Ads

Senin, 05 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 54

Seorang pemuda menunggang kudanya yang berbulu putih menuruni sebuah lereng bukit. Kuda itu besar dan bagus sekali, nampak kuat dan gagah. Penunggangnya juga gagah dan tampan, duduk dengan tegak di atas kudanya yang dibiarkan mencongklang seenaknya. Dia tidak nampak tergesa-gesa, memandang ke kanan kiri menikmati keindahan pemandangan dari lereng bukit itu.

Pemuda itu berpakaian serba indah seperti seorang kongcu yang kaya raya, berpakaian seperti seorang terpelajar, dan melihat rambutnya yang licin dan rapi, pakaiannya yang mewah, sepatunya yang baru, ada kesan pesolek pada diri pemuda ini.

Pemuda ini mengenakan sebuah topi yang bagus untuk melindungi kepalanya dari sinar matahari. Di punggungnya terdapat sebatang pedang sehingga dia nampak gagah dan tampan. Wajahnya bundar, matanya lebar, hidungnya mancung dan bibirnya selalu tersungging senyuman mengejek sehingga dia nampak tinggi hati.

Setelah tiba di bawah lereng, di luar sebuah hutan, dia menghentikan kudanya dan menoleh ke kiri. Dari hutan itu muncul sepuluh orang yang segera memberi hormat kepada pemuda itu. Mereka adalah orang-orang yang kelihatan kasar dan bertubuh tegap.

“Selamat siang, kong cu!” kata yang menjadi pemimpin sepuluh orang itu.

“Ada berita apa? Kenapa kalian menemui aku? Sudah kukatakan jangan sekali-kali bertemu denganku di tempat umum.”

“Maaf, kongcu. Disini aman, sepi tidak ada orang lain. Kami hanya ingin melaporkan bahwa di depan sana ada serombongan orang wanita memikul sebuah joli. Kami telah mengintai dan melihat bahwa ketika joli tersingkap, didalamnya duduk seorang gadis yang kecantikannya seperti seorang puteri raja. Mungkin kongcu akan tertarik, maka kami sengaja menghadang kongcu disini.”

“Hemm, siapa gadis itu?”

“Kami tidak tahu, kongcu. Para pengawalnya juga rata-rata wanita cantik.”

“Baik, hendak kulihat orang macam apa adanya gadis itu! Kalian boleh muncul dan mengganggunya sebagai perampok biasa. Kalau aku muncul kalian harus melarikan diri ketakutan.”

“Baik, kongcu. Kami mengerti apa yang kongcu maksudkan!” kata pemimpin rombongan itu dan mereka lalu berloncatan menghilang ke dalam hutan.

Pemuda tampan itu melanjutkan jalan kudanya, terus ke depan dengan santai dan seenaknya. Dari tempat yang agak tinggi dia memandang ke depan dan benar saja. Dia melihat empat orang wanita muda memikul sebuah joli berwarna hijau dan ada dua orang gadis lain yang berjalan di belakang joli itu.

Dari cara mereka berjalan, dapat diduga bahwa para wanita itu bukanlah orang sembarangan. Langkah mereka ringan dan tegap. Joli itu nampak ringan sekali bagi mereka. Dan di punggung enam orang wanita itu nampak gagang sebatang pedang. Pemuda itu tertarik sekali dan menonton dari tempat tinggi itu.

Kemudian muncullah sepuluh orang anak buahnya yang tadi menghadangnya. Sepuluh orang itu cengar-cengir menghadang rombongan wanita itu dan pemimpinnya mengangkat tangan kanan keatas tanda bahwa rombongan pemikul joli itu harus berhenti.

Dua orang wanita yang tadinya berjalan di belakang joli, kini sudah berpindah ke depan. Para pemikul joli tetap berhenti akan tetapi tidak menurunkan joli. Dua orang gadis pengawal itu memandang dengan alis mata berkerut, dan seorang diantara mereka bertanya, suaranya ketus,

“Kalian mau apa menghadang perjalanan kami?”

Pemimpin rombongan orang laki-laki itu, yang bertubuh tinggi besar, tertawa dan teman-temannya juga tertawa cengar-cengir dengan sikap kurang ajar sekali.

“Ha-ha-ha, masih hendak bertanya lagi? Kami tidak minta banyak. Hanya lepaskan semua perhiasan dan pakaian kalian, berikan kepada kami termasuk nona yang berada di dalam joli. Dan kalian bertujuh ikut dengan kami bersenang-senang!”

Ucapan itu sudah jelas sekali. Yang berada di dalam joli itu bukan lain adalah Siangkoan Cu Yin. Seperti kita ketahui, ia ditingggalkan oleh Si Kong dan gadis yang keras hati itu nekat hendak pergi ke kwi-liong-san untuk mencari dan menyusul Si Kong yang ia tahu tentu akan pergi kesana pula. Dari dalam jolinya Cu Yin dapat mengintai keluar dan tahu bahwa ada segerombolan perampok hendak mengganggu.






“Turunkan joli!” perintahnya dan empat orang pemikul lalu menurunkan joli.

Sepuluh orang lelaki itu tertawa-tawa gembira. Mereka mengira bahwa rombongan wanita ini tentu akan menyerah kepada mereka karena takut.

Karena nona mereka minta joli di turunkan, hal itu berarti nona mereka akan menghadapi sendiri sepuluh orang itu. Enam orang wanita pengawal itupun berdiri di kanan kiri joli, masing-masing tiga orang dan mereka sudah siap siaga untuk berkelahi kalau nona mereka memerintahkan.

Cu Yin membuka penutup joli dan semua orang laki-laki yang berdiri di situ mengeluarkan seruan kagum. Gadis dalam joli itu cantik jelita bukan main. Akan tetapi, Cu Yin tanpa berkata apa-apa sudah menggerakkan kedua tangannya dan meluncur empat batang anak panah ke arah rombongan orang itu. Sambil mengeluarkan teriakan kesakitan, empat orang di antara mereka terjungkal dan sekarat lalu tewas seketika!

Melihat hal ini, enam orang lainnya menjadi terkejut sekali, akan tetapi mereka juga marah bukan main. Tadinya mereka hanya ingin mengganggu sambil menanti munculnya kongcu mereka yang akan bertindak seolah-olah menolong gadis itu. Siapa kira yang terjadi adalah sebaliknya. Empat dari mereka telah roboh dan tewas di tangan gadis cantik itu.

Hal ini dapat terjadi karena mereka sama sekali tidak mengira akan di serang dengan panah-tangan yang merupakan senjata rahasia yang ampuh itu. Enam orang itu segera mencabut golok masing-masing dan menyerang maju. Akan tetapi enam orang pengawal wanita itu sudah berloncatan ke depan dengan pedang di tangan dan terjadilah perkelahian enam orang pria melawan enam orang wanita dengan seru sekali. Terdengar bunyi senjata mereka berkerontangan kalau beradu dan nampak bunga api berpijar.

Melihat enam orang pengawalnya sudah menandingi para perampok itu, Si-angkoan Cu Yin hanya duduk saja dalam jolinya dan mengamati jalannya pertandingan. Ia tahu bahwa para pembantunya tidak akan kalah oleh para perampok itu, maka iapun tidak mau turun tangan membantu, hanya bersikap waspada untuk menjaga agar jangan sampai ada pembantunya yang terluka.

Sementara itu, pemuda tampan berkuda yang tadi menonton dari tempat yang tinggi, terkejut bukan main melihat empat orang anak buahnya tewas. Dia lalu membalapkan kudanya menuruni tempat tinggi itu menuju ketempat pertempuran. Pemuda ini bukan orang sembarangan. Dia adalah putera tunggal dari datuk timur Tung Giam-ong (Raja Maut Timur), seorang datuk besar yang terkenal dan di takuti di wilayah timur, dari pantai utara sampai pantai sebelah selatan.

Nama pemuda itu adalah Tio Gin Ciong. Sebagai putera tunggal, tentu saja dia telah mewarisi seluruh ilmu kepandaian ayahnya dan kini dia merupakan seorang pemuda berusia dua puluh lima tahun yang masih belum menikah. Tio Gin Ciong berada di tempat itu adalah dalam melaksanakan tugas yang di berikan ayahnya kepadanya, yaitu mencari Pek-lui-kiam dan ikut memperebutkannya. Dia pergi membawa sepuluh orang pembantu pilihan. Siapa menduga bahwa empat dari sepuluh orang pembantunya mati konyol di tangan seorang gadis yang duduk di dalam joli!

Dengan muka merah karena marah, Gin Ciong membalapkan kudanya dan sebentar saja dia sudah tiba di tempat perkelahian. Dia meloncat turun dari atas kudanya dan berjongkok memeriksa seorang diantara empat orang pembantunya. Dari atas tadi dia hanya melihat empat orang pembantunya roboh. Dia tidak dapat melihat apa yang menyebabkan mereka jatuh dan mengapa mereka tidak dapat bangkit kembali.

Kini dia tahu bahwa empat orang pembantunya itu telah tewas dengan bagian tubuh yang tertancap anak panah kecil itu berwarna hitam. Anak panah beracun, pikirnya dan dia mencabut anak panah itu untuk memeriksanya. Melihat ukiran dua huruf Lam Tok di gagang anak panah, dia makin terkejut.

Lam Tok adalah seorang datuk besar yang berkuasa di selatan! Racun selatan itu sama kedudukannya dengan ayahnya yang berjuluk Raja Maut Timur! Keduanya merupakan datuk besar yang di takuti dan di segani. Dia bangkit berdiri sambil memegang anak panah itu.

“Berhenti berkelahi! Kalian semua mundur!” teriakan dan suaranya berpengaruh dan berwibawa sekali.

Enam orang anak buahnya segera berloncatan ke belakang mendengar teriakan ini dan enam orang wanita juga berlompatan ke dekat joli di mana nona merela masih duduk dengan tenang.

Kini Gin Ciong melangkah maju dan berhadapan dengan Cu Yin yang masih enak-enak duduk di dalam jolinya yang sudah terbuka tirainya. Dua orang itu saling pandang dengan sinar mata penuh selidik. Keduanya menjadi kagum. Cu Yin tidak menyembunyikan rasa kagumnya melihat pemuda itu. Seorang pemuda yang tampan dan gagah sekali, dan kudanya yang putih itu juga seekor kuda pilihan. Kini seorang anak buah Gin Ciong menuntun kuda itu untuk di lepas kendalinya dan di biarkan makan rumput di bawah pohon, mengikatkan kendali pada pohon itu.

Tio Gin Ciong juga kagum bukan main. Benar pelaporan anak buahnya bahwa gadis di dalam joli itu teramat cantik jelita seperti puteri istana. Tidak, bahkan lebih cantik lagi. Seperti bidadari dari surga!

Sambil mengangkat anak panah itu ke atas, Gin Ciong bertanya kepada Cu Yin,
“Nona, ada hubungan apakah antara engkau dan LamTok? Anak panah ini senjata rahasia Lam Tok, mengapa engkau pergunakan?”

Cu Yin merasa bangga bahwa anak panah itu merasa dikenal di mana-mana. Itu menandakan bahwa nama besar ayahnya sudah terkenal di semua penjuru.

“Mau tahu apa hubunganku dengan Lam Tok? Dia adalah ayahku! Dan siapa engkau ini. Para perampok ini apakah anak buahmu?”

Gin Ciong semakin terkejut mendengar bahwa nona itu adalah puteri Lam Tok. Pantas saja tindakannya demikian keras dan kejam, sekali turun tangan membunuh empat orang anak buahnya!

“Kiranya engkau puteri paman Si-angkoan? Dengar, nona. Antara ayahmu dan ayahku ada hubungan, karena keduanya merupakan datuk besar di wilayah masing-masing. Kalau ayahmu itu datuk besar selatan maka ayahku adalah datuk besar dari timur.”

Cu Yin terkejut dan memandang dengan mata terbelalak. Ia bahkan keluar dan turun dari jolinya, kini berdiri berhadapan dengan pemuda itu. Sebaliknya Gin Ciong semakin kagum karena setelah berdiri ternyata gadis itu bukan saja cantik jelita, juga memiliki bentuk tubuh yang menggairahkan.

“Engkau tentu putera Tung Giam-ong?”

Gin Ciong menjura dengan hormat sambil berkata,
“Benar, nona. Namaku Tio Gin Ciong, putera tunggal dari ayahku Tung Giam-ong. Kalau boleh aku mengetahui namamu…..”

“Namaku Siangkoan Cu Yin,” jawabnya singkat. “Apakah sepuluh orang ini anak buah pulau beruang?”

“Dugaanmu benar, nona. Sepuluh orang ini adalah para pembantuku. Akan tetapi empat orang dari mereka telah kau bunuh!” Gin Ciong menekan kata terakhir itu sebagai protes.

“Tentu saja mereka kubunuh, karena mereka mengaku perampok dan mengeluarkan kata-kata kurang ajar kepadaku! Sepatutnya mereka itu kubunuh semua!”

Gin Ciong mengerutkan alisnya yang hitam tebal.
“Mereka kurang ajar? Kata-kata bagaimana yang mereka ucapkan?”

“Mereka bukan saja minta semua perhiasan dan pakaian kami, bahkan hendak menawan kami untuk dipermainkan. Tidakkah mereka itu layah dibunuh?”

Gin Ciong kini menghadapi enam orang anak buahnya.
“Benarkah apa yang dikatakan nona ini? Kalian berani kurang ajar?”

Seorang diantara enam orang itu menjawab,
“tidak kongcu, kami hanya menggertak mereka, tidak mengeluarkan ucapan kurang ajar.”

“Jahanam!”

Gin Ciong membentak dan sekali tangan kirinya yang memegang anak panah itu bergerak, anak panah itu meluncur kedepan dan menancap didada anak buahnya yang menjawab tadi. Orang ini hanya menjawab sekali lalu jatuh telentang dengan mata mendelik dan tewas tak lama kemudian.

“Hayo siapa lagi yang tidak mau mengakui kesalahannya?” pemuda itu membentak.

Lima orang anak buahnya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Gin Ciong,
“Kami bersalah, kami siap menerima hukuman!” ucapan ini mereka keluarkan secara serentak. Gin Ciong tersenyum mengejek.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar