Ads

Kamis, 08 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 56

Kota Tung-ciu di sebelah timur kota raja adalah sebuah kota yang cukup ramai. Kota ini terkenal sebagai gudang rempah-rempah dan hasil bumi karena daerahnya memiliki tanah yang subur. Karena itu, penduduk di Tung-ciu dan daerahnya dapat hidup makmur. Tanahnya subur karena disana mengalir sungai yang tak pernah kering.

Diantara deretan toko-toko, rumah makan dan rumah penginapan, terdapat sebuah toko rempah-rempah yang sedang saja besarnya. Pemilik toko ini adalah seorang pria berusia lima puluh satu tahun, dan isterinya yang berusia hampir lima puluh tahun. Semua penduduk Tung-ciu tidak tahu bahwa pemilik toko yang bernama Pek Han Siong ini sesungguhnya merupakan seorang yang memiliki kesaktian. Dia ahli silat tingkat tinggi.

Mukanya yang bulat dengan alis tebal dan mata agak sipit itu tidak menunjukkan sesuatu yang luar biasa. Akan tetapi dunia kangouw mengenal namanya sebagai seorang pendekar sakti yang pernah menggemparkan dunia persilatan. Bersama Tang Hay yang menjadi sahabat akrabnya, dia pernah mengalahkan dan menewaskan banyak tokoh sesat, terutama para tokoh Pek-lian-kauw.

Pria berwatak tenang, sabar, pendiam dan halus tutur katanya ini memiliki ilmu-ilmu silat tinggi yang dahsyat. Dia memiliki ilmu Pek-sim-pang sebanyak tiga belas jurus yang sukar dilawan, mahir pula menggunakan ilmu pedang Kwan Im Kiamsut dan ilmu-ilmu silat tinggi lainnya. Dan lebih dari pada itu, diapun ahli sihir yang kuat sekali.

Isterinya bernama Siangkoan Bi Lian. Dalam hal ilmu silat, wanita ini juga mencapai tingkat tinggi, sedikit lebih rendah dari tingkat suaminya. Dalam usianya yang empat puluh sembilan tahu itu, Siangkoan Bi Lian masih nampak cantik. Didagunya terdapat sebuah tahi lalat yang membuat wajahnya yang manis itu nampak membayangkan kekerasan hati. Iapun ahli dalam ilmu silat Kwan Im Sin-kun dan Kim-ke Sin-kun.

Suami isteri ini bagi para penduduk Tung-ciu merupakan suami isteri biasa karena memang Pek Han Siong dan isterinya tidak pernah memperlihatkan kemahiran mereka dalam ilmu silat. Mereka dianggap pedagang rempah-rempah biasa saja yang bersikap ramah terhadap para pelanggannya.

Seperti kita ketahui, Pek Han Siong dan isterinya mempunyai seorang puteri bernama Pek Bwe Hwa. Gadis yang cantik seperti ibunya ini tentu saja di gembleng ayah ibunya sejak kecil sehingga setelah kini berusia delapanbelas tahun, ia telah menjadi ahli silat yang amat tangguh. Karena itu, kedua orang tuanya tidak keberatan melepas puteri mereka itu pergi untuk mencari pengalaman di dunia kangouw. Bahkan mereka berpesan agar puteri mereka itu ikut mencari Pek-lui-kiam yang kabarnya di perebutkan para tokoh kangouw.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Pek Han Siong bersama isterinya telah bangun dari tidurnya. Merteka berdua seperti biasanya, berlatih silat di taman kecil belakang rumah mereka. Tidak ada orang lain yang melihat kalau mereka berlatih silat. Bahkan seorang pelayan wanita tua tidak mengerti kalau suami isteri itu bermain silat. Mereka hanya mengatakan bahwa mereka berolah raga senam untuk menyehatkan tubuh. Suami isteri itu latihan bersama, memainkan ilmu Kwan Im Sin-kun. Gerakan mereka nampak hanya dua bayangan berkelebatan saling serang.

Mendadak keduanya berhenti dan berlompatan kebelakang, lalu memandang kearah pagar tembok yang mengelilingi taman berikut rumah mereka. Mereka mendengar gerakan orang di pagar tembok itu dan biarpun mereka sedang latihan, pendengaran mereka demikian tajam sehingga mereka dapat menangkap suara gerakan orang disitu.

“Siapa disana? Masuklah!” kata Pek Han Siong dengan suara tegas.

Tiba-tiba sesosok bayangan berkelebat dan meloncati pagar tembok. Gerakan bayangan itu gesit sekali. Dengan sekali loncat saja dia sudah berada di depan suami isteri itu.

Pek Han Siong dan Siangkoan Bi Lian memandang tajam penuh selidik. Orang berusia kurang lebih lima puluh tahun, seorang laki-laki bertubuh tinggi kurus berpakaian seperti pendeta agama To rambutnya di gelung ke atas dan di ikat pita putih. Pakaiannya berwarna kuning dan di punggungnya nampak gagang sebatang pedang. Wajah tosu tiu kurus seperti kurang makan, akan tetapi matanya yang cekung itu mengeluarkan sinar mencorong. Dari matanya itu saja suami isteri sudah dapat mengetahui bahwa mereka berhadapan dengan orang berilmu tinggi.

“Siancai (damai)….! Kiranya Pek Han Siong dan puterinya Siangkoan Ci Kang bersembunyi disini. Pantas di kota Tung-ciu ini tidak ada yang tahu bahwa kalian adalah ahli-ahli silat yang hebat!”

Pek Han Siong mengangkat kedua tangan di depan dada. Bagaimanapun juga, orang ini adalah tamunya dan seorang pendeta pula maka sudah sepatutnya kalau dia menghormatinya.

“Maaf, totiang. Totiang siapakah dan ada keperlauan apakah dengan kami?”

Akan tetapi Siangkoan Bi Lian tidak mau menghormatinya, bahkan bertanya dengan suara menegur,






“Seorang pendeta semestinya mengenal kesopanan dan kehormatan. Akan tetapi engkau datang meloncati pagar dan mengatakan kami bersembunyi. Kami sama sekali tidak bersembunyi, dan juga tidak takut menghadapi siapapun juga termasuk engkau!”

“Tenanglah dan biar totiang ini memberi penjelasan.” Kata suaminya menyabarkan hatinya.

Akan tetapi Siangkoan Bi Lian masih cemberut dan memandang kepada tosu itu dengan sinar mata mengandung kemarahan.

“Aku tidak datang sendirian saja!” kata tosu itu dan iapun bertepuk tangan.

Nampak bayangan berkelebat dan disitu telah berdiri tiga orang lain yang juga melompati pagar tembok. Tiga orang ini juga berusia kurang lebih lima puluh tahun. Mereka berpakaian ringkas akan tetapi memakai jubah luar yang terlampau besar sehingga nampak kedodoran. Begitu berdiri di dekat tosu pertama tadi, mereka membuka jubah luarnya dan nampaklah gambar lingkaran dan sebatang teratai putih di baju bagian dada mereka.

Melihat ini, Siangkoan Bi Lian berseru,
“Ah, jadi kalian ini orang-orang Pek-lian-kauw? Pantas tidak mengenal aturan, datang bukan seperti tamu, melainkan seperti segerombolan perampok dan pencuri!”

“Siancai! Puteri Siangkoan Ci Kang masih berhati keras dan galak!”

Pek Han Siong melangkah maju.
“Totiang, kalau kalian berempat datang dari Pek-lian-kauw, maka ada keperluan apakah kalian menemui kami?”

“Pek Han Siong! Duapuluh tahun lebih kami menanti dengan sabar, bahkan mengasingkan diri untuk memperdalam ilmu silat. Semua itu kami lakukan untuk membuat perhitungan dengan engkau dan Siangkoan Ci Kang. Akan tetapi karena Siangkoan Ci Kang telah meninggal dunia, maka perhitungan ini diwakili oleh puterinya.”

“Majulah kalian! Kami tidak takut!” kata Siangkoan Bi Lian.

Akan tetapi suaminya memegang lengannya sebagai isyarat agar isterinya dapat menahan emasinya.

“Perhitungan apakah yang kalian maksudkan? Harap jelaskan agar kami mengerti apa yang kalian maksudkan.” Kata Pek Han Siong dengan sikapnya yang tenang.

Melihat ketenangan Pek Han Siong, empat orang tosu itu kelihatan jerih juga. Tosu yang pertama muncul itu agaknya menjadi pemimpin dari rombongan itu dan dia sengaja melantangkan suaranya untuk mengatasi rasa jerihnya terhadap pendekar yang sikapnya luar biasa tenangnya itu.

Pek Han Siong termenung, mengenag peristiwa yang terjadi sua puluh enam tahun yang lalu. Ketika itu dia dan Bi Lian yang kini menjadi isterinya, bekerja sama dengan Tang Hay dan para pendekar Cin-ling-pai, menentang Pek-lian-kauw. Mereka mendapat kemenangan dan menewaskan banyak tokoh Pek-lian-kauw yang berilmu tinggi. Diantara musuh itu terdapat Ban Tok Siansu dan Hek Tok Siansu. Akan tetapi, Ban Tok Siansu memang benar tewas di tangan Siangkoan Ci Kang. Hanya saja, Hek Tok Siansu bukan tewas di tangannya melainkan tewas oleh Tang Hay.

Akan tetapi dia tidak menyangkal. Bagaimanapun juga, Tang Hay bekerja sama dengan dia, berarti kedua orang Siansu yang tewas itupun musuhnya. Dia berani bertanggung jawab atas perbuatan Tang Hay yang menjadi sahabat baiknya. Dia masih ingat benar bahwa Ban Tok Siansu dan Hek Tok Siansu adalah dua orang pendeta yang sesat dan bekerja sama dengan Pek-lian-kauw. Ilmu kepandaian mereka tinggi. Kalau empat orang ini murid-murid mereka yang selama dua puluh enam tahun memperdalam ilmu meraka, dapat dibayangakan betapa lihainya mereka, Siangkoan Bi Lian kembali berkata,:

“Bagus! Kiranya kalian murid-murid pendeta sesat itu? Jangan kalian mati tanpa nama, siapa nama kalian!”

Tosu pertama berkata sambil tersenyum mengejek.
“Aku bernama Kui Hwa Cu dan tiga orang adik seperguruanku ini bernama Lian Hwa cu, Thian Hwa cu, dan Tiat Hwa Cu.”

“Kui Hwa Cu, bagaimana caranya kalian hendak membalas dendam dan membuat perhitungan? Apakah kalian berempat hendak main keroyokan atau satu lawan satu?”

Bi Lian bertanya dengan nada suara menantang. Sama sekali ia tidak merasa takut karena selama ini ia dan suaminya hampir setiap hari berlatih dan ketika puteri mereka belum pergi merantau, mereka berdua melatih puteri mereka. Dengan demikian, dibandingkan dua puluh enam tahun yang lalu, mereka memperoleh kemajuan.

“Ha-ha-ha! Kedatangan kami ini bukan untuk mengadu ilmu, melainkan untuk membalas dendam dan membunuh kalian berdua. Karena itu, kami tentu saja akan maju bersama!”

“Bagus! Selamanya Pek-lian-kauw adalah perkumpulan penjahat berkedok perjuangan yang pengecut. Baik, kalau kalian hendak megandalkan jumlah banyak untuk mengeroyok kami, majulah!” bentak nyonya yang berhati baja itu.

Empat orang tosu itu lalu membuat gerakan dengan tangan mereka. Mula-mula mereka menggerakkan kedua tangan di udara seperti orang menuliskan huruf-huruf, kemudian Kui Hwa Cu mengambil dua potong kertas yang sudah bertuliskan huruf dan dia berkata dengan suara berwibawa mengandung getaran kuat sedangkan tiga orang temannya berpangku tangan dengan mata ditujukan kepada Pek Han Siong dan isterinya.

“Pek Han Siong dan isteri, saat kematian kalian sudah didepan mata! Dua ekor naga ini akan membunuh kalian!”

Kui Hwa cu melemparkan dua potong kertas itu ke udara dan Siangkoan Bi Lian terbelalak karena ia melihat betapa di udara tiba-tiba muncul dua ekor naga yang menyeramkan, dengan mata mencorong dan lidah-lidah api terjulur keluar dari mulut dan hidung mereka. Tahulah ia bahwa lawan menggunakan sihir yang amat kuat, maka iapun mengeluarkan sinkang untuk melawan pengaruh sihir itu.

Pek Han Siong pernah diambil murid oleh Ban Hok Lojin, seorang diantara delapan dewa dan dia dilatih ilmu sihir yang amat kuat. Maka, melihat permainan Kui Hwa Cu dia tertawa dan terdengar suaranya yang penuh wibawa.

“Ha-ha-ha, Kui Hwa Cu berempat! Kalian yang membuat naga ini, maka kalian pula yang akan diterkamnya!”

Han Siong menggerakkan tangannya menunjuk kearah empat orang tosu itu dan mereka terbelalak ketika melihat betapa dua ekor naga ciptaan ilmu sihir mereka itu kini membalik dan menyerang mereka berempat! Tentu saja mereka menjadi terkejut sekali dan cepat mereka menyimpan sihir mereka, menarik kekuatan sihir itu dan dua ekor naga itu kini melayang turun menjadi dua potong kertas!

Kembali Kwi Hwa Cu membentak,
“Pek Han Siong, kalian menghadapi kami delapan orang! Bersiaplah kalian berdua untuk mampus!”

“Kui Hwa Cu, kalau kalian maju dengan delapan orang, kami akan maju sepuluh orang!”

Yang terheran-heran adalah Siangkoan Bi Lian. Mula-mula ia melihat betapa empat orang tosu itu menjadi delapan, setiap orang menjadi dua, akan tetapi setelah suaminya bicara, ia melihat dirinya sendiri menjadi lima orang demikian pula diri suaminya menjadi lima orang! Ia tahu bahwa semua ini hasil kekuatan sihir, akan tetapi ia tetap menjadi bingung. Ia tahu bahwa suaminya beradu kekuatan sihir melawan empat orang tosu itu, maka tidak ada jalan lain baginya kecuali mengerahkan tenaga sakti untuk menolak pengaruh sihir itu.

Melihat hasil serangan mereka yang dapat di ungguli oleh Pek Han Siong, tahulah ke empat orang tosu itu bahwa mereka tidak akan mendapat keuntungan kalau mengadu kekuatan sihir. Tangan mereka turun kembali dan semua kekuatan sihir mereka di tarik. Han Siong juga menghentikan pengerahan sihirnya karena kekuatan sihir itu kalau di keluarkan terlalu lama, akan menghabiskan tenaga saktinya.

Kui Hwa Cu dan tiga orang temannya lalu meraih ke punggung dan mereka telah memegang sebatang pedang. Siangkoan Bi Lian dan Pek Han Siong juga mengambil pedang dari rak senjata yang memang dipersiapkan di tempat itu kalau mereka sedang latihan silat.

Kui Hwa Cu dan rekan-rekannya sudah tahu bahwa ilmu kepandaian Pek Han Siong lebih tinggi dari isterinya, dan memang sebelum masuk kesitu mereka sudah merencanakan siapa yang menghadapi Siangkoan Bi Lian. Maka kini Kwi Hwa Cu dan Lian Hwa Cu, sesuai rencana, menghadapi dan mengeroyok Pek Han Siong, sedangkan Thian Hwa Cu dan Tiat Hwa Cu mengeroyok Siangkoan Bi Lian.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar