Ads

Minggu, 11 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 63

“Aih, bagaimana aku dapat tidur kalau begitu? Akui tidur nyenyak dan engkau berjaga seorang diri disini? Biarlah engkau saja yang mengaso dan tidur, aku yang menjaga api unggun.”

“Engkau menyuruh aku melakukan sesuatu yang tidak mungkin, Lan-moi! Semua orang akan mentertawakan aku kalau mendengar bahwa aku menyuruh seorang gadis berjaga malam sedangkan aku sendiri tidur mendengkur! Sudah sepantasnya kalau aku sebagai laki-laki mengalah. Tidurlah dan aku dengan senang hati akan menjaga api unggun ini agar tidak padam.”

“Baiklah, Kong-ko. Akan tetapi kau harus berjanji akan membangunkan aku setelah lewat tengah malam agar aku dapat menggantikan engkau berjaga.”

“Baik, Lan-moi.”

Hui Lan meratakan daun kering yang menutupi rumput basah, kemudian membaringkan tubuhnya membelakangi Si Kong dan api unggun. Karena ia memang sudah lelah sekali, maka sebentar saja ia sudah tidur. Si Kong mengetahui bahwa gadis itu telah tidur pulas. Pernapasan gadis itu panjang dan lembut, tanda bahwa ia sudah tidur.

Kini dengan leluasa Si Kong dapat memandangi gadis itu. Wajahnya tidak nampak karena ia membelakangi api unggun, akan tetapi ia dapat melihat kulit tengkuk yang putih mulus itu, dan melihat bentuk tubuh yang ramping dan padat itu. Alangkah cantiknya ia, sukar mendapatkan gadis secantik Hui Lan, demikian dia mendengar bisikan di telinganya.

“Lihat betapa montok pinggulnya, dan betapa halus mulus kulit lehernya. Pinggangnya demikian ramping, jari-jari tangannya demikian mungil,” bisikan itu melanjutkan.

“Akan tetapi sungguh tidak sopan memandangi tubuh seorang gadis yang sedang tidur!” suara lain dari hatinya mencela suara yang datang dari kepala itu.’

“Hah, apanya yang tidak sopan? Sudah jamak laki-laki memperhatikan dan mengagumi perempuan, dan disini tidak ada siapa-siapa lagi, tidak ada yang melihatnya. Mungkin iapun tertarik kepadamu. Sinar matanya begitu lembut kalau memandangmu, dan bibirnya…. ahhh, bukankah bibir itu menantangmu untuk kau cium…?” suara kepala membujuk.

“Keparat! Kau sungguh tidak tahu malu! Dimana kesopananmu? Dimana kegagahanmu? Usirlah keinginan yang bukan-bukan dari pikiranmu!” suara hatinya membentak.

Pikirannya mentertawakannya.
“Jangan pura-pura alim! Sejak tadi engkau sudah ingin mencumbunya. Kalian hanya berdua saja di tempat yang sunyi ini. Hanya kalian berdua! Dan lupakah engkau betapa mancung hidung itu, betapa bibir itu merah segar dan selalu mengharapkan cumbuan darimu?” Bisikan itu sayu-sayu saja dan seolah terdengar dibelakang kepalanya.

“Iblis!” Tiba-tiba dia memutar tubuhnya.

“Desss….!” Batang pohon yang berada dibelakangnya itu terkena pukulannya dan runtuhlah semua daun kering dan setengah kering. “Pergi kau, iblis!”

Si Kong merasa betapa kepalanya berdenyut dan panas. Dia harus dapat menentang dan mengusir bisikan iblis, napsunya sendiri itu. Dia termenung dan teringat akan wejangan dari guru-gurunya.

“Napsu itu sifatnya seperti api,” demikian kata Si Penyair Gila. “Kalau dapat dikendalikan dia akan menjadi pembantu yang bermanfaat sekali bagi kehidupan, bahkan tanpa api orang akan hidup tidak normal. Akan tetapi sekali engkau membiarkan dia merajalela dia akan membakar seluruh hutan dengan lahapnya!”

Si Kong mengerti bahwa yang berbisik tadi adalah nafsu yang memenuhi pikirannya dengan bayangan-bayangan yang menyenangkan sedangkan yang membantah dan mengingatkannya adalah jiwanya yang murni. Dia teringat akan ujar-ujar dari Nabi Khong-cu dalam kitab Tiong Yong dan diapun berbisik lirih mengulang ujar-ujar itu.

Hi Nouw Ai Lok Ci Bi Hoat,
Wi Ci Tiong.
Hwat Ji Kai Tiong Ciat,
Wi Ci Ho.
Tiong Ya Cia,
Thian He CiTai PunYa.
Ho Ya Cia,
Thian He CiTatToYa.






“Sebelum timbul rasa senang, marah, duka dan suka, maka hati, akal pikiran berada dalam Keadaan Seimbang. Apabila dapat mengendalikan bermacam perasaan itu, hati, akal pikiran berada Keadaan Selaras. Keadaan Seimbang itu adalah Pokok Terbesar dari dunia. Sedangkan Keadaan Selaras adalah Jalan Utama dari dunia.”

Si Kong termenung dan mencoba untuk menguraikan ujar-ujar itu. Perasaan susah, senang, marah, benci dan sebagainya adalah ulah nafsu. Kalau seseorang belum dikuasai nafsu-nafsu ini, maka dia adalah seorang yang berimbang atau lurus, tidak miring. Akan tetapi begitu nafsu menguasainya dan perasaan-perasaan itu memasukinya, maka pertimbangannya menjadi miring. Manusia menjadi jahat kalau sudah dikuasai nafsu. Akan tetapi kalau dia dapat mengendalikannya, maka diapun akan tetap menjadi majikan dari nafsunya dan keadaannya menjadi selaras.

Nafsu telah berada dalam diri manusia sejak dia lahir di dunia. Nafsu inilah yang membuat manusia dapat hidup di dunia. Nafsu inilah yang membuat manusia hidup seperti sekarang ini, memperoleh kemajuan, ada gairah hidup dan semangat. Nafsu menjadi peserta manusia yang teramat penting sehingga manusia dapat hidup di dunia dengan bahagia. Nafsu menjadi hamba yang amat baik.

Akan tetapi jangan sekali-kali membiarkan nafsu merajalela. Kalau begitu halnya, nafsu memperbudak kita, membelenggu kita dan membuat kita menuruti segala kehendaknya. Nafsu akan menjadi majikan dan kalau dia menjadi majikan, dia menjadi majikan yang menyeret kita ke dalam kehancuran.

Si Kong menghela napas panjang. Samar-samar dia masih dapat mendengar suara yang membujuknya tadi pergi sambil menyumpah-nyumpah. Untung jiwanya kuat, pikirnya. Kalau tidak, tentu dia akan menjadi budak nafsu dan menuruti semua bujukannya. Dia merasa ngeri!

Kalau tadi dia membiarkan diri dicengkeram nafsu dan melakukan semua perbuatan keji terhadap Hui Lan, alangkah ngerinya itu, alangkah besar penyesalannya dan hebat akibatnya. Dia bergidik. Dia tadi sudah berada di mulut jurang. Dia harus berhati-hati. Inilah yang dikatakan para arif bijaksana bahwa musuh yang paling besar adalah nafsu-nafsunya sendiri yang berada di dalam diri. Dikatakan pula bahwa mengalahkan musuh adalah gagah, akan tetapi mengalahkan nafsunya sendiri adalah bijaksana!

Si Kong teringat akan sajak yang amat disuka oleh Kwa Siucai, yang diambil dari Kitab To-tek-keng. Dengan lirih diapun bersenandung, seperti yang dilakukan oleh gurunya yang kedua, Si Penyair Gila.

“Kata-kata yang jujur tidak bagus,
kata-kata yang bagus tidak jujur.
Si cerdik tidak membual,
si pembual tidak cerdik.
Orang yang tahu tidak sombong,
orang yang sombong tidak tahu.
Orang suci tidak menyimpan,
dia menyumbang sehabis-habisnya,
akan tetapi makin menjadi kaya,
dia memberi sehabis-habisnya.
Jalan yang ditempuh Langit
menguntungkan, tidak merugikan.
Jalan yang ditempuh orang suci
memberi, tidak merebut.”

Malam semakin larut. Suasana hening sekali walaupun dalam keheningan itu penuh dengan suara-suara margasatwa, kadang-kadang diseling suara api membakar kayu kering, berkerotokan. Si Kong yang mengamati diri sendiri merasakan betapa bujukan seperti tadi tidak ada lagi, sedikitpun tidak ada bekasnya. Hal ini terjadi karena pikirannya sibuk dengan ujar-ujar tadi.

Jadi jelaslah bahwa pikiran, ingatan, yang menjadi penggoda manusia. Segala perbuatan diawali dengan pemikiran yang bergelimang nafsu sehingga lahirlah perbuatan-perbuatan yang hanya mementingkan diri mencari kesenangan sendiri saja. Demi mencapai kesenangan yang dikehendaki, orang tidak segan melakukan segala macam kejahatan yang merugikan orang lain.

Si Kong menghela napas dan menengadah.
“Ya Tuhan, berilah kekuatan pada hamba untuk mengekang dan mengendalikan nafsu,” dia berbisik lalu menyibukkan diri dengan menambah kayu bakar pada api unggun.

Tanpa dirasakannya, malam telah larut dan hawa udara makin dingin menyusup tulang. Bahkan api unggun tidak cukup kuat untuk menghangatkan udara. Dia melihat betapa Hui Lan tidur miring dengan kedua kaki terlipat. Kasihan, pikir Si Kong, ia kedinginan.

Dia lalu membuka buntalannya dan mengeluarkan sehelai kain lebar yang biasa dipakainya untuk melindungi tubuhnya dari serangan hawa dingin. Dengan perlahan-lahan dan hati-hati agar jangan membangunkan gadis yang sedang tidur nyenyak itu dia menyelimuti Hui Lan. Kemudian dia duduk kembali dekat api unggun. Kini dia duduk bersila dan memejamkan matanya. Mata dan tubuhnya perlu beristirahat, akan tetapi kepekaannya tetap menjaga. Sedikit suara saja akan terdengar olehnya dan akan membuatnya terjaga. Juga kalau api unggun mengecil, akan terasa olehnya.

**** 63 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar