Ads

Minggu, 11 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 62

Mereka duduk di atas rumput menghadapi api unggun. Mereka dapat saling pandang melalui atas lidah api yang menjilat-jilat, dan muka mereka nampak aneh sekali, berwarna merah dan bergoyang-goyang karena lidah api itu menari-nari dan cahayanya menerangi wajah mereka.

Tiba-tiba Si Kong menyadari keadaan ketika dia merasa perutnya bergerak. Lapar! Baru dia teringat bahwa sejak siang tadi mereka belum makan dan rasa lapar mulai menggerogoti perutnya. Hatinya menjadi bingung dan menyesal mengapa tidak membawa bekal makanan dimalam itu. Tempat minumnya juga hanya terisi air saja!

“Lan-moi, menyesal sekali aku tidak membawa bekal apa-apa. Engkau tentu sudah lapar seperti juga aku.”

Hui Lan memandang kepadanya dari balik api unggun dan gadis itu tersenyum, lalu meraih buntalan pakaiannya yang diletakkan didekatnya.

“Jangan khawatir, Kong-ko. Aku masih ada bekal roti dan daging kering. Akan tetapi air minumku sudah habis.”

“Ah, aku masih mempunyai air minum, Lan-moi!” kata Si Kong dengan gembira.

Mereka membuka buntalan masing-masing. Hui Lan mengeluarkan bungkusan roti dan daging asin, sedangkan Si Kong mengeluarkan tempat air minumnya. Setelah bungkusan di buka, ternyata persediaan roti dan daging asin masih cukup banyak untuk mereka berdua.

“Cuaca begini indah, hawa udara begini hangat, perut begini lapar, roti kering dan daging asin merupakan hidangan yang lezat!” kata Si Kong dan merekapun mulai makan.

Hui Lan juga merasa heran kepada dirinya sendiri. Biasanya, makan roti dan daging asin amat membosankan. Terpaksa ia harus membawa bekal makanan seperti itu karena hanya roti kering dan daging asin dapat bertahan berhari-hari. Makanan seperti membuat ia merasa bosan kalau terpaksa harus memakannya karena ia tiba di tempat yang jauh dari dusun atau kota. Akan tetapi malam ini, makanan roti kering dan ikan asin terasa lezat bukan main!

Makan roti kering dan daging asin mendatangkan haus. Si Kong lalu memberikan tempat airnya kepada Hui Lan.

“Aku tidak mempunyai cawan atau cangkir, minum saja dari mulut guci air itu,” katanya kepada Hui Lan.

“Aku mempunyai sebuah cawan,” kata Hui Lan mengeluarkan cawan perak itu dari buntalannya.

Ia menuangkan air dari guci itu ke dalam cawan, lalu meminumnya. Bahkan air biasa itu terasa segar dan melegakan.

“Tentu saja,”

Hui Lan menyerahkan cawan yang sudah kosong itu dan Si Kong menuangkan air ke dalam cawan lalu meminumnya. Hui Lan memandang dengan kedua pipinya berubah kemerahan. Akan tetapi hal ini tidak nampak oleh Si Kong karena sinar api unggun memang membuat wajah itu sudah kemerahan. Hui Lan merasa sungkan karena Si Kong menggunakan cawan yang bekas diminumnya itu. Akan tetapi karena Si Kong bersikap biasa saja, maka rasa sungkan itu perlahan-lahan lenyap kembali.

“Kong-ko, sekarang ceritakanlah pengalamanmu sampai engkau menjadi murid kakek buyut Ceng Thian Sin di Pulau Teratai Merah.” Kata Hui Lan setelah selesai makan dan minum. “Malam baru saja tiba, masih terlalu sore untuk tidur, maka aku akan senang sekali mendengar riwayatmu sejak engkau kecil.”

Si Kong menarik napas panjang.
“Pengalamanku sejak kecil penuh dengan duka, tidak menarik untuk diceritakan, Lan-moi.”

“Ah, justeru pengalaman yang penuh duka itu yang menarik dan selalu menjadi kenangan, sedangkan pengalaman yang penuh suka mudah dilupakan. Ceritakanlah, Kong-ko, aku suka mendengarkan.”

Hening sejenak ketika Si Kong mengumpulkan ingatannya, mengenang kembali semua pengalamannya sejak kecil yang pantas untuk diceritakan kepada gadis itu.

“Aku dilahirkan di dusun Ki-ceng. Orang tuaku adalah petani yang amat miskin. Musim kering yang berkepanjangan membuat keadaan kami lebih payah lagi. Apalagi yang harus kami makan? Dan ayahku terpaksa menyerahkan enciku kepada Hartawan Lui untuk menyambung nyawa kami sekeluarga. Enciku menjadi selir hartawan itu, akan tetapi ia seperti dipenjara, tidak pernah dapat menjenguk atau menolong kami sekeluarga. Karena kelaparan hampir melumpuhkan kami, kakakku Si Leng nekat memanjat pagar tembok rumah Hartawan Lui untuk mencari enci Kiok Hwa agar enciku dapat membantu. Akan tetapi dia ketahuan tukang-tukang pukul hartawan itu dan dia dipukuli sampai mati.”






Si Kong berhenti sebentar untuk mengambil napas panjang. Kenangan akan semua itu mendatangkan perasaan duka didalam hatinya.

“Menyedihkan sekali, Kong-ko. Ketika hal itu terjadi, berapakah usiamu?”

“Aku baru berusia sepuluh tahun, hanya dapat membantu ayah di sawah, akan tetapi dengan adanya musim kering seperti itu, apa yang dapat dilakukan para petani miskin?”

“Aku dapat mengerti, Kong-ko, lalu bagaimana kelanjutan ceritamu?”

“Agaknya Tuhan belum menghentikan cobaan yang menimpa diriku. Dusun kami dilanda wabah penyakit yang amat ganas. Sore sakit, pagi mati dan pagi sakit sore mati. Keluarga kami yang tinggal ayah ibu dan aku seorang, tidak luput dari amukan wabah penyakit itu. Ayah dan ibu terkena dan mereka meninggal dunia dalam waktu yang berdekatan.”

“Ahhh…..!”

Tanpa disadarinya kedua mata Hui Lan menjadi basah ketika ia memandang kepada Si Kong penuh rasa haru dan iba.

Si Kong menarik napas panjang beberapa kali untuk menekan perasaan dukanya, kemudian dia melanjutkan ceritanya dan suaranya sudah terdengar tenang.

“Kami mengubur jenazah ayah dan ibu. Ketika semua orang pulang aku tinggal sendiri di dekat makam. Habis sudah semuanya, tidak ada yang tertinggal lagi. Ayah ibu dan saudaraku telah meninggal. Yang ada hanya enci Kiok Hwa, akan tetapi ia terkurung di rumah gedung sehingga kematian ayah ibupun tidak terdengar olehnya. Sawah dan rumah sudah dijual untuk biaya pemakaman ayah dan ibu. Karena sedih dan kelaparan, ditambah ditimpa hujan lebat malam itu, tidak terasa olehku aku roboh pingsan dimakam ayah dan ibu.”

“Ah, kasihan kau…. Kong-ko…. !” Kini dari kedua mata Hui Lan jatuh menetes dua butir air mata di atas pipinya.

“Agaknya Tuhan menaruh kasihan kepadaku. Pada keesokan paginya guruku yang pertama menemukan aku menggeletak pingsan di makam itu. Guruku yang pertama itu adalah Yok-sian Lo-kai. Setelah menolongku, suhu lalu menolong para penduduk dusun yang dilanda wabah penyakit, dan memberi tahu bagaimana cara mengobati orang-orang yang terkena wabah. Bukan itu saja, suhu lalu mengunjungi para hartawan, merobohkan semua tukang pukulnya dan menasihati para hartawan sambil mengancam agar para hartawan tidak bersikap pelit dan masa bodoh terhadap kemiskinan para petani dan suka membantu mereka agar tidak sampai kelaparan.”

“Aku sudah mendengar dari ayah ibuku tentang Yok-sian Lo-kai yang sakti dan budiman itu,” kata Hui Lan sambil mengusap pipinya yang basah. “Semenjak itu engkau menjadi murid Yok-sian Lo-kai?”

“Benar, aku dilatih ilmu silat dan suhu juga mengajarkan cara pengobatan sambil merantau sampai lima tahun lamanya. Dalam perantauan itu, kami berdua bertemu dengan Tung-hai Liong-ong.”

“Hemm, majikan Pulau Tembaga yang terkenal sebagai datuk sesat itu?”

“Benar, suhu bentrok dengan Tung-hai Liong-ong ketika suhu membela Hek I Kaipang, dan mereka bertanding. Tung-hai Liong-ong dapat dikalahkan dan terusir pergi, akan tetapi suhu sendiri menderit luka parah yang beracun. Suhu ingin menyendiri dan beliau meninggalkan aku agar hidup seorang diri. Ketika itu usiaku sudah lima belas tahun. Walaupun aku sedih dan kecewa ditinggalkan suhu, akan tetapi aku tidak putus harapan dan melanjutkan hidupku dengan bekerja sebagai kuli atau buruh kasar. Biarpun aku dapat membaca dan menulis berkat ajaran Yok-sian Lo-kai, akan tetapi aku tidak mempunyai pengalaman. Dengan uang hasil kerjaku, aku membeli pakaian, tidak lagi berpakaian pengemis seperti ketika aku ikut suhu Yok-sian Lo-kai.”

“Ceritamu menarik sekali, Kong-ko. Lanjutkanlah.”

“Apakah engkau tidak lelah dan mengaso?”

“Malam belum larut dan aku tidak mengantuk. Teruskan ceritamu, Kong-ko. pengalamanmu menarik sekali!”

Si Kong tersenyum. Tentu saja dia hanya dapat menceritakan hal-hal yang penting saja.

“Pada suatu hari, secara kebetulan aku bertemu dengan guruku yang kedua.”

“Siapakah dia, Kong-ko?”

“Dia adalah seorang sastrawan she Kwa, suka disebut Kwa Siucai (Sastrawan Kwa) atau juga di sebut Penyair Gila.”

“Ah, aku pernah mendengar tentang Penyair Gila itu dari ayah. Kata ayah, biarpun disebut Penyair Gila, sebetulnya dia sama sekali tidak gila dan dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali.”

“Kepandaian manusia itu terbatas, Lan-moi. Bagaimana bisa tinggi sekali? Malam hari itu aku, mengikuti Kwa Siucai merantau. Suhuku yang kedua ini berbeda dengan suhuku yang pertama. Kalau Lok-sian Lo-kai lebih suka mengemis daripada mencuri, sebaliknya Kwa Siucai lebih suka mencuri harta para hartawan yang terkenal pelit, lalu membagikan hasil curiannya itu dan menyimpan sebagian kecil untuk biaya hidup kami. Aku belajar ilmu kepadanya selama dua tahun dan tiba-tiba saja guruku yang kedua inipun meninggalkan aku karena ingin mengundurkan diri dan menjadi pertapa.”

“Wah, dalam usia tujuh belas tahun engkau telah menjadi murid dua orang guru yang sakti. Nasibmu baik sekali, Kong-ko. apalagi setelah itu engkau diambil murid kong-couw (kakek buyut). Bagaimana ceritanya sampai engkau dapat menjadi murid kong-couw, Kong-ko?”

“Peristiwa itu terjadi di Bukit Iblis. Karena aku mengintai pertandingan antara tokoh-tokoh sesat, aku ketahuan oleh pemenang pertandingan itu, yaitu Twa Ok dan Ji Ok.”

“Ah, dua orang datuk besar golongan sesat dari Barat itu? Ayah pernah menceritakan tentang mereka.”

“Benar, mereka adalah dua orang datuk besar yang kejam sekali. Mereka lalu berlumba untuk membunuhku! Melawan seorang saja dari mereka aku tidak akan menang, apalagi mereka maju berbareng untuk membunuhku. Pada saat yang amat gawat itu muncullah suhuku yang ketiga, yaitu Ceng Lojin. Beliau menandingi dua orang datuk itu, mengalahkan mereka sehingga mereka melarikan diri. Semenjak saat itu, aku diambil murid dan diajak ke Pulau Teratai Merah dan selama tiga tahun aku diajar ilmu-ilmu yang amat sulit oleh suhu.”

“Dan dua orang datuk itu bersama Bu-tek Ngo-sian datang ke Pulau Teratai Merah untuk menantang Kong-couw?” tanya Hui Lan.

Si Kong menarik napas panjang.
“Benar, dan aku merasa menyesal sekali bahwa suhu walaupun dapat mengusir mereka, telah mempergunakan terlampau banyak tenaga sehingga terluka dalam pula. Aku merasa menyesal mengapa suhu melarangku untuk membantunya ketika dikeroyok tujuh orang yang lihai.”

“Tidak perlu disesalkan lagi, Kong-ko. Mungkin kong-couw merasa malu kalau harus minta bantuan muridnya, dan kenyataannya dia memang dapat mengusir tujuh orang musuhnya. Ah, kalau saja aku dapat bertemu dengan Toa Ok dan Ji Ok dan kelima Bu-tek Ngo-sian, tentu akan kutantang dan kuhadapi mereka!”

“Kuharap engkau menyadari benar bahwa balas membalas dan dendam mendendam adalah ulah napsu yang amat membahayakan diri sendiri, Lan-moi. Kalau kelak aku berhadapan sebagai musuh tujuh orang itu, maka tentu bukan karena hendak membalas dendam, melainkan karena mereka melakukan perbuatan jahat yang harus kutentang. Tentu hal ini sudah engkau ketahui dari ayah ibumu.”

Hui Lan mengangguk.
“Memang, ayah selalu mengatakan demikian, akan tetapi kalau aku ingat betapa Kong-couw yang usianya sudah amat tua itu mereka keroyok, hatiku menjadi panas sekali.”

“Hati boleh panas akan tetapi kepala harus tetap dingin, Lan-moi, karena segala tindakan kita diatur oleh pikiran dalam kepala kita. Nah, aku sudah menceritakan semua, sekarang harap engkau mengaso. Sudah kutaburi dengan rumput kering disana, dapat kau pakai untuk tidur.”

“Dan engkau sendiri?”

“Biarlah aku yang menjaga agar api unggun tidak sampai padam.”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar