Ads

Minggu, 11 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 61

Mereka duduk di atas batu di bawah sebuah batang pohon besar. Matahari telah condong ke barat, namun cuaca masih terang. Mereka diam saja dan kadang saling pandang. Akhirnya Hui Lan yang biasanya lincah itu mengeluarkan suara memecah kesunyian.

“Bagaimana engkau bisa masuk ke dalam sumur itu, Kong-ko? Ceritakanlah dari awal.”

Si Kong tersenyum memandang gadis yang hebat itu. Dia pernah mengagumi Siangkoan Cu Yin, merasa suka kepada gadis berandalan itu, akan tetapi dalam hal ilmu kepandaian, kekagumannya terhadap Hui Lan ini lebih mendalam.

“Hanya kebetulan saja, Lan-moi. Siang tadi kebetulan aku lewat di dusun ini dan membeli minuman dikedai kakek tadi. Aku melihat keadaan dan suasana yang ganjil sekali. Aku tidak melihat ada wanita muda di dusun itu dan kaum prianya kelihatan panik dan ketakutan. Bahkan ketika melihat aku yang asing bagi mereka, mereka memandang penuh kecurigaan. Karena itu aku lalu membujuk kepada kakek pemilik kedai untuk menceritakan apa yang terjadi. Akan tetapi dia ketakutan dan menolak untuk bercerita. Terpaksa aku mengalahkan rasa takutnya kepada sesuatu itu menjadi rasa takut terhadap diriku. Aku mengancam dia dan akhirnya dia mengaku akan adanya setan yang mengganggu penduduk, betapa setan itu minta perhiasan dan bahkan gadis-gadis muda dan cantik. Dia bercerita tentang sumur setan dimana gadis-gadis itu dilempar ke dalam sumur, juga dia bercerita tentang seorang gadis yang dengan suka rela melompat ke dalam sumur itu. Selanjutnya aku mencari tali panjang dan menuruni sumur itu. Kurobohkan beberapa orang yang berada di dasar sumur, dan kutotok mereka. Lalu aku memaksa seorang diantara mereka untuk menunjukkan dimana adanya ruangan yang dipergunakan untuk menawan para gadis itu. Setelah tiba disana, aku melihat engkau diantara para gadis dan kebetulan gerombolan itu datang memasuki ruangan itu. Begitulah awal mulanya aku sampai masuk ke dalam sumur itu. Dan engkau sendiri, bagaimana bisa menjadi tawanan mereka? Tentu engkau yang dikatakan kakek itu sebagai gadis yang dengan suka rela masuk kedalam sumur itu, bukan?”

“Benar, Kong-ko. aku juga secara kebetulan saja lewat di luar dusun itu. Dalam perjalanan itu aku melihat seorang gadis bersama ibunya melarikan diri sambil menangis ketakutan. Aku hentikan mereka dan kutanyakan apa sebabnya. Gadis itu lalu menceritakan tentang setan yang meminta korban gadis-gadis dan bahwa gadis itu semalam telah diminta oleh suara setan diatas rumah mereka. Karena ketakutan dan tidak sudi dijadikan korban setan, gadis itu lalu mengajak ibunya melarikan diri, aku menjadi penasaran sekali dan kumasuki dusun itu, kuceritakan kepada mereka bahwa aku bersedia dijadikan korban menggantikan gadis yang melarikan diri. Aku lalu diantar keatas puncak, menghampiri sumur itu. Kemudian aku lalu meloncat masuk ke dalam sumur.”

“Akan tetapi, Lan-moi. Bagaimana engkau berani meloncat kedalam sumur yang tidak kelihatan dasarnya itu dan yang belum kau ketahui bagaimana keadaan di dalamnya?”

Hui Lan tersenyum.
“Sudah kuperhatikan dengan baik, Kong-ko. Kalau para gadis itu dilempar ke dalam sumur, berarti mereka tentu tidak akan mati ketika tiba di dasar sumur. Kalau mereka itu mati, untuk apa penjahat itu minta korban gadis?”

“Bukankah yang minta korban gadis itu menurut para penduduk adalah iblis penjaga sumur tua?”

“Hemm, siapa dapat percaya? Sejak semula aku sudah menduga bahwa hal itu dilakukan penjahat yang pura-pura menjadi setan dan aku menduga bahwa penjahat itu tidak hanya seorang. Nah, setelah yakin bahwa gadis-gadis itu tidak mati, aku lalu melompat ke dalam sumur, tentu saja aku waspada dan mengerahkan ginkang untuk menjaga kalau-kalau ada bahaya maut mengancam di dasar sumur.”

“Engkau sungguh pemberani sekali, Lan-moi.”

“Engkaupun masuk ke dalam sumur. Entah siapa yang lebih berani, engkau atau aku. nah, setelah tiba di bawah, ternyata ada sehelai jaring yang menangkap aku, begitu tubuhku menyentuh jaring, terdengar suara berkelentingan dan muncul empat orang yang membawa sebuah obor. Aku pura-pura tidak berdaya ketika ditangkap dan sepasang pedangku dirampas.”

“Kenapa engkau menyerah begitu saja, Lan-moi?”

“Aku ingin berhadapan sendiri dengan pemimpin mereka dan tepat seperti yang kuduga, akhirnya dia muncul dan barulah aku membebaskan diri untuk menghantam mereka.”

“Sebetulnya dari manakah datangnya gerombolan itu? Apakah mereka itu para anggauta dari perkumpulan sesat yang lebih besar?”

“Ah, kurasa tidak, Kong-ko. Mereka itu hanya gerombolan perampok biasa yang menemukan terowongan bawah tanah itu untuk menakut-nakuti penghuni dusun yang masih bodoh. Dengan cara demikian mereka dapat mengumpulkan perhiasan dan juga gadis-gadis gunung dengan mudah, bahkan tanpa kekerasan. Mereka adalah manusia-manusia kejam yang sudah sepatutnya dibasmi dari permukaan bumi. Mereka tadi merasa enak dibebaskan begitu saja.” Kalimat terakhir ini diucapkan Hui Lan dengan nada menegur.






“Gerombolan seperti itu biasanya hanya mengekor saja perbuatan pemimpin mereka. Kepala penjahat telah terbunuh oleh orang-orang dusun, dan anak buah penjahat itupun sudah mendapat hajaran keras. Kukira mereka akan menyadari kejahatan mereka dan akan mengubah cara hidup mereka.”

Hui Lan tidak membantah lagi. Watak pemuda itu seperti watak ayahnya, mudah memaafkan dan tidak suka sembarangan membunuh orang. Tidak seperti watak ibunya yang keras dan bertindak tegas terhadap para penjahat sehingga setiap murid Cin-ling-pai juga memiliki watak seperti itu. Keras tidak mengenal ampun terhadap orang-orang jahat. Wataknya sendiri berada di tengah-tengah antara watak ayahnya yang pengampun dan watak ibunya yang tidak mengenal ampun.

“Kalau boleh aku mengetahui, sebenarnya engkau hendak pergi kemana, Lan-moi?” tanya Si Kong mengalihkan pembicaraan.

“Aku hendak pergi ke Kwi-liong-san,” kata Hui Lan berterus terang.

Si Kong memandang dengan wajah berseri.
“Pek-lui-kiam….?”

Hui Lan juga tercengang.
“Eh, engkau juga mengetahui?”

“Siapa yang tidak tahu tentang pedang pusaka itu, Lan-moi. Aku bahkan dimintai tolong oleh puteri pendekar Tan Tiong Bu untuk membantunya mencari pembunuh ayahnya.”

“Hemm, kau maksudkan Ang I Sianjin ketua Kwi-jiauw-pang di Kwi-liong-san?”

Si Kong mengangguk.
“Agaknya engkau tahu lebih banyak tentang Ang I Sianjin, Lan-moi.”

“Tahu lebih banyak juga tidak. Aku hanya mendengar bahwa pendekar Tan Tiong Bu terbunuh oleh seorang kakek berjubah merah dan menurut dugaan orang pembunuh dan pencuri pedang itu adalah Ang I Sianjin.”

“Engkau hendak merampas Pek-lui-kian, Lan-moi?”

“Kalau memang benar Ang I Sianjin pencurinya, tentu aku akan mencoba untuk merampasnya. Nama Kwi-jiauw-pang sudah tersohor di empat penjuru sebagai perkumpulan sesat yang kejam. Kalau dibiarkan Ang I Sianjin memiliki Pek-lui-kiam, tentu dia akan menjadi lebih kejam dan sewenang-wenang. Akan tetapi kalau pedang itu berada di tangan pendekar budiman, akupun tidak akan mengganggunya. Dan engkau sendiri hendak kemana, Kong-ko?”

“Sama dengan engkau, Lan-moi. Sudah kukatakan tadi bahwa aku hendak membantu puteri mendiang Tan Tiong Bu untuk merampas kembali pedang pusaka itu. Kalau berhasil tentu akan kuserahkan kepadanya yang berhak sebagai pewaris pedang milik ayahnya.”

“Tidak perlukah untuk menyelidiki dulu dari mana Tan Tiong Bu mendapatkan pedang itu? Aku mendengar bahwa pembuat pedang Pek-lui-kiam adalah seorang sakti berjuluk Pek-sim Lo-sian (Dewa Tua Berhati Putih). Karena itu patut diselidiki bagaimana pedang pusaka itu dapat jatuh ke tangan pendekar Tan Tiong Bu.”

Si Kong tertegun dan mengangguk-angguk.
“Kalau demikian persoalannya, memang engkau benar. Tadinya aku mengira bahwa pedang pusaka memang milik yang sah dari mendiang pendekar Tan Tiong Bu. Kalau begitu, apakah engkau berkeberatan melakukan perjalanan ke Kwi-liong-san bersama aku, Lan-moi?”

Hui Lan menatap wajah pemuda itu dengan pandang mata penuh selidik. Dia belum mengenal benar pemuda ini, akan tetapi dia adalah murid kakek-buyutnya yang setia dan berbakti. Ia akan melihat bagaimana sikap Si Kong selanjutnya kalau mereka melakukan perjalanan bersama. Kalau sikapnya tidak menyenangkan, mudah saja menghentikan perjalanan bersama itu untuk berpisah dan mengambil jalan sendiri. Sebaliknya kalau sikapnya sopan dan menyenangkan, apa salahnya melakukan perjalanan? Sebagai murid kakek-buyutnya, Si Kong dapat dikatakan sebagai “orang sendiri”.

Hui Lan tersenyum dan menggeleng kepalanya.
“Tentu saja aku tidak keberatan. Bukankah tujuan kita sama? Bahkan kita dapat bekerja sama dalam penyelidikan kita terhadap Ang I Sianjin.”

Si Kong merasa girang sekali. Mereka lalu melakukan perjalanan bersama dan di sepanjang jalan, Si Kong termenung. Dia teringat kepada Siangkoan Cu Yin! Gadis puteri datuk Lam Tok itu membujuknya untuk melakukan perjalanan bersama, akan tetapi dia menolaknya dan kini dia malah ingin melakukan perjalanan bersama seorang gadis lain!

Akan tetapi, Hui Lan tidak dapat disamakan dengan Cu Yin. Gadis ini puteri sepasang pendekar yang kenamaan dan sikapnya gagah dan lembut. Sedangkan Cu Yin sama sekali berbeda. Gadis yang suka menyamar sebagai pria itu nakal, suka mengganggu orang dan terutama sekali membuat dia tidak suka melakukan perjalanan bersama adalah pengakuan Cu Yin bahwa gadis itu mencintainya! Andaikan Cu Yin masih menyamar sebagai pria, dia akan senang sekali melakukan perjalanan dengannya. Akan tetapi melakukan perjalanan dengan seorang gdais yang mencintainya, padahal dia sendir belum pernah mencinta gadis manapun juga, tentu akan sangat mengganggu kedamaian hatinya.

Belum jauh Si Kong melakukan perjalanan bersama Hui Lan pada hari itu, senja telah datang dan matahari sudah tidak nampak, hanya sinarnya yang lemah masih memungkinkan mereka melakukan perjalanan.

“Wah kita akan kemalaman di jalan kalau tidak dapat menemukan sebuah dusun, Kong-ko.”

“Biar kuselidiki apakah ada dusun disekitar tempat ini,” kata Si Kong dan dia lalu melompat ke pohon besar lalu memanjat ke atas.

Dari atas pohon itu dia memandang ke empat penjuru. Akan tetapi, yang nampak hanya warna hijau gelap dari puncak-puncak pohon. Di empat penjuru yang ada hanya hutan, tidak nampak adanya rumah orang! Diapun melompat turun kembali.

“Sama sekali tidak nampak ada rumah orang disekitar sini, Lan-moi. Agaknya kita akan kemalaman di tengah hutan. Akan tetapi di bagian selatan nampak ada lapangan rumput yang terbuka, agaknya disana kita dapat melewatkan malam lebih menyenangkan daripada di dalam hutan.”

Hui Lan mengangguk.
“Kalau begitu kita pergi ke selatan, ke lapangan rumput itu, Kong-ko.”

Mereka lalu melakukan perjalanan cepat ke selatan karena sebentar lagi bumi akan diselimuti kegelapan dan melakukan perjalanan tidak mungkin lagi. Tak lama kemudian, tibalah mereka di sebuah lapangan rumput yang terbuka, tepat pada saat malam tiba dan marga satwa mulai memperdengarkan suara puja puji terhadap Yang Maha Kuasa.

“Tempat ini cukup menyenangkan,” kata Hui Lan dan hati Si Kong menjadi lega.

Tadinya dia khawatir kalau Hui Lan merasa kecewa dan tidak senang karena mereka terpaksa harus melewatkan malam disitu.

“Memang lebih enak daripada di tengah hutan. Rumputnya bersih, seperti permadani hijau digelar luas. Aku akan membuat api unggun, Lan-moi.”

Si Kong lalu cepat pergi ke hutan di sebelah, mengumpulkan ranting kering. Biarpun cuaca sudah mulai gelap, dapat juga dia memperoleh ranting dan daun kering yang banyak. Dia lalu membuat api unggun dan setelah api unggun bernyala besar, mereka berdua merasa gembira sekali.

Suasana menjadi demikian indah di tempat itu. Asap api unggun mengusir nyamuk, dan panasnya api unggun mengusir kedinginan hawa udara yang tentu akan sangat mengganggu mereka yang melewatkan malam di tempat terbuka seperti itu. Masih untung bagi mereka bahwa malam itu tidak ada angin besar. Mungkin karena di sekeliling tempat itu tumbuh pohon-pohon besar yang merupakan dinding hijau yang menahan tiupan angin sehingga di lapangan itu angin hanya bertiup semilir saja.

Kalau mereka berdongak memandang ke atas, nampak pemandangan yang luar biasa indahnya. Bersama tenggelamnya matahari, bermunculan bintang-bintang di langit. Tidak ada awan menghalangi sehingga bintang-bintang berlatar belakang langit hitam itu seperti ratna mutu manikam di taburkan di atas beledu hitam. Bintang-bintang gemerlapan, ada yang berkedap-kedip seperti mata bidadari memberi isarat yang mesra kepada mereka! Suasana sungguh romantis sekali. Kini tempat itu penuh dengan suara marga satwa yang beraneka ragam, akan tetapi suara itu sama sekali tidak mendatangkan kebisingan. Sebaliknya malah, suara itu mengandung irama yang mendatangkan suasana hening penuh rahasia.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar