Ads

Minggu, 11 November 2018

Pendekar Kelana Jilid 65

“Kenapa mesti minta maaf? Aku girang engkau menggunakan Thi-ki-i-beng sehingga aku mengenal kehebatannya. Padahal, kalau engkau tidak ragu dan banyak mengalah, dengan Hok-liong Sin-ciang itupun aku pasti kalah. Sekarang, agar aku merasa puas, pergunakan tongkatmu, Kong-ko. Aku akan menggunakan sepasang Hok-mo Siang-kiam!”

Setelah berkata demikian, Hui Lan mencabut sepasang pedangnya dan dua sinar gemilang ketika sepasang pedang itu telah berada di kedua tangannya.

Si Kong tidak dapat menolak lagi. Gadis itu bersikap jujur dan terus terang, dapat menerima kekalahannya dengan wajar. Dia mengambil tongkat bambunya dan melintangkan tongkat bambunya di depan dada.

“Kong-ko,” kata Hui Lan dengan nada suara ragu. “Engkau perlu mengetahui bahwa sepasang pedangku ini adalah Hok-mo Siang-kiam yang amat tajam dan kuat, mudah membuat patah pedang atau golok lawan. Sedangkan engkau hanya bersenjata tongkat bambu, ini tidak seimbang sama sekali. Sekali bentur tongkatmu tentu akan patah.”

Si Kong tersenyum.
“Jangan khawatir dan ragu, Lan-moi. Suhu Yok-sian Lo-kai tidak pernah menggunakan senjata lain kecuali tongkat bambu. Akan tetapi belum pernah tongkat bambunya dipatahkan senjata lawan. Aku akan berusaha agar tongkat bambuku ini tidak sampai patah oleh sepasang pedangmu.”

“Baik, Kong-ko. Awas seranganku!”

Hui Lan mulai menggerakkan sepasang pedangnya. Demikian cepat gerakan pedang gadis ini sehingga bentuk pedang lenyap berubah menjadi dua gulung sinar kebiruan seperti sepasang naga bermain-main diangkasa.

Ilmu pedang Hok-mo Siang-kiam ini dahulu menjadi andalan Toan Kim Hong atau Lam Sin (Sakti dari Selatan) yang menjadi isteri kakek CengThian Sin. Ilmu ini diwariskan kepada Ceng Sui Cin yang kemudian mewariskannya pula kepada anaknya, Cia Kui Hong yang kemudian menyerahkan pula kepada Tang Hui Lan.

Nenek Toan Kim Hong yang memiliki sepasang pedang lalu mempersatukan ilmu-ilmu pedang yang dikenalnya, dirangkai dan diambil bagian terpenting dan terlihai sehingga ia memiliki ilmu pedang rangkaian sendiri yang diberi nama sama dengan pedangnya, yaitu Hok-mo Siang-kiam. Maka jadilah ilmu pedang pasangan yang amat dahsyat seperti yang dimainkan Hui Lan sekarang ketika ia menyerang Si Kong.

Si Kong terkejut dan mengelak dengan cepat. Dia kagum sekali ketika Hui Lan menyerangnya secara bertubi-tubi dengan kedua pedangnya.

“Ilmu pedang yang hebat!” dia berseru dan dia sudah memainkan tongkatnya dengan ilmu tongkat Ta-kauw Sin-tung.

Tubuhnya melesat ke sana-sini menyelinap diantara gulungan sinar pedang yang kebiruan itu. Biarpun ilmu tongkat ini hebat dan menjadi rajanya semua ilmu tongkat, akan tetapi kalau bukan Si Kong yang memainkannya, belum tentu akan dapat menandingi kehebatan Hok-mo Siang-kiam. Akan tetapi di tangan Si Kong, tongkat itu menjadi aneh sekali dan begitu diputar mengeluarkan angin dahsyat. Hebatnya, tongkat bambu itu berkali-kali membentur sepasang pedang dan sama sekali tidak menjadi patah atau putus! Dan terbentuklah gulungan sinar kuning kehijauan dari tongkat itu mengimbangi gulungan sinar sepasang pedang.

Hampir seratus jurus berlalu tanpa ada yang nampak kalah atau menang. Ketika Si Kong kelihatan agak mengendur, Hui Lan menggunting dengan sepasang pedangnya ke arah pinggang Si Kong. serangan ini hebat sekali dan agaknya sekali ini Si Kong tidak akan dapat menghindarkan dirinya lagi.

Akan tetapi, dengan ilmu Liok-te Hui-teng, tubuhnya melesat ke atas sehingga guntingan sepasang pedang itu luput dan pada saat itu Hui Lan merasa betapa rambut dikepalanya dijamah sesuatu dan seketika tali pengikat rambutnya yang belum digelung itu lepas dan rambutnya menjadi awut-awutan dan berkibar-kibar.

Hui Lan cepat meloncat ke belakang. Ia melihat Si Kong sudah turun pula dan di ujung tongkatnya terdapat pita yang tadi mengikat rambutnya. Gadis itu memandang kagum. Tentu saja kalau pita rambutnya dapat diambil oleh tongkat Si Kong, berarti ia kalah. Mengambil pita rambut itu dapat saja diubah menjadi pukulan atau totokan pada kepalanya!

“Ilmu tongkatmu juga hebat sekali, Kong-ko!” kata Hui Lan kagum dan ia mengambil pita rambutnya dari ujung tongkat yang disodorkan Si Kong.

“Ilmu pedangmu juga amat hebat. Terus terang saja belum pernah aku bertanding melawan orang yang memiliki kepandaian lebih tinggi darimu. Ilmu pedangmu membuat aku kewalahan dan kehabisan akal untuk mencari kemenangan. Baru setelah melihat pita rambutmu berkibar, aku mendapat akal dan ternyata berhasil menggunakan tongkat untuk mengambilnya,” kata Si Kong sejujurnya.






“Benarkah kata-katamu itu, Kong-ko?” tanya Hui Lan yang kehilangan kepercayaan kepada diri sendiri karena dikalahkan Si Kong.

“Untuk apa aku berbohong? Apa yang kuucapkan keluar dari dalam hatiku, bukan untuk menyenangkanmu, Lan-moi.”

Hui Lan membereskan dan mengikat kembali rambutnya dengan pita.
“Aku percaya padamu, Kong-ko dan ucapanmu itu melegakan hatiku. Mari kita lanjutkan perjalanan kita, Kong-ko. Mudah-mudahan di depan ada dusun dan kedai makanan agar kita dapat sarapan.”

“Mari, Lan-moi. Akupun sudah siap.”

Pemuda dan gadis perkasa ini sama sekali tidak mengira bahwa tak jauh dari situ, dibelakang semak-semak, ada dua pasang mata mengamati dan dua pasang telinga mendengarkan percakapan mereka. Kenyataan bahwa disitu terdapat dua orang yang mengintai tanpa diketahui Hui Lan maupun Si Kong sudah menunjukkan bahwa dua orang itu berkepandaian tinggi. Mereka dapat membuat gerakan mereka tidak mengeluarkan suara.

Ketika Si Kong dan Hui Lan pergi meninggalkan tempat itu, dua orang yang tadi mengintai itupun pergi dengan cepatnya. Bahkan mereka berlari cepat mendahului Si Kong dan Hui Lan yang sama sekali tidak tahu bahwa mereka diamati orang.

Setelah matahari naik tinggi, Si Kong dan Hui Lan tiba di sebuah dusun yang cukup ramai. Mereka segera mencari penjual makanan dan mendapatkan sebuah kedai makanan dan minuman yang merupakan satu-satunya kedai makanan di dusun itu.

Matahari telah naik tinggi dan kedai itu telah sepi tamu. Si Kong dan Hui Lan memasuki kedai, disambut oleh penjaga kedai yang hanya ada seorang saja tiu, seorang yang berusia empat puluh tahun lebih. Penjaga kedai itu bertubuh kurus dan mukanya pucat seperti orang menderita suatu penyakit.

“Selamat siang, tuan muda dan nona. Apakah ji-wi (kalian berdua) hendak makan dan minum? Ji-wi memesan apakah?”

“Jual makanan apa saja engkau?” tanya Hui Lan.

“Ada bakpau, roti gandum dan juga nona dapat memesan bakmi kuah.”

“Aku memesan bakmi kuah dan air teh hangat,” kata Hui Lan.

“Aku juga memesan yang sama,” kata Si Kong.

“Baik, harap ji-wi tunggu sebentar. Silakan duduk, saya akan mempersiapkan pesanan ji-wi.”

Penjaga kedai itu lalu masuk ke dalam, terus kedapur yang letaknya diruangan belakang. Di dapur itu duduk seorang pemuda dan seorang gadis, sedangkan di atas sebuah bangku panjang duduk seorang wanita dan seorang anak berusia sepuluh tahun, keduanya terikat pada bangku. Penjaga kedai memandang kepada pemuda dan gadis itu dengan muka ketakutan, lalu memandang kepada isteri dan anaknya yang terikat itu.

“Mereka memesan apa?” tanya gadis cantik itu.

“Me…. memesan…. Bakmi kuah dan air teh,” jawab penjaga kedai dengan suara gemetar ketakutan.

“Bagus, cepat buatkan bakmi kuah itu,” kata pula si gadis itu.

Si penjaga kedai cepat memasakkan bakmi kuah itu dan tak lama kemudian bakmi kuah telah matang. Gadis itu mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari saku pinggangnya, membuka bungkusan dan mengambil sedikit bubuk putih yang lalu dimasukkan ke dalam dua mangkuk bakmi kuah. Bakmi itu diaduk-aduk dengan sumpit lalu gadis itu berbisik,

“Cepat hidangkan kepada mereka. Hati-hati kau, jangan sampai kedua orang itu curiga!”

“Kalau engkau tidak memenuhi perintah, ingat, isteri dan anakmu akan kubunuh!” pemuda itupun menghardik lirih.

Penjaga kedai itu mengangguk-angguk, tidak dapat mengeluarkan kata-kata, hanya memandang kepada isteri dan anaknya yang terikat dibangku dengan hati cemas, kemudian dia membawa dua mangkuk mi kuah dan sepoci air teh dan dua cangkir kosong.

Setelah tiba diluar, dia menenangkan hatinya yang berdebar-debar. Ditaruhnya dua mangkuk mi kuah itu bersama poci teh dan dua cangkirnya ke atas meja di depan Si Kong dan Hui Lan. Sambil menahan agar suaranya tidak gemetar, dia berkata,

“Silakan makan dan minum, kongcu dan siocia.”

Hui Lan memandang tajam wajah penjaga kedai itu.
“Kenapa wajahmu demikian pucat dan suaramu gemetar, paman? Apakah engkau sakit?”

Penjaga kedai itu terkejut dan was-was, dia membungkuk dan menjawab,
“Dalam beberapa hari ini memang badan saya masuk angin dan sakit-sakit, nona. Akan tetapi sudah saya belikan obat.”

Dia lalu kembali ke depan untuk menyambut kalau ada tamu memasuki kedainya. Akan tetapi matanya terus melihat ke arah pemuda dan gadis yang mulai makan mi kuahnya. Hatinya merasa gelisah sekali. Dia tidak tahu benda apa yang dimasukkan ke dalam mi kuah tadi, akan tetapi dia menduga bahwa perbuatan itu tentu tidak bermaksud baik. Pemuda dan gadis cantik yang berpakaian mewah itu telah menyandera isteri dan anaknya. Orang-orang seperti itu, betapapun tampan dan cantiknya, tentu bukan orang baik-baik.

Hatinya terasa lega bukan main melihat Si Kong dan Hui Lan menghabiskan bakmi mereka dan minum beberapa cangkir air teh. Tergopoh dia maju menghampiri ketika Si Kong minta agar guci tempat airnya diisi penuh dengan air jernih. Setelah mengisi guci itu dengan air jernih dan mengembalikannya kepada Si Kong, penjaga kedai itu dengan wajah gembiri melihat dua orang tamunya tidak apa-apa, lalu memperhitungkan harga makanan dan minuman.

Hui Lan membayar lalu ia dan Si Kong keluar dari kedai itu untuk melanjutkan perjalanan mereka. Sedikitpun mereka tidak menyangka buruk.

Sementara itu, pemuda yang mengintai ke depan bersama gadis cantik itu mengerutkan alisnya.

“Yin-moi, bagaimana sih kau ini? Racun bubuk putihmu sama sekali tidak mendatangkan hasil. Lihat mereka pergi dengan tenang!”

Gadis itu tersenyum. Manis sekali kalau ia tersenyum. Seorang gadis cantik, rambutnya dihias emas permata, lengannya memakai gelang kemala, mengenakan anting-anting indah dan pakaiannya juga mewah. Gadis itu bukan lain adalah Siangkoan Cu Yin yang sudah kita kenal.

Dahulu ia merantau dengan menyamar sebagai seorang pemuda pengemis yang usianya remaja dan memakai nama Siangkaon Ji. Seperti kita ketahui, gadis ini bertemu dengan Tio Gin Ciong putera Datuk Timur yang berjuluk Tung Giam-ong. Mereka menjadi sahabat dan melakukan perjalanan bersama menuju ke Kwi-liong-san untuk ikut merebut pedang pusaka Pek-lui-kiam.

Tanpa disengaja, kedua orang muda yang menunggang dua ekor kuda itu melihat Hui Lan dan Si Kong. Cu Yin yang merasa masih sakit hati kepada Si Kong yang menolak cintanya, bahkan tidak mau melakukan perjalanan bersamanya, tentu saja marah sekali melihat pemuda itu kini melakukan perjalanan bersama seorang gadis lain.

“Kita ambil jalan lain mendahului mereka ke dusun itu!” kata Cu Yin yang segera membalapkan kudanya diikuti oleh Gin Ciong.

“Tahan dulu, Yin-moi! Mereka itu siapa dan kenapa kita harus mendahului mereka?”

“Diamlah dulu, Ciong-ko. Nanti saja kuceritakan. Sekarang, cepat balapkan kuda memasuki dusun di depan itu, mendahului mereka!”

Mendengar bentakan ini, Gin Ciong hanya menggerakkan pundak dan membalapkan kudanya.

Mereka mengikat kuda mereka di luar dusun, lalu memasuki dusun itu. Mereka mencari-cari dan melihat kedai makanan dan minuman di tepi jalan.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar