Ads

Senin, 05 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 55

“Bagus! Kalian sudah mengaku salah, maka kuampunkan untuk sekali ini. Hayo minta maaf kepada Siangkoan Siocia!”

Lima orang itu berlutut menghadap Cu Yin dan berkata serentak,
“Siocia, kami berlima mohon ampun atas kesalahan kami.”

Cu Yin tersenyum dan melambaikan tangan.
“Sudahlah, lima orang dari kalian telah dihukum mati, aku sudah puas!”

“Terima kasih, Siocia. Terima kasih, kongcu!” mereka berlima lalu bangkit berdiri dan mundur mengambil jarak cukup jauh sambil menanti perintah selanjutnya.

Cu Yin memerintahkan pembantunya untuk mengambil kembali anak panahnya dari tubuh kelima mayat itu. Seorang diantara enam orang pembantunya dengan cekatan lalu mencabuti anak panah itu, membersihkannya dari darah dengan selembar kain lalu menyimpannya.

Gin Ciong juga memerintahkan anak buahnya untuk mengubur jenazah lima orang anak buahnya didalam hutan. Lima orang anak buahnya lalu mengangkat lima mayat itu dan membawanya kedalam hutan untuk dikuburkan.

Setelah kelima orang anak buahnya pergi, Gin Ciong merasa lebih bebas untuk bicara dengan gadis itu.

“Nona Siangkoan, kalau boleh aku mengetahui, apa yang hendak nona lakukan maka nona berada disini? Ke manakah nona hendak pergi dan dari mana nona datang?”

Cu Yin tersenyum. Pemuda ini tampan dan putera seorang datuk besar, akan tetapi sikapnya demikian sederhana dan hormat serta sopan, sehingga hatinya tertarik. Akan tetapi tentu saja ia tidak dapat menceritakan apa yang hendak dicarinya kepada sembarang orang yang baru saja dikenalnya.

“Tio-kongcu, kita secara kebetulan saja bertemu disini, dan karena ulah anak buahmu maka kita dapat saling bertemu dan berkenalan. Sudah sewajarnya kalau orang-orang yang baru bertemu saling menceritakan keadaan dirinya maka kuharap engkau suka lebih dulu menceritakan apa yang sedang kau lakukan di tempat sunyi ini.”

Gin Ciong juga tertawa mendengar betapa pertanyaannya di jawab dengan pertanyaan pula.

“Baiklah, nona. Memang sudah sepatutnya kalau aku yang menceritakan keadaanku lebih dulu. Ketahuilah, nona Siangkoan, aku meninggalkan pulau beruang untuk mencari pedang Pek-lui-kiam. Ayah yang menyuruhku, dengan maksud agar dalam mencari pedang pusaka itu, aku memperoleh pengalaman dan dapat bertemu dengan tokoh-tokoh kangouw.”

Diam-diam Cu Yin merasa geli. Keadaan pemuda ini tidak ada bedanya dengan ia sendiri. Iapun hendak mencari pedang pusaka itu, seperti yang diperintahkan ayahnya!

“Hi-hi-hik,”

Cu Yin tertawa geli tanpa menutupi mulutnya seperti kebiasaan para gadis kalau tertawa. Puteri Lam To ini tertawa dengan wajar dan bebas, tidak menutupi mulutnya sehingga nampak sederetan giginya yang rapi dan putih mengkilap.

“Kalau begitu, kita ini saling berhadapan sebagai saingan karena akupun meninggalkan tepi sungai Hun-kiang memenuhi perintah ayah untuk mencari dan merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam!”

Mula-mula Gin Ciong terkejut mendengar ini, akan tetapi setelah berpikr sejenak diapun lalu tertawa gembira.

“Bagus sekali kalau begitu! Kita sama sekali tidak saling berhadapan sebagai saingan. Kita adalah orang-orang segolongan. Ayahmu datuk selatan dan ayahku datuk timur. Kebetulan sekali kalau begitu. Kita tidak bersaing, bahkan saling membantu untuk memperoleh Pek-lui-kiam. Kalau kita bekerja sama, kukira akan lebih mudah menguasai Pek-lui-kiam!”

“Ah, mana bisa diatur begitu? Pedang itu hanya sebatang, bukan dua atau lebih yang dapat dibagi-bagi!”

“Tentu saja tidak dibagi, nona. Kalau kita dapat memperoleh pedang pusaka itu, aku akan mengalah dan memberikannya kepadamu. Pedang itu menjadi milikku atau milikmu, apa sih bedanya? Kita segolongan, dan aku tentu akan mengalah terhadapmu.”

“Sesungguhnyakah? Kalau begitu, engkau akan membantu merampas pedang itu?’






Gin Ciong mengangguk.
“Boleh kau anggap begitu. Akan tetapi aku belum tahu harus mencari kemana.”

“Aku tahu dimana adanya pedang itu!” kata Cu Yin yang teringat kepada Si Kong, pemuda yang di cintainya namun tidak menanggapinya bahkan meninggalkannya.

Wajah Gin Ciong berseri gembira,
“Ah, itu baik sekali, nona. Kalau begitu mari kita melakukan perjalanan bersama untuk merampas pedang itu!”

“Nanti dulu, Tio-kongcu ( tuan mudaTio)…..”

“Aih, nona, setelah kita menjadi sahabat, jangan panggil aku kongcu lagi.”

“Habis, harus menyebut bagaimana? Engkau sendiri menyebutku nona.”

“Baiklah, mulai sekarang kita jangan menggunakan sebutan tuan muda dan nona lagi. Aku lebih tua darimu, maka akan kusebut engkau Yin-moi ( adik Yin ) dan engkau menyebut aku Ciong-ko ( kakak Ciong ), bagaimana pendapatmu? Setujukah engkau, Yin-moi?”

“Baik, Ciong-ko. Dengan sebutan ini kita menjadi lebih akrab dan tidak merasa asing.”

“Yin-moi, dengan ilmu kepandaian kita berdua, kita akan sanggup menghadapi siapapun juga. Karena itu, kukira tidak ada perlunya lagi bagi kita untuk ditemani pelayan atau pengawal. Lebih baik kita menyuruh mereka pulang dan kita beli seekor kuda untukmu.”

Cu Yin mengangguk.
“Aku setuju,” katanya dan iapun menggapai enam orang wanita yang menjadi pengawalnya dan meyuruh mereka membelikan seekor kuda untuknya.

Enam orang wanita pengawal yang setia dan patuh itu lalu berlari pergi untuk melaksanakan perintah nona majikan mereka. Gin Ciong juga memanggil lima orang pembantunya dan menyuruh mereka pergi, pulang ke pulau Beruang dan melaporkan kepada ayahnya bahwa dia bersama puteri Lam-tok hendak pergi merampas pedang pusaka Pek-lui-kiam.

Tak lama kemudian, para pembantu Cu Yin sudah tiba kembali ke tempat itu dan mereka menuntun seekor kuda berbulu coklat yang cukup kuat dan bagus.

“Sekarang kalian boleh pulang ke sungai Hung-kiang, laporkan pada ayah bahwa aku baik-baik saja dan sedang pergi merampas pedang Pek-lui-kiam, dibantu oleh putera Tung Giam-ong.”

Enam orang wanita itu tidak berani membantah dan mereka segera pergi dari situ setelah memberi hormat kepada nona majikan mereka.

“Mari kita berangkat!” kata Cu Yin sambil meloncat ke atas punggung kudanya.

Gin Ciong juga melompat keatas kuda putihnya.
“Kemana?”

“Ketempat dimana Pek-lui-kiam berada.”

“Dimana itu?”

“Nanti engkau juga tahu. Marilah!”

Cu Yin sudah membalapkan kudanya dan terpaksa Gin Ciong juga menyuruh kudanya lari kencang. Pemuda ini menggeleng kepala melihat kelakuan Cu Yin yang berandalan. Akan tetapi telah terjadi sesuatu dalam hatinya. Dia mencinta gadis itu! Alangkah cocoknya kalau kelak gadis itu menjadi isterinya! Dan siapa tahu pedang Pek-lui-kiam yang akan menjadi perantaranya.

Kalau pedang pusaka itu jatuh ke tangannya, kemudian dia berikan kepada Cu Yin sebagai tanda cintanya, mustahil kalau gadis itu tidak membalas perasaan kasihnya, Juga Lam-tok tentu akan menyetujui karena dia sudah berjasa membantu sehingga pedang Pek-lui-kiam dapat terjatuh ke tangan datuk selatan itu.

**** 55 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar