Ads

Minggu, 11 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 64

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Si Kong sudah bangun. Suara burung-burung yang berkicau riang gembira membangunkannya. Setelah menambah kayu bakar pada api unggun untuk menghangatkan hawa udara yang masih dingin sekali, dia lalu mencari sumber air di hutan terdekat. Akhirnya dia menemukan sumber air yang memancur dari celah-celah batu. Bukan main girang rasa hatinya. Cepat dia membersihkan tubuhnya dan dengan wajah dan rambut masih basah dan meneteskan air, dia kembali ke padang rumput.

Ternyata Hui Lan sudah bangun. Bajunya agak kusut dan rambutnya awut-awutan, sebagian gelung rambutnya terlepas. Si Kong memandang dan terpesona. Dalam keadaan bangun tidur seperti itu, Hui Lan nampak lebih menarik!

“Ah, engkau sudah bangun, Lan-moi?”

“Kong-ko, ini kepunyaanmukah?” Ia mengambil selimut yang sudah dilipatnya dengan baik

Si Kong hanya mengangguk dan menerima selimut itu ketika gadis itu menyodorkannya.

“Kong-ko engkau tidak membangunkan aku, bahkan menyelimutiku. Aku enak-enak tidur semalam suntuk dan kau berjaga sampai pagi! Sungguh engkau membuat aku merasa malu. Kenapa engkau tidak menggugahku untuk menggantikanmu berjaga?”

“Aku tidak tega menggugahmu, Lan-moi. Dan pula, akupun sudah beristirahat. Bahkan aku telah membersihkan badan di sumber air di hutan itu.” Dia menunjuk ke kanan. “Disana ada pohon yang tertinggi. Nah, disamping pohon itu terdapat batu-batu besar dan sumber air itu memancur keluar dari celah-celah batu besar.”

“Ah, baik sekali! Biar aku membersihkan badan dan berganti pakaian.”

Hui Lan lalu mengambil satu setel pakaian dan berlari kecil menuju ke hutan yang ditunjuk oleh Si Kong.

Si Kong memandang dan tersenyum. Alangkah indahnya pagi ini. Kicau burung menggantikan suara marga satwa yang sudah tidak berbunyi lagi. Kicau burung yang amat meriah dan terdengar merdu sekali. Jarang Si Kong merasakan pagi secerah dan seindah ini. Ada rasa bahagia menyelinap di dalam hatinya. Begini bahagia dan nikmatnya hidup, dia termenung dan bangkit berdiri, menghirup napas yang panjang dan dalam sampai terasa hawa murni memasuki bawah pusar.

Dia merasa tubuhnya demikian segarnya sehingga tanpa disadari dia telah berlatih silat! Dia mainkan delapan jurus Hok-liong-sin-ciang, mula-mula dengan lambat sambil mengerahkan tenaga sin-kangnya, kemudian makin lama semakin cepat dan diapun mengubah ilmu silatnya, kini mainkan Yan-cu Hui-kun (Silat Burung Walet Terbang) dan tubuhnya sudah tidak kelihatan jelas lagi saking cepatnya dia bergerak. Hanya nampak bayangannya saja berkelebatan seperti seekor burung walet menyambar-nyambar.

Setelah jurus terakhir dia mainkan dan kini tubuhnya tidak bergerak lagi dalam posisi kedua lengan rapat di tubuh dan kedua kaki sejajar tegak, jurus penutupan yang disebut jurus “Burung Walet Beristirahat” tiba-tiba dari belakangnya terdengar suara orang memuji dan bertepuk tangan.

Si Kong seperti baru sadar dari mimpi. Ketika dia membalikkan tubuhnya, dia melihat Hui Lan sudah berdiri di depannya dan gadis ini bertepuk tangan memuji.

“Bagus sekali ilmu silatmu tadi, Kong-ko. Begitu cepatnya gerakanmu!”

Si Kong merasa terpesona. Hui Lan sudah mengenakan pakaian pengganti, rambutnya masih agak basah dan dibiarkan terjurai agar cepat kering, wajahnya yang tanpa bedak atau gincu itu nampak segar berseri, putih kemerahan. Dengan rambut terurai seperti itu, di bawah sinar matahari yang cerah, ia kelihatan seperti seorang Dewi dari Langit! Akan tetapi dia segera dapat menguasai dirinya, dan sambil tersenyum berkata merendah.

“Ah, Lan-moi, betapa cepatpun gerakanku, masih tidak mampu menandingimu.”

“Pujianku tidak kosong belaka, Kong-ko. Ilmu silat tangan kosong yang kau latih tadi sungguh hebat gerakannya. Demikian cepatnya. Ilmu silat apakah itu, Kong-ko? Apakah engkau mempelajarinya dari kong-couw? Aku tahu bahwa kong-couw memiliki banyak ilmu silat yang luar biasa.”

“Bukan dari suhu Ceng Lojin, Lan-moi. Ilmu silat itu disebut Yan-cu Hui-kun (Silat Burung Walet Terbang) dan aku mempelajarinya dari Si Penyair Gila.”

“Ah, pantas aku belum pernah melihatnya. Engkau beruntung mendapatkan banyak guru yang sakti, Kong-ko. Aku percaya bahwa dari kong-couw engkau tentu telah mempelajari ilmu-ilmu yang langka dan lihai. Engkau tentu telah mempelajari ilmu simpanan kong-couw!” Dalam suara itu terkandung nada iri.






“Aku hanya mempelajari dua macam ilmu dari suhu Ceng Lojin,” kata Si Kong terus terang.

“Ilmu apa sajakah yang kau pelajari dari Pulau Teratai Merah? Aku ingin sekali mengetahui, Kong-ko.”

“Hanya dua macam, yaitu Hok-liong Sin-ciang dan Thi-ki-i¬beng.”

“Wah, dua macam ilmu yang paling sulit di dunia, kata nenekku. Bahkan nenek sendiri sebagai anak kakek buyut tidak diberi pelajaran Thi-ki-i-beng!” seru Hui Lan dengan kagum sekali. “Dan kata ibuku, ilmu silat Hok-liong Sin-ciang merupakan ilmu yang sulit dipelajari.”

“Memang sesungguhnya begitu, Lan-moi. Ilmu silat itu hanya terdiri dari delapan jurus, akan tetapi untuk menguasai ilmu itu dengan baik, aku harus berlatih tekun selama dua tahun! Dan ternyata setiap jurus ilmu itu dapat dikembangkan menjadi puluhan macam gerakan, tergantung dari bakat dan naluri si murid.”

Hui Lan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Wah, begitu sulit? Dan yang tadi kau mainkan kau peroleh dari Si Penyair Gila. Ilmu apa saja yang kau pelajari darinya, Kong-ko? atau, ini merupakan rahasia pribadi yang tidak boleh diketahui orang lain?”

Si Kong tersenyum.
“Terhadap orang lain memang aku harus merahasiakan, akan tetapi engkau bukan orang lain, malah cucu buyut suhu Ceng Lojin, maka aku berterus terang saja padamu. Dari Suhu Kwa Siucai itu aku mempelajari Yan-cu Hui-kun, ilmu silat yang tadi kumainkan dan ilmu meringankan tubuh Liok-te Hui-teng (Lari Terbang Diatas Bumi).”

“Pantas ilmu meringankan tubuh yang kau kuasai demikian hebat. Dan dari Yok-sian Lo-kai, engkau mempelajari apa sajakah?”

“Dari suhu Yok-sian Lo-kai aku mempelajari ilmu tongkat Taw-kauw Sin-tung (Tongkat Sakti Pemukul Anjing), ilmu pengobatan dan juga ilmu mengemis.”

“Ilmu mengemis?” tanya Hui Lan terbelalak heran dan geli.

“Ya, ilmu mengemis. Mengemispun ada ilmunya, Lan-moi. Ada orang mengemis secara kasar dan menakut-nakuti. Adapula yang mengemis dengan cara berpura-pura buta, lumpuh dan sebagainya. Mengemis seperti itu tidak baik, membuat orang yang dimintai sumbangan menjadi kecewa atau marah. Ilmu mengemis adalah cara mengemis yang wajar, dilakukan karena terpaksa oleh keadaan dan kebutuhan sehingga yang dimintai sumbangan merasa iba hati dan menolong sepenuh hati dan rela. Inilah yang kumaksudkan dengan ilmu mengemis.”

Hui Lan menggeleng-geleng kepalanya dan memandang kepada pemuda itu dengan kagum.

“Wah, banyak sekali pengalaman hidup yang kau peroleh, disamping ilmu-ilmu yang tinggi. Sekarang aku hendak menguji ilmu-ilmu tadi, Kong-ko. engkau tidak berkeberatan memberi sedikit petunjuk kepadaku, bukan?”

“Wah, aku mengaku kalah saja, Lan-moi. Aku tidak berani melawanmu.”

“Ini bukan pertandingan kalah atau menang, Kong-ko. Hanya untuk menguji ilmu masing-masing. Kalau engkau menolak kuanggap engkau memandang rendah kepadaku dan aku akan merasa kecewa dan marah kepadamu. Nah, pergunakanlah tongkatmu itu, aku ingin mencoba ilmu tongkatmu.”

“Kita tidak bertanding mengapa harus menggunakan senjata? Kalau engkau memaksa, marilah kita latihan sebentar dengan tangan kosong saja.”

“Hemm, bertangan kosong dan menggunakan senjata, apa bedanya? Kalau sudah menguasai ilmu dengan baik, senjata dapat ditahan sebelum mengenai tubuh lawan. Akan tetapi karena engkau menghendaki latihan dengan tangan kosong, baiklah. Marilah kita berlatih ilmu silat tangan kosong. Engkau pergunakanlah Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Menalukkan Naga) yang hebat itu, agar mataku terbuka dan pengetahuanku bertambah.”

“Baik, Lan-moi,” kata Si Kong sambil berdiri tegak di depan gadis itu.

“Awas, Kong-ko, aku mulai menyerangmu!” gadis itu berseru dan tubuhnya sudah meloncat ke depan dan mengirim serangan yang cepat sekali dan pukulannya mendatangkan angin menderu!

Si Kong terkejut dan kagum, maklum bahwa gadis itu mainkan ilmu silat tangan kosong yang amat hebat, maka diapun tidak berani memandang rendah. Dia benar-benar bersilat dengan ilmu Hok-liong Sin-ciang, mengelak dan mencari kesempatan untuk balas menyerang. Akan tetapi tiba-tiba tubuh gadis itu berputar dan kedudukannya sudah beralih ke sebelah kiri Si Kong sambil menyerang lagi dengan pukulan tangan miring! Si Kong terpaksa menangkis dengan lengan kirinya.

“Dukk!”

Dua buah lengan bertemu dan Si Kong merasa betapa lengannya tergetar sedangkan Hui Lan juga terpaksa melangkah ke belakang karena tubuhnya terdorong hebat. Keduanya maklum bahwa tenaga sin-kang lawan amat kuat.

Sebelum Si Kong dapat menemukan lowongan, kembali tubuh Hui Lan berkelebat ke kanan kiri, bahkan memutari dirinya, membuat Si Kong kagum sekali. Ternyata gadis ini menggunakan ilmu silat Ciu-sian Cap-pek-ciang (Silat Dewa Mabok Delapanbelas Jurus) dan iapun menggunakan langkah ajaib Jiauw-pou Poan-san. Langkah kedua kakinya ini aneh sekali, akan tetapi amat membingungkan bagi lawan karena langkah-langkah yang berubah-ubah itu membuat tubuhnya berkelebatan ke kanan kiri membingungkan.

Si Kong merasa kagum bukan main dan diam-diam dia harus mengakui bahwa kalau dia tidak mahir ilmu Hok-liong Sin-ciang, tentu dia akan kalah. Biarpun ilmu tangan kosong Yan-cu Hui-kun yang amat cepat itupun akan sulit menghadapi ilmu silat gadis ini.

Namun Hok-liong Sin-ciang adalah dasar ilmu-ilmu silat tinggi. Dengan tegap Si Kong mengatur langkahnya dan memainkan kedua lengannya sedemikian rupa sehingga Hui Lan tidak melihat lowongan untuk menyerang, seolah tubuh pemuda itu telah dilindungi oleh perisai baja yangmenghalangi setiap pukulan lawan.

Karena langkah-langkah gadis itu luar biasa dan membingungkan, Si Kong juga tidak tahu bagaimana mengalahkan gadis itu. Padahal, mereka sudah saling serang selama limapuluh jurus lebih. Daun-daun yang berdekatan terlepas dari tangkainya dan berguguran terkena hawa pukulan mereka.

“Hemm, kalau aku mengalah, Lan-moi tentu akan mengetahuinya dan menganggap aku meremehkannya. Akan tetapi untuk mengalahkannya tanpa melukai, sungguh amat sukar,” demikian pikir Si Kong dan tiba-tiba dia teringat akan ilmunya Thi-ki-i-beng.

Hanya ilmu itulah yang kiranya akan dapat membantunya mengalahkan Hui Lan tanpa melukainya. Ketika sebuah pukulan Hui Lan menyambar ke arah lehernya, dia membuat gerakan miring dan sengaja membiarkan pundak terkena pukulan tangan miring itu.

“Plakk!”

Pukulan itu mengenai pundak dan tiba-tiba saja Hui Lan berseru kaget. Tangan kirinya yang memukul melekat pada pundak pemuda itu dan ia merasa betapa tenaga sin-kangnya menerobos keluar!

Hui Lan mengerahkan tenaganya untuk melepaskan tangannya, namun makin kuat ia mengerahkan tenaga sin-kangnya, makin kuat pula pundak itu menyedot sin-kangnya. Tiba-tiba Si Kong melepaskan ilmunya dan berbareng mendorong tubuh gadis itu terlontar ke belakang. Hui Lan membuat gerakan jungkir balik empat kali yang indah sekali dan ia turun ke atas tanah dengan tegak.

“Hebat bukan main caramu pok-sai (jungkir balik) itu, Lan-moi. Ternyata ginkangmu juga sudah mencapai tingkat tinggi.”

“Kong-ko, yang tadi itu, Thi-ki-i-beng?” tanyanya kagum.

“Benar, Lan-moi. Karena aku bingung bagaimana untuk dapat mengalahkanmu, maka aku terpaksa menggunakan Thi-ki-i-beng. Maafkan aku, Lan-moi.”






Tidak ada komentar:

Posting Komentar