu. Sudah lama aku mendengar namanya dan mereka adalah datuk besar yang mewakili daerah barat.”

“Terima kasih, bibi. Tentu saja aku tidak akan bertindak sembrono dan lancang. Akupun cukup mengerti bahwa mereka adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi dan licik sehingga mereka tidak akan malu mengeroyok lawan seperti yang mereka lakukan terhadap kakek buyut.”

Suami isteri itu bertanya banyak sekali tentang orang tua Hui Lan. Gadis inipun menceritakan semua yang di ketahuinya karena ia maklum betapa eratnya hubungan antara ayahnya dan Pek Han Siong. Dalam percakapan mereka, Hui Lan menyinggung tentang pedang Pek-lui-kiam.

“Ah, engkau mengetahui juga tentang pedang yang menghebohkan seluruh dunia kangouw itu? Kalau aku masih muda seperti dulu, tentu aku tidak mau ketinggalan memperebutkannya!” kata Siangkoan Bi Lian.

“Hui lan, apakah engkau juga ingin mencari dan memperebutkan Pek-lui-kiam?” tanya Pek Han Siong.

“Memang aku tertarik sekali, paman. Kabarnya pedang pusaka itu tadinya berada di tangan seorang pendekar besar bernama Tan Tiong Bu, akan tetapi pendekar ini terbunuh dan pedang pusaka itu lenyap. Menurut kabar angin, pembunuh itu tentu telah mencuri pedang Pek-lui-kiam.”

“Tahukah engkau siapa pembunuh dan pencuri pedang itu?”

“Menurut kabar yang kuperoleh dalam perjalananku, pembunuh itu adalah seorang kakek berjubah merah. Kalau tidak salah, pembunuh itu adalah Ang I Sianjin, ketua Kwi-jiauw-pang yang bersarang di Kwi-liong-san.”

“Hui Lan, mungkin Bwe Hwa juga mencari pedang itu. Akan tetapi pedang itu asalnya bukan milik kita, maka sungguh tidak benar kalau kita mencoba untuk merampasnya. Kalau kita berhasil, berarti kita memiliki barang yang bukan milik kita, melainkan milik Tan Tiong Bu itu.”

“Paman benar. Aku hendak ke Kwi-liong-san hanya untuk menyelidiki. Kalau benar pedang pusaka itu menjadi milik orang jahat, hal itu harus dicegah. Kabarnya pedang pusaka itu merupakan pusaka yang ampuh, kalau terjatuh ke tangan penjahat, tentu dia menjadi seperti harimau tumbuh sayap, kejahatannya makin menjadi-jadi. Sebaliknya kalau pedang pusaka itu terjatuh ke tangan seorang pendekar yang menggunakannya untuk membasmi para penjahat, akupun tidak akan mengganggunya.”

“Engkau benar, Hui Lan. Kalau engkau hendak menyelidiki ke Kwi-liong-san, aku hanya berpesan padamu. Apabila engkau bertemu dengan Bwe Hwa, ajaklah ia bekerja sama seperti ayahmu bekerja sama dengan aku dahulu. Dengan bersatu, kalian berdua menjadi lebih kuat, daripada kalau bekerja sendiri-sendiri.”

“Baik paman, akan aku perhatikan pesan paman itu.”

Hui Lan tinggal selama tiga hari di rumah Pek Han Siong. Pada pagi hari ke empat, ia berpamit dan meninggalkan kota Tung-ciu, menuju ke selatan untuk berkunjung ke Kwi-liong-san (Gunung Naga Iblis).

**** 57 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar