Ads

Senin, 05 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 53

Pada waktu itu, dalam tahun 1575, kerajaan Beng masih nampak kuat walaupun terjadi pemberontakan di selatan dan barat. Bahkan kini dari timur kekuasaan jepang mulai mendesak dan berebutan dengan orang-orang kulit putih yang tidak pernah jera walaupun belum lama ini pemerintah telah menghancurkan orang-orang portugis dari daratan Cina.

Pada waktu kaisarnya adalah kaisar Wan Li (1572-1620), dan dia baru menjabat sebagai kaisar selama tiga tahun. Seperti juga kaisar yang lalu, kaisar Wan Li berusaha keras untuk mempertahankan kedaulatan dan wilayahnya dari desakan orang asing. juga berulang kali mencoba menerobos pertahanan pasukan Beng. Bahkan beberapa tahun yang lalu pernah ada pasukan berani mati bangsa-bangsa Nomad di utara menerobos masuk dan berada diluar tembok kota raja Peking.

Akan tetapi akhirnya pasukan berani mati dari utara itu dapat disapu bersih dan selebihnya melarikan diri cerai berai. Ada yang menggabungkan diri dengan gerombolan penjahat, bahkan ada yang melarikan diri ke pantai timur dan bergabung dengan orang-orang jepang.

Dua orang menteri utama yang amat berjasa selama pemerintahan Kaisar Cia Ceng (1520-1566) merupakan menteri-menteri setia yang bijaksana dan pandai. Setelah mereka meninggal dunia, kerajaan Beng kehilangan pemimpin yang pandai dan bijaksana.

Akan tetapi kini terdapat seorang yang diangkat menjadi penasihat kaisar Wan Li, dijadikan penasihat karena orang ini juga memiliki pengetahuan luas dan amat setia kepada kerajaan. Dia ini bukan lain adalah Cang Sun, putera dari mendiang menteri Cang Ku Ceng. Sebagai seorang putera menteri, seorang bangsawan, sejak mudanya Cang Sun telah berkenalan dengan para pendekar yang gagah perkasa dan berjiwa patriot.

Biarpun Cang Sun sendiri seorang ahli sastra dan tidak mempelajari ilmu silat, namun isterinya yang pertama adalah seorang ahli silat tingkat tinggi, yaitu Mayang, bibi dari Hui Lan. Oleh karena itu, kedua orang anaknya, seorang putera dan seorang puteri, digembleng oleh Mayang dan menjadi orang-orang muda yang pandai ilmu silat.

Kaisar Wan Li yang mengetahui bahwa Cang Sun mewarisi kesetiaan dan kebiksanaan ayahnya, lalu mengangkat Cang Sun menjadi menteri yang bertugas menasihati kaisar dalam urusan pemerintahan, baik kedalam maupun keluar, karena itu, kekuasaan menteri Cang Sun amat besar.

Akan tetapi, seperti mendiang ayahnya dahulu, menteri Cang Sun bersikap keras terhadap mereka yang ingin menyuapnya. Dia memerintahkan pasukan menangkap mereka yang hendak menyuapnya itu dan menjebloskan ke dalam penjara.

Semenjak itu tidak ada lagi yang berani main-main terhadap menteri ini. Karena menteri Cang Sun bersikap keras dan galak terhadap korupsi, sedikitpun tidak mau menggunakan kedudukannya untuk kepentingan sendiri, semua bawahannya juga bertindak jujur dan tidak ada yang berani melakukan penyelewengan.

Sesungguhnyalah, untuk menjaga agar pohon itu subur dan menghasilkan bunga dan buah, yang perlu dipelihara dan dijaga adalah akar dan batangnya. Demikian pula kalau menghendaki anak buah yang taat dan jujur, pemimpinnya lebih dulu harus jujur dan tertib. Seorang pemimpin yang bijaksana dapat menindak bawahannya yang menyeleweng, sebaliknya seorang pemimpin yang korup, bagaimana dia dapat menindak bawahannya yang melakukan penyelewengan?

Menteri Cang berhubungan dekat sekali dengan para pembesar lainnya, juga dengan panglima-panglima perang. Melihat perkembangan yang berbahaya dari bangsa jepang, menteri Cang Sun menasihati kaisar untuk mengirim pasukan dan menjaga pantai timur. Namun sukar sekali membendung menyusupnya orang-orang jepang ke daratan karena kulit dan wajah mereka tidak ada bedanya dengan pribumi.

Ketika kaisar Wan Li mengirim pasukan ke selatan untuk menaklukkan Annam, Siam, dan Birma, menteri Cang Sun merasa tidak setuju. Yang terpenting adalah menjaga kedaulatan di negara sendiri, bukan memerangi kerajaan lain untuk ditaklukkan! Akhirnya, setelah membujuk berulang kali, akhirnya usaha menteri Cang Sun berhasil juga. Pasukan yang berperang di selatan itu di tarik kembali untuk memperkuat penjagaan di timur dan utara. Setelah demikian, barulah keadaan menjadi agak tenteram.

Pada suatau hari, Cang Sun menonton putera dan puterinya yang sedang berlatih silat dibawah petunjuk isteri pertamanya, Mayang. Dalam hal mendidik dua orang muda itu, Mayang tidak berlaku berat sebelah, tidak mengutamakan puteranya sendiri yang bernama Cang Hok Thian itu.

Apa lagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa Cang Wi Wei lebih cocok bermain pedang dari pada Cang Hok Thian, ia menurunkan ilmu pedang kepada puteri tirinya itu. Kepada Hok Thia ia mengajarkan ilmu silat tangan kosong yang hebat sekali, yaitu yang disebut Hek-coa Tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam). Adapun untuk senjatanya, Hok Thian lebih cocok menggunakan sabuk rantai yang dipakainya sebagai ikat pinggang. Rantai ini terbuat dari baja murni, agak tipis dan panjangnya dua meter, biarpun berupa rantai baja, akan tetapi karena tipis dan digerakkan oleh tangan yang mengandung sin-kang, senjata ini dapat menjadi tajam seperti pedang!

Kini kedua orang kaka beradik ini latihan bersama, bertanding dengan tangan kosong..Cang Sun duduk diatas kursi menonton. Dia tidak belajar ilmu silat, akan tetapi pergaulannya erat dengan para ahli silat sehingga dia dapat menilai baik buruknya permainan silat. Ketika melihat putera dan puterinya bertanding dalam suatu latihan bersama, Cang Sun dapat menilai bahwa Cang WI Mei lebih gesit dan ringan tubuhnya dibandingkan kakaknya. Biarpun dalam hal tenaga Cang Hok Thian masih menang setingkat, namun karena kalah cepat gerakannya.






Mendadak Wi Mei berseru,
“Kena!!” dan tubuhnya meloncat kebelakang.

Hok Thian tersenyum dan mengulurkan tangan untuk minta kembali kain pengikat rambutnya yang sudah berada di tangan adiknya.

“Gerakanmu amat cepat, Mei-moi, aku tidak dapat mengikutimu!” kata Hok Thian dengan sejujurnya.

“Tenagamu lebih kuat dariku, Thian-ko, kalau aku tidak menggunakan kecepatan, aku pasti kalah olehmu.” Jawab Wi Mei dengan jujur pula.

“Gerakan cepat saja tanpa disertai tenaga sin-kang yang memadai, masih kurang daya hasilnya, Wi Mei. Engkau harus lebih banyak bersamadhi dan menghimpun tenaga saktimu. Dan engkau Hok Thian. Gerakanmu sudah cukup cepat, hanya masih kalah setingkat oleh adikmu. Karena itu, engkau harus lebih teliti dalam pertahananmu, sehingga kalau menghadapi lawan yang lebih cepat, engkau dapat melindungi diri lebih baik. engkau perbanyak latihanmu dalam hal pertahanan itu.”

Tiba-tiba percakapan mereka terhenti dengan munculnya seorang prajurit yang bertugas menjaga diluar. Dia memberi hormat kepada menteri Cang Sun dan melapor bahwa diluar ada seorang tamu wanita yang bernama Tang Hui Lan mohon menghadap.

“Adik Hui Lan? Ah, aku girang sekali!” kata Wi mei.

Cang Hok Thian juga berseri wajahnya mendengar nama itu. Mayang segera berkata kepada penjaga itu.

“Cepat persilakan ia masuk!”

Penjaga itu tidak langsung pergi melainkan memandang kepada menteri Cang Sun. setelah pembesar ini menganggukkan kepala, barulah dia memberi hormat dan pergi keluar.

Tak lama kemudian muncullah Hui Lan dalam ruangan itu. Ia segera memberi hormat kepada keluarga itu, mengangkat kedua tangan di depan dada dan berkata gembira,

“Paman, bibi……!”

“Ah, Hui Lan. Dengan siapa engkau datang? Dari mana saja engkau?” tanya Mayang dengan gembira sekali.

“Saya hanya sendiri, bibi, sebelum singgah kesini saya telah mengunjungi paman Cia Kui Bu."

Mereka lalu bercakap-cakap dengan akrab sekali, akan tetapi ketika Hui Lan menceritakan tentang kematian kakek buyutnya, Ceng Thian Sin, semua orang terdiam karena terkejut dan ikut berduka.

“Ah, siapa yang mengira bahwa kakek Ceng Thian Sin yang memiliki kesaktian luar biasa itu akhirnya meninggal dunia juga. Hal ini mengingatkan kepada kita bahwa semua orang, tidak perduli dia itu pandai atau berkedudukan tinggi sekalipun, pada suatu hari tentu akan mati dan kembali kepada asal mulanya. Sayang kami tidak tahu akan kematiannya sehingga kami tidak dapat melayat. Apakah ketika meninggal dia masih berada di pulau Teratai Merah? Lalu siapa yang berada dengan dia disaat terakhirnya? Dan bagaimana kematiannya, apakah karena sakit dan usia tua?”

“Kebetulan saja saya dan ayah ibu berkunjung ke pulau Teratai Merah. Kedatangan kami agak terlambat karena kakek-buyut sudah berada diambang kematian. Kakek-buyut meninggal karena usia tua dan dalam keadaan sudah lemah itu terpaksa dia melawan tujuh orang yang datang menantangnya. Dia berhasil mengusir tujuh orang itu, akan tetapi dia sendiri menderita luka dalam karena dalam keadaan sudah tua sekali itu dia mengerahkan sin-kangnya.”

Cang Sun menghela napas panjang.
“Menyedihkan sekali. Dalam usia yang sudah lewat seratus tahun itu pendekar Sadis itu masih saja dimusuhi orang! Dan orang-orang jahat dan sesat itu masih ada saja sepanjang masa, kejahatan akan selalu timbul sebagai imbangan dari kebaikan. Siapakah tujuh orang yang memusuhinya itu, Hui Lan?”

“Menurut seorang murid kakek-buyut yang hidup berdua saja dengan kakek-buyut di pulau itu, yang datang menantang kakek-buyut adalah dua orang datuk dari barat berjuluk Toa Ok dan Ji Ok, bersama kelima Bu-tek ngo-sian yang juga datang dari barat.”

Mayang mengerutkan alisnya. Ia sendiri berasal dari barat akan tetapi semenjak menjadi isteri Cang Sun ia tidak pernah lagi pergi ke tibet maka ia tidak pernah mendengar akan nama datuk-datuk yang disebut itu.

“Bagaimana keadaan ayah dan ibumu Hui Lan? Aku sudah rindu sekali kepada mereka!” kata Mayang, mengalihkan percakapan dari berita yang tidak menyenangkan itu.

Hui Lan tahu dari ayah ibunya bahwa bibinya ini amat sayang kepada ayahnya. Iapun menjawab dengan nada suara gembira

“Mereka baik-baik saja bibi, juga kakek Cia Hui Song dan nenek Ceng Sui Cin dalam keadaan sehat. Keadaan Cin-ling –pai pada umumnya baik dan tidak pernah terjadi hal-hal yang tidak menyenangkan.”

“Syukurlah, Hui Lan. Aku girang mendengar itu. Sayang sekali bahwa pamanmu selalu sibuk dengan pekerjaaannya. Negara sedang dirong-rong oleh banyak persoalan pemberontakan dan kekacauan di perbatasan sehingga kami tidak memiliki waktu luang untuk berkunjung ke cin-ling-pai.”

“Mendengar berita bahwa mereka dalam keadaan sehat merupakan hal yang menyenangkan sekali,” kata Cang Sun menghibur. “Tak lama lagi tentu Cin-ling-pai akan mengadakan pesta pernikahan Hui Lan dan kesempatan itu boleh kau pergunakan untuk berkunjung kesana bersama dua orang anak kita.”

Wajah Hui Lan berubah merah mendengar ucapan pamannya itu, akan tetapi ia tidak marah karena ucapan itu dikeluarkan untuk menghibur bibinya dan bukan untuk berolok-olok.

“Bagus sekali!” Wi Mei bersorak. “Adik Hui Lan, kapankah engkau akan menikah? Aku sudah ingin sekali berkunjung ke cin-ling-pai!”

Tentu saja Hui Lan tersipu malu. Ah, sama sekali belum ada rencana untuk itu, enci Wi Mei engkau dan kakak Hok Thian tentu akan menikah lebih dulu dari pada aku dan untuk merayakan hari baik kalian itu, ayah ibu dan kakek nenek tentu akan datang ke sini!”

Kini Wi Mei menjadi merah mukanya dan Thian Hok juga tersipu.
“Kami juga belum ada rencana untuk menikah!” kata Wi Mei.

Tiba-tiba Hok Thian berkata kepada orang tuanya.
“Ayah, bagaimana kalau kami berdua ikut dengan adik Hui Lan berkunjung ke Cin-ling-pai? Kami juga ingin melakukan perjalanan dan menambah pengalaman kami!”

“Betul sekali, ayah. Saya juga ingin sekali melakukan perjalanan seperti adik Hui Lan, melihat-lihat dunia kangouw!” kata Cang Wi Mei. “Ibu tentu setuju, bukan?”

Pada saat itu, seorang wanita berusia empat puluh lima tahun muncul dari dalam memasuki ruangan itu.

“Hemm, apakah yang harus di setujui itu, Wi Mei?”

Wanita itu adalah Tang Cin Nio, isteri kedua dari Cang Sun. Hui lan segera bangkit berdiri memberi hormat.

“Ah, engkau Hui Lan, bukan? Sudah menjadi seorang gadis yang gagah perkasa dan cantik jelita!” Teng Cin Nio berkata gembira dan iapun ikut duduk dekat Mayang.

“Kedua orang anak kita ini minta untuk diperkenankan pergi ke Cin-ling-pai bersama Hui Lan,” kata Mayang kepadanya.

Teng Cin Nio mengerutkan alisnya dan ia memandang kepada suaminya lalu berkata,
“Agaknya tidak bijaksana kalau membolehkan mereka melakukan perjalanan sejauh itu tanpa pengawalan pasukan. Aku khawatir kalau terjadi hal yang tidak baik kepada mereka.”

“Aku sendiri juga agak keberatan. Biarpun selama ini mereka sudah mempelajari beberapa macam ilmu silat, namun didalam dunia kangouw terdapat banyak sekali orang jahat yang tinggi ilmu silatnya.”

Mendengar ucapan kedua orang ibunya itu, Wi Mei merengek.
“Takut apa? Bukankah adik Hui Lan juga melakukan perjalanan seorang diri dan tidak ada bahaya menimpa dirinya? Kalau kami berdua pergi bersamanya, bukankah kami bertiga cukup kuat membela diri?”

Cang yang mendengar ucapan kedua orang isterinya itu, lalu berkata kepada kedua orang anaknya.

“Hui Lan lagi. Ia tentu telah menguasai semua ilmu ayah ibunya yang amat tinggi. Dan pula, kalau sampai ada yang mendengar bahwa kalian berdua adalah anakku, tentu banyak orang sesat yang berusaha untuk menawan kalian, untuk dijadikan sandera. Ketahuilah bahwa banyak sekali orang yang memusuhi aku, terutama yang melakukan pemberontakan. Tidak, kalian tidak boleh pergi kecuali kalau membawa pasukan pengawal yang kuat.”

Cang Hok Thian dan Cang Wi Mei bersungut-sungut dan melihat ini, Hui Lan menghibur.

“Kakak Cang Hok Thian dan enci Cang Wi Mei, dari sini aku tidak akan terus langsung pulang ke Cin-ling-pai. Aku hendak berkunjung ke rumah paman Pek Han Siong di Tung-ciu. Dan aku masih hendak merantau entah kemana sebelum aku kembali ke Cin-ling-pai. Sebaliknya kalau kalian menurut kata orang tuamu, karena kalau kalian ikut aku lalu terjadi sesuatu atas diri kalian berdua, aku yang merasa tidak enak sekali.”

Hui Lan tinggal di istana menteri Cang selama tiga hari. Selama itu pergaulannya dengan kedua orang putera menteri itu menjadi semakin akrab. Mereka bahkan latihan silat bersama dan dalam kesempatan ini Hok Thian dan Wi Mei mendapat petunjuk yang berharga dari Hui Lan.

Tingkat kepandaian Hui Lan jauh lebih tinggi dari pada tingkat mereka dan kelebihan ini membuat Hok Thian merasa rendah diri. Sebetulnya, di dalam hatinya HokThian kagum dan jatuh cinta kepada Hui Lan. Akan tetapi rasa rendah diri karena Hui Lan jauh lebih tangguh darinya membuat dia menekan rasa cintanya dan menganggap dirinya tidak patut menjadi pasangan Hui Lan.

Setelah tiga hari, Hui Lan berpamit dari keluarga Menteri Cang itu untuk melanjutkan perjalanannya menuju Tung-ciu, tempat tinggal Pek Han Siong dan keluarganya.

**** 53 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar